Mukadimah MENGHISAB TUHAN

Dikisahkan ketika Rasulullah thawaf, di depannya ada orang Badui yang juga sedang thawaf. Si Badui menyebut satu sifat Allah saja, yaitu “Ya Kariim..Ya Kariim..Ya Kariim”. Rasulullah senang sampai kemudian menirukan di belakangnya. Si Badui menoleh, dan memperingatkan Rasulullah untuk tidak menirukannya.Rasulullah tetap menirukan tapi lebih pelan. Setelah 3 tahap ditirukan, si Badui merinding dan menoleh sambil berkata, “Wahai kamu orang Arab, kalau tidak karena aku memandang wajahmu yang penuh cahaya, sebenarnya aku benar-benar marah kamu tirukan aku dan akan aku laporkan kepada Muhammad!” Rasulullah bertanya, “Kamu kenal Muhammad?” “Aku berkeliling mencari-carinya ,tapi bahkan sampai saat ini aku belum juga bertemu dengannya,” jawab si  Badui. “Ya Badawi, aku ini Muhammad Nabimu.”Orang Badui itu langsung memeluk Muhammad, mencium tangannya. Ketika itu datang Jibril, menyampaikan salam dari Allah untuk Muhammad dan juga menyampaikan pertanyaan dari Allah untuk si Badui. “Apakah engkau mengira bahwa Allah tidak akan menghisab dosa-dosamu dengan wirid Ya Kariim Ya Kariim?” Orang Badui itu menjawab, “Apa? Allah akan menghisab saya? Kalau Allah berani-berani menghisabku, aku akan ganti menghisab Dia.”

Jibril kembali menyampaikan pertanyaan Allah kepada si Badui, “Ya Muhammad, Allah menitipkan pertanyaan bagaimana caranya kamu menghisab Allah padahal Allah lah yang berposisi menghisabmu?” “Kalau Allah menghisab dosaku, maka aku akan menghisab ampunan-Nya kepadaku. Kalau Allah menghisab kelalaian hidupku, salah-salahnya sikapku, maka aku akan menghisab kedermawanan-Nya padaku.” Allah menyuruh Jibril berkata pada Muhammad untuk menyampaikan kepada si Badui, ‘Tidak usah kamu menghisab-hisab Allah, karena Aku tidak akan menghisab kamu!’

Ahlul hisab wal jamaah

Manusia modern sangat tidak konsisten menjalani kehidupannya. Saat dia berniat melakukan investasi atau konsumsi, tetapi modal tidak memadai, dia berani menjaminkan umurnya dengan hutang. Peluang (opportunity) bisnis menggiurkan membuat beberapa manusia rela meminjam modal besar seakan telah sukses menegosiasikan umurnya. Bahkan banyak yang berani bertaruh hutang hingga 20 tahun usia kedepan demi sepetak tempat tinggal. Seketika itu manusia menjadi sangat optimis dan tawakal.

Namun keadaan itu berbalik drastis ketika mereka berkenalan dengan istilah resiko. Resiko individual (kematian nyawa, kerugian dan kehilangan harta benda) hingga resiko bisnis (bencana, kejahatan hingga musibah) hadir menjadi momok yang kemudian menciutkan nyali mereka. Hingga mereka rela menukar resiko berbagai alat pembayaran. Seorang bayi yang baru dilahirkan ke dunia sudah mulai dibayarkan masa depan kuliahnya (17 tahun kedepan). Seketika itu pula mereka berubah menjadi mahluk pesimis dan tak percaya akan ketentuan sang Pencipta.

Peradaban modern memanfaatkan ketidakkonsistenan manusia ini dengan berbagai retorika ilmu science modern, dari ilmu matematika peluang hingga ilmu ekonomi keuangan. Lembaga Keuangan Dunia berlomba-lomba mereguk keuntungan, bankir-bankir perbankan hidup dengan gemerlap hingga agen-agen asuransi berkeliling melancong ke belantara dunia. Bisnis kebingungan ini merambah hingga tak malu berkedok agama atau lebih kerennya syariah. Para pemuka agama hingga birokrat pun tak sungkan beriklan menambah kebingungan umat.

Disadari atau tidak manusia kemudian menjerumuskan segala aspek kehidupan nya dalam sebuah kalkulasi neraca materi yang sangat absurd. Perhitungan empiris keuntungan (benefit) dan kerugian (loss) dikemas dengan keberadaan ruang dan waktu. Semakin positip neraca kemakmuran hidup semakin manusia merasa yakin kemampuan dirinya. Kemampuan diri yang tak jarang perlahan meninggalkan Sang Penyebab Kehidupan. 

Lance Armstrong  (40 tahun), juara dunia balap sepeda profesional Amerika Serikat  tahun 1996 divonis menderita kanker yang telah menjalar hingga otak dan paru-parunya. Berbagai perawatan medis yang telah ia lalui ditambah menyusut nya berat badan nya hingga 9 kg ternyata berbuah anugerah besar. Setelah ia dinyatakan sembuh ia kembali berlomba Tour de France di tahun 2009. Berat tubuhnya lebih ideal menjadikannya mudah melalui tanjakan, yang selama ini menjadi titik terlemahnya ketika mengayuh sepeda sebelum era penyakitnya. Bahkan dia berhasil menutup karier 14 tahunnya dengan menjuarai Tour de France sebanyak tujuh kali berturut-turut (1999 – 2005).

Kisah Lance Amstrong menyadarkan banyak faktor non materi yang ternyata harus diperhitungkan menjadi penyebab kemampuan diri. Ada kekuatan penyangga kemampuan jasad, pikir hingga jiwa yang manusia sendiri masih blank alias gelap. Neraca surplus kehidupan perlu dilengkapi dengan proses kalkulasi anugerah. Anugerah yang awalnya tidak diperhitungkan boleh jadi jauh lebih dominan berperan dibandingkan dengan hasil “usaha” manusia sendiri. Berbagai kemurahan dan pertolongan-Nya kembali diperhitungkan hingga neraca kehidupan menjadi tak surplus lagi, malah nampak adanya defisit yang besar. Proses kalkulasi ini layaknya  disebut “Menghisab Tuhan”.

Tak berhenti pada diri, konsep “Menghisab Tuhan” dapat berlaku pada perhitungan neraca negeri ini. Rasanya tak satupun nilai surplus yang layak menjadikan negeri ini tetap bertahan. Rapor merah (meminjam istilah para seniman politik) tercatat di berbagai pos neraca kehidupan Negara. Bahkan jika menilik firman Penguasa Kehidupan bahwa ‘telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia’, rasanya sangat wajar jika keberadaan negeri ini sudah layak dihancurkan. Kekuatan apakah yang mampu menunda atau bahkan membatalkan kemarahan-Nya?

Segala kemurahan dan pertolongan-Nya yang tercurah atas negeri  diperhitungkan hingga akhirnya terlihat neraca menjadi surplus. Ketahanan bangsa ternyata bukan berasal dari daya tahan penghuninya namun karena pertolongan-Nya belaka. Menghisab Tuhan hanya membutuhkan kejujuran. Jujur mengakui batas kemampuan diri, jujur mengakui kelemahan hingga kesalahan dan puncak nya jujur mengakui bahwa segala yang diperbuat tiada artinya tanpa campur tanganNya.

Manifestasi menghisab adalah timbulnya rasa bersyukur atas berbagai temuan-temuan kenikmatan yang luput dari kalkulasi neraca kehidupan dan etos kerja yang kuat. Faktor inilah boleh jadi penawar kehancuran bangsa ini. Hingga layak kiranya sang penguasa negeri berterima kasih kepada mereka yang dapat dikategorikan sebagai ahlul hisab wal jamaah.

“Di dunia ini kewajiban utama manusia adalah bergaul dengan persangkaan-persangkaan. Manusia mempergaulkan persangkaan. Ilmuwan-ilmuwan menuliskan skripsi yang mendobrak sangkaan melalui penelitian untuk kemudian berujung pada persangkaan yang baru. Dalam dunia politik entah berapa ribu orang masuk penjara atau meninggal dunia berkat lalu lintas persangkaan nasional dan internasional. Baik persangkaan yang hanya bersubstansi kebodohan dan kesombongan, maupun persangkaan yang diskenariokan oleh rekayasa-rekayasa resmi. Banyak sekali peristiwa-peristiwa politik yang sesungguhnya hanya berpangkal di persangkaan dan berujung di persangkaan berikutnya. Demi budaya dan peradaban persangkaan sangat banyak manusia harus mengorbankan hidupnya, airmatanya, penghidupannya, masa depannya, bahkan nyawanya sekalipun.

Bahkan persangkaan seringkali juga merupakan muatan utama dari peta pergaulan teologi antar para pemeluk agama maupun aliran-aliran nilai yang dianggap sebagai agama. Tuhan sendiri memakai idiom dhonn, yang berarti persangkaan, untuk menjelaskan sejumlah fenomena kekufuran, kemunafikan, kemusyrikan, dan lain sebagainya, yang terjadi pada mentalitas, batin, pikiran, dan kejiwaan hamba-hambaNya..”

— Dikutip dari Dinamika Persangkaan, Emha Ainun Nadjib.

Spirit pencarian dan perumusan “Menghisab Tuhan” ini akan menjadi nafas perhelatan Kenduri Cinta yang akan digelar tanggal 11 Mei 2012 di Taman Izmail Marzuki. Semoga wacana ini dapat memperkaya khasanah pemikiran kita bersama.

Jakarta, 7 Mei 2012 — Dapoer Kenduri Cinta