Menakar Diri di Maiyah

SETIAP PERJUANGAN manusia dalam berhubungan sosial dengan sesama, perlu memperhatikan beberapa aspek penting antara lain; kepantasan dan ketepatan waktu. Jika dua hal tersebut tidak tepat, maka akan menghasilkan disifungsi nilai. Zaman sekarang, kepantasan dan ketepatan waktu seringkali kabur. Dengan begitu banyaknya informasi yang mengalir dari sisi apapun dan sisi manapun, nilai-nilai tersebut bisa melenceng dengan sendirinya, bahkan agak menakutkannya, tanpa kita sadari. Sesuatu hal yang kita anggap wajar, bisa jadi dianggap luar biasa, sesuatu hal yang sangat luar biasa, bisa jadi hal yang sangat biasa bahkan bisa jadi hal yang sangat negatif di penilain banyak orang.

Contoh, kita dianggap hebat jika kita berani jujur. Jujur itu adalah sesuatu hal yang sangat wajib dalam kondisi normal. Tetapi dengan banyaknya ancaman, disorder nilai, atau bahkan kepentingan-kepentingan tertentu, jujur adalah sesuatu yang hebat. Begitu derasnya aliran disinformasi, begitu lebarnya reseptor penerima informasi, bahkan tanpa filter, menjadikan semua nilai-nilai yang wajar bisa menjadi tidak wajar.

Di Maiyah kita sudah pernah belajar mengenai sudut pandang, sisi pandang, jarak pandang, cara pandang, perspektif pandang, hingga resolusi pandang. Melakukan pelatihan dan pembelajaran berpikir linier, zigzag hingga spiral dan siklikal. Selalu bertabayyun dalam setiap kondisi yang terjadi, dan tidak salah meletakkan maqom berfikir. Sebagai contoh, kita tidak bisa mendahulukan tafsir daripada tadabbur. Kita tidak bisa mendahulukan nilai-nilai di buku terlaris, sebelum mendapatkan informasi yang menyeluruh dari Al-Qur’an, dan lain sebagainya. Kita paham arti kebenaran, tetapi mengesampingkan kebaikan dan keindahan. Dan yang paling penting dari bersikap terhadap sesuatu hal adalah, asalkan informasi yang kita dapatkan itu membuat kita semakin bijaksana, baik, santun, maka informasi itu bisa kita telateni dengan benar.

Di area perpolitikan dan kepemimpinan, sudah sewajarnya jika pemimpin itu dipilih oleh orang banyak karena pemimpin itu dirasa cukup adil dan bijaksana untuk diamanati menjadi pemimpin. TIdak ada yang pernah menganggap bahwa menjadi seorang pemimpin itu mudah. Jika kita tanya setiap manusia, apakah menjadi seorang pemimpin itu mudah, mereka pasti akan menjawab tidak. Menjadi pemimpin itu adalah amanat yang sangat besar, karena mencakup kemaslahatan orang banyak. Menjadi amat tidak wajar jika banyak orang dengan percaya diri, mengajukan dirinya menjadi seorang pemimpin, dan dengan “sakti” nya, memprediksi hasil kerja dia menjadi seorang pemimpin akan beres.

Maka yang terjadi adalah, muka dimana-mana, pembunuhan karakter, perdebatan antar calon pemimpin di televisi, dan lain sebagainya. Pemimpin itu juga tidak timbul karena pilihan beberapa golongan saja. Juga bukan karena pencalonan diri, dan dicalonkan karena “kelihatannya dia yang cocok” apalagi “dia yang paling menguntungkan saya”. Tetapi pemimpin lahir dari kesetiaan, kerja keras kedisiplinan diri orang tersebut yang selalu mencurahkan segala ilmu, fisik, waktu, dan mentalitasnya ke kehidupan rakyat banyak. Dan prosesnya tentu tidak singkat, serta skalanya bukan regional tetapi nasional mulai dari strata atas, sampai rakyat kecil dusun-dusun terpencil. Cakupan ilmunya juga seharusnya multidimensional, dari permasalahan sandang pangan papan, sains, agama, sampai budaya. Sikap dan perilakunya juga selalu ditempatkan dengan sempurna. Harus faham bersikap bagaimana dalam kondisi apa.

Jika memang ditakdirkan harus adanya seorang pemimpin, kita sudah banyak bekal yang langsung datang dari Allah dan Rasulullah saw, dan juga dari hasil pemikiran nenek moyang kita yang sudah terbukti ampuh. Bukan berarti hasil pemikiran nenek moyang kita itu mutlak, tetapi hasil pemikiran tersebut bisa kita pelajari dan sangat selaras dengan Allah dan Rasulullah. Allah punya hak prerogratif untuk menunjuk siapa pemimpin dari satu kaum karena Dia Maha Kuasa, tetapi Allah juga memberikan hak yang sama kepada hambanya yang tidak Dia pilih langsung menjadi pemimpin.

Setiap hak yang sama itulah yang seharusnya kita amalkan dan perhitungkan. Bisa kita ambil contoh Rasulullah. Rasulullah tidak pernah mengajukan dirinya menjadi seorang pemimpin walau beliau manusia terpilih. Tetapi beliau mengedepankan kerja keras tanpa pamrih, kecuali pamrih untuk bisa mendapat Ridho Allah. Dari dasar sikap itu, manusia terpilih itu menjadi panutan orang banyak, dan mau tidak mau dia diangkat menjadi pemimpin ummat karena tidak ada yang bisa “menandingi” beliau. Keilmuan beliau komprehensif, menyeluruh. Waktu yang dia berikan ke orang lain lebih banyak daripada waktu yang dia gunakan untuk kepentingan pribadinya. Bahkan sampai akhir hayat beliau memanggil UMMATI UMMATI UMMATI.

Dari dinamika tersebut maiyah sudah harus memposisikan dirinya. Maiyah tidak hanya berada di satu daerah saja. Setiap daerah memiliki masalahnya masin-masing. Jamaah maiyah sudah harus memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai permasalahan di dalam maiyah dan diluar maiyah. Jamaah maiyah sudah harus memiliki sikap yang komunal, tidak berat sebelah, bijaksana, dan nyengkuyung. Setiap permasalahan besar-kecil, luas-sempit, luar-dalam, diposisikan pada maqom yang terbaik. Piagam maiyah bisa dijadikan patok, agar dinamika maiyah, dan dinamika setiap persoalan tidak keluar dan lepas liar.