Menemukan Cinta, di Jantung Ibukota

ANDA BOLEH percaya atau tidak, bahkan mau menghina pun juga silakan. Ada hal yang menurut saya “aneh” dan ingin saya sampaikan melalui tulisan ini. Saya adalah tipe orang yang mudah kangen, dan tentu kangen saya tertuju pada orang-orang yang spesial bagi saya. Orang pertama yang paling saya kangeni jelas ibu saya sendiri. Dalam hal apa pun saya sering teringat sosok yang melahirkan saya itu. Saya selalu kangen masakannya, kangen kopi racikan beliau dan saat susah maupun senang saya spontan bisa langsung kangen kepada beliau. Jika dulu ada pameo yang menyatakan bahwa anak laki-laki itu lebih dekat dengan ibunya, maka sekarang percayalah karena itu nyata dan saya rasakan sendiri. Saya bisa bersimbah airmata seusai menelepon ibu saya tanpa alasan yang jelas, dan saya pun bisa langsung luluh setiap mendengar nasihat dan doa harapan dari beliau.

Rasa kangen yang selanjutnya adalah rasa kangen saya kepada pasangan saya. Hampir setiap menit saya selalu kangen dia, saya selalu menanyakan keadaan dia, baik hal yang penting sampai hal yang sepele sekalipun. Tersiksa luar biasa jika semenit saja saya tidak mendengar kabarnya. Ahh, mungkin lebay kelihatannya, tapi saya lah yang merasakan hal itu jadi mau percaya atau tidak monggo terserah anda. Sebab di sini tidak ada anjuran maupun larangan, semua merdeka dengan dirinya sendiri dan keputusannya.

Dan untuk rasa kangen yang berikutnya tidak ada nama spesifik di situ, bahkan nama ayah saya pun tidak bisa saya sebutkan. Tidak ada alasan khusus kenapa saya bisa mengatakan begitu, bagi saya rasa kangen terhadap ayah saya bisa di bilang biasa-biasa saja, tidak sampai melebihi dua nama di atas. Mungkin hal tersebut adalah efek di mana sejak saya masih dalam kandungan ibu saya hingga usia saya 8 tahun, tidak ada figur seorang ayah di samping saya, entahlah!

Namun di sinilah keanehan itu terjadi. Entah karena apa, entah kena “pelet” apa, saya itu punya rasa kangen yang luar biasa kepada seseorang. Dimana seseorang tersebut bukan dari kalangan keluarga saya, bukan tetangga, dan sahabat juga bukan. Tapi entah kenapa saya benar-benar punya rasa kangen yang sulit di jelaskan dengan kata-kata. Menurut saya, orang tersebut itu beda, dia sangat berkharisma dan mungkin satu-satunya. Tidak ada figur yang bisa atau menyamai sikap dan gaya bahasanya dalam bertutur kata. Bagi saya beliau bisa bertindak sebagai teman, orangtua sekaligus guru. Dialah salah satu guru terbaik saya, guru kita semua, beliau adalah Emha Ainun Nadjib atau akrab kita sapa Mbah Nun.

Sudah lama sebenarnya saya mendengar nama Cak Nun. Dulu waktu SD beliau sering hadir di televisi untuk menyampaikan ceramah singkat atau sejenisnya.  Karena dulu masih SD jadi saya belum faham tentang apa yang Cak Nun sampaikan. Sampai akhirnya pada tahun 2005 lalu saya kuliah di Yogya dan sedari itulah saya bisa tahu lebih siapa Cak Nun, lewat cerita dari senior saya yang menjadi Jamaah Maiyah Yogya. Awalnya saya merasa risih dengan cara Cak Nun berceramah atau berdakwah yang begitu frontal dan terkesan radikal. Dan menurut saya cara seperti itu kurang pas untuk di terima oleh kebanyakan masyarakat kita, termasuk saya. Hal itulah yang pertama saya tangkap dari seorang Cak Nun. Dan selama saya tinggal di Yogya banyak teman yang berniat mengajak saya untuk ikut Maiyahan di Kasihan Bantul, namun saya selalu tegas menolak karena saya merasa tidak searah dan sejalan dengan gaya pemikiran Cak Nun pada waktu itu.

Sampai pada akhirnya tahun 2010 lalu, saya hijrah ke Jakarta untuk bekerja mengais rupiah di belantara ibukota. Tanpa di sengaja, saya pun mendengar kabar kalau di Jakarta juga ada acara semacam Maiyah di Yogya. Acara tersebut bertajuk ; Kenduri Cinta. Ada rasa ingin tahu dalam diri saya, yaitu ingin tahu sebenarnya acara Kenduri Cinta itu seperti apa. Saya berusaha mencari tahu perihal Kenduri Cinta melalui  media sosial dan akhirnya saya temukan banyak informasi tentang Kenduri Cinta. Saya pun meniatkan diri untuk datang ke acara Kenduri Cinta. Saya ingin melihat dan menyimak secara langsung hal apa saja yang akan saya dapatkan di sana. Dan sungguh di luar dugaan saya, ternyata tema yang di angkat oleh para penggiat Kenduri Cinta itu sangat menarik, narasumbernya pun sangat beragam, dari berbagai kalangan dan profesi. Ada seorang kyai, budayawan, aktivis, musisi, seniman, politisi dan tak lupa tentu Mbah Nun sebagai tokoh sentralnya.

Setelah saya mengikuti beberapa kali majelis Kenduri Cinta, pikiran saya pun perlahan terbuka. Bahwa apa-apa yang di sampaikan oleh Mbah Nun itu masuk akal dan bisa di terima oleh logika. Dan saya baru sadar betapa bodohnya saya selama ini yang merasa sok pintar padahal aslinya goblok segoblok-gobloknya, merasa sudah pandai padahal masih bloon seperti keledai. Dan ini adalah salah saya sendiri kenapa selama ini saya tidak mau membuka diri untuk sinau. Belajar bareng di dalam majelis ilmu yang berkualitas yang di mana di situ banyak orang-orang cerdas dan intelektual baik dalam segi agama maupun sosial. Dan saya menganggap Kenduri Cinta ini sebagai “universitas” gratis buat saya dan saya adalah salah satu mahasiswa bodoh yang haus ilmu sehingga wajib untuk terus menghadirinya.

Semenjak saat itu, saya selalu rutin mengikuti acara Kenduri Cinta yang di adakan setiap hari jumat minggu kedua di setiap bulannya di plasa TIM Jakarta. Ada rasa sedih dan nyesel jika saya tidak bisa hadir kesana, dan yang paling menyedihkan adalah jika “kekasih tua” saya Mbah Nun tidak hadir pula di sana. Tidak ada rasa bosan, kantuk atau lelah untuk mendengar apapun yang beliau sampaikan. Semua yang keluar dari lisan beliau selalu menarik, segar dan mengundang gelak tawa namun tetap sarat makna. Bayangkan saja, hanya beralaskan tikar atau sendal, kita duduk sejak jam 8 malam sampai jam 4 pagi tapi kita tetap khusyuk dan tak berniat untuk beranjak pergi. Kata-kata Cak Nun sungguh manis dan magis.

Ada rasa kangen luar biasa jika sebulan saja saya tidak bersua dengan beliau, tidak mendengar ceramah beliau, seperti ada yang kurang dalam diri saya. Ada ikatan batin yang selalu menarik hati saya untuk selalu ingin bertemu dan sinau bareng beliau. Rasa kangen saya ini memang bukan kangen biasa dan yang paling aneh adalah baru kali ini saya mau untuk cipika cipiki kepada sesama jenis. Ya, jujur saja, hal demikian belum pernah saya lakukan sepanjang hidup saya. Bahkan kepada ayah saya sekalipun. Apalagi dengan saudara atau sahabat. Saya masih merasa tabu dan enggan melakukannya. Tapi sekali lagi entah di pengaruhi apa, entah kena pelet cap apa justru yang pengen nyosor dan meluk duluan jika bersua dengan Mbah Nun adalah saya. Ini menggelikan tapi saya senang melakukannya. Ada benarnya pepatah bilang;

“Jangan benci atau tidak suka kepada sesuatu secara berlebihan nanti kamu bisa kena “karma”, berbalik 180 derajat menjadi suka dan tergila-gila kepadanya.”

Dan saya adalah salah satu ‘korban’ dari ungkapan pepatah lama tersebut.

DItengah  kerasnya kota Jakarta, di Majelis Kenduri Cinta saya dapat menemukan ‘cinta’ dijantung Ibukota. Cinta yang berbeda. Cinta yang tak biasa. Cinta yang luas makna-nya, seluas cakrawala. Cinta yang diajarkan oleh gurunda Emha Ainun Nadjib adalah cinta yang tinggi-murni-sejati. Seperti cinta-Nya sang Illahi. Cinta yang memberi tanpa diminta. Cinta yang mengasih tanpa pamrih. Cinta yang mencintai meski dibenci-disakiti-dikhianati.

Beli gaun di pasar Ciracas

Met ulang tahun KC yang ke tujuh belas

Makan ace abis sekeranjang

Semoga KC umurnya panjang

Salam Melingkar.

Muhammadona Setiawan,
Sragen, 10 Juni 2017