Menata Peta Perjuangan

TIDAK DALAM rangka memasuki pro-kontra 4 November 2016, 2 Desember 2016 maupun Parade Kebhinnekaan Indonesia 4 Desember 2016, kita dapat pelajari apa yang terjadi pada dua momentum itu. Ribuan bahkan mungkin jutaan orang yang menjadi peserta pada kedua acara tersebut pasti memiliki motif, niat dan tujuan yang beragam. Terlepas dari itu, apa yang sedang mereka lakukan pastinya sebuah muara dari perjuangan yang mereka lakukan sejak mulai niat, perencanaan hingga pelaksanaan aksi ataupun parade.

Kalau perjuangan selesai hanya dengan satu-dua keberhasilan saja, maka introspeksi-lah kembali niat, usaha dan tujuan yang sedang diperjuangkan itu. Jangan sampai keliru niat, tidak pas cara berusahanya, apalagi salah tujuan. Perjuangan melawan penindasan, penjajahan dan ketidakadilan adalah perjuangan kontinyu untuk menegakkan kedaulatan, mengisi kemerdekaan dan menjaga kesatuan kebersamaan. Ditengah arus globalisasi yang nampaknya sudah tak terbendung, strategi pecah belah terhadap Bangsa Indonesia, khususnya terhadap Ummat Islam terus berlangsung. Upaya-upaya melemahkan kedaulatan Bangsa bertubi-tubi dari berbagai sisi, seiring dengan upaya-upaya dominasi kapitalisme global diatas kekayaan negeri ini.

Strategi perang panjang yang menginginkan kehancuran Bangsa Indonesia sangat tidak kentara dengan cara-cara melemahkan kedaulatan Bangsa Indonesia dari dalam. Investasi berupa pembangunan-pembangunan infrastruktur semakin nampak dominan membela kepentingan investor ketimbang ditujukan untuk kepentingan rakyat. Itu adalah buah cengkraman dari antek-antek kapitalis global yang sudah menancap di sendi-sendi perpolitikkan nasional hingga perpolitikkan daerah. Dengan menancapkan cakar modalnya, mereka mampu menyelusup kedalam jajaran penguasa-penguasa daerah maupun nasional. Sehingga mereka mampu mengontrol dan mempermainkan peraturan-peraturan dan perundang-undangan dalam melancarkan kepentingan mereka untuk menguasai negeri ini dari balik layar.

Namun akhir-akhir ini nampaknya mereka mulai menyeruak dari balik layar dan sudah mengaku sebagai Bangsa Indonesia. Ketika dominasi informasi media elektronik sudah dalam genggaman mereka dan peta perpolitikkan nasional sudah masuk dalam gambaran kepenguasaan skenario mereka, dengan sangat dingin mereka mulai memperlihatkan kekuasaannya yang mampu bermain-main diatas peraturan dan perundang-undangan. Secara arogan melancarkan penindasan terhadap rakyat dan korupsi yang dilegalkan dengan cara berlindung dibalik peraturan yang merupakan hasil rancangan mereka sendiri. Oleh mereka hukum dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan bukan untuk melindungi rakyat, disini ketidakadilan sangat nampak. Mereka minoritas secara jumlah namun telah menjadi dominan secara politik. Berhasil membaur dan hidup sekian lama bersama masyarakat bangsa Indonesia, hingga pada akhirnya menjadi penindas yang menusuk dari belakang.

Orang-orang Maiyah mengapresiasi aksi tersebut sebagai sebuah perjuangan yang semestinya tidak berhenti sampai disitu. Perjuangan untuk menegakkan tiang keadilan jelas tidak cukup hanya dilakukan secara instan, menegakkan keadilan jelas butuh dilakukan secara kontinyu, komprehensif dengan cara-cara yang tepat.

Tidak bisa kemiringan yang terjadi pada tiang keadilan rumah Bangsa Indonesia, NKRI, ditegakkan dengan hanya mengecat tembok-temboknya dengan warna merah-putih. Bocornya atap, retak-retaknya dinding dan rapuhnya pondasi kedaulatan Bangsa Indonesia, tidaklah cukup diperbaiki dengan hanya menyemarakkan pesta kebhinnekaan di halaman dan jalanan. Adalah keliru jika niatmu membodohi rakyat,memalsukan nafsu kekuasaan dibalik kedok orasi mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Upaya pecah belah terhadap Bangsa Indonesia menyelusup dengan halus tak kentara. Boleh jadi para pelaku dan aktor-aktor yang menjadi antek-antek kapitalis global tidak menyadari bahwa apa yang sedang dilakukan olehnya sedang menghancurkan bangsa Indonesia sendiri. Ada baiknya paska tiga peristiwa yang lalu, kita introspeksi apakah sudah benar, baik dan indah apa yang kita lakukan selama ini sebagai Bangsa Indonesia. Atau terlepas dari kedua peristiwa itu bahwa perjuangan menegakkan keadilan dan kedaulatan masih harus terus berlanjut. Rakaat Panjang masih terus dilaksanakan sampai benar benar semesta alam selesai dengan salam.