Membangun Kemesraan dan Cinta di Kenduri Cinta

SEORANG PRIA berbadan kekar, terdapat tattoo di lengan kanannya. Kaos yang dikenakan pun sepertinya memang ia pilih yang lengannya pendek, supaya tattoo tersebut dilihat orang. Orang lain yang pertama melihat sudah pasti akan berprasangka bahwa laki-laki bertatto itu adalah preman.

Laki-laki itu memperkenalkan diri, Budi namanya. Di sesi awal Kenduri Cinta, ia memberanikan diri untuk merespons paparan teman-teman penggiat Kenduri Cinta. Dengan lantang, menggunakan pengeras suara di Kenduri Cinta ia berteriak; “Ini tempat gue!!”. Bukan, kalimat itu bukanlah kalimat yang diteriakkan oleh Budi dalam rangka ingin mengusir jamaah Kenduri Cinta dari Taman Ismail Marzuki, justru kalimat itu ia teriakkan karena ia merasa nyaman di Kenduri Cinta. Dan dia merasa bahwa di Kenduri Cinta inilah tempat yang menerimanya apa adanya.

Budi mengakui, bahwa selama 3 bulan terakhir sering menonton video Maiyahan di Youtube. Ketika masih muda, ia sering membaca kolom-kolom Cak Nun yang muncul di surat kabar. Bahkan, sekali waktu ia pernah melihat Cak Nun muda saat itu, duduk di sebuah warung di Kranggan, Yogyakarta. Cak Nun yang saat itu masih muda, rambut dan kumisnya masih berwarna hitam, bagi Budi yang saat itu hanya membaca tulisan Cak Nun di surat kabar mengakui bahwa tulisan Cak Nun itu tulisan yang bagus. Hanya saja, Budi ini adalah orang yang tidak mudah puas, sehingga begitu mengetahui Cak Nun yang menulis, Budi agak skeptis karena bagi Budi saat itu Cak Nun tak lebih dari seorang penyair dan penulis saja.

“Allahu Akbar, Ini orang tulus. Ini orang ikhlas”, itulah yang diungkapkan oleh Budi setelah menonton beberapa video Cak Nun di Youtube. Ia mengakui bahwa selama ini, dia mengikuti beberapa forum pengajian, namun baru di Kenduri Cinta ini ia merasa sangat nyaman dan diterima oleh semua yang hadir. “Jadi temen-temen disini berjuang seperti Cak Nun, menyebarkan kebaikan, menyebarkan kemesraan, menyebarkan cinta kasih. Itu yang utama buat manusia. Kita harus berbuat baik untuk mencapai cahaya yang murni”, ungkap Budi.

Bagi orang yang awam dengan Maiyah, mungkin tidak akan mampu mengidentifikasi forum macam apa Kenduri Cinta ini. Sebuah forum majelis ilmu, berlangsung selama 6-8 jam setiap pelaksanaannya, dan sudah berjalan memasuki tahun ke-18. Narasumber yang hadir pun sangat beragam, dari berbagai kalangan. Audiensnya pun juga datang dari berbagai latar belakang kehidupan sosial, mulai dari kalangan profesional eksekutif muda, pengusaha, Pegawai Negeri, hingga masyarakat kalangan bawah Jakarta yang berprofesi sebagai driver ojek online, pedagang asongan hingga tukang parkir. Tidak bisa juga dikatakan sebagai Pengajian, karena yang datang juga tidak seluruhnya beragama Islam. Dan meskipun mereka yang datang sama sekali tidak ada potongan sebagai santri, ternyata ketika diajak Sholawatan juga mereka fasih bersholawat.

Begitu juga ketika ada grup musik yang berkesempatan menampilkan kemampuan mereka bermusik, jamaah Kenduri Cinta pun ketika diajak bernyanyi juga mereka mampu bernyanyi bersama. Semakin sukar diklasifikasikan sebagai forum apa Kenduri Cinta ini. Begitu lengkap sajiannya. Diawali dengan wirid, dzikir dan pembacaan ayat-ayat Al Qur’an, ditengah-tengah acara ada lagu-lagu yang dibawakan oleh seniman-seniman Jakarta yang tidak sembarangan mereka membawakan nomor-nomor lagu mereka. Bahkan tidak terbatas hanya seni musik, seperti yang terlihat di Kenduri Cinta edisi April 2018 lalu, Reza yang notabene seorang jamaah juga menampilkan kesenian Pantomim di sesi awal Kenduri Cinta.

Kebahagiaan berkumpul di Kenduri Cinta tidak sebatas kebahagiaan menikmati paparan-paparan serta nasihat kehidupan yang disampaikan oleh Cak Nun dan narasumber lainnya. Suasana dan atmosfir yang terbangun di Kenduri Cinta adalah suasana yang sangat akrab. Seperti yang diungkapkan oleh Budi, Kenduri Cinta menghadirkan kemesraan, cinta dan kasih sayang, sehingga semua yang hadir di Kenduri Cinta merasa dimanusiakan. Apapun latar belakangnya, seperti apapun penampilannya. Semuanya diapresiasi.

Suatu kali Sabrang pernah berucap kepada Cak Nun, ketika Cak Nun meminta Sabrang untuk kembali dari Kanada saat ia masih kuliah di Kanada. Sabrang bersedia untuk kembali dengan satu syarat; tidak disuruh kuliah di Indonesia. Bagi Sabrang, di Indonesia orang boleh berpendapat setelah ia menjadi tokoh yang terkenal terlebih dahulu, baru kemudian pendapatnya didengar oleh orang lain. Sementara di Kanada, yang ia rasakan adalah semua orang boleh berpendapat, karena dengan demikian orang lain akan mengetahui kualitasnya. Semangat itulah yang juga dibangun di Kenduri Cinta dan forum-forum Maiyahan lainnya di berbagai titik simpul Maiyah, bukan siapa yang berbicara yang menjadi fokus utamanya, melainkan apa muatan yang ia sampaikan.

Ali Hasbullah, yang beberapa hari sebelumnya mengikuti rangkaian Maiyah Mandar “MANARATURRAHMAH” berbagi cerita pengalamannya di Mandar. Salah satu yang paling berkesan bagi Ali Hasbullah adalah ketika bersholawat bersama di kediaman Bunda Cammana. Di usianya yang mencapai 85 tahun, Bunda Cammana masih setia mengajari anak-anak di Mandar ilmu-ilmu agama yang paling dasar. Begitu juga dengan tradisi sholawatan, yang sudah sejak puluhan tahun dijalani oleh Bunda Cammana untuk tetap membumikan sholawat di Bumi Mandar.

Seperti yang sudah kita simak bersama melalui beberapa catatan Maiyah Mandar di caknun.com, pertemuan Cak Nun dengan Bunda Cammana adalah pertemuan yang isinya mayoritas adalah sholawatan. Bunda Cammana dengan anak-anak didiknya kemudian Cak Nun bersama KiaiKanjeng saling berbalas sholawat di kediaman Bunda Cammana. Yang bisa kita ambil hikmahnya adalah, di Bumi Mandar sana, Bunda Cammana tidak terganggu sedikitpun dengan isu-isu nasional yang sedang diributkan seperti yang kita temui hari-hari ini. Bunda Cammana tidak pusing dengan apakah Kitab Suci itu fiksi atau non fiksi, Bunda Cammana tidak juga gusar dengan perdebatan apakah bumi itu datar atau bulat.

Dari Bumi Mandar, kita belajar tentang kesetiaan dan kesungguhan Bunda Cammana dalam membumikan tradisi sholawatan di Bumi Mandar. Apa yang diperjuangkan oleh Bunda Cammana adalah perjuangan yang tidak sebanding jika hanya dibandingkan dengan perilaku manusia Zaman Now di Indonesia ini, yang masih saja mudah terpancing emosinya dalam perdebatan-perdebatan isu yang remeh. Bunda Cammana yang tinggal di Bumi Mandar, jauh dari hiruk pikuk keriuhan ibukota, serius dan sungguh-sungguh dalam menjaga tradisi sholawatan. Begitu tulus dan murni mengungkapkan rasa cinta mreka kepada Kanjeng Nabi.

“Sebenarnya prasangka atau bukan prasangka bukan itu yang penting. Yang penting adalah outputnya anda tidak mengganggu orang, yang penting anda tidak menyakiti siapa-siapa, yang penting anda tidak mencuri, yang penting anda tidak menipu. Inputnya mau prasangka atau fakta, nanti kita akan menemukan pada akhirnya bahwa kita tidak akan mampu mengejarnya”, Cak Nun melambari paparannya malam itu.

Memasuki tema, Cak Nun mengajak jamaah untuk memasuki kata “bayang”, yang dalam istilah jawa timur, bayang artinya adalah dipan (tempat tidur). Dalam struktur bayang tersebut, di bagian bawah ada longan, dimana di longan tersebut terdapat ruang kosong yang sangat lega. Ruang kosong inilah yang sering diremehkan oleh orang, padahal sesungguhnya ruang kosong seperti longan itu juga memiliki peran. Seperti halnya jeda dalam sebuah bait lagu dibutuhkan untuk kepentingan estetika dan keindahan sebuah lagu yang dinyanyikan.

Cak Nun mengingatkan agar kita tidak mudah terjebak pada perdebatan prasangka atau fakta. Ketidaktahuan manusia akan sebuah ilmu atau informasi bukanlah sebuah aib, karena yang terpenting adalah apakah hidupnya itu bermanfaat bagi orang lain atau tidak. Yang terjadi sekarang adalah manusia fokus dalam wilayah perdebatannya, sehingga kehilangan fokus terhadap outputnya.

Selain Raras Ocvi dan Ranu yang mengisi jeda diskusi di sesi awal dengan membawakan beberapa nomor-nomor akustik setelah penampilan Reza yang berpantomim, malam itu di Kenduri Cinta hadir grup musik El Bams, yang membawakan beberapa nomor-nomor KiaiKanjeng yang telah diaransemen ulang oleh mereka. Suasana Kenduri Cinta pun semakin semarak, karena ketika nomor Hasbunallah dibawakan oleh El Bams, seluruh jamaah serempak ikut melantunkan lagu tersebut. Meskipun tanpa alat musik gamelan seperti KiaiKanjeng, El Bams mampu menyuguhkan nomor-nomor KiaiKanjeng dengan apik.

Cak Nun menyampaikan bahwa silang sengkarut yang terjadi akhir-akhir ini, prasangka dan fakta, fiksi maupun non fiksi, dan lain sebagainya merupakan sebuah pertanda dari Allah bahwa manusia itu harus belajar bareng, sinau bareng. Masalahnya adalah bahwa kita tidak mau belajar, karena kita merasa sudah mengerti kebenaran dalam diri masing-masing. Di Maiyah kita belajar bahwa kebenaran hanya ada pada Allah.

“Jadi, manusia itu bekal utamanya bukan ilmu melainkan tawadhlu’, tahu diri dan rendah hati, Bahasa jawanya adalah biso rumongso”, Cak Nun menambahkan, sementara yang kita temui hari ini adalah orang-orang yang rumongso biso, merasa paling benar, merasa paling mampu, merasa paling hebat. Kesombongan manusia mengantarkan mereka pada hancurnya peradaban sehingga banyak sekali persoalan manusia hari ini yang diakibatkan dari kesembronoan mereka sendiri dalam berfikir.

Selain Budi, ada Adi yang menganggap bahwa Cak Nun selama ini melakukan kebohongan publik. Kebohongan publik yang dimaksud oleh Adi adalah bahwa Cak Nun sering mangaku bahwa beliau bukanlah ulama, bukanlah intelektual, bukan pula ahli agama. Sementara selama ini Adi menemukan sosok Cak Nun sebagai seorang yang multi talenta, karena menguasai dan ahli dalam banyak hal. Cak Nun bahkan mampu menjelaskan persoalan-persoalan dengan metode yang sangat mudah untuk difahami oleh orang yang awam sekalipun. Bagi Adi, kerendah hatian Cak Nun tersebut merupakan “kebohongan publik” yang telah dilakukan oleh Cak Nun. Adi mempertanyakan, ahli pertanian itu apakah orang yang lulus sarjana di sebuah Fakultas Pertanian atau mereka para petani yang setiap hari mencangkul di sawah?

Salah satu akibat dari kurangnya lipatan dalam berfikirnya manusia, sehingga terbiasa berfikir linier, maka pendapat yang lahir dari fikiran manusia hari ini tidak pernah mempertimbangkan bahwa sebuah peristiwa itu ada sebabnya, ada efek sampingnya dan ada yang harus dipertanggungjawabkan. Peristiwa dihukumnya orang yang bersalah jangan dipandang sebagai sebuah peristiwa kekejaman, karena sebuah kesalahan akan menjadi bersih dimana salah satu cara membersihkannya adalah dengan cara dihukum. Di Maiyah, kita senantiasa dilatih untuk berfikir dalam lipatan-lipatan yang banyak, cara berfikir kita adalah cara berfikir siklikal, zig-zag, thawaf bukan cara berfikir yang linier.

Jamaah lain yang juga sempat merespons paparan Cak Nun adalah Li, seorang perempuan yang saat ini aktif dalam kegiatan penagkaran binatang liar, utamanya Anjing dan Kucing sambat kepada Cak Nun bagaimana hukumnya dalam Islam memelihara Anjing yang liar tersebut. Li sendiri melihat sosok Cak Nun sebagai Mbah-nya sendiri, karena saat ini ia sudah tidak memiliki kakek dalam arti hubungan biologis. Di Kenduri Cinta ini, Li merasa menemukan keluarga baru yang menerimanya apa adanya, sehingga ia merasa aman dan nyaman di Maiyah. Li selalu mengingat pesan mendiang kakeknya dulu bahwa untuk mengingat Allah cukup dengan mengingat  kalimat basmallah, dimana didalamnya terkandung kata bahwa Allah adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Merespons pertanyaan Li, Cak Nun menjelaskan bahwa dalam Islam halal dan haram itu mempertimbangkan ruang dan waktu, juga momentumnya. Anjing misalnya, yang diperingatkan dalam Fiqih adalah bahwa air liur Anjing itu najis, cara membersihkannya dengan dibasuh 6 kali air dan 1 kali dengan debu. Proses membersihkan najis air liur anjing ini adalah aturan main yang harus ditaati dalam Islam. Memelihara anjing tentu bukan sebuah kesalahan, namun demikian aturan main untuk membersihkan najis air liur anjing juga tidak boleh dilanggar. Seperti halnya Babi, letak haramnya Babi adalah ketika kita memakan dagingnya. Sebagai manusia apa susahnya kita untuk mengikuti aturan main Allah? Manusia sering terjebak pada prasangka-prasangkanya sendiri, sehingga gagal menakar dan melihat titik keseimbangan dalam menyikapi sebuah persoalan.

Cak Nun menggambarkan bahwa manusia hari ini sering mengalami “bocor psikologis”, karena gagal memahami proporsi dalam meletakkan sebuah persoalan. Segala sesuatu yang diharamkan kemudian lantas menjadi sesuatu yang dibenci. Allah menyatakan sesuatu itu haram bukan dalam rangka untuk dibenci, melainkan agar manusia menghindarinya. Haramnya daging babi tentu ada alasan medis mengapa dagingnya diharamkan untuk dikonsumsi, begitu juga dengan air liur anjing. Hidup ini untuk belajar, sehingga ketika Allah memberikan sebuah informasi maka tugas kita sebagai manusia adalah mempelajari informasi tersebut dengan detail, tidak sepotong-sepotong.

Dari Kenduri Cinta edisi April ini pun betapa menyadarkan kita bahwa hidup itu begitu luasnya. Konsep manusia ruang yang dijelaskan oleh Cak Nun memberikan kita peluang untuk semakin mudah berbuat baik kepada sesama manusia. Karena dengan menjadi ruang, kita akan menampung semua yang ada di sekitar kita. Kita tidak terjebak dalam konsep perabotan yang mengisi ruang, karena justru kita memposisikan ruang sebagai perabot. Hadirnya Syeikh Nursamad Kamba, Ust. Wijayanto dan Iwan Iswan di Kenduri Cinta edisi April 2018 ini juga memberikan wawasan yang baru bagi jamaah Kenduri Cinta, selengkapnya akan dipublikasikan dalam rubrik Reportase Kenduri Cinta.