Mukadimah: KELEDAI LESTARI

MUKADIMAH KENDURI CINTA januari 2017

MISALNYA, ADA SEEKOR Keledai yang diberi sebuah gadget canggih yang didalamnya terdapat informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi seluruh peradaban ummat manusia dari awal hingga zaman kekinian. Kira-kira oleh si Keledai gadget itu akan digunakan untuk apa? Atau, kira-kira si Keledai itu akan jadi seperti apa? Misalkan dibilang Keledai itu akan menjadi sangat pintar dan bijaksana atau lantas si Keledai segera berinovasi menciptakan teknologi yang membuatnya dapat berlari lebih cepat dari Kuda, kemungkinan tidak ada orang yang percaya.

Bahwa asal usul manusia secara tarikh tidak ada satupun dokumen sejarah yang dapat diterima dan dipercayai 100% oleh setiap orang. Orang-orang dengan ilmu pengetahuan dan pendekatan ilmiah yang berseberangan akan berbenturan satu dengan lainnya, sedang yang sejalan akan saling mendukung dan menguatkan. Semisal Darwin, dengan sangat yakin menyatakan teori evolusi. Memang dipercaya di zamannya, namun pada perkembangan bermunculan pengetahuan-pengetahuan yang baru dan meralat hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Darwin. Berbagai teori akan dibuktikan kebenarannya seiring perubahan jaman, hal ini berlaku di semua bidang ilmu pengetahuan.

Setidaknya ada 10 teori penciptaan manusia secara modern dapat dirangkum. Mulai intelligent design, theistic evolution hingga evolusinya Darwin. Perdebatan filosofis mulai berlangsung pada abad 4 SM dari aliran Filsafat Alam, menyeruaknya aliran Kodrat pada abad 7 Masehi, hingga yang menonjol aliran Gereja pada abad 12 di dunia filsafat. Munculnya sebuah teori baru tidak serta merta langsung diterima oleh masyarakat secara umum. Bisa puluhan bahkan ratusan tahun sebuah teori baru dapat diterima. Bahkan keberadaan Ibrahim AS sebagai penggagas utama teori Kodrat (agama) baru mendapatkan legitimasi pasca Al Qur’an turun dengan ratusan tahun berbagai dinamika wawasan pengetahuan sejarah manusia sebelumnya.

Al Qur’an menjelaskan 5 pertanyaan dasar yang tidak mampu dijawab oleh akal, khususnya ilmu Filsafat dan ilmu pasti. Seperti; siapa manusia pertama kali? Untuk apa manusia diciptakan? Kenapa harus ada sedih dan bahagia? Kenapa ada kematian? Setelah mati kemudian seperti apa kehidupan manusia? Di sinilah keterbatasan akal dijawab dengan pendekatan agama.

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minun 12-14)

Setelah penciptaan Adam AS menjadi jawaban pertanyaan pertama dan bagaimana proses terjadinya janin dalam rahim dijelaskan Al-Qur’an, kebenaran itu tidak lantas langsung diterima oleh semua orang. Yang terjadi justru pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang terus berlangsung dari orang-orang yang masih terus belum yakin dengan kebenaran Al-Qur’an. Hingga ketika penelitian ilmiah modern membenarkannya, itupun tidak lantas setiap orang akan menerima kebenaran Al-Qur’an. Hal serupa terjadi dengan berbagai informasi yang sudah dijelaskan tersurat secara terang benderang di dalam Al-Quran. Manusia yang diciptakan berbangsa-bangsa, makhluk yang diciptakan berpasang-pasang, pencukupan kebutuhan dengan rizqi untuk semua makhluk, hingga bagaimana Allah SWT yang menjadi ‘aktor utama’ pada perubahan nasib suatu kaum. Juga, tidak kurang-kurang Al-Quran mengkisahkan ummat-ummat terdahulu dengan berbagai kekufurannya berbangga-bangga dengan kemajuan peradaban mereka, lantas mereka dihancurkan dan musnah akibat perbuatan mereka sendiri, sebagai bahan pelajaran bagi kita ummat selanjutnya. Namun, kebanyakan dari kita baru percaya dan sadar setelah mengalaminya.

Sejak awal peradaban, ummat manusia digiring untuk hanya percaya terhadap pengalaman persepsi internal dirinya dan tidak langsung percaya terhadap lingkungannya. Pembuktian berdasarkan pengalaman pribadi ini selanjutnya membentuk pola interaksi personal dirinya dengan alam sekitarnya. Pada tahap selanjutnya ada teori yang mengatakan bahwa ego kepemilikan justru mendasari terbentuknya komunal awal dalam interaksi sosial yang primitif. Kepenguasaan sumber daya alam oleh sekelompok orang yang saling percaya ini ditujukan bukan karena kebersediaan untuk saling berbagi namun lebih karena pengakuan teritorial masing-masing individu. Pembagian sumberdaya alam dalam teritorial yang terjadi tidak benar-benar dalam frame memberi, namun didasari transaksi investasi primitif. Kelompok-kelompok komunal awal terbentuk justru dalam rangka mempertahankan teritorial mereka yang sebenarnya menyerupai kawanan hewan.  Namun didalam teritorial mereka, sifat sosial-kemanusiaan mereka mulai terbentuk berdasarkan pola interaksi diantara mereka.

Interaksi-sosial pada kurun yang lama oleh sekelompok orang yang mendiami luasan teritorial geografis tertentu, lambat laun membentuk pola komunikasi visual maupun verbal yang khas dan menjadi bahasa komunikasi diantara mereka. Secara turun temurun dan beralih generasi hingga terbentuknya suku-bangsa awal dengan kekhasan bahasa-bahasa dan pola komunikasi diantara mereka, bukanlah berdasar rekayasa kecanggihan dari manusia itu sendiri. Suku tumbuh menjadi sebuah bangsa secara alami dengan kekhasan bahasa, bentuk fisik tubuh dan wajah yang tidak dapat direkayasa oleh bangsa itu sendiri. Namun, dinamika interaksi sosial bangsa dalam suatu luasan geografis itu sebenarnya didasari atas ego kepenguasaan sumberdaya.

Keinginan untuk menguasai sumber daya mungkin awalnya bertujuan baik, untuk mengelola sumber daya supaya dapat digunakan lebih awet. Pada perkembangannya akan muncul orang-orang karena inisiatif pribadinya ataupun karena terpaksa memimpin sekelompok orang dengan tujuan supaya kehidupan sosial bangsanya lebih baik. Inovasi-inovasi berbagai teknologi yang menyangkut kehidupan masyarakat bangsanya dilakukan oleh kelompok kecil yang dipimpin oleh seseorang yang kelak kita kenal sebagai seorang Raja. Dalam Al-Quran dikabarkan era Raja Sulaiman AS (Solomo) dan Raja Daud AS yang peradabannya melebihi peradaban modern saat ini. Mengapa sangat modern? karena dikisahkan tentang cara mereka pada zamannya melakukan komunikasi baik dengan tumbuhan, binatang dan Jin. Juga pada jaman mereka, moda transportasi yang digunakan teknologinya tidak serumit zaman saat ini. Manusia dan Jin biasa melakukan teleportasi serta terbang. Disaat itu sistem pemerintahan berjalan dengan baik,  komando pemerintahan terdiri dari tentara dari bangsa Manusia, Jin, dan dari berbagai binatang. Tidak hanya itu, teknologi pada jaman itu juga mendukung kesuburan pertaniandan iklim wilayah teritorial Raja Sulaiman AS maupun Raja Daud AS. Namun yang terpenting adalah, beliau berdua senantiasa menegaskan bahwasanya kemajuan kerajaan itu semata-mata berkah dari Allah SWT. Lagi-lagi ego kepemilikan hadir. Raja Namrud dan para Raja Firaun lainnya juga memimpin kerajaan mereka hingga mencapai kemajuan yang luar biasa, tetapi nasib kerajaan mereka hancur karena ulah dari pemimpin dan rakyat kerajaan itu sendiri.

Berlanjut hingga jaman kita sekarang ini, jaman Globalisasi. 71 tahun, paska Proklamasi kemerdekaan 1945 yang pada periode dekade itu juga hampir berbarengan dengan bermunculannya Nation-State di berbagai belahan dunia sebagai negara dunia ke-3. Terlepas dari adanya isu konspirasi global dibalik terbentuknya negara-negara bangsa pada kurun waktu itu, kita meyakini bahwa dalam teks Pembukaan UUD’45 menyatakan bahwa kemerdekaan bangsa ini ada berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Ditengah arus globalisasi yang semakin tak terbendung, eksistensi pemerintahan negara untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia pasti akan terasa berat. Namun disisi lain godaan para kapitalis global untuk ‘membantu’ pembangunan infrastruktur negara jelas-jelas menggiurkan. Sudah nampak jelas tiang pancang Kapitalis Global menancap tegak di negeri ini, jika berjodoh perkawinan antara Barat dan Utara akan segera berlangsung dalam wilayah teritorial bangsa kita. Jika itu yang terjadi mungkin Nasionalisme kebangsaan kita hanya akan tersisa separuh, dan semakin mantap-lah tempat kita mengadu hanya kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.