Mengenal Kenduri Cinta

ULANG TAHUN sweet seventeen Kenduri Cinta pada 16 Juni 2017 kemarin merupakan momen spesial bagi Jamaah Maiyah di Jakarta dan sekitarnya, yang umumnya mereka selalu hadir pada Jum’at kedua setiap bulannya di Taman Ismail Marzuki. Bagi Jamaah Maiyah simpul Kenduri Cinta sendiri sudah merupakan kebahagiaan yang pasti saat acara kesayangan mereka dan tokoh idola mereka tentu akan lebih lama lagi menemani setiap bulannya. Sedangkan bagi Jamaah Maiyah simpul lainnya kebahagiaan timbul karena akan memperpanjang ikatan persaudaraan antar anak-anak dan cucu Simbah Emha Ainun Najib.

Ulang tahun Kenduri Cinta bagi simpul lain, seperti diungkapkan Ali Fathkan dari Gambang Syafaat saat menceritakan kesannya di panggung ulang tahun Kenduri Cinta kemarin, juga merupakan bukti betapa langgengnya Maiyahan, yang berarti kelanggengan bagi setiap simpul Maiyah yang lainnya juga. Dari Kenduri Cinta simpul lain bisa belajar cara kerja kepengurusan, sehingga simpul lain mendapat contoh untuk melanggengkan simpul mereka sama seperti Kenduri Cinta. Selain Gambang Sayafaat, kemarin juga Hilmy dari Juguran Syafaat bahkan mengakui bahwa Juguran Syafaat belajar banyak dari Kenduri Cinta.

Ada yang spesial dalam ulang tahun kali ini, KiaiKanjeng yang lama dirindukan hadir pada kesempatan malam hari itu. Jika saya ingat, ini adalah kali kedua saya menyaksikan penampilan KiaiKanjeng di Kenduri Cinta sejak saya hijrah ke Jakarta pada 2015 lalu. Secara tidak langsung momen tersebut mengingatkan saya kembali saat-saat dimana saya menjadi jamaah Mocopat Syafaat di Yogyakarta sejak akhir tahun 2010 lalu. Momen berharga selama empat tahun mengikuti Mocopat Syafaat, dari waktu ke waktu menguatkan cinta saya pada Simbah kami bersama, dan menumbuhkan cinta pada unsur-unsur Maiyahan seluruhnya.

Saya ingin bercerita sedikit tentang persentuhan saya dengan Maiyah. Proses persentuhan yang saya alami sebenarnya jauh sebelum saya bergabung di ‘dapur’ Kenduri Cinta, yaitu sejak ketika saya mengikuti Mocopat Syafaat. Dulu pada masa awal saya kuliah pada 2009 saya belum mengenal Maiyahan, telinga saya sama sekali tidak pernah mendengar apa itu Maiyahan. Seingat saya, saat itu ketika masih Kuliah di Semester 3, sembari menunggu kuliah saya menemui teman saya, Fafa namanya. Saya lihat dia membawa majalah kecil, sepintas majalah itu menarik perhatian saya, yang kemudian saya tahu majalah itu adalah Buletin Mocopat Syafaat.

Dari buletin Mocopat Syafaat itu saya melihat foto orang yang tidak asing lagi, Emha Ainun Nadjib. “Oh, ada Cak Nun di Jogja?!”, tanya saya. Fafa lantas memberitahukan kalau buletin itu adalah sebaran rutin bulanan di forum pengajian yang diselenggarakan beliau di Kasihan, Bantul.

Meskipun saya tidak mengenal Maiyah, tapi nama Cak Nun saya tahu betul, karena bagi saya erat kaitannya dengan Gusdur. Dulu bapak saya sering cerita kalau beliau sering ikut pengajian Gusdur dan Cak Nun. Bapak saya yang kemudian menularkan saya, hingga kemudian saya tertarik mengikuti pengajian Gus Dur dan Cak Nun.

Saat itu, langsung saja saya meminta Fafa agar diajak ikut pengajian bulanan Cak Nun tersebut. Sejak saat saya mengenal pengajian Cak Nun di Mocopat Syafaat, Kasihan, Bantul. Sesuai ekspektasi yang saya harapkan, Cak Nun menghadirkan pengajian yang segar, mendidik, lucu dan menyenangkan, selain itu juga menyajikan suasana kekhusyukan dalam setiap Maiyahan. Apa yang Cak Nun sampaikan mampu mengisi batin saya akan kerinduan pada Allah dan Rasulullah dengan cara yang berbeda; melalui musik, puisi, dzikir, dan sebagainya. Sungguh saya merasa cocok di Maiyah, walaupun sebelumnya saya sama sekali tidak tertarik dengan yang namanya pengajian. Metode yang beliau gunakan mampu membuka jalan bagi anak-anak muda yang merindukan Tuhannya tapi tidak tahu bagaimana menemukan Tuhan, terbukti dari saya dan mungkin beberapa Jamaah Maiyah pada umumnya juga merasakan hal yang sama.


PADA AWALNYA saya mengikuti Mocopat Syafaat bersama Fafa, setelah beberapa kali akhirnya saya mulai berangkat sendiri bahkan terkadang mengajak dan memperkenalkan pula Mocopat Syafaat pada teman-teman saya yang lainnya. Maiyahan menjadi aktifitas rutin bulanan saya, saya selalu duduk manis menjadi jamaah mengambil posisi terdepan agar langsung dapat memandang wajah Simbah saya. Saya pun menjadi amat mencintai Maiyahan, sampai-sampai Maiyahan pula yang bisa dibilang membawa saya sampai mapan dalam kehidupan saat ini.

Maiyahan membantu saya ketika buntu merencanakan skripsi, keinginan lulus saat itu tidak sebanding dengan kebingungan saya akan menggunakan tema apa untuk Skripsi saya. Hingga pada akhirnya sebuah pertanyaan muncul dalam diri saya; mengapa tidak saya ambil tema skripsi dari hal yang paling saya sukai. Jadilah fix tema skripsi saya bertemakan Maiyah, tentang hubungan sosial dan motivasi di balik jamaah Maiyah mengikuti Mocopat Syafaat. Sungguh mudah saya lalui momok mahasiswa itu; Skripsi. Mengerjakannya pun menjadi salah satu hal menyenangkan saat itu. Informan dalam skripsi saya tidak lain tidak bukan adalah teman-teman saya di Mocopat sendiri. Dari mereka saya gali informasi dan testimoni tentang Maiyahan sambil ngopi, nongkrong dan santai.

Sebagai jamaah bisa dibilang mungkin saya adalah jamaah yang sebenar-benarnya jamaah pada umumnya, dalam artian tidak mengikuti kegiatan internal Mocopat Syafaat sebagai penggiat. Tapi saya dan teman-teman suka aktif mengikuti berbagai acara berkaitan dengan Maiyahan di Rumah Budaya EAN, tidak ketinggalan juga setiap ada Maiyahan di luar forum Mocopat Syafaat di Jogja selalu saya ikuti.

Merupakan saat-saat yang membahagiakan tatkala saya bisa mengikuti Maiyahan lebih dari satu kali dalam satu bulan, kadang sendiri dan kadang bersama teman-teman saya yang begitu menyenangkan. Teman-teman akrab saya juga aktif bersama saya sebagai jamaah mengikuti Maiyahan. Sungguh berkah luar biasa saya rasakan, studi saya menjadi lebih mudah, teman-teman yang menyenangkan dan batin saya menjadi merasa lebih dekat dengan Allah.

Setelah lulus kuliah, saya dituntut oleh lingkungan untuk bekerja, setengah mati saya mencari kerja di Yogyakarta agar saya tidak berpisah dengan Mocopat Syafaat, namun satu tahun sudah berlalu dan saya masih menganggur juga. Sampai akhirnya saya harus mengikhlaskan diri untuk berpisah dengan Mocopat Syafaat karena saya diterima bekerja di sebuah Isntansi Pemerintahan, tetapi penempatan kerja saya di Jakarta. Berat hati saya, sampai akhirnya ikhlas saja toh di Jakarta ada simpul Maiyahan juga; Kenduri Cinta. Kekhawatiran kalau saya akan sering galau di Jakarta karena tidak memperoleh pasokan energi dari Maiyahan gugur seketika.

Terbiasa dengan Maiyahan, sesampainya di Jakarta saya langsung mencari dimanakah Kenduri Cinta berada, dan mudah saja saya menemukannya; di Taman Ismail Marzuki. Beberapa kali saya mengikuti Kenduri Cinta memang mengobati rasa kangen saya. Tapi saya tetap merasa ada yang kurang, saya sadari ternyata saya juga rindu teman-teman sesama pecinta Maiyahan. Saya pun mengontak teman saya seorang penggiat di Jogja agar dikenalkan penggiat Kenduri Cinta di Jakarta. Darinya saya peroleh nomor Mas Gandhie dan Mas Ibrahim. Langsung saja saya mengontak mereka berdua, sampai akhirnya diajak untuk mengikuti forum reboan.

Motivasi saya pribadi dalam Maiyahan seperti halnya mungkin jamaah yang lain ialah Cak Nun. Entah mengapa magnet beliau begitu kuat. Pernah suatu ketika di Rumah Budaya EAN di Kadipiro saya melihat beliau sedang ngobrol-ngobrol santai bersama personel KiaiKanjeng. Sedang saya di halaman perpustakaan EAN bersama teman-teman. Karena suatu hal saya harus melintas disekitar beliau mengobrol, dan hanya melintas saja saya sudah merasa sangat gugup dan berkeringat, tidak tahu kenapa. Dalam kebersamaan dengan penggiat Kenduri Cinta beberapa kali saya diberi kesempatan bertemu langsung dengan beliau, tapi kesan itu tetap tidak berubah, tetap gugup.

Sudah hampir dua tahun ini saya bergabung dengan penggiat Kenduri Cinta. Banyak kesan yang saya dapatkan saat saya bergabung jadi penggiat. Banyak diantaranya, ternyata menjadi penggiat itu tidak seperti menjadi jamaah pada umumnya. Para penggiat, termasuk saya diwajibkan melakukan tugas ini itu demi kelancaran acara rutin bulanan, apalagi jika Kenduri Cinta mengadakan event besar seperti 17 Tahun Kenduri Cinta kemarin. Resikonya, menjadi penggiat itu tidak boleh terlalu larut dalam jalannya acara, karena akan berakibat pada kelalaian tugas masing-masing yang sudah disepakati bersama di Forum Reboan.

Banyak pula para penggiat yang bahkan tidak tahu-menahu materi apa yang disampaikan, dibicarakan dan didiskusikan di panggung. Beberapa penggiat hanya fokus mengurusi masalah teknis jalannya acara. Tapi saya sendiri merasakan bahwa hal itu tidak masalah, banyak sisi menyenangkan yang dirasakan para penggiat, yang belum tentu didapatkan jamaah pada umumnya. Walau tidak bisa fokus saat Maiyahan berlangsung, tapi sebagai penggiat memiliki kesan dan pengalaman lebih. Seperti saat Reboan misalnya, secara tentative kami berkunjung kerumah senior-senior Maiyah dan terkadang bisa bertatap muka dan mengobrol dengan Cak Nun langsung dalam forum tersebut.

Kenduri Cinta adalah aktifitas menyenangkan bagi saya. Alhamdulillah, saya bersykur karena Cak Nun sering hadir di Kenduri Cinta seperti halnya di Mocopat Syafaat, di Kasihan, Bantul. Jadi saya bersyukur sekali dengan persentuhan saya dengan Kenduri Cinta di Jakarta ini. Sebagai penggiat saya akui partisipasi saya masih jauh sekali dari maksimal, banyak pekerjaan penggiat yang rupanya tidak mampu saya tuntaskan. Manajemen waktu saya kurang baik, masih sulit membagi dan meluangkan waktu bekerja sebagai pegawai kantor dengan sebagai penggiat Kenduri Cinta. Itu problem saya sendiri, teman-teman penggiat lain sebenarnya sama halnya dengan saya, harus bekerja di kantornya dan menjadi penggiat Kenduri Cinta, tapi mereka mampu membagi waktu dan berkontribusi maksimal diKenduri Cinta. Saya pikir pasti saya juga mampu, hingga saat ini saya akan berusaha melaksanakan tugas saya sebagai penggiat Kenduri Cinta semaksimal mungkin. Bismillah..