Marhaban, Ahlan Wa Sahlan 2018

PERGANTIAN TAHUN selayaknya adalah momentum yang melahirkan semangat baru bagi kita semua. Dengan bergantinya tahun, maka ada harapan baru yang lahir dari setiap diri kita menyambut hari-hari yang baru. Pencapaian demi pencapaian di tahun sebelumnya adalah sejarah bagi kita, memasuki tahun yang baru ini ada sederet target, harapan dan cita-cita yang masing-masing kita canangkan untuk kita raih tahun ini.

Begitupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem Demokrasi yang dipilih oleh Indonesia membuat Bangsa ini menjalani kesibukan rutin setiap 5 tahun sekali. Lengsernya Orde Baru ternyata tidak serta merta melahirkan kebebasan berpendapat yang didamba-dambakan. Bagi sebagian orang, turunnya Soeharto di tahun 1998 memang sebuah anugerah. Hanya saja anugerah yang bagaimana?

Ada yang beranggapan bahwa Soeharto itu adalah Pemimpin yang otoriter dan diktator. Ada yang juga menganggap bahwa Soeharto dengan klan Cendana nya sudah terlalu kuat hegemoninya saat itu. Sebagian yang lain mungkin merasa; “Kok cuma Soeharto yang bisa seperti itu. Saya juga kepingin seperti dia”.

Hasilnya memang lebih cenderung pada argumen terakhir. Jika pada saat Orde Baru, kita hanya melihat satu sosok Soeharto yang begitu digdaya, tanpa ada satupun orang yang berani menentangnya. Setelah Soeharto lengser keprabon, ternyata kekuasaan untuk memimpin Negara ini menjadi semacam bancakan politik yang secara terang-terangan diperebutkan oleh para elit politik negeri ini.

Pesta Demokrasi yang dilaksanakan setiap 5 tahun, dalam berbagai skala tak ubahnya seperti arena pertarungan binatang buas yang berebut daging segar di tengah lapangan pertandingan. Saling sikut, saling jegal, tak peduli mana domba mana serigala, mana serigala berbulu domba, mana domba berbulu serigala. Semakin tidak jelas. Bahkan saking absurdnya, ada domba yang berpelukan dengan serigala, ada anjing yang berkoalisi dengan kucing, ada macan yang berkoalisi dengan kerbau. Tak jelas mana kawan, mana lawan.

Rasa-rasanya masih sangat relevan jika kita kembali membaca salah satu naskah pidato Cak Nun yang disusun pada tahun 1995; “Titik Nadir Demokrasi: Kesunyian Manusia Dalam Negara”. Jika kita membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf dalam naskah pidato tersebut, apa yang kita alami hari-hari ini ternyata sudah digambarkan oleh Cak Nun 23 tahun yang lalu melalui naskah tersebut.

Tahun ini, Indonesia akan memasuki pemanasan tahun Politik yang suhunya diprediksi akan sangat tinggi. Ada 17 Provinsi yang akan menggelar pemilihan Gubernur, selain itu ada 39 Kotamadya yang akan memilih Walikota dan 115 Kabupaten melengkapi Pesta Demokrasi tahun 2018 ini memilih Bupatinya. Terbayang sudah berapa trilliun rupiah akan dihamburkan sepanjang tahun 2018 ini mewarnai gegap gempita Pesta Demokrasi ini? Akan ada rangkaian kampanye baik yang santun maupun yang tidak santun, akan ada jutaan konten hoax yang akan disebarluaskan. Media sosial pun akan semakin riuh dengan adu argumen para pendukung masing-masing calon kepala daerah.

Marhaban, Ahlan wa sahlan 2018. Sebagai rakyat kecil, tentu tidak muluk-muluk yang kita harapkan. Sebenarnya, jika para pemegang kekuasaan di negeri ini benar-benar dan serius berpegang teguh kepada Pancasila, kita pun tidak akan pusing dan repot melihat kelakuan para politisi yang menjelang digelarnya Pesta Demokrasi 5 tahunan ini bersolek penuh gincu dan bedak pencitraan. Sebagian dari mereka juga ada yang berlaku seperti badut sirkus yang akan meramaikan layar kaca untuk turut menambah suhu politik semakin panas. Sayangnya, Pancasila hanya mereka anggap sebagai jargon saja untuk diteriakkan, tidak untuk diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selamat datang tahun Politik 2018. Tahun ini adalah tahun pemanasan, dimana puncaknya nanti adalah Pemilihan Umum 2019. Masing-masing gerbong politik akan kembali menakar dan mengukur akan kemana mereka bergabung atau berkoalisi. Akan berlanjut saling berangkulan atau justru akan berdiri pada kubu yang baru. Yang hari ini saling hujat, bisa jadi di 2019 nanti akan saling berangkulan mesra satu sama lain.

Maka, mari kita renungkan penutup dari naskah pidato Cak Nun di tahun 1995 silam; “Inilah hari-hari ketika Allah menganugerahimu kesunyian. Allah mengujimu dengan hal-hal yang—karena belum tersentuh sungguh-sungguh oleh tangan kejuanganmu—terasa sebagai duka dan kepiluan. Inilah hari-hari ketika kegelapan mengepung demi memberimu ilham tentang cahaya. Keedanan memuncak untuk menawarkan kepadamu kewarasan. Kebuntuan-kebuntuan pun menabrakmu dan mengundangmu untuk menjebolnya.”