Mukadimah: KULO PANJENENGAN SAMI

KULO PANJENENGAN SAMI fix (1)
MUKADIMAH SULUK PESISIRAN MEi 2016

BAHASA YANG mengemban sopan santun, sebatas yang kami ketahui hanyalah bahasa Jawa. Untuk kata makan bisa menjadi sekian kata padanannya yang tiap kata cocok pada penempatannya sendiri-sendiri. Untuk orang yang kita hormati menggunakan kata dahar; kepada anak-anak kita menggunakan maem, kepada diri sendiri kita ungkapkan kata itu dengan mangan; untuk berbahasa dengan teman kita yang lebih tua kita menggunakan kata nedha; untuk menceritakan ayam kita menggunakan kata notol. Untuk unggas juga kita kenal dengan kata nyosor.

Kekayaan kata dalam bahasa merupakan parameter usia bahasa itu. Banyak kata berarti banyak usia. Semakin sedikit kata menunjukkan semakin muda bahasa itu. Bahasa yang berusia muda, tentu kewalahan menerjemahkan bahasa tua seperti bahasa Indonesia menerjemahkan bahasa Jawa. Macam-macam bau saja banyak yang tidak bisa diterjemahkah ke dalam bahasa Indonesia, seperti kata badeg, apek, langu, prengus, lecit, wangur.

Bahasa Jawa merupakan simbahnya bahasa, sehingga tidak ada kemungkinan lain kecuali ngemong bahasa-bahasa lain di dunia. Selalu saja dalam bahasa Jawa membahasakan dirinya dengan rendah diri, andhap ashor. Sebagaimana dalam kalimat ‘Kulo Panjenengan Sami’ membahasakan dirinya sebagai kulo yang kependekan dari kawulo yang berarti budak. Dan menjunjung orang kedua dengan menyebutnya Panjenengan. Ada rasa tawadlu dalam tiga kata itu. Yang memuliakan orang lain dan merendahkan diri sendiri. Setelah memuliakan orang, kita akan menemukan bahwa kita adalah sami. Sama-sama manusia; sama-sama hidup dalam bumi yang satu; sama-sama bani Adam; sama-sama menikmati matahari yang satu; sama-sama ngantri menuju kuburan; sama-sama akan kembali ke Allah. Tapi kenapa? Kita kadang bertengkar karena beda golongan, ras, suku, bangsa.

Kebangsaan merupakan pembicaraan yang kembali hangat, ketika kita semangat kebersamaan dalam berbangsa sudah mulai kita rasakan berkeping-keping. Untuk masalah kebangsaan ini kita bisa menganalogikan dengan keluarga. Dalam lingkup keluarga tentunya ada buyut, simbah, orangtua, anak dan cucu. Kalau seorang anak ditanya tentang apa cita-cita ayah-ibumu dulu dalam membangun sebuah keluarga? Tentu jawaban tekstual yang mengendap dalam benak kesadaran anak-anak Indonesia mengatakan, “Membangun keluarga sakinah, mawadah, warahmah.”

Pertanyaan selanjutnya, “Usaha apa yang dilakukan orangtua, dalam mewujudkan cita – cita keluarganya?” Jawaban anak bisa bermacam-macam, misalnya “sudah, dengan ikhtiar mencukupi nafkah lahir batin keluarga.”

Dalam mewujudkan cita-cita keluarga juga ada norma, tradisi sopan santun yang sudah berlangsung dalam masing-masing keluarga. Dalam keluarga sangat mudah menentukan siapa tamu, dan siapa anggota keluarga? Siapa tetangga, dan siapa saudara? Kalau kita lebarkan dalam konteks kebangsaan, misalnya kita menyebutnya sebagai keluarga Indonesia. Maka bisakah kita menentukan siapa orangtua kita? Siapa saudara, tetangga, tamu kita? Kalau saja kita berani mengatakan bahwa pemimpin-pemimpin formal sebagai orangtua kita. Apakah itu benar kenyataan lahir-batinnya? Seberapa besar ‘orangtua’ kita memikirkan dan mengusahan nafkah untuk ‘anak rakyatnya’? Atau mungkin kita batal menganggapnya sebagai ‘orangtua’, karena dalam kenyataannya ‘orangtua’ tidak memikirkan nafkah anak-anaknya, tetapi mencari kepuasan dirinya dari jerih payah ‘anak-rakyatnya’? bagaimana tetesan keringat anaknya dikumpulkan dalam bentuk pajak, kemudian pajak itu diselewengkan.

Kalau kita batal menentukan orangtua kita. Kemudian siapa sebenarnya orangtua kita? Dalam menentukan ‘orangtua keluarga Indonesia’ saja kita kebingungan. Atau sudahlah kita anggap diri kita anak yatim saja. Tapi mungkin sebagai anak yatim yang masih menyaksikan ‘bapaknya’ selingkuh. Bagaimana perasaan kita, ketika melihat tamu diperlakukan oleh ‘bapak’ kita layaknya istri muda. Hak-hak tamu dalam keluarga melebihi anggota keluarga sendiri. Diberi keluasan seluas-luasnya menentukan ini-itu, sehingga kita sebagai anggota keluarga diperlakukan sebatas jongos istri muda ayah kita itu. Para tamu mendikte aturan, norma, dan tradisi dalam keluarga. Bagaimana akan tumbuh cita-cita keluarga dalam mencapai ketenangan (sakinah) kalau yang kita anggap orangtua malah berperilaku seenak udele dewe.

Mungkinkah tumbuh mawadah dan rahmah kalau yang selama ini kita yakini sebagai keluarga ternyata bukan! Bagaimana kita akan membangun rasa ‘kekeluargaan’ (nasionalisme) sebagai bangsa Indonesia kalau menentukan orangtua saja kita kebingungan.

Bagaimana mungkin tumbuh tanggung jawab diantara anggota keluarga, kalau orangtua tidak berperilaku sebagai orangtua, kalau tamu berperilaku melebihi orangtua, akhirnya anak menggelandang dan layaklah hanya Allah sebagai Sang Pengasuh.