Membaca Maiyah

Sabtu malam 19 Oktober 2013 Padhangmbulan tepat berusia 20 tahun. Bersama itu, diperingati pula 1 tahun meninggalnya Ibunda Halimah dan 40 tahun meninggalnya ayahanda Muhammad. Maka sebelum masuk ke halaqah, jamaah konsentrasi berdoa untuk beliau berdua yang semasa hidupnya terus aktif berjuang demi perkembangan kehidupan Islam di Menturo.

Cak Fuad sebagai tuan rumah mengucapkan terima kasih kepada semua yang sudah berkenan datang dan mendoakan. Setelah itu sambil guyon Cak Nun menyampaikan satu dua poin mendasar dalam berislam yang sering luput dari muslim itu sendiri.

Rabbana dzalamna anfusana wa illam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna minal khasiriin. Tugas kita adalah mencari keburukan dalam diri sendiri dan mencari kebaikan dari diri orang lain, bukan sebaliknya. Apapun yang tampaknya buruk dari orang lain, kita cari sisi-sisi baiknya. Karena logikanya terbalik, orang jadi gemar mengkafirkan kelompok-kelompok lain yang berbeda darinya. Padahal untuk melihat mana yang benar-benar muslim pun hanya Allah yang mampu. Yang bisa kita lakukan adalah terus-menerus berprasangka baik kepada orang lain. Inilah yang dijadikan pegangan oleh Rasulullah, para sahabat, aulia dan ulama-ulama.

Lalu kita juga mesti mengenal haq Allah. Bahasa Indonesia agak kerepotan dalam mengartikan kata ini—seperti yang terjadi pada banyak kata lainnya. Bahasa Inggris mengenal haq dengan kata right, yang mengandung dua arti yaitu ‘hak’ dan ‘kebenaran’.

Haq Allah adalah kebenaran awal dan kebenaran akhir. Ada orang sehat yang tiba-tiba dipanggil Allah sementara yang sakit-sakitan malah panjang umur, itu semua merupakan haq Allah. Dua atau tiga tahun mesti ada yang mengakhiri segala kebusukan yang sekarang kita rasakan—orang tak punya lagi rasa malu, mencuri sudah hal biasa, mewartakan hanya hal-hal yang buruk sebab itulah yang laku. Hanya keburukan yang membutuhkan keburukan.

Padahal bapak kita, Nabi Adam, adalah makhluk paling jangkep, paling sempurna, paling lengkap unsur-unsurnya dibanding makhluk-makhluk lain yang menghuni bumi sejak jauh sebelum Adam. Maka setelah salah satu staf-Nya menciptakan Adam dan Allah meniupkan ruh ke dalam jasadnya, jadilah dia khalifah di muka bumi. Bersama Adam, banyak sekali staf yang dipekerjakan Allah untuk mbaurekso hal-hal spesifik mulai dari semut, tikus, angin, gunung, pohon.

Tiupan ruh Allah menghidupkan akal, hati, dan syahwat Adam. Lalu Allah memberikan pelajaran semester pertama. Wa ‘alama Adamal asma-a kullaha tsumma ‘aradhahum ‘alal malaikah. Allah mengajarkan nama benda-benda, kemudian Adam menuturkan nama-nama itu kepada Malaikat. Dengan bahasa apa Tuhan mengajarkan nama-nama itu? Kita punya bahasa sejati yang langsung diberikan oleh Allah. Dia ada di antara bahasa Jawa, bahasa Inggris, bahasa Melayu, dan bahasa-bahasa lain tanpa pengguna bahasa itu sadar bahwa ada bahasa sejati dalam bahasa-bahasa mereka.

“Sebelum sempurna Islam kita, belajarlah dulu menjadi manusia. Ikhlaskan hati benar-benar, cerdaskan pikiran sungguh-sungguh. Jadilah insan, kemudian abdullah, lalu khalifatullah,” tutur Cak Nun.

“Tugas kita adalah mencari keburukan dalam diri sendiri dan mencari kebaikan dari diri orang lain, bukan sebaliknya.”

Emha Ainun Nadjib

Sambil bergembira mendengarkan alunan shalawat badar dan nomor-nomor Lesung Jumengglung, Bangbang Wetan, If I Ain’t Got You, Jejak Ibrahim, Baina Katifaihi, Hati Matahari, Sayang Padaku, Ajur-Ajer, dan sebuah lagu Maroko dari Kiaikanjeng dan Mbak Via, jamaah menikmati suguhan yang sudah disiapkan.

Peringatan 20 tahunan ini dihadiri oleh “anak-anak” Padhangmbulan dari Jogja (Mocopat Syafaat), Jakarta (Kenduri Cinta), Surabaya (Bangbang Wetan), Malang (Relegi), Banyumas (Juguran Syafaat). Cak Yus yang memoderatori acara meminta wakil dari masing-masing simpul membagi pengalaman dan pandangannya dalam ber-maiyah sejauh ini. Juga datang Ian L Betts yang sudah sejak lama bersahabat dengan Cak Nun dan pada tahun 2006 menulis buku Jalan Sunyi Emha, sebuah terjemahan dari The Silent Pilgrimage: Emha Ainun Nadjib, A Lifelong Journey of Faith.

Kalau bahkan setelah 20 tahun Padhangmbulan tidak juga menjadi bentuk-bentuk organisasi resmi seperti Partai atau Yayasan, itu karena Padhangmbulan terlalu luas dan berbeda. Di tengah kekecewaan dan kesedihan kita menghadapi kebusukan, Maiyah menunjukkan adanya jalan lain. Maiyah adalah semacam organisme yang bekerja mengurusi soal-soal sosial, moral, dan politik tanpa bentuk yang kaku. Tapi justru dengan itulah, menurut Mas Ian, Maiyah mampu menciptakan perubahan yang sepertinya tidak mungkin dilakukan di Finlandia, Belanda, dan banyak tempat lainnya.

Dari sudut pandang Rachmad dari Bangbang Wetan, Maiyah adalah ajakan untuk ber-Islam dengan Islamnya Nabi Muhammad, Islam yang dikehendaki oleh Allah. Maiyah memang tidak mengurangi problem, tapi memberikan ketenangan dan meningkatkan kesiapan untuk menghadapinya. Dengan bekal-bekal dari Maiyah, semua jadi terasa ringan saja.

Pak Titut Edi Purwanto yang datang dari Banyumas lalu membacakan puisi dan menyanyikan lagu dari daerahnya dengan diiringi musik KiaiKanjeng. Ia menyampaikan, tidak seperti banyak kelompok lain, Maiyah mengutamakan ruh dalam beragama. Maka ketika suatu hari ada ide dari 7 pemuda untuk membentuk kegiatan Maiyahan di Banyumas, Pak Titut langsung mendukung. Tujuh bulan sejak dibentuk, Juguran Syafaat konsisten berkumpul setiap bulan.

Di antara banyak pengalamannya berorganisasi, Mathar merasa bahwa Kenduri Cinta—dan lingkar-lingkar Maiyah lainnya—sangat unik. Tidak ada struktur organisasi yang baku sebagaimana komunitas lain, tapi forum bulanan dapat selalu terselenggara dengan baik. Satu lagi pelajaran berharga dari Maiyah: tetap tenang dan bijaksana di tengah kebobrokan yang terjadi di mana-mana.

Kiai Muzammil, yang di Parangtritis Jogja, menyoroti Maiyah dari terminologinya. Kata “maiyah” bisa diucapkan dalam dua makhraj. Yang pertama menggunakan hamzah, ma-un, artinya bangsa air. Dalam pengertian ini, Maiyah harus mampu memberikan kehidupan sebagaimana Allah menciptakan dari air segala yang hidup. Yang kedua memakai ‘ain, ma’a, artinya bersama. Maiyah membangun kebersamaan, dan kebersamaan hanya ada ketika ada perbedaan-perbedaan. Kita akui bahwa perbedaan kita dikehendaki oleh Allah.

Setelah Beban Asmara, Lagu Pantun Budi, dan Allahu Allah, Cak Nun mulai memberikan uraian-uraian yang lebih mendalam. Turut urun juga Cak Fuad, Mustofa W Hasyim, Pak Tjuk, Dokter Kris, Marzuki, dan Sabrang.

PhotoGrid_1382204154867

TIGA PERJALANAN KIAI KANJENG

Saya berangkat dari Kiai Kanjeng. Yang 20 tahun ini bukan hanya Padhangmbulan tapi juga Kiai Kanjeng. Secara embrional KK sudah lahir jauh sebelumnya. Pak Nevi Budianto dan Pak Joko Kamto bersama saya sudah sejak 1976, merintis musik puisi untuk pertama kali. Oleh karena itu Desember depan Kiai Kanjeng akan diminta untuk memuncaki Festival Musik Puisi di Taman Budaya Yogyakarta,” Cak Nun mengawali.

Segera setelah penampilan Kiai Kanjeng dalam The Muslim News Award of Islamic Excellence, Chancellor Inggris, yang di kemudian hari menjadi perdana menteri, berpidato cukup panjang tentang musik yang baru didengarnya: “Dunia yang akan datang kalau bisa kita bangun sebagaimana KiaiKanjeng mengaransemen musiknya, mengakomodasi segala jenis alat musik dan merangkum estetika musik dari seluruh benua.”

Kiai Kanjeng tak pernah berniat untuk menjadi pemusik, apalagi pemusik unggul. Tapi di Napoli mereka diminta untuk bermain bersama pianis dan musisi terbaik dan diakui sebagai musisi hebat kelas dunia. Hal serupa terjadi pula di Finlandia, Amsterdam, Maroko, dan masih banyak lagi.

Justru karena tidak adanya ambisi untuk mengungguli siapapun, Allah meridhoi Kiai Kanjeng menjadi pemusik unggul yang dikagumi oleh para pemusik profesional. Ketika membuka Indonesian Jass Festival dua bulan lalu, Kiai Kanjeng juga menjadi suguhan yang sangat bagus di antara para musisi Jazz tanah air.

Musik Kiai Kanjeng tak berhenti pada musik. Di samping nilai musik, ada nilai kebudayaan dan nilai komprehensif dalam musik-musiknya. Kiai Kanjeng menghimpung tulang-belulang yang seharusnya tidak dapat dikumpulkan kembali. Sedikit contoh, Kiai Kanjeng keliling 7 kota di Belanda, diakhiri dengan penandatanganan MoU antara semua kelompok agama di sana yang sebelumnya bertengkar. Di Kulonprogo, bersama Pak Tjuk, Cak Dil, dan kawan-kawan yang lain Kiai Kanjeng menjadi pemrakarsa ditandatanganinya MoU antara bupati dan jajarannya dengan seluruh tokoh masyarakat dan para petani untuk membuat jargon Madhep Mantep Pangane Dhewe. Yang terakhir di Tulangbawang, Kiai Kanjeng dan Cak Nun mendamaikan bentrok antara petambak udang di mana 4 orang meninggal, 6 orang masuk penjara, 1.500 terusir dari rumahnya, infrastruktur hancur lebur. Melalui pertemuan dengan para pemimpin perusahaan pada siang hari dan keterbukaan dengan masyarakatpada sorenya, masalah selesai relatif dalam satu hari. Sekarang mereka sudah kembali tabur benih dan akan segera panen.

Tapi jangan harap prestasi-prestasi ini akan diakui oleh dunia. Dunia tidak kuat derajat untuk memanggul derajat Kiai Kanjeng dengan segala komprehensinya.

TIGA LEVEL AMANAT MAIYAH

Ada tiga level amanat Maiyah. Level pertama, menjadi individu dan membentuk keluarga yang benar; hasilnya ketenteraman dan kelancaran bekerja. Level kedua, menyebarkan Maiyah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Level ketiga, lebih luas lagi. Pertanyaannya: Kita diberi Allah Maiyah untuk dijadikan manfaat entah untuk Indonesia atau semampu-mampu kita, ataukah kita dititipi Indonesia dan untuk itu kita dibekali Maiyah?

“Saya kira tidak perlu kita ambil keputusan pada malam ini, tapi jadikan pertanyaan itu cara pikir. Kalau yang dititipkan Maiyah mungkin lebih sederhana, tapi kalau yang dititipkan Indonesia maka Maiyah harus sangat bekerja keras. Saya mencoba berdiri di antara keduanya. Saya katakan ya pada yang pertama dalam arti kita lakukan untuk Indonesia semampu-mampu kita. Tapi kalau dititipi Indonesia, anda harus perhatikan semua hal yang sedang terjadi ini. Anda harus belajar ilmu politik, sejarah, dan segala macam.

“Menurut anda sebaiknya tahun 2014 ada Pilpres atau tidak? Pada jaman Rasulullah tidak ada sistem pemerintahan, tidak ada pejabat formal. Khilafah yang semi-formal baru ada pada Abu Bakar; setelah itu semakin formal. Pada jaman Rasulullah benar-benar merupakan kepemimpinan dari seorang manusia agung. Merupakan hal yang mungkin penduduk dunia ini diurus dan diatasi oleh kewibawaan dan ketulusan manusia. Saya berdiri di antara dua kemungkinan itu karena saya tak punya hak untuk memaksakan pendapat anda.”

Satu contoh dalam politik praktis. Sekarang ini, upaya utama dari penguasa adalah menghancurkan tokoh-tokoh dari parpol pesaingnya. Partai yang sedang berkuasa mencari gubernur dari parpol saingan, lalu mencari-cari kesalahannya untuk dikerjasamakan dengan KPK. Semua sedang disidik luar biasa. Dahlan Iskan, di mana korupsinya, bagaimana ketika di PLN, ketika di Maumere. Jokowi, apakah pada masa di Solo ada kesalahan atau tidak. Mahfud MD, soal membangun gedung MK dan Pilkada. Semua sedang sangat dicari-cari.

“Kalau calon presiden yang disetujui pada bulan Januari dan Februari konstituennya tetap di bawah 7,5%, mereka akan membuat Pemilu tidak jadi—klop dengan keinginan anda meskipun tujuannya bertentangan. Masalah yang sedang saya hadapi adalah seberapa jauh KPK independen dalam soal ini. Apakah mungkin KPK bertindak kepada Cikeas, kepada Bu Ani atau SBY sendiri. Saya sedang meneliti, saya data setiap pemimpin di sana—bagaimana peta politiknya, kepentingannya, peta utang budinya. Tapi Maiyah bukan gerakan politik praktis. Kalaupun bersentuhan, sifatnya adalah persentuhan nilai, bukan persentuhan kepentingan atau kekuasaan.”

DOA TAHLUKAH

Saya tetap optimis bahwa ada jalan keluar politik praktis, ada jalan keluar kebudayaan, dan ada jalan keluar spiritual di mana Langit terlibat. Sementara belum tahu apa yang mesti dilakukan, kita harus terus menerjemahkan syahadat. Pertama vertikal, lalu kita jadikan kesadaran di setiap apapun yang kita jumpai. Ketemu pohon, kita syahadati. Salah satu bentuk mensyahadari keadaan adalah dengan melakukan perilaku-perilaku atau upaya-upaya yang sifatnya syar’i, misalnya memperbanyak ibadah sunnah.” Dalam rangka menjalankan upaya dalam bidang ini, Cak Nun bersama Cak Fuad menyusun Doa Tahlukah atau Doa Penghancuran. Untuk mendapat nasi, kita harus menghancurkan konsep beras. Untuk memperoleh batu-bata, kita harus tidak eman menghancurkan tanah. Untuk membangun diri, kita harus rela menghancurkan diri kita setiap detiknya.

Doa panjang ini nantinya akan diamalkan oleh 70 orang dari berbagai simpul Maiyah. Tapi sebelum itu, jamaah harus terlebih dulu ikut ngracik dengan mencari dan mempelajari artinya. Mengenai siapa-siapa yang termasuk dalam 70 orang itu, Cak Nun meminta ada identifikasi serius siapa saja yang istiqomah untuk kemanusiaan demi kemaslahatan anak-cucu kita.

“Angka 70 ini bukan klenik, tapi diambil dari peristiwa Nabi Musa yang pernah berada pada posisi serupa. Ketika itu, kalau tidak dikasih hidayah plan B-nya adalah bencana. Tapi kalau bencana, apakah orang yang tidak ikut melakukan kedzaliman akan juga terkena dampaknya, tanya Nabi Musa—yang kemudian segera dijawabnya sendiri: Itulah ujian bagi orang-orang yang beriman.

Hal yang kita pintakan kepada Allah lewat Doa Tahlukah adalah dibukanya pengetahuan mengenai amanat apa yang sedang diperintahkan Allah kepada Maiyah. Rumus dasarnya adalah bahwa Allah tidak akan memberikan perintah tanpa menyediakan fasilitas untuk mengerjakannya.

Dalam perjalanan 20 tahun ini Maiyah mendapat fasilitas-fasilitas luar biasa banyak seperti yang sudah disampaikan sebelumnya. Rambahan konteksnya yang sangat luas, durasinya yang sangat panjang tapi bikin betah, jalannya acara setiap bulan tanpa adanya panitia resmi dan penyusunan anggaran, juga fasilitas sikap hidup yang ditumbuhkan dalam diri kita. Bisa saja kita jual Maiyah kepada sponsor, tapi toh kita tidak melakukannya.

“Malam ini kita tidak mendetail tapi kita membaca Maiyah: apa amanat yang Allah berikan? Apakah ada hubungannya dengan 2014, 2017, dan era mendatang Indonesia?”

“Untuk mendapat nasi, kita harus menghancurkan konsep beras. Untuk memperoleh batu-bata, kita harus tidak eman menghancurkan tanah. Untuk membangun diri, kita harus rela menghancurkan diri kita setiap detiknya.”

Emha Ainun Nadjib

ORGANISASI DAN ORGANISME

Cara paling sederhana untuk membedakan organisme dengan organisasi, kata Dokter Kris, adalah dengan mengandaikan organisme itu payudara sementara organisasi itu tumor payudara. Payudara memakan nutrisi yang masuk ke tubuh kemudian memberikan manfaat berupa ASI, tapi tidak dengan tumor. Tumor hanya tahu soal makan dan makan. Kalau suatu saat asupan nutrisi dihentikan, organisasi mengalami kehancuran.

Hal semacam ini pernah terjadi di Malang. Obor Illahi dulu merupakan organisasi yang sangat besar, tapi lambat laun hancur. Malang membiarkan proses penghancuran itu terjadi, sampai kemudian muncul gerakan baru yang hari ini menjadi Forum Relegi. “Secara pribadi saya sedih melihat Malang, tapi tidak secara Maiyah. Dari awal saya merasa tidak ada nilai yang awet dalam organisasi. Bagi saya yang penting file-nya. Maiyah tidak harus berkumpul seperti ini. Ada orang yang bermaiyah cukup dengan mendengar dua atau tiga kalimat, tapi itu menjadi file kesadaran yang dia pakai seumur hidup. saya melatih diri untuk bertahan pada posisi seperti itu. Maka di Maiyah tidak ada fanatisme atau kepentingan untuk dianggap sebagai orang Maiyah.”

“Milikilah sidik paningal, penglihatan yang jernih kepada yang sejati.”

Emha Ainun Nadjib

BERHENTI BERPERASANGKA BURUK

Jawa Timur akan menjadi pusat kesibukan Pemilu 2014. Mulai sekarang daerah itu sudah menjadi pusat perhatian karena Freeport kedua akan ada di sana. Negosiasi calon Presiden di sana letaknya.

Yang terjadi sekarang di Indonesia adalah orang-orang yang tak bisa berenang dilempar ke laut – perilaku mereka menjadi tidak normal, menggapai apa saja yang tampak. Sistem tidak memungkinkan kita untuk memilih mulai dari presiden, menteri, sampai PNS paling rendah, berdasarkan kredibilitas. Kita mendorong orang-orang yang salah ke laut.

“Jangan menganggap jelek siapapun. Saya yakin nanti kalau ada pemimpin yang sungguh-sungguh memenuhi syarat keksatriaan, kewibawaan, terbimbing, sinisihan wahyu, maksum, orang-orang yang sekarang tampak buruk akan ikut menjadi baik. Mayoritas manusia Indonesia terpaksa melakukan ini semua.

“Kita doakan supaya Allah menganugerahi kita kepemimpinan sejati, entah dalam bentuk seperti apa. Kepemimpinan yang tidak dipalsukan oleh sistem politik, sogokan uang, kekeliruan ilmu. Thariqat yang saya tawarkan untuk ini adalah dengan menelusuri yang sejati, yang tanpa kepentingan. Sekali-sekali diamlah di dalam kamar, pejamkan mata, dengarkan yang sejati. Begitu membuka mata, yang tampak adalah kepalsuan.

Wirid rengeng-rengeng dengan irama selambat mungkin sampai habis napas. Jangan kaget, Anda akan masuk ke dalam dimensi sejati. Kalau Anda urun kesejatian, Allah akan menghadirkan pemimpin yang sejati. Milikilah sidik paningal, penglihatan yang jernih kepada yang sejati.

“Indonesia terlalu sibuk membangun sehingga luput memelihara. Sesuatu yang sudah dibangun oleh peradaban sebelumnya tak terpelihara dan terlupakan begitu saja.”

Sabrang

MENJAGA PUSAKA

Membaca Maiyah, Sabrang mengambil sudut pandang dari cerita ashabul kahfi. Enam orang pemuda itu berlari menyingkir ke gua karena tidak sanggup menghadapi kerusakan masyarakat pada waktu itu. Lalu Allah menyuruh mereka tidur sampai dibangunkan pada saat yang tepat. Yang sedang terjadi sekarang adalah proses masuk ke dalam gua. Tak perlu bikin gerakan, karena pada saatnya nanti kita akan dibangunkan. Lalu apa yang dilakukan Maiyah?

Ada satu kata yang sangat disalahartikan di Indonesia. Cultural heritage diterjemahkan sebagai warisan budaya. Warisan adalah sesuatu yang merupakan hak kita sehingga kita bebas menggunakan dan menghabiskannya. Terjemahan yang lebih tepat adalah pusaka—sesuatu dari nenek moyang yang harus kita jaga dan kita lestarikan. Di sinilah letak Maiyah: menggali pusaka-pusaka itu dan menjaganya. Selama ini Indonesia terlalu sibuk membangun sehingga luput memelihara. Sesuatu yang sudah dibangun oleh peradaban sebelumnya tak terpelihara dan terlupakan begitu saja. Kalau kita menjaga pengetahuan nenek moyang, ketika datang saat membangun kita tahu persis bagaimana caranya dan apa saja bahan dan alatnya. Sebelum bisa menjaga pusaka-pusaka itu, yang terlebih dulu harus dilakukan Maiyah adalah mengetahui apa saja yang dulu sudah dibangun.

Berdasar penelitian terbaru, akan ada peningkatan suhu dunia secara global dan permanen, dan itu dimulai dari Indonesia. Bermula dari Manokwari pada tahun 2020, terus sampai di Jakarta pada sekitar 2029 dan terakhir di Iceland. Sekarang sudah mulai terasa efeknya. Siapa yang bisa menyelamatkan kita dari hal ini? Orang yang memelihara pengetahuan leluhur tahu apa yang harus dia bangun ketika terjadi perubahan, tidak asal mlaku. Di sinilai koordinat Maiyah.

BENIH MAIYAH

Jangan berpikir bahwa Maiyah adalah yang datang dari kami ke anda. Di dalam hati dan pikiran orang-orang di seluruh dunia terdapat potensi-potensi Maiyah, hanya saja mereka belum mendapat peluang untuk membangunkan benih-benih yang sudah ada itu.

“Jangan lupa bahwa semakin lama pohon tumbuh, semakin lama pula jangkauan hidupnya. Maiyah bukan tanaman instan yang dengan mudah tumbuh lalu segera panen. Baca sejarah, banyak sekali tokoh yang sama sekali tidak dikenal apalagi diapresiasi sepanjang hidupnya. Baru setelah dia meninggal, karya-karyanya menjadi sangat tenar dan dihargai. Sejarah sangat panjang, dan ini kita serahkan kepada Allah; kalau memang ini merupakan amanat Allah, Allah sendiri yang akan menciptakan panen-panennya.

“Mudah-mudahan Allah membersihkan kita pada hari ini karena kalau kita bersih, Allah akan menganugerahkan hal-hal yang tepat dengan kebersihan itu. ”

Pukul tiga dini hari, setelah lantunan salawat oleh Sudrun, Padhangmbulan dipuncaki dengan doa bersama.

[Teks: Ratri Dian Ariani]