Mukadimah: MEMBACA AMSAL

MUKADIMAH KENDURI CINTA oktober 2017

PAGELARAN WAYANG atau sering disebut dengan wayangan yang digelar pada saat ada hajatan tidak sekedar sebagai media hiburan. Banyak pelajaran yang didapat selama berlangsungnya pertunjukan. Lakon wayang yang ditampilkan oleh Dalang biasanya akan disesuaikan dengan keadaan dan kontekstual hajatan yang melandasi diadakannya gelaran wayang. Walimahan nikah, sunatan, ruwatan, wisudaan, peringatan hari jadi, atau hajatan-hajatan untuk acara perayaan lainnya. Yang pasti pada setiap pagelaran wayang, seorang Dalang tidak mungkin mempersiapkan wayang, panggung dan melaksanakan pertunjukannya seorang diri. Perlu ada uborampe yang mesti dipersiapkan oleh si pemilik hajat guna mendukung Dalang dalam pagelaran wayang.

Orang-orang berduyun-duyun menghadiri wayangan dengan berbagai alasan. Ada yang datang hanya sekedar memenuhi undangan tuan rumah pemilik hajat dan ada yang memang sengaja datang untuk untuk menyaksikan wayangan. Bagi pedagang, momentum pagelaran wayang dapat dijadikan lahan jualan. Sedangkan bagi Waranggana, Nayaga dan Dalang setiap gelaran wayang adalah bagian dari proses panjang. Bukan sekedar proses pada saat pertunjukan, namun juga proses selama latihan dan interaksi diantara mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dibalik kesuksesan pertunjukan wayang yang nampak, ada kenyataan proses perjuangan panjang penempaan dan penyelarasan masing-masing personal yang bersungguh-sungguh dan konsisten.

Para Nayaga dari penabuh saron, bonang, gender, gong, rebab, kendang dan berbagai alat gamelan lainnya bersama dengan Waranggana sudah terlatih untuk mengiringi Dalang dalam menampilkan pagelaran wayang. Kapan harus menggunakan laras pelog, kapan harus menggunakan laras slendro sudah dipahami oleh Pesinden dan setiap Nayaga penabuh gamelan. Pengendang selama pertunjukan berkonsentrasi penuh terhadap wayang-wayang yang dimainkan oleh dalang pada setiap adegan. Setiap tokoh wayang memiliki ciri khas tersendiri dalam bergerak dan penabuh kendang akan berusaha mendramatisir setiap gerak wayang yang dimainkan oleh Dalang. Terutama ketika adegan perang, setiap gerak sabetan wayang yang dimainkan Dalang akan diiringi oleh permainan kendang si pengendang.

Kenduri Cinta dan berbagai forum-forum Maiyahan di berbagai penjuru wilayah nusantara hingga mancanegara, baik yang diselenggarakan rutin maupun yang diselenggarakan by event dalam beberapa segi memiliki banyak kemiripan dengan pagelaran wayang. Jamaah yang hadir sangat cair dan siapapun boleh menimba ilmu untuk menjadi bekal hidup dalam kesehariannya. Bahkan tidak sedikit yang memanfaatkan peluang usaha untuk berjualan, meraup keuntungan pribadi ditengah masyarakat Maiyah yang semakin menjamur.

Semakin banyak orang-orang datang ke Kenduri Cinta dan Maiyahan sehingga memunculkan minat orang-orang untuk mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng karena ingin mengadakan maiyahan pada hajatan yang diselenggarakan oleh mereka. Persoalannya adalah ketika menyamakan maiyahan dengan pertunjukan wayang. Seolah-olah Cak Nun dapat diundang untuk nDalang, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh mempersiapkan uborampe-nya Maiyahan. Mereka tidak benar-benar paham dengan Maiyah, masih mengesampingkan perjuanggan Kenduri Cinta, perjuangan Maiyah dan perjuangan Cak Nun selama ini. Memang ada banyak kemiripan Maiyahan dengan wayangan, namun tidaklah sama.

Banyak orang yang kagum pada durasi Maiyah. Padhangmbulan di Jombang sebagai “Ibu” forum Maiyah yang rutin diselenggarakan setiap bulan dari sebelum era reformasi sampai sekarang dan masih rutin hingga seterusnya, telah melahirkan banyak forum-forum Maiyah termasuk Kenduri Cinta di Jakarta. Durasi panjang untuk forum non profit oriented – non sponsor dan dapat konsisten berlangsung puluhan tahun cukup mengherankan sekaligus mengagumkan. Namun dari itu, jarang yang kagum dengan para penggiat yang tekun menyiapkan forum Maiyah secara rutin dan intens. Mengangkut, menyimpan dan menggelar karpet. Menyiapkan tenda, level panggung, dan sound system. Mendesain  poster, mencetak dan memasang baliho. Serta para penggiat yang dengan segala keterbatasan ditengah kesibukan rutinitasnya masing-masing masih tetap konsisten untuk mempersiapkan forum sesuai dengan komitmen personal. Dengan tidak mengharapkan eksistensinya diakui, para penggiat ini banyak yang tidak nampak diatas panggung namun kenyataan perannya sangat jelas.

Ditengah kehidupan “masyarakat online” yang serba otomatis, teknologi informasi semakin mempermudah orang-orang dari berbagai belahan dunia untuk saling terhubung satu dengan yang lainnya. Transaksi online, e-money dan social media mengubah sebagian besar arah perekonomian dan kebudayaan. Perkembangan teknologi digital, internet dan kecerdasan buatan(artificial intelligence) tidak mungkin bisa dibendung dan telah membanjiri kehidupan masyarakat. Ditengah kondisi ini Masyarakat Maiyah menjaga tradisi manual silaturahmi, tatap muka yang semakin langka di era streaming digital. Ditengah zaman lahirnya generasi mileneal sebagai identitas generasi baru yang seolah terputus dari generasi sebelumnya, Cak Nun justru merangkaikan ketersambungan pengalaman personal dengan setiap peristiwa hingga awal penciptaan Nur Muhammad. Ditengah zaman globalisasi yang mengagungkan pencapaian teknologi dan semakin mengesampingkan bahkan meniadakan Tuhan atas eksistensinya, Maiyah justru meyakini bahwa Tuhan adalah Aktor utama dari pergerakkan zaman.

Segitiga Cinta Maiyah menjadi bingkai berpikir dan sikap setiap perbuatan orang-orang Maiyah dalam menjalani kehidupan dunia. Benih-benih cinta ini diperkenalkan dan ditebarkan oleh Cak Nun kepada Jamaah Maiyah pada setiap Maiyahan yang dapat berlangsung berturut turut setiap siang-malam di beberapa tempat dan dihadiri ribuan jamaah dari berbagai lapisan masyarakat. Banyak orang hanya kagum dengan daya tahan Cak Nun yang seolah tidak kenal lelah berpindah-pindah ceramah di berbagai daerah, namun hanya sedikit orang yang menyadari bahwa perbuatan baik yang dilakukannya adalah wujud cinta dan perjuangan dalam menemani jamaah. Banyak orang yang kagum melihat Cak Nun kuat meladeni jamaah yang meminta salaman hingga berjam-jam, tetapi tidak banyak yang sampai pada kenyataan bahwa itu adalah perbuatan sabar Cak Nun dalam menuruti kemauan jamaah yang beragam.

Namun perbuatan baik Cak Nun yang konsisten, tekun, sabar, ikhlas dan diikuti oleh para penggiat yang turut menebarkan cinta pada setiap Maiyahan tidak dianggap sebagai rangkaian panjang yang keberlangsungannya memerlukan pengorbanan dan perjuangan. Masih saja banyak anggapan orang bahwa Maiyahan yang diselenggarakan selama ini di berbagai tempat terlaksana secara otomatis dan berlangsung begitu saja. Akibatnya masih saja ada orang yang dengan seenaknya tega memenggal, menekuk, memotong dan menyelipkan rangkaian Maiyahan untuk kepentingan pribadinya. Mereka tidak percaya dengan keberadaan Satria Paningit, Sufi, Nabi, Wali walaupun itu semua ada saat ini di depan muka mereka. Mereka juga tidak percaya, karena yang mereka inginkan hanya dongeng-dongeng. Termasuk adanya orang-orang yang berbuat baik, orang yang sangat sabar dalam berproses, itu juga tidak mereka percaya.

Kenduri Cinta edisi Oktober 2017 mengusung tema “Membaca Amsal”. Maiyah boleh dimisalkan sebagai orkestra kehidupan. Dengan meningkatnya intensitas, manuver dan aktivitas-aktivitas di luar jendela Maiyahan, perlu bagi kita untuk kembali menyelaraskan peran personal kita dalam ber-orkestra. Proses asah, asih, asuh dan penempaan diri bersama sesama jamaah dalam berlatih dan menjalankan peran sekaligus sama-sama menjadi penonton di panggung latihan sekaligus pertunjukan kehidupan, harus terus-menerus terjaga dengan baik.