Mempelajari Esensi Cinta

DI KENDURI CINTA Edisi November 2018 lalu, diskusi yang berjalan sangat luas, tidak hanya mengenai Preseden dan pembahasan politik. Memang dari judul, jamaah digelitik untuk menemukan sisi lain pembelajaran dan tidak hanya terpaku dengan situasi tahun politik sekarang ini. Bahkan dari luasnya pembahasan itu ada hal yang sangat menarik yang jika kita pahami dan pelajari betul, maka semua permasalahan yang dibahas malam itu selesai, yaitu cinta.

Mulai diskusi sesi 2, kontirbusi jama’ah untuk ikut sinau bareng sangat banyak. Menariknya, hanya dengan pembahasan mengenai cinta, semua pertanyaan dan diskusi malam itu seakan menemukan garis lurusnya. Semua harus dimulai dengan cinta dan harus kita sudahi juga dengan cinta, bahkan setiap jengkal perjalanan harus berpondasi dan beratap cinta.

Seorang jamaah menarik pertanyaan mengenai kriteria pemimpin yang harus kita junjung dan pilih, saya mencoba menggali dari hal yang paling mudah yaitu persuami istrian. Suami adalah pemimpin yang dimulai sejak pengucapan ikrar ijab kabul di pelaminan. Sebuah janji suci yang ketika terucap, Arsy Allah bergetar, langit terbuka, para Malaikat hadir turut bersaksi dan berdo’a, tersebab beratnya perjanjian yang dibuat oleh seorang laki-laki di depan Rabb-nya. Apa dasar utama seorang manusia menjadi pemimpin keluarga, dan apa dasar utama mempelai perempuan rela dinikahi kalau bukan karena cinta?

Bahkan Allah juga mengatakan “Wahai hambaku, jika engkau mencintaiKu maka ikutilah Muhammad”, Apa dasar dan pondasi yang lebih kuat dari cinta? Malam itu berdekatan dengan peringatan lahirnya Muhammad bin Abdullah yang kelak akan menjadi Rasul terakhir, Rasul penutup, dan Rasul untuk semesta alam, maka pembahasan berikutnya juga mengenai cinta kita ummatnya kepada Rasulullah. Dari perkataan Allah yang demikian menggambarkan situasi yang sangat mudah kita cerna dan pahami, walau dalam prakteknya, tidak mudah mencintai seseorang, dan mencintai tentu butuh waktu.

Melanjutkan pembahasan mengenai cinta, cinta sangatlah luas, bahkan teramat luas. Seorang ayah yang rela menghancurkan tubuhnya untuk mendidik anaknya, apalagi itu kalau bukan cinta? Ada seorang yang rela menanam pohon di daerahnya yang kering sampai suatu hari hasil menanamnya yang bertahun-tahun membuat aliran sungai baru untuk kehidupan kampungnya, apalagi kalau bukan cinta? Bahkan Rasul mengucapkan “ummatku, ummatku, ummatku” sebelum ajal beliau, apalagi kalau bukan cinta? Karena cinta bukan hanya sekedar kisah di sinetron.

Habib Husein Ja’far Hadar malam itu juga membahas mengenai dakwah. Dakwah yang bagaimanakah yang sebaiknya manusia lakukan? Karena menurut belliau sekarang sedang marak dakwah yang “mengancam” pendengarnya. Jadi bukan ujaran kebaikan dan kebahagiaan yang didahulukan, tetapi ujaran ketakutan dan ancaman yang seringkali dikoarkan. Saya berpendapat, sebenarnya setiap pendakwah membawa dasar yang sama yaitu cinta. Akan tetapi berbeda situasinya, mungkin da’i yang berdakwah dengan ujaran ketakutan sedang mengalami tekanan, atau keluarga dan lingkungannya yang sedan tertekan, maka akibat dari tekanan itu, da’i tersebut secara refleks mengeluarkan ujaran yang seperti itu.

Bukan hanya aksi kita yang harus kita dasari dengan cinta, reaksi kita akan sesuatu hal yang menimpa kita baik secara langsung maupun tidak, harus kita mulai dengan cinta. Atau mudahnya mari kita dahulukan manusianya, paling terakhir baru hukum melakukannya. Kalau ada kejadia caci maki disekitar kita, kuatkan pondasi cinta kita, baru kita dekati mereka secara manusia, baru kita cari permasalahannya dimana. Ini berlaku disemua tempat dan kondisi.

Energi malam itu sangat penuh dengan cinta dan kemesraan. Acara berlangsung dengan hikmat walau Mbah Nun tidak hadir. Bahkan bagi para Jama’ah secara umum, kehadiran dan ketidakhadiran Mbah Nun sudah dijadikan pembelajaran terendiri bagi mereka. Sampai bertemu di Kenduri Cinta bulan depan insya Allah.