Mukadimah: FREENOMICS

poster JS Mar

Mukadimah Juguran Syafaat Maret 2015

Siapakah yang mengatur masyarakat kita saat ini, sehingga alat ukur berharga tidaknya sesuatu ditakar dengan uang. Uang dijadikan alat ukur, padahal sejatinya uang hanyalah alat tukar. Untungnya dunia kini sedang bertransformasi, uang akan mulai tidak lagi relevan dijadikan alat ukur. Era transformasi itu diistilahkan orang dengan freenomics.

Freenomics adalah sebuah era ekonomi gratis. Bagi kacamata seorang pebisnis, freenomics dimanfaatkan sebagai sebuah strategi untuk meningkatkan penjualan. Prinsip kerja strategi freenomics adalah menghitung berapa jumlah yang bisa diberikan gratis untuk mampu menarik konsumen yang mau membayar dalam jumlah yang cukup. Strategi ini diterapkan banyak pebisnis menggeser blue ocean strategy yang sempat booming pada dekade yang lalu.

Itu freenomics dari kacamata seorang pebisnis, lantas bagaimana kalau freenomics dalam perspektif pengelolaan komunitas masyarakat? Sebuah komunitas masyarakat yang tertata memiliki segenap orang pengampu. Mereka adalah sesepuh di masyarakat itu. Bagi sesepuh sebuah komunitas masyarakat, prinsip freenomics diterapkan untuk bagaimana caranya membangun sistem sosial ekonomi di masyarakatnya sehingga tidak ada sebagian yang terbebani dan sebagian lainnya justru diuntungkan. Maka dinamika sosial berjalan harmoni, distribusi ekonomi berlangsung seimbang.

Kemudian penerapan dari prinsip ini adalah lahirnya sistem-sistem sosial yang harmoni seimbang, diantaranya: sistem kondangan-hajatan yang tidak memberatkan anggota masyarakat, sistem kerigan kerja bakti, gotong royong boyongan rumah, menjaga keamanan desa bersama tanpa harus iuran, festival desa tanpa sponsor, memelihara tempat ibadat serta menjalankan prosesi pemakaman tidak memusingkan honor.

Gagasan sistem sosial yang harmoni seimbang berprinsip freenomics ini hanya bisa dilahirkan oleh orang yang memiliki kapasitas sebagai sesepuh di masyarakatnya. Ia mungkin bukan walikota, tapi ia berperan menjadi wali bagi masyarakatnya. Dalam berpikir dan ber-ijtihad sosial ia tidak menaruh kepentingan kalkulatif transaksional. Dalam berfatwa dan dalam member teladan ia tidak mau disetir oleh pihak luar, terlebih yang berkepentingan untuk mengkomoditasi masyarakatnya.

Pertanyaannya sekarang, siapakah yang kita berikan hak untuk berpikir melakukan ijtihad sosial membangun sistem-sistem dalam masyarakat kita? Apakah ia sesepuh yang dalam anatomi masyarakat kita berposisi sebagai kepala dan otak? Atau jangan-jangan kita serahkan ruang berpikir dan berijtihad sosial kepada para dengkul? Sehingga sistem sosial seberapa sering pun diperbaharui selalu saja morat-marit tidak pernah memproduk kebaikan?

Mari kita kuantifikasi lagi, siapa-siapa golongan yang boleh berjihad melalui pemikiran untuk memproduk sistem sosial dan siapa yang tidak.