Membenahi Mental Kita

KORUPSI sudah menjadi bahaya laten bagi masyarakat kita. Ketegasan penegakkan hukum nyatanya tidak mampu memberantas mental korupsi kita. Kita semua hidup dalam peradaban kapitalisme yang selalu berhubungan dengan uang. Jika kita bertanya kepada orang-orang di sekitar kita saat ini, apakah mereka butuh uang? Mereka akan menjawab, ya, kami butuh uang.

Persoalan selanjutnya adalah bahwa tidak semua dari kita berani mengambil sikap untuk menata mental dalam diri kita bahwa untuk mendapatkan uang itu membutuhkan perjuangan yang tidak sebentar. Sebelum kita berbicara jauh tentang korupsi, coba kita selidik lebih dalam pada diri kita masing-masing. Bahwa kita adalah manusia, nurani dalam diri kita senantiasa membangun semangat untuk bebruat baik. Jangankan untuk mencuri, sekadar menyakiti hati orang lain dengan mengumpat saja hati nurani kita akan berontak. Karena seperti itulah manusia yang sejati.

Manusia yang sebenar-benar manusia tidak memerlukan undang-undang dan pasal hukum yang disahkan oleh Negara atau Pemerintah untuk tidak mencuri. Bahkan manusia yang sejati tidak memerlukan ajaran agama untuk meyakini bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak baik. Mencuri adalah sebuah perbuatan yang tidak hanya melanggar kode etik hubungan sosial masyarakat. Mencuri adalah perbuatan yang tidak bermoral, yang kemudian akan memberi pengaruh jangka panjang pada kehidupan si pencuri itu sendiri.

Kesalahan cara pandang kita kebanyakan saat ini adalah karena kita gagal menempatkan sesuatu pada prorporsinya. Di Maiyah, beberapa kali kita membahas salah satu falsafah hidup; Sandang-Pangan-Papan. Secara fisik, kita bisa memahami bahwa Sandang artinya adalah pakaian, Pangan maksudnya adalah makanan, dan Papan merupakan gambaran tentang tempat tinggal. 3 hal ini adalah kebutuhan primer kita sebagai manusia. Namun, pada praktik di lapangan, tidak semua dari kita mampu memenuhi 3 kebutuhan utama ini.

Secara filosofis, urutan Sandang-Pangan-Papan ini sudah benar, jangan sampai kita salah menata urutan-urutannya. Bahkan dalam kondisi ketika 3 hal itu sudah terpenuhi pun, jangan sampai pijakan kita terhadap 3 hal itu menjadi salah. Secara urut-urutan, Sandang (Pakaian) adalah kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Hubungannya dalah dengan martabat diri sendiri. Tak mungkin kita telanjang ketika kita keluar rumah, meskipun hanya sekadar untuk membuka pagar rumah kita. Meskipun kita adalah orang yang sangat kaya, bukan berarti kita bebas melakukan apa saja ketika keluar dari rumah kita. Persoalan Sandang bukan hanya persoalan pakaian secara fisik, namun bagaimana cara kita menutupi martabat kita dengan perilaku kita sehari-hari, itu juga merupakan kebutuhan Sandang kita.

Perilaku kita juga merupakan pakaian kita. Ucapan yang keluar dari mulut kita, sejatinya juga merupakan pakaian kita. Rekam jejak pekerjaan kita, hubungan sosial masyarakat kita di lingkungan rumah dan kantor kita, itu juga merupakan pakaian kita. Ada dimensi yang begitu luas ketika kita membicarakan pakaian. Sayang sekali, masih banyak dari kita yang masih sangat sempit mendefinisikan pakaian bahwa yang dimaksud dengan pakaian adalah kain fisik yang menutupi aurat tubuh kita. Bahkan sebenarnya, aurat itu juga bukan sekadar bagian tubuh kita yang harus kita tutupi. Dimensi aurat juga sekarang ini sudah semakin luas pemahamannya.

Di Maiyah, kita mempelajari bersama bahwa lidah memiliki fungsi utama sebagai sebuah alarm kesehatan bagi tubuh manusia. Ketika kita mengecap satu jenis makanan atau minuman, lidah kita akan menerima rasa dari makanan atau minuman yang kita masukkan ke dalam mulut kita. Jika badan kita sehat, maka makanan yang kita rasakan akan selalu enak. Lain hal nya ketika kita sakit, maka fungsi lidah itu akan bekerja bahwa tidak sembarang makanan yang bisa kita konsumsi ketika kita sedang sakit. Begitu juga dengan perut, ia tidak memiliki urusan jenis makanan apa yang kita kunyah dengan mulut kita, daging kah atau hanya tempe saja. Perut tidak mempersoalkan berapa harga makanan yang kita makan. Apakah orang tua kita dulu selalu makan enak? Bahkan kita sering diajarkan untuk hidup prihatin ketika kita masih sekolah dulu bukan?

Kebutuhan akan pangan adalah kebutuhan primer yang memang harus dipenuhi, tetapi ada rumusan lain bahwa makanan itu bukan hanya sekadar yang kita makan. Sebagaimana yang juga kita pelajari bersama di Maiyah, Nabi Muhammad SAW memiliki rumusan bahwa makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Ini merupakan rumus dahsyat yang bukan hanya bisa diaplikasikan dalam hal makan saja. Tetapi juga soal menahan dan melampiaskan, titik utamanya adalah mengendalikan. Pelajaran tentang pengendalian di Maiyah sangat erat kaitannya dengan konsep kesimbangan. Bahwa hidup itu harus seimbang, harus pas takarannya, harus tepat proporsinya. Tidak boleh ada yang kurang, tidak boleh ada yang lebih.

Ketika kita memahami bahwa kebutuhan Sandang dan Pangan adalah 2 hal yang saling berkaitan, untuk memenuhi kebutuhan Papan kita akan menentukan kapan sebenarnya kita benar-benar harus memiliki rumah, kendaraan, aset tanah dan lain sebagainya. Selama kita belum tepat proporsinya dalam menempatkan Sandang dan Pangan kita, maka selama itu pula kita akan gagal menempatkan kebutuhan Papan kita.

Apa hubungannya dengan korupsi? Budaya laten korupsi ini sudah mencapai titik yang sangat membahayakan. Hampir di semua lini kehidupan kita dikepung dengan budaya korupsi. Bukan hanya korupsi uang saja, tapi juga korupsi waktu, korupsi kerja, korupsi peluang usaha, dan berbagai macam bentuk korupsi lain yang ada di sekitar kita. Ketika kita melihat seorang koruptor ditangkap oleh aparat penegak hukum, mungkin kita akan menghujat, mengumpat, menghina koruptor itu. Sumpah serapah kita ucapkan seolah-olah kita adalah manusia paling suci di muka bumi ini yang tidak melakukan kejahatan sama sekali.

Yang kita tanam dalam diri kita adalah bahwa kita selalu bahagia ketika melihat orang lain terhina. Sama sekali tidak ada empati dalam diri kita yang benar-benar terejawantahkan dalam hubungan sosial masyarakat kita saat ini. Padahal, kalau kita mau jujur saja, belum tentu apabila kita berada pada posisi seperti koruptor yang ditangkap itu, belum tentu kita siap dengan godaan untuk tidak korupsi. Apakah kita benar-benar siap untuk tidak korpusi apabila kita menjadi pejabat di sebuah departemen Pemerintahan atau saat menjadi anggota parlemen? Apakah ketika kita menjadi pengusaha, kita berani menjamin bahwa kita tidak akan menyupa pejabat yang berwenang untuk memuluskan proyek yang sedang kita incar?

Semua itu berawal dari mental kita masing-masing. Selama kita belum mampu membenahi sikap mental kita dalam menempatkan proporsi Sandang-Pangan-Papan, selama itu pula kita akan selalu gagal dan akan terus dikalahkan oleh dunia. Semakin kita gelap mata terhadap dunia, maka kita akan semakin abai terhadap kebutuhan keseimbangan dalam hidup kita.