MENJAWAB ZAMAN

Reportase Juguran Syafaat September 2015

Juguran Syafaat malam itu diawali dengan membaca Yassin berjamaah untuk ayahanda Agus Sukoco, penggiat Juguran Syafaat, yang wafat seminggu sebelumnya. Sesi awal dipandu oleh Kukuh dan Karyanto. Jamaah yang hadir terlihat semakin beragam, ada yang berasal dari Cilacap, Purbalingga, Kebumen hingga Banjarnegara. Sesi awal diselingi dengan nomor selawatan Shalallahu Rabbuna oleh Ki Ageng Juguran.

Mengangkat judul Menjawab Zaman, tema Juguran Syafaat edisi bulan September 2015 direspon oleh Rizky dengan penyampaian bahwa rumus-rumus yang digunakan untuk menjawab zaman tidak bisa menggunakan rumus 10 tahun lalu. Semakin kita mendapat ilmu maka pertanyaan zaman juga semakin bertambah. Dalam proses menjawab zaman, menurutnya ada dua poin penting untuk bekal, yaitu potensi diri dan istiqomah.

Titut Edi lebih menyoroti kondisi pasar tradisional yang mulai luntur karena banyaknya minimarket dan internet, ia mengibaratkan dengan sanepa Pasar Ilang Kumandange. Ia juga menyampaikan sanepa Kali Ilang Kedunge yang diartikan: pejabat hilang kewibawaannya, bangsa yang hilang rasa percaya dirinya.

LIMITASI PENGGAMBARAN

Juguran Syafaat malam itu dihadiri oleh teman-teman Letto dari Yogyakarta. Hadir antara lain Sabrang Mowo Damar Panuluh, Patub, Dhedot, dan kru Letto. Kusworo dan Rizky mengambil peran moderator dengan menyapa dan memperkenalkan Letto. Menurut Kusworo, apa yang dilakukan oleh Sabrang adalah upaya menjawab zaman, yaitu karyanya melalui musik (Letto) dan juga beberapa film seperti Minggu Pagi di Victoria Park, Rayya Cahaya diatas Cahaya, dan terakhir Tjokro Guru Bangsa.

Sabrang menyambung sapaan dengan menyampaikan kebahagiaannya bisa datang ke Juguran Syafaat, dan menganggap kedatangannya bukan acara kunjungan melainkan silaturahmi persaudaraan. Persambungan persaudaraan dipererat dengan sebuah nomor musik yang dibawakan akustik dengan judul Ruang Rindu. Sedulur yang hadir terlihat bahagia.

Sabrang bercerita mengenai storytelling yang menjadi awal mula ketertarikannya dengan pembuatan film, bagaimana teknik menyampaikan nilai-nilai dalam bentuk sebuah cerita.

“Prinsip yang kita pegang —baik di Letto maupun di film— adalah kita tidak berkata-kata, tidak berkarya jika tidak punya alasan. Tidak ada misi besar-besar tapi paling tidak ada yang menghalalkan untuk berkarya. Jadi, karya itu bukan urusan saya, bukan urusan narsis, bukan untuk ekspresi, tapi urusan konten dan isi yang tadi kita bicarakan,” ujar Sabrang yang kemudian disambung dengan cerita proses pembuatan beberapa film yang digarapnya, juga pesan-pesan apa yang terkandung didalamnya.

Diskusi menghangat, Doni dari Banyumas menanyakan tentang pengaruh musik terhadap dunia modern dan menanyakan apakah Sabrang memiliki beban moral untuk harus bisa melebihi kehebatan orangtuanya.

Sabrang langsung merespon, dalam pandangannya musik adalah noise yang teratur. Apa yang ada di alam bisa dikategorikan sebagai musik, seperti bambu yang berkerat, air mengalir dan degup jantung yang teratur. Musik bukan sebagai alat provokasi tapi bagian dari alam semesta. Musik bukan apa yang kita dengarkan, tapi apa yang ditemukan telinga.

“Musik tidak harus dari manusia, juga bisa dari alam. Musik tidak lahir dari manusia, tapi dipantik oleh manusia. Musik tidak selalu membawa orang ke suasana provokasi, jangan lupa Sidarta Gautama terinspirasi dari pemetik gitar yang ada didepannya. Jadi bukan musiknya yang membuat provokasi, tapi lemahnya pikiran yang membuat mudah diprovokasi,” ujar Sabrang.

Merespon pertanyaan kedua, Sabrang menuturkan bahwa dalam hidup ada dua term, ada personalitas ada identitas. Personalitas adalah apa yang ada dalam diri kita yang tidak bisa kita pilih dan didapat dari lahir. Contohnya rambut kriting, orang tua, tinggi rendah tubuh, dan lain sebagainya. Identitas adalah yang sebaliknya. “Jadi kalau ada orang membanggakan personalitas, itu tidak masuk akal bagi saya. Kamu bangga kalau kamu tampan, lho kamu kan tidak ikut menyumbang apapun. Apa yang kamu banggakan disitu? Itu kan urusan kebetulan saja,“ ucap Sabrang.

“Hebat itu apa, Mas? Bahwa dia didengarkan oleh orang banyak? Hitler juga didengarkan orang banyak. Bahwa ketika mati dia antar orang banyak, itu orang hebat? Kanjeng Nabi hanya enam orang yang mengurus wafatnya. Jadi, definisi hebat itu saya nggak tahu. Semua orang menemukan dirinya. Dia tahu personalitasnya dari lahir, kemudian dia mengetahui identitasnya. Identitas adalah kumpulan kepercayaan terhadap dirinya,“ tambah Sabrang.

Menurut Sabrang, orang yang bisa menemukan dirinya sendiri akan lebih besar daripada identitasnya maupun personalitasnya. Beberapa orang yang menganggap beban atas orangtuanya, itu dikarenakan menyerap identitas tanpa sadar. Sabrang menuturkan bahwa tidak ada orang yang bisa menjalani perjalanan orang lain. Sehebat-hebatnya anaknya Michael Jackson ingin seperti bapaknya, pasti hanya menjadi Michael Jackson KW.

“Betapa jarak kita begitu jauh dari kebenaran, sampai di Quran kita selalu minta: tunjukilah kami jalan yang benar.”
Sabrang MDP, Juguran Syafaat (Sep, 2015)

Sabrang menganalogikan ada dua orang yang menggambar gajah dari arah yang berbeda. Maka dua-duanya memiliki muatan kebenaran atas gambar gajah, meskipun gambarnya berbeda. Orang bodoh adalah orang yang tidak mau melihat gambar temannya, karena kalau dia hanya bisa melihat gambarnya sendiri, maka hanya melihat gajah dari satu sisi. Kalau dia bersedia melihat gambar temannya, dia akan bisa melihat lengkap gambar gajahnya. Dan itulah kebenaran dan ilmu yang sejati.

“Anak yang benar pendidikannya, akan melihat bapak ibunya hebat, akan melihat kucing di rumahnya hebat, karena dia menemukan ilmu dari itu semua. Ilmu adalah dari dirinya yang lihat, bukan dari faktnya. Karena melalui satu fakta kita bisa mengambil ratusan ilmu.

“Hidup ini bukan satu rumah tujuh kamar, tapi satu rumah dengan tujuh pintu. Kamu mau masuk pintu fisika, matematika, ilmu sosial. Kalau kamu sudah masuk rumah, semua ilmu berhubungan. Jangan dipikir musik tidak ada hubungannya dengan fisika, musik itu gelombang yang berjalan di udara untuk masuk ke telinga. Tutup botol dengan lauful mahfuz itu juga nyambung. Masalahnya yang kita cari adalah sambungannya. Bahwa kepastian mereka bersambung, itu pasti,” tambah Sabrang.

Sabrang menyampaikan bahwa tidak ada benar atau salah dalam hidup. Karena yang menurut kita benar, itu suatu saat pasti salah, kalau kita menemukan benar yang lebih presisi. Yang kita anggap salah, pasti akan benar kalau kita mengetahui jarak pandangnya, resolusi pandang, sudut pandangnya, cara pandangnya.

“Dalam analogi gambar gajah, yang kita cari bukan mana yang paling benar, tapi kelengkapan kebenaran itu. Dari sudut pandang yang banyak, dari resolusi yang macam-macam, dari cara pandang yang macam-macam kita kumpulkan. Kita akan punya kelengkapan kebenaran gambar gajah. Itu pun masih limit. Selengkap-lengkapnya kita lihat gambar gajah, itu bukan gajah lho. Kita tidak menyentuh kebenaran gajah itu. Itu hanya potret tentang gambar gajah. Betapa jarak kita begitu jauh dari kebenaran, sampai di Quran kita selalu minta: tunjukilah kami jalan yang benar,“ terang Sabrang.

“Musik tidak harus dari manusia, juga bisa dari alam. Musik tidak lahir dari manusia, tapi dipantik oleh manusia.”
Sabrang MDP, Juguran Syafaat (Sep, 2015)

juguran syafaat

BERGERAK MENJAWAB ZAMAN

Agus Sukoco ikut urun pertanyaan kepada Sabrang, “Apa kita bisa merubah takdir, apa takdir sudah merupakan bentuk kepastian?” Sabrang menganalogikan dengan video game sepakbola, dimana kita bebas menentukan siapa musuhnya, siapa saja pemainnya, bola ditendang ke arah mana, tapi tidak bisa mengeluarkan bola dari televisi. Karena ini sudah ditentukan, semua yang ada dalam video game tersebut sudah tertulis dalam bahasa pemrograman. Kalau tidak ditulis maka tidak mungkin terjadi.

“Tuhan sudah menuliskan semuanya, salah satu tulisannya disebut dengan hukum alam. Jadi ada kemungkinan posibilitas yang tidak bisa kamu lewati karena sudah ada peraturannya tertulis jelas,” jawab Sabrang. Free will atau kebebasan memilih menurut Sabrang bukan ketika mengantuk kita memilih makan, itu adalah hubungan sebab akibat. Free will adalah kebebasan kita memilih cara pandang dan ilmu terhadap fakta yang terjadi.

Kesempatan berikutnya, Rizky menanyakan bahwa begitu banyak gerakan-gerakan anak muda yang semua tujuannya kepada kebaikan, lalu bagaimana kita bisa memilih mana yang paling tepat dan relevan untuk zaman sekarang. Menjawab itu, Sabrang sampaikan bahwa semua gerakan tersebut akan dibuktikan oleh waktu, sama seperti Cokroaminoto yang melahirkan anak-anak muda pekerja sejarah. Kalau kita berjuang dengan target hasil maka kita akan menerima kekecewaan.

“Kalau kamu mau mencapai tujuan, kamu konsentrasi pada apa yang bisa kamu kontrol pada dirimu sendiri. Kalau konsentrasi pada dirimu sendiri, kamu tahu bagaimana membawa diri, bagaimana menjadi dirimu. Dalam berjuang, kita percaya jalan yang kita pilih, urusan yang menjadikan itu urusan Tuhan,” tambahnya.

Menurut Sabrang, membantu orang lain itu bukan apa yang ingin kita bantu, tapi sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh yang kita bantu. Memahami limitasi adalah hal yang paling berat dalam hidup kita. “Setiap zaman ada jawabannya sendiri. Kamu jangan mereplikasi apa yang sudah ada. Kalau kita sekarang melihat zamannya seperti apa. Apakah masih efektif berjuang dengan demo? Kita harus mempelajari medan perangnya. Maka kita baru bisa menjawabnya dengan tepat. Bukan berhasil atau tidak berhasil, yang kita wajib adalah menjawab zaman, bukan menjawab dengan benar,” Sabrang melanjutkan, “Maiyah memang belum memantik akan melakukan apa. Tapi kita berbicara kesadaran dulu. Kita tahu dahulu, benar dalam memperlakukan benar atau salah, benar dalam memperlakukan ilmu, benar dalam memperlakukan diri. Kalau itu sudah aman, baru kita masuk ke gerakan. Tunggu saja waktunya.”

Diskusi berlanjut, sekarang yang dianggap kongkrit adalah yang heroik perjuangannya, sedang kita ini seperti dongkrak yang menunggu ban bocor, yang kita perjuangkan adalah jangan sampai dongkrak menjadi berkarat. Dalam pandangan lain, Kusworo menyambung dengan pertanyaan zaman yang terjadi pada saat Cokroaminoto dan Mbah Kholil pada saat itu dan relevansinya pada saat ini

Menurut Sabrang, yang harus kita lakukan adalah bukan mencontoh mentah-mentah cara perjuangan mereka, tapi kerangka berpikir mereka. Ibarat data, kita bukan men-download datanya, karena dengan itu masih ada kemungkinan corrupt, tapi download lah software-nya, karena itu bisa kita gunakan untuk mengolah data apapun.

Menjeda diskusi, Ki Ageng Juguran membawakan lagu Menjemput Janji, disambung dengan nomor akustik dari Letto yaitu Senyumanmu dan Sandaran Hati.

“Maiyah memang belum memantik melakukan apa, kita berbicara kesadaran dulu. Kita tahu dahulu, benar dalam memperlakukan ‘benar salah’, benar dalam memperlakukan ilmu, benar dalam memperlakukan diri. Kalau itu sudah aman, baru kita masuk ke gerakan.”
Sabrang MDP, Juguran Syafaat (Sep, 2015)

juguran syafaat

MENEMANI KELAHIRAN KEDUA

Lewat tengah malam, forum diskusi masih hangat dan ramai. Kultur forum-forum maiyah memang telah terbiasa dengan pembahasan yang multidimensi, bahwa setiap orang dapat belajar pada siapapun tentang apapun. Tidak heran jika malam itu Sabrang tidak hanya merespon pertanyaan-pertanyaan tentang seni, agama, filsafat serta gerakan sosial, bahkan hingga pola asuh anak. Diskusi selanjutnya beralih tentang bagaimana cara yang tepat sebagai orang tua untuk mengantar anak dalam menemukan kedewasaan sosial dan mengenal perjanjian dengan Tuhannya.

Sabrang merespon, “Kenapa anak diturunkan ke bumi melalui kita? Hal itu karena memang mereka membutuhkan kita. Membutuhkan pengalaman kita untuk menjadi dirinya sendiri. Dia spesifik menjadi anak kita, karena dia butuh pengetahuan dari kita. Yang harus kita lakukan dalam mendidik anak adalah memberikan limit pengetahuan dan pemahaman yang kita ketahui.” Sabrang menegaskan bahwa setiap diri mendapatkan tugas untuk masyarakatnya, tapi yang lebih penting adalah memahami dulu diri kita. Mendidik anak adalah dengan membebaskannya.

“Bagaimana membebaskannya, adalah dengan pengetahuan kita. Dia tahu pilihan, dia tahu limitasi, dia tahu identitas kita. Maka dia akan punya identitasnya sendiri. Manusia akan lahir dua kali, kelahiran pertama adalah kelahiran saat kita lupa saat kelahiran. Kelahiran kedua adalah ketika lahir kembali dengan pilihan lahir kita sendiri, disitulah terlihat tugasnya terhadap masyarakat. Yang bisa orang tua lakukan adalah merefleksikan perjalanannya, bukan memaksakan perjalanannya. Menjadi salah satu referensi yang dipercaya anaknya. Bukan menghukum,” ucap Sabrang.

Beberapa pertanyaan kembali ditujukan ke Sabrang malam itu, seperti Titut yang menanyakan mengapa manusia diciptakan berbeda-beda. Sabrang menjawab bahwa manusia diciptakan bisa berbeda-beda itu karena evolusi bertahan masing-masing, sehingga menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang ada. Imron dari Purbalingga, menanyakan tentang limitasi kita dalam menjawab zaman. Dan Togar dari Purwokerto menanyakan tentang cara pandang yang berbeda-beda.

Sabrang kembali menegaskan bahwa semua yang berkumpul malam itu bukan untuk mencari kesalahan, “Kita bisa mencari kesalahan dari Quran hingga Tuhan, tapi apa gunanya mencari kesalahan. Harapan kita mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar.”

“Manusia akan lahir dua kali, kelahiran pertama adalah kelahiran saat kita lupa saat kelahiran. Kelahiran kedua adalah ketika lahir kembali dengan pilihan lahir kita sendiri, disitulah terlihat tugasnya terhadap masyarakat.”
Sabrang MDP, Juguran Syafaat (Sep, 2015)

Dalam diskusi, Sabrang juga menjelaskan kalau limit pengetahuan kita sudah luas, sudah tahu pertanyaannya apa, berarti kita punya kemampuan disitu. Kalau kita masih bingung tentang masalah ini bagaimana, berarti bukan tugas kita menjawabnya. Sebelum memberesi negara menjadi presiden jadi gubernur dulu, sebelum menajdi gubernur jadilah camat dulu, sebelum jadi camat jadi lurah dulu, sebelum itu jadilah kepala keluarga dan benahi dalam dirimu sendiri. Sabrang menambahi bahwa kita ini masih kalah dengan nafsu namun sudah bercita-cita memberesi negara.

Anggit dari Purwokerto dengan latar belakang pelaku penjualan saham menyampaikan beberapa informasi terkait dengan kondisi ekonomi global yang sekarang ini. Dedi dari Purwokerto menanyakan kenapa Sabrang bisa mencipta lirik untuk Letto dengan begitu indah. Disambung juga Nurul dari Jakarta yang menanyakan tentang partikel Tuhan.

Sabrang menjelaskan sedikit tentang asal usul penamaan partikel Tuhan atau Higgs Bosson yang merupakan marketing dalam dunia ilmu fisika. Menjawab Dedi, Sabrang mengatakan, misi utamanya dalam bermusik adalah menyampaikan apa yang dia pahami dengan cara yang bisa diterima oleh masyarakat.

Rizky menutup sesi diskusi dengan menyerahkan kesimpulan diskusi pada diri sendiri karena masing-masing memiliki proyeksi sendiri. Ki Ageng Juguran memungkasi acara pukul 02.45 dengan nomor Sholawat Badar.