Menjadi Manusia Universitas, Bukan Sekadar Manusia Fakultas

LAZIMNYA orang belajar itu ada gurunya, kemudian ada bangku atau kursi, kemudian meja yang digunakan untuk alas menulis, lantas para peserta didik membawa buku dan bolpoint untuk menulis hal-hal yang perlu untuk ditulis dari apa yang dipaparkan oleh pengajar. Orang modern beranggapan bahwa belajar itu sama dengan sekolah. Tapi itu tidak berlaku di Maiyahan. Seperti yang berlangsung di Kenduri Cinta edisi Desember jumat (21/12) lalu. Maiyahan adalah sebuah laboratorium Sinau Bareng yang mengandalkan praktek langsung, atau setidaknya setiap jamaah diajak untuk melakukan simulasi secara langsung. Seperti dalam khasanah jawa kita mengenal istilah Ngelmu iku kelakone nganti laku.

Kegembiraan Kenduri Cinta edisi Desember 2018, dengan mengangkat tema “WARAS-ATUL ANBIYA” menjadi sempurna dengan kehadiran KiaiKanjeng. Sebagai catatan, KiaiKanjeng di tahun 2018 ini mengawali perjalanannya di Kenduri Cinta edisi Januari 2018, dalam tema “AMENANGI ZAMAN NOW”, yang saat itu secara khusus Cak Nun menyusun naskah fragmen “AMENANGI ZAMAN NOW” yang dipentaskan khusus hanya di Kenduri Cinta. Rangkaian perjalanan KiaiKanjeng di tahun 2018 dipungkasi di Kenduri Cinta sekaligus menggenapi pementasan ke-4040.

Lagu “Fix You” yang dikombinasikan dengan sebuah nomor langgam jawa “Eling-eling sliro menungso” menjadi nomor pembuka yang dibawakan oleh KiaiKanjeng. Sinau Bareng menjadi arena untuk perbaikan bersama, perbaikan apa saja, baik mental, spiritual, akademis dan lain sebagainya. Formula yang selama ini dipakemkan di Maiyahan adalah bagaimana setiap individu secara genuine menemukan kejernihan intisari dari ilmu yang didapatan, sehingga kemudian juga kemurnian ilmu itu sendiri ketika ditransformasikan menjadi sebuah kebenaran juga bukan merupakan barang jadi yang saklek harus diyakini bersama-sama, namun setiap masing-masing jamaah memiliki kedaulatan untuk menemukan sendiri kebenaran.

Ketika dunia modern menyempitkan belajar hanya menjadi pekerjaan otak saja, Maiyahan membuka tawaran untuk kembali kepada masa silam bagaimana leluhur kita dahulu memproses ilmu bukan hanya terfokus pada akal dan pikiran saja, namun juga bagaimana melibatkan hati, nurani, bahkan darah dan tubuh juga mengalami proses keberlangsungan transformasi ilmu. Pada faktanya, manusia tidak mungkin hanya mengandalkan akal dan pikirannya semata untuk belajar, tetapi juga membutuhkan hati untuk memproses ilmu yang diterima menjadi manfaat bagi semua makhluk ciptaan Allah.

Salah satu personel KiaiKanjeng adalah seorang aktor teater gaek, yang sudah berkali-kali memerankan tokoh utama dari naskah-naskah yang ditulis oleh Cak Nun. Pak Joko Kamto, selain piawai memainkan alat musik demung, dalam beberapa drama teater memerankan tokoh utama seperti Ruwat Sengkolo dalam Nabi Darurat Rasul Ad-Hoc dan Smarabhumi dalam Tikungan Iblis. Kepiawaian Pak Joko Kamto sebagai aktor teater tidak diragukan lagi. Malam itu, di Kenduri Cinta setelah Cak Nun meminta 15 perwakilan dari jamaah untuk maju ke bagian depan panggung yang memang sejak awal sudah ditata sebagai arena workshop, Pak Joko Kamto mendampingi Cak Nun untuk bertindak sebagai mentor dalam workshop itu. “Berani untuk malu”, itulah tema workshop pertama malam itu.

Pak Joko kemudian meminta ke-15 peserta workshop itu untuk menirukan segala gerak-gerik, mulai dari gerak mata, mulut, raut wajah, leher, tangan, kaki dan suara. Jamaah lain yang tidak menjadi pelaku utama workshop menjadi dewan juri untuk menilai bagaima para peserta workshop menirukan apa yang dilakukan oleh Pak Joko Kamto. Setelahnya, para peserta workshop diminta oleh Pak Joko untuk menirukan suara binatang dan gerakannya, pada tahap akhir workshop sesi pertama ini, para peserta kemudian diminta untuk menampilkan ekspresi dari perasaan apa saja yang terlintas di pikiran mereka. Dan terakhir, mereka diminta untuk memilih benda apa saja yang terlintas di pikiran mereka untuk kemudian mereka perankan melalui lekuk tubuh mereka.

Mungkin terlihat sederhana, namun sebenarnya workshop kali ini adalah workshop tentang bagaimana mengasah otak untuk berimajinasi dalam waktu singkat. Salah satu manfaat dari workshop ini adalah bagaimana setiap dari peserta memiliki kepekaan untuk selalu stand by menghadapi situasi dan kondisi apa saja yang mereka alami. Karena dalam hidup kita akan selalu mengalami kejutan-kejutan yang tentunya tidak kita rencanakan. Kejutan itu bisa saja membahagiakan, bisa juga menyedihkan.

“Kebahagiaan itu sangat sederhana, Anda menikmati kehidupan maka Anda bahagia. Orang sekarang begitu sukarnya menemukan kebahagiaan, sehingga berjuang menemukan kebahagiaan yang berada di luar dirinya”, Cak Nun turut merespons setelah menyaksikan bagaimana para peserta workshop tadi menampilkan ekspresi demi ekspresi.

Apa yang ditampilkan oleh 15 peserta workshop malam itu membangun kemesraan tersendiri di Kenduri Cinta. Semua tidak hanya tertawa melihat tingkah laku mereka, namun juga belajar memaknai setiap peristiwa. Hidup tidak selalu berlaku seperti yang kita inginkan, sehingga kita harus selalu siap terhadap segala kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Dari workshop sederhana itu, kita belajar bagaiman menyikapi kejutan demi kejutan yang selalu kita alami dalam kehidupan kita sehari-hari.

KiaiKanjeng kemudian membawakan nomor “Man Paman” dan “Tembang Setan”. Dua nomor yang dimaksudkan untuk merangsang jamaah untuk mengolah pikir dari syair demi syair yang dilantunkan. Dalam lagu “Man Paman” misalnya, bagaimana seorang perempuan berjuang mencari popok bayi yang ia cari, bertanya ke semua orang yang ia temui di sungai, hingga akhirnya ia bertemu dengan orang yang mengetahui keberadaan popok tersebut, namun untuk diberikan kembali ada syarat yang harus dipenuhi. Popok ibarat pakaian, bagaimana manusia terjaga martabatnya utamanya ada pada pakaian yang ia kenakan, maka dalam khasanah jawa pun ada istilah sandang, pangan dan papan. Sandang berada di urutan pertama, karena lebih baik tidak bisa makan dan tidak punya rumah, asalkan masih punya pakaian untuk menjaga martabat dalam dirinya.

Cak Nun menjelaskan bahwa kecenderungan manusia modern hari ini adalah begitu canggih melakukan inovasi demi inovasi, namun tidak cakap berhubungan dengan Tuhan, sementara ada orang yang sangat dekat dengan Tuhan, namun tidak mampu mendayagunakan akal dan pikirannya untuk melahirkan inovasi. Maka di Maiyahan salah satu yang kita pelajari adalah tentang keseimbangan, bahwa hidup itu membutuhkan dua sisi yang saling melengkapi. Dunia bukan tujuan, namun dunia juga dibutuhkan oleh manusia sebagai salah satu media menuju akhirat. Sementara akhirat adalah tujuan akhir dari perjalanan hidup manusia, dimana manusia akan kekal abadi di dalamnya. Empan-papan, bagaimana kita sebagai khalifatullah juga memiliki kewajiban untuk mampu meletakkan proporsi yang tepat dari kesemuanya.

MALAM ITU di Kenduri Cinta, hadir juga Mas Ian L. Bets yang mengenal Cak Nun di saat masa-masa Reformasi bergulir. Menurut Mas Ian, kebebasan berpendapat yang kita rasakan hari ini merupakan salah satu hasil dari apa yang diperjuangkan oleh Cak Nun di bulan Mei 1998. Namun, seperti yang kita ketahui bersama, Cak Nun kemudian menjadi sosok yang disingkirkan, dan dampaknya yang kita rasakan bersama adalah Maiyah menjadi jalan sunyi, yang sama sekali tidak laku di media massa yang selama ini mengagung-agungkan kebebasan berpendapat. Mas Ian sendiri mengenal Kenduri Cinta sejak tahun 2004, namun demikian meskipun hari ini karena kesibukan tugas tidak selalu bisa hadir di Kenduri Cinta, namun Mas Ian mendapati bahwa apa yang dibawa oleh Cak Nun di Maiyah menunjukkan betapa konsistennya nilai-nilai Maiyah dibawa dan diperjuangkan.

Maiyah memiliki tempat tersendiri di hati Mas Ian. Bulan depan, ia genap 25 tahun memeluk Islam, dan ia sendiri mengakui bahwa ada ikatan batin yang kuat antara dirinya dengan Maiyah. Maka, dalam beberapa kesempatan, ia diundang untuk berbicara tentang Islam di beberapa kampus ternama di Inggris, Mas Ian pun selalu memperkenalkan Maiyah kepada para audiens yang hadir di simposium itu.

Seperti tahun ini, Mas Ian diundang untuk berbicara di Cranfield Univeristy, dengan beberapa slide dan foto-foto Maiyahan, Mas Ian menceritakan peran Maiyah dalam menjaga kebersamaan di Indonesia. Tentu kita masih ingat ketika Cak Nun bersama Ibu Novia dan juga KiaiKanjeng diundang ke Belanda selama 2 minggu untuk turut meredakan ketegangan hubungan antar umat beragama ketika sebuah film dokumenter berjudul Fitna beredar luas saat itu. Cak Nun bersama KiaiKajeng hadir di Masjid, Gereja, bahkan di Synangog bertemu dengan tokoh Yahudi disana untuk membicarakan komitmen menjaga kebersamaan antar umat beragama.

Maiyah menurut Mas Ian bukan hanya sebuah teori akademis semata, namun lebih dari itu. Maiyah sudah sangat aktual dan nyata dalam menerapkan nilai-nilai kehidupan yang dibawa. Melalui Maiyahan seperti yang kita alami di Kenduri Cinta, kita mencari cinta kemudian menebarkan cinta kepada sesama manusia.

Sedikit menanggapi PILPRES, Cak Nun menyitir paparan Sabrang dalam Mocopat Syafaat beberapa hari sebelumnya, bahwa PILPRES itu diibaratkan seperti kita hendak menuju suatu kota yang sudah pasti dengan menggunakan Bus. Ketika kita sampai di terminal, kita naik Bus tanpa kita mengenal siapa supirnya, yang kita pastikan adalah bahwa Bus yang kita tumpangi itu menuju ke tujuan yang kita rencanakan. Begitu juga dengan PILPRES, seharusnya yang diperbincangkan, yang didiskusikan, yang dibahas sebagai diskursus bersama adalah bagaimana calon supir Bus Indonesia ini akan membawa Indonesia setidaknya dalam 5 tahun mendatang, yang juga secara langsung mencanangkan rencana jangka panjang Indonesia, sehingga ketika nanti tiba pada PILPRES selanjutnya, Presiden yang terpilih juga melanjutkan rencana yang sudah dicanangkan oleh Presiden sebelumnya.

Ke-15 peserta workshop yang masih duduk di depan panggung, setelah sebelumnya dibagi menjadi 3 kelompok, kemudian diberi tugas oleh Cak Nun untuk menjawab beberapa pertanyaan yang sudah disiapkan dalam sebuah lembaran kertas. Mereka kemudian diminta untuk mencari tempat di sekitar area Taman Ismail Marzuki untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Dari workshop yang dilakukan malam itu, sebenarnya bukan hanya 15 peserta yang ada di depan saja yang belajar, namun juga semua jamaah yang hadir belajar bagaimana menjadi manusia universitas, bukan manusia fakultas. Karena dalam hidup ini, manusia harus siap dengan segala kemungkinan-kemungkinan. Di Maiyahan kita mempraktekkan bagaimana kita selalu siap untuk mendengar apapun saja, baik yang kita sukai maupun yang tidak kita sukai. Sementara kecenderungan yang terjadi di tengah masyarakat kita hari ini adalah hanya mendengar, melihat, memperhatikan sesuatu yang disukai saja.

Cak Nun menegasakan kembali malam itu, bahwa apapun saja yang kita lakukan harus tetap memiliki sambungan yang kuat kepada Allah. Apapun saja kegembiraan, kesedihan, penderitaan, kebahagiaan yang kita alami, jangan sampai tidak ada benang merah yang tersambung dengan Allah.

Melengkapi Sinau Bareng malam itu, Syeikh Nursamad Kamba turut menyampaikan bahwa salah satu ajaran Nabi Muhammad SAW adalah membebaskan diri dari ego dalam diri masing-masing. Semakin hari, kehidupan orang beragama semakin justru menjauhkan diri dari kehidupan yang bertuhan, karena agama hari ini lebih banyak dikonsepkan, lebih banyak diinstitusikan. Konsep-konsep beragama dipatenkan, kemudian dipaksakan kepada ummat manusia untuk ditaati, padahal esensi dari beragama itu sendiri bukan dalam ranah konsep, melainkan bagaimana manusia mampu menemukan Tuhan dengan caranya masing-masing, karena bertemunya hamba dengan Tuhan tidak mungkin seragam caranya. Adanya sholat bukan dalam rangka penyeragaman, melainkan sebagai salah satu media bagaimana manusia mampu berproses menuju Tuhan.

Kegembiraan Kenduri Cinta malam itu begitu lengkap, menjelang usainya Maiyahan, Sudjiwo Tedjo turut bergabung, kemudian bersama KiaiKanjeng membawakan salah satu lagu ciptaannya. Kembali kita menyaksikan betapa piawainya KiaiKanjeng mengiringi lagu orang lain, yang bahkan sama sekali belum pernah dibawakan, seperti malam itu, Sudjiwo Tedjo hanya menyebut satu nada awal, KiaiKanjeng mampu mengiringi lagu karyanya dan dibawakan dengan apik, dan Sudjiwo Tedjo mengakui bahwa KiaiKanjeng memang dalam dunia musik merupakan salah satu grup musik yang luar biasa karena dengan apik mampu mengiringi lagu yang dibawakan secara spontan.

Melalui peristiwa sekilas yang diperlihatkan oleh KiaiKanjeng ini saja kita semua belajar bahwa dalam ranah musik, KiaiKanjeng selalu bersiap sedia untuk mengiringi lagu apa saja, dan sudah sering kita dengar juga bagaimana Cak Nun dan KiaiKanjeng di setiap briefing sebelum pementasan sudah merencanakan nomor-nomor lagu yang akan dibawakan, namun ketika berada di panggung sangat mungkin berubah 100% dari apa yang direncanakan karena kebutuhan di lapangan berbeda dengan apa yang sudah direncanakan.

Alhamdulillah, malam itu selain KiaiKanjeng menggenapi perjalanan sepanjang tahun 2018 dengan tidak kurang 116 pementasan Maiyahan dan Sinau Bareng di berbagai tempat di Indonesia, Kenduri Cinta juga menggenapi 12 edisi perjalanan sepanjang tahun 2018. Sampai jumpa lagi di tahun 2019.