Mental Siap Panen

BEBERAPA waktu yang lalu, seorang anak muda yang usianya belum genap 20 tahun menjadi perbincangan banyak orang setelah berhasil meraih medali emas dalam sebuah kejuaraan salah satu cabang olahraga atletik. Lalu Muhammad Zohri namanya. Nama Zohri mencuat setelah ia berhasil menjadi peserta tercepat yang mencapai garis finish pada nomor sprint 100 m. Ia bahkan mengungguli pelari yang diunggulkan saat itu.

Kita perlu mengucapkan terima kasih kepada teknologi informasi yang saat ini mampu menghadirkan sebuah informasi real time. Berita kemenangan Zohri kemudian viral di media sosial. Hari ini, media sosial adalah acuan utama informasi masyarakat di Indonesia, apapun yang dibicarakan di media sosial oleh orang banyak, maka akan menjadi trending topic.

Begitu juga dengan prestasi yang diraih oleh Zohri. Atensi dari berbagai pihak pun berdatangan, apresiasi yang luar biasa, mulai dari hadiah berupa uang, tabungan, beasiswa, tawaran menjadi pegawai negeri, anggota POLRI dan TNI, hingga kemudian diundang ke Istana Negara untuk bertemu dengan Presiden. Dan ketika diketahui bahwa rumah Zohri hanya berua gubuk sederhana yang terbuat dari kayu, Pemerintah kemudian berinisiatif untuk memperbaiki rumah tersebut.

Prestasi olehraga memang menjadi sebuah hal yang sangat membanggakan bagi setiap Negara. Sebelumnya nama Zohri mencuat, kesebelasan sepakbola Prancis telah berhasil mengukir prestasi menjadi juara dunia dalam olahraga sepakbola untuk kedua kali setelah sebelumnya mereka menjadi juara di tahun 1998. Seluruh penduduk Prancis pun menyambut prestasi itu dengan gembira. Bahkan Presiden Emmanuel Macron tampak berjingkrak-jingkrak di tribun VVIP Stadion Luzhniki, Moscow ketika para pemain Prancis membobol gawang Kroasia di pertandingan Final Piala Dunia. Prancis, sebuah Negara yang isu ras dan agama masih sangat kental, sejenak melupakan konflik perbedaan itu. Kesebelasan yang diisi oleh pemain-pemain hitam, dan juga bebarapa pemain-pemain beragama Islam, justru telah membawa trofi lambing supremasi sepakbola dunia ke Negara mereka.

Dan Indonesia, hanya diberi kebahagiaan berupa medali emas yang diraih oleh Zohri dalam sebuah kejuaraan yang mayoritas kita tidak mengenal nama kejuaraan yang ia ikuti, apalagi kejuaraan itu masih dalam kelompok umur, bukan level senior, kita begitu bahagia menyambut kedatangan Zohri. Secara khusus Menteri Pemuda dan Olahraga menyambut kembalinya Zohri dari Finlandia di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng.

Sekitar 5 tahun yang lalu, kita pernah merasakan kegembiraan serupa dalam cabang olahraga Sepakbola. Tim Nasional U-19 Indonesia yang saat itu diisi oleh talenta-talenta muda berbakat seperti Evan Dimas, Ilham Udin, Hargiyanto, Maldini Pali, Paulo Sitanggang dan yang lainnya, di bawah asuhan Coach Indra Sjafri telah meraih trofi AFF U-19. Sekali lagi, U-19. Dan saat itu, masyarakat Indonesia, bahkan yang tidak menyukai sepakbola sekali pun merayakan prestasi itu. Satu bulan setelahnya, ketika anak-anak muda U-19 itu berhasil mengalahkan Tim Nasional Korea Selaan U-19 dengan skor 3-2 di Gelora Bung Karno dalam babak kualifikasi Piala Asia U-19, kita kembali bersorak.

Anak-anak muda U-19 itu menjadi pembicaraan, hampir setiap hari berita tentang mereka menghiasi media massa, baik cetak, elektronik juga di dunia maya. Para penikmat sepakbola di Indonesia telah menemukan bintang baru. Yang kita lupakan adalah, mereka adalah pemain-pemain sepakbola yang masih mengisi level kelompok umur. Bukan kesebelasan senior. Namun, ekspektasi yang kemudian kita bebankan kepada mereka terlampau tinggi. Hingga akhirnya mereka tidak benar-benar menikmati olahraga sepakbola itu sendiri. Yang akibatnya kemudian adalah mereka gagal total di Piala Asia U-19 tahun 2014 di Myanmar. Mimpi mereka (baca: ekspektasi kita) untuk berlaga di Piala Dunia U-20 pun kandas.

Euforia itu kini kemudian berpindah dalam sosok Lalu Muhammad Zohri. Ia sangat dielu-elukan di media massa, foto Zohri terpampang di halaman besar media cetak, juga baliho-baliho partai yang dipasang di berbagai sudut kota. Zohri, pemuda yang bulan lalu kita sama sekali tidak mengenalnya, kini menjadi ikon anak muda berprestasi di Indonesia. Dan kini, ekspektasi kita kepada Zohri menjadi tinggi. Medali Emas menjadi target yang harus diraih oleh Zohri di Asian Games 2018 lalu di Jakarta.

Kita seolah tidak pernah belajar pada pengalaman masa lalu, bahwa kita hanya manusia yang diberi sedikit hak untuk merencanakan. Sementara kepastian akan segala hal yang kita alami di kehidupan ini adalah sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah. Kita yang sebelumnya sama sekali tidak memberikan perhatian kepada Zohri, bagaimana ia berproses hingga meraih prestasi gemilang di Finlandia, namun ketika ia meraih prestasi itu, kita kemudian dengan enteng menyerahkan target prestisius di pundak Zohri. Pilihan sulit dalam diri Zohri adalah meraih medali emas di Asian Games atau ia akan kembali dilupakan oleh masyarakat Indonesia. Jika ia berhasil meraih medali emas, ia akan semakin dipuja-puja, namun jika ia gagal di Asian Games nanti, ia akan terlupakan. Dan ternyata, ia gagal memenuhi ekspektasi kita.

Ketika Tim Nasional U-19 menyongsong Piala Asia U-19 empat tahun lalu, kita sama sekali tidak serius mendukung proses yang sehat dalam mempersiapkan mereka agar siap berlaga di turnamen yang lebih tinggi levelnya. Sebagai supporter sepakbola, kita bergembira menonton anak-anak muda itu bermain bola dalam berbagai pertandingan eksebisi yang jadwal bertandingnya sangat tidak wajar jika diukur dalam kurikulum olahraga sepakbola. Energi mereka terkuras, sehingga mereka tidak benar-benar siap berlaga di Piala Asia U-19 saat itu.

Kita tentu tidak ingin mengulangi kegagalan ini. Tuhan telah mengajari kita bahwa hingga sebuah pohon mangga menghasilkan buah mangga yang manis, membutuhkan proses yang tidak sebentar. Petani di sawah hanya bertugas menanam benih padi, kemudian menikmati proses merawat tanaman padi yang tumbuh, sementara kepastian untuk panen bukan hak mereka untuk menentukan.

Dan kita tidak pernah mau belajar untuk menikmati proses, kesiapan kita selama ini hanyalah kesiapan mental untuk panen. Kita sama sekali tidak memiliki kesiapan mental untuk menanam, kemudian merawat tumbuhan yang kita tanam di ladang kita sendiri. Kita tidak siap untuk berlelah-lelah menyiangi benih-benih dan merawat tanaman yang sedang tumbuh. Kita ini adalah masyarakat dengan peradaban instan.