Mencari Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar

Usai lantunan tadarus Alquran oleh jamaah, Islamiyanto dan Imam Fatawi menempatkan diri di tengah jamaah untuk memulai Mocopat Syafaat edisi Februari dengan persembahan sholawat. Beberapa saat kemudian, Helmi membuka diskusi dengan pemaparan mengenai adanya ketersambungan, baik tema dan bahasan, dengan lingkar-lingkar di berbagai tempat. Pada sesi pertama, hadir Pak Salahuddin, Intan dan Nadia dari Penerbit Bentang Pustaka, penerbit buku Cak Nun yang berjudul Arus Bawah. Sambil me-launching buku tersebut, Intan selaku salah satu editor menuturkan bahwa buku Arus Bawah adalah kakak tertua dari lima buku Cak Nun yang kedepannya akan diterbitkan ulang oleh Bentang Pustaka. Intan menjelaskan bahwa setelah 20-an tahun wacana-wacana Cak Nun dalam buku-bukunya itu masih relevan. Menurut Intan, buku Arus Bawah ini memang begitu berisik dan rewel, sehingga mengingatkannya untuk tidak pernah berhenti bertanya, “Karena ketika kita berhenti bertanya segala sesuatu menjadi terasa biasa dan kegelisahan juga akan menghilang,” Intan menambahkan.

Sambil sebelumnya menceritakan masa lalu Bentang Pustaka, Pak Mus lalu menanggapi kesan yang ditangkap Intan dari tulisan Cak Nun. Pak Mus menemukan Cak Nun  sebagai orang mampu melihat sebuah masalah sampai kedalaman galih. Cak Nun juga seorang wartawan yang terlatih melihat fakta-fakta, yang kemudian beliau suguhkan dalam tulisan-tulisannya secara simbolis, yang pada akhirnya membuat tulisan-tulisan beliau menancap kuat dalam benak para pembacanya. Helmi kemudian menambahkan bahwa karya-karya Cak Nun bisa kita gunakan untuk melihat juga karya-karya sosial beliau. Menurutnya, génerasi saat ini perlu membaca karya-karya lama beliau agar mengenal dan memahami ketersambungan sejarah yang mengantarkan perjalanan bangsa kita sampai saat ini.

Lebih baik merasa belum Islam dengan semangat saling belajar dan menyelamatkan daripada merasa sudah benar sebagai seorang yang Islam, tetapi berhenti belajar dan bahkan saling menyalahkan.

Emha Ainun Nadjib

Sekitar pukul sebelas malam, Kiai Kanjeng membuka ruang kekhusyukan dengan mengajak jamaah bersholawat bersama. Di tengah hantaran Kiai Kanjeng tersebut, Pak Herman dari Solo menggabungkan diri ke atas panggung untuk selanjutnya dengan Kiai Kanjeng membawakan Serat Kondocetho karya Raden Ngabehi Yasadipura 1 dengan tembang Asmarandhana yang menandai peralihan sesi.

Setelahnya, Cak Nun mengawali pemaparannya dengan mengajak para jamaah untuk mengosongkan diri terlebih dahulu, mengingatkan bahwa yang terpenting dalam hidup kita, di dalam hati kita, adalah: Allah, Rasulullah, keluarga dan rentang waktu kita. Cak Nun membacakan Surat Ar Rahman ayat 1-18 untuk mengiringi para jamaah dalam mengosongkan hati mereka, membawa pada titik terdalam hati mereka. Kemudian, dilanjutkan dengan melantunkan Sohibu Baiti bersama- sama. Pada kesempatan malam itu, Mocopat kedatangan tamu dari Bali yaitu anak angkat Umbu, Mira, dan salah satu muridnya, Jengki.

Cak Nun melanjutkan dengan penjelasan secara mendetil makna filosofis dari tata letak pemerintahan Yogyakarta. Di dekat keraton terdapat masjid yang maknanya untuk mengawasi dan mengawal nilai-nilai moral dan paugeran politik serta pemerintah. Di depan keraton terdapat alun-alun sebagai simbol pusat kebudayaan. Dan untuk menuju keraton terdapat beberapa jalan utama, yaitu: Jl. Margo Utomo, Margo Mulyo dan Malioboro, Pangurakan yang setiap namanya memiliki makna perjalaan rohani dan spiritual manusia. Pemahaman seperti ini sudah tidak dipahami oleh manajemen politik dan tata negara sebuah pemerintahan di zaman modern. Senada dengan hal ini, pandangan masyarakat sekarang pun hanyalah pandangan artifisial keduniaan yang penilaian serta parameternya hanya dilihat dari penampilan, harta, dan kekuasaan. Cak Nun memberikan contoh seorang Umbu yang jika dipahami secara duniawi kita tidak akan menemukan kordinat pemahaman yang jelas bahkan bisa dikatakan menjadi anomali pola hidup manusia pada umumnya. Umbu adalah seorang raja yang memiliki kekayan dan kekuasaan, tetapi beliau memilih untuk meninggalkan semua dan tidak ada seorang pun yang berani menyentuh tahtanya. Umbu memilih untuk hidup di jalanan dan mengabdi di dunia sastra untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan dengan caranya yang sangat unik.

Cak Nun sampaikan bahwa lebih baik merasa belum Islam dengan semangat saling belajar dan menyelamatkan daripada merasa sudah benar sebagai seorang yang Islam, tetapi berhenti belajar dan bahkan saling menyalahkan. Cak Nun memposisikan Maiyah sebagai kumpulan orang meh (hampir) Islam, dengan semangat tawadhu’ untuk terus mencari. Islam jelas benar, tetapi predikat muslim hanya Tuhan yang berhak menilai kita.

Menurut Cak Nun, kita di sini bukan untuk mencari siapa siapa saja yang benar dan yang salah. Disiplin kita seharusnya adalah mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar. Oleh karenanya, ada hal baru yang dicobakan oleh Cak Nun kepada jamaah malam itu, yaitu membagikan microphone ke enam orang jamaah dan mempersilakan mereka semua untuk ke panggung dan “menyerahkan” keberlangsungan forum kepada mereka, untuk bebas mau membawa ke mana arah forum pada malam hari itu. Dari mereka Cak Nun menangkap ada beberapa ranah pendalaman yang oleh Cak Nun disarankan untuk membatasi kapan, di mana, dan kepada siapa pendalaman-pendalaman seperti itu diungkapkan semata-mata agar tidak mengganggu pemahaman orang orang yang secara spiritual belum sampai pada tingkatan yang sama.

Kalau kita belum mampu memahami kebenaran orang lain, maka tidak akan terjadi diskusi, yang ada hanya perdebatan dan saling menyalahkan. Padahal, semakin kita memahami banyak kebenaran orang lain, semakin lengkap juga gambar kebenaran yang kita pahami.

Sabrang

Selanjutnya, Mira, yang selama beberapa tahun belakang ini menemani Umbu, berbagi pengalaman dengan menceritakan apa yang menurut beliau dianggap sebagai bentuk ketidakberuntungan yang sekaligus juga wujud keberuntungan yang beliau alami dalam hidup ini, yang akhirnya mengantarkan pada sebuah pemahaman, bahwa yang terbesar di antara segala rintangan menghadapi perbedaan-perbedaan kita adalah menerima segala perbedaan dengan keterbukaan dan kasih, mencoba berempati terhadap rasa orang lain agar kita menjadi lebih peka dan mampu menerima perbedaan dengan kasih itu tadi. Mengelaborasi apa yang disampaikan oleh Mira, Cak Nun menjelaskan makna assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh. Berangkat dari poin itu, konsep dakwah itu seharusnya dilakukan terhadap orang yang dianggap belum selamat menurut kita, meskipun kita harus berhati-hati, karena setiap orang pasti punya pemahaman atas kondisi selamat masing masing. Maka ucapan salam itu sendiri adalah bentuk janji kita untuk tidak merusak keselamatan orang yang kita beri ucapan selamat, sekaligus doa agar orang itu mendapatkan keselamatan.

Mendekati akhir forum Mocopat Syafaat ini, Sabrang menguraikan bahwa untuk mencari sesuatu yang benar—bukan siapa yang benar—kita harus memahami dulu konstruksi kebenaran itu. Dari sudut pandang yang berbeda, kebenaran bisa sangat subjektif tergantung dari sudut mana kita melihat kebenaran itu. Dari sudut pandang yang sama, untuk memotret sebuah bunga, sebuah kamera dengan kemampuan memotret yang berbeda, bisa menghasilkan gambar bunga yang tampak berbeda pula. Selangkah setelah pemetaan itu, kita harus memastikan kalau gambar itu adalah benar-benar gambar bunga, karena yang kita lihat hanya gambar bunga, bukan bunganya itu sendiri. Sabrang menegaskan, “Kebenaran yang sejati adalah ketika kita menjadi bunga untuk tahu bagaimana sebenarnya sebuah bunga itu. Dan ketika kita menjadi bunga, apa kita ingat pernah mencari kebenaran tentang bunga?”

Dari pemahaman ini, Sabrang menjelaskan bahwa pelajaran kepada manusia yang pertama adalah pengalaman. Dan kecenderungan manusia adalah justru banyak mengambil pelajaran dari pengalaman buruk daripada pengalaman pengalaman yang menyenangkan. Kita justru mencari kebenaran dari sesuatu yang berbeda dengan kebenaran yang kita pahami.

Oleh karenanya, di sini kita berusaha mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar. Padahal dari struktur kebenaran di atas, kita tahu bahwa kebenaran menurut siapa itu banyak sekali versinya, baik dari sudut pandang maupun resolusi dalam melihat kebenarannya. “Jadi, kalau kita belum mampu memahami kebenaran orang lain, maka tidak akan terjadi diskusi, yang ada hanya perdebatan dan saling menyalahkan. Padahal, semakin kita memahami banyak kebenaran orang lain, semakin lengkap juga gambar kebenaran yang kita pahami,” paparnya.

Mocopat Syafaat malam itu ditutup dengan pembacaan puisi oleh Jengki dari Bali yang membawakan sebuah sajak dari Umbu Landa Paranggi, serta tidak ketinggalan dipuncaki oleh puisi dari Pak Mustofa Wahid Hasyim.