MANUSIA GAGAL IDENTITAS

REPORTASE KENDURI CINTA oktober 2015

Anggapan bahwa identitas merupakan suatu hal yang primer, banyak menjadikan manusia cenderung lebih meminta pengakuan-pengakuan serta eksistensi diri daripada memberi manfaat bagi sekitarnya. Sang Sutradara telah memberi anugerah berupa kenikmatan-kenikmatan kepada setiap makhluk-Nya untuk bekal dalam menjalani peran di kehidupannya. Perjanjian suci itu memang ‘diskenariokan’ untuk tidak diingat manusia, lupa disematkan tepat saat ia lahir dari rahim ibunya. Maka, dalam perjalanan di kehidupannya itulah, dengan dibekali alat berupa akal, pikiran, serta keimanan, manusia berusaha menemukan kesejatian peran dalam dirinya.

Mengangkat judul Manusia Gagal Identitas, forum maiyahan Kenduri Cinta edisi Oktober 2015 malam itu berangkat dari sebuah tema besar dalam menyikapi wacana kegagalan manusia terhadap identitasnya, kegagalan manusia yang meminggirkan personalitas hingga akhirnya menjauh dari dirinya yang sejati.

Semenjak sore, plasa Taman Ismail Marzuki dipersiapkan sedemikian rupa oleh para penggiat Kenduri Cinta. Lewat pukul delapan malam, Kenduri Cinta dibuka dengan tadarrus Alquran Surat Huud, dilanjutkan dengan bersama melantunkan wirid Hasbunallah, Padhangmbulan dan Shohibu Baitiy—sebuah konfigurasi prolog acara yang nyaris sama di semua forum maiyahan di kota-kota lainnya.

Nashir malam itu mendapat tugas memoderasi acara di sesi awal. Nashir—yang sehari-harinya beraktivitas di sebuah perusahaan asuransi dan belum lama bergabung menjadi penggiat Kenduri Cinta—memoderasi sesi prolog dengan mengajak jamaah untuk urun pendapat terhadap tema Kenduri Cinta; Manusia Gagal Identitas. Nashir telah lama menjadi jamaah sebelum ia aktif bergabung bersama penggiat mengelola forum. Nashir seperti menjadi contoh bahwa setiap orang yang hadir di Kenduri Cinta memiliki peluang sama untuk maju di forum, memoderasi bahkan menjadi narasumber. Kenduri Cinta adalah forum belajar bersama, belajar kepada siapapun, apapun, mencari apa yang benar bukan siapa yang benar.

Sebelum jamaah menyampaikan pandangannya, secara bergantian Adi Pudjo, Fahmi dan Tri Mulyana memberi landasan terkait tema. Adi sampaikan bahwa kecenderungan manusia yang saat ini lebih mengutamakan identitas tidak terlepas dari ekosistem yang cenderung materialis. Fahmi menambahkan, identitas merupakan serangkaian pilihan peran yang Allah bebaskan kepada setiap individu untuk menentukannya. Dalam lingkup profesi misal, setiap individu bebas memilih untuk menjadi karyawan, guru, dokter, pengusaha, pedagang, kyai dan sebagainya. Namun, seharusnya kebebasan pilihan-pilihan tersebut mustinya sejalan dengan personalitas yang ada dalam dirinya.

Tri Mulyana memperkuat, berbeda dengan identitas, personalitas merupakan segala sesuatu yang bersifat given, ia tidak bisa ditawar kemungkinan pilihannya, karena Allah sudah menentukan personalitas dalam setiap individu-individu. Setiap manusia tidak bisa memilih apakah ia akan dilahirkan dengan hidung mancung, rambut lurus, kulit putih dan lain-lain. Tetapi, segala sesuatu yang berbeda-beda itu merupakan anugerah agar manusia mampu mengelola, sehingga dalam perjalanan kehidupannya, dengan semua anugerah itu, setiap manusia dapat mencapai tujuan akhir menuju sejatinya diri.

Kenduri Cinta

“Untuk menuju manusia yang sukses identitasnya ia harus memahami perannya, ada dua peran utama manusia: sebagai hamba dan sebagai khalifah.”
Sofi, Kenduri Cinta (Okt, 2015)

Dalam kesempatan berikutnya, masyarakat yang hadir di forum secara bergantian ikut urun pandangan. Salah satu jamaah bernama Sofi merespon, untuk menuju manusia yang sukses identitasnya ia harus memahami perannya. Menurutnya ada dua peran utama: sebagai hamba dan sebagai khalifah. Sebagai hamba, dengan menyadari bahwa dirinya harus mengabdi kepada Sang Pencipta, sedangkan sebagai khalifah, setiap individu harus memahami konsep pembagian tugas antara Tuhan dengan makhluk yang diciptakan.

Lain lagi yang disampaikan oleh Aldi, menurutnya identitas manusia berada pada kemanusiaannya itu sendiri. Seperti halnya pohon yang memiliki identitas pada kepohonannya, hewan pada kehewanannya dan seterusnya. Pada tahap tertentu selalu ada kemungkinan manusia bisa memiliki identitas ganda, satu waktu ia bisa berlaku baik, pada waktu lainnya ia berlaku buruk.

Jamaah lain, Irwan, lebih menyoroti fenomena maraknya media sosial yang fungsinya banyak disalahpahami, hal itu menjadikan manusia memiliki dua identitas: identitas di dunia nyata dan di dunia maya, seringkali bertolak belakang satu sama lain. Ada banyak kontradiksi, orang yang begitu vokal di dunia maya tetapi ketika di dunia nyata ia menjadi sosok pendiam.

Imam, jamaah asal Kebumen, berpendapat bahwa ketidakberhasilan manusia dalam menjalani substansi sifat fitrah sebagai manusia adalah penyebab utama ia menjadi “Manusia Gagal Identitas”. Menurut Imam, ada dua klasifikasi sifat manusia: basyariah dan khususiyah. M. Subhi meng-counter, menurutnya tidak ada manusia yang mengalami gagal identitas, karena setiap manusia berhak memilih apa peran sosialnya di dunia—apakah itu menjadi orang yang baik atau orang yang buruk—dimana hal tersebut merupakan sebuah pilihan yang pada dasarnya sebuah kebebasan. Pada intinya, ia berpendapat dalam kehidupan ini tidak ada manusia gagal identitas.

Diskusi hangat terkadang memanas merupakan hal yang biasa di Kenduri Cinta. Dengan pondasi “mencari apa yang benar bukan siapa yang benar”, perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang lumrah. Forum Kenduri Cinta dapat dipandang sebagai workshop kebebasan berpendapat dan saling menghargai atas perbedaan-perbedaan. Setiap yang hadir diberi kebebasan mengungkapkan pemikirannya, dengan latar belakang pengalaman hidupnya masing-masing, juga dengan teori-teori pengetahuan mereka masing-masing. Harapan dari diskusi-diskusi maiyahan adalah bahwa setiap individu tidak patuh kepada sosok, melainkan ia akan patuh kepada kebenaran yang ia temukan sendiri.

Menutup diskusi sesi awal, kelompok musik Mimaza membawakan lagu-lagunya, disusul kelompok musik Hazelnut dari Komunitas Jazz Kemayoran dengan menampilkan beberapa nomor improvisasi Jazz-nya. Dalam konteks penampilan musik, Kenduri Cinta tidak menempatkan musik sebagai hiburan sebab jamaah tidak perlu dihibur, musik adalah sarana dalam menyampaikan pandangan serta sikap hidup, maka tidak heran jika penampilan musik di Kenduri Cinta banyak diwarnai dengan dialog-dialog antara musisi dan jamaah. Beben Jazz dan komunitasnya yang bertahun-tahun ‘menemani’ Kenduri Cinta tampak memahami konsep tersebut.

Kenduri Cinta

“Belief system yang ada dalam diri kita, arahnya akan bermuara pada dua hal: ada yang kita adopsi tanpa sadar dari luar yaitu lingkungan di sekitar kita dan ada yang sadar kita bentuk identitasnya.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Okt, 2015)

PRESISI ANTARA IDENTITAS DAN PERSONALITAS

Menjelang tengah malam, tampak Sabrang telah berada di forum. Merespon tema “gagal identitas” Sabrang memulai dengan menyampaikan definisi identitas dan personalitas dari kacamata ilmu psikologi, “Jika menurut definisi teori psikologi, personalitas adalah bagaimana kamu melihat diri sendiri, sedang identitas adalah bagaimana kamu melihat orang lain. Personalitas adalah topeng personal, sedang identitas adalah topeng sosial.” Namun, Sabrang memiliki definisi sendiri atas keduanya. Ia menyederhanakan, “Saya tidak menggunakan definisi psikologi tadi, karena pemahaman itu tidak akan membawa manusia kepada dirinya yang sejati. Kalau gampangnya, ada empat lapisan manusia: intelektual, dibaliknya ada identitas, dibaliknya lagi ada personalitas, dan dibaliknya lagi ada diri sejati.”

Intelektual adalah modal utama dalam menggunakan, memproses serta mengolah pikiran dan pengetahuan kita. Di belakang intelektual adalah identitas. Identitas merupakan kumpulan dari belief system. “Belief system adalah sekumpulan kepercayaan kita terhadap sesuatu. Jika kita berbicara tentang benar salah, baik buruk, maka hal-hal itu datang dari identitas bukan dari personalitas,” tukasnya.

Dalam paparannya, identitas menentukan sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah dan seterusnya. Kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan merupakan hasil dari belief system yang terbangun dari kepercayaan-kepercayaan.

Belief system inilah yang kemudian menjadi salah satu komponen dalam identitas manusia. Ada orang yang mempercayai bahwa hidung mancung lebih indah daripada hidung yang pesek, ada juga orang yang percaya bahwa kulit putih lebih bagus dari kulit sawo matang, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut merupakan hasil dari belief system yang terbangun dalam setiap individu manusia. Dengan kepercayaan yang berbeda dan latar belakang pengetahuan yang juga berbeda, tentunya tidak bisa semua manusia memiliki belief system yang sama.

Belief system yang ada dalam diri kita, arahnya akan bermuara pada dua hal: ada yang kita adopsi tanpa sadar dari luar atau lingkungan dan ada yang secara sadar kita bentuk identitasnya,” lanjut Sabrang sambil mencontohkan orang bule yang disimpulkan lebih ganteng dari orang Indonesia, namun apakah kepercayaan itu terbangun dari kesadaran kita yang telah mengukur ‘titik ganteng’ atau ‘ngikut’ kepercayaan yang tumbuh dari lingkungannya. Hal itu bisa jadi merupakan hasil dari identifikasi yang tanpa secara sadar dimiliki, bisa jadi karena kita terlalu sering menonton film-film Barat misalnya.

“Intelektual sifatnya budak dari identitas. Intelektual sepintar apapun seseorang akan digunakan untuk mempertahankan benar dan salah yang ada dalam dirinya,” lanjut Sabrang. Ditambahkan, orang banyak terjebak dalam perdebatan yang hanya untuk mempertahankan informasi yang dia serap.

“Identitas yang tidak gagal adalah identitas yang dia tentukan sendiri atas dasar manfaat, bukan karena sangkaan-sangkaan orang lain yang ia percayai tentang dirinya sendiri.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Okt, 2015)


Sabrang melanjutkan, apabila identitas itu merupakan hasil yang murni dari belief system yang dia bangun sendiri, maka ia tidak mengalami kegagalan identitas. Berbeda apabila ia mengadopsi kesimpulan—benar atau salahnya sesuatu—tanpa sadar, tanpa ia mengolahnya sendiri berdasarkan identitasnya, maka seseorang itu akan mengalami kegagalan identitas, karena ia terbangun bukan dari dirinya sendiri.

“Di belakang identitas ada personalitas. Perbedaan antara identitas dan personalitas adalah identitas merupakan sesuatu yang kita adopsi dari lingkungan, dia nurture, personalitas sifatnya nature—yang kita dapatkan dan kita miliki tanpa kita bisa memilih,” lanjut Sabrang.

Personalitas menurut Sabrang itu seperti golongan darah pada manusia, jenis rambut, warna kulit, bentuk hidung dan lain sebagainya, hal-hal yang sudah melekat dalam diri setiap individu tanpa ada kemungkinan manusia untuk memilihnya. Semua itu adalah nature.

“Biasanya, identitas seseorang itu terpengaruh dari personalitasnya,” Sabrang melanjutkan dengan mencontohkan bagaimana orang yang lahir dan hidup di Jawa maka cara berpikirnya akan mengikuti cara berpikir Jawa. Pada intinya, menurut Sabrang, apa yang kita miliki dalam wadag kita adalah personalitas, ada keterkaitan antara identitas dan personalitas.

Untuk melihat perbedaan antara identitas dan personalitas, Sabrang mencontohkan dengan segala sesuatu yang dilakukan oleh anak kecil. Apa yang dilakukan oleh anak kecil merupakan personalitas, karena anak kecil belum memiliki informasi yang cukup banyak diserap dari kehidupan sosial di sekitarnya, semuanya lahir secara murni dari dalam dirinya sendiri.

“Tetapi semua itu hanyalah topeng, karena personalitas letaknya ada di dalam wadag kita sendiri yang sebenarnya hanya sebagai sebuah kendaraan bagi diri kita yang sejati, identitas sendiri merupakan apa yang kita lakukan dalam perjalanan hidup kita dan itu pun juga bukan merupakan diri kita yang sejati,” lanjut Sabrang yang disambung dengan faktor lingkungan yang juga seringkali membuat kita menyerap identitas tanpa filter, sehingga kita terkadang merasa malu terhadap personalitas yang ada dalam diri kita sendiri.

Manusia memiliki opsi dengan memanfaatkan intelektualitas dalam dirinya, mengolah cara berpikirnya sehingga ia tidak terpengaruh dengan kondisi personalitas apapun yang ada dalam dirinya. Meskipun ia memiliki hidung pesek, ia bisa mengolah informasi dalam dirinya, dengan daya intelektualnya, untuk kemudian menyimpulkan bahwa hidung pesek itu tidak lebih jelek dari hidung yang mancung.

Kenduri Cinta

Keberhasilan sebuah identitas adalah manakala ia memiliki kesadaran mengubah identitas-identitas itu dengan mandiri dari dirinya sendiri.

Lapisan paling akhir; diri yang sejati—merupakan lapisan yang tidak tertutupi oleh identitas dan personalitas. Intelektual (yang ada dalam dirinya) dipakai untuk mencari dirinya yang sejati. Diri yang sejati tidak akan melihat apakah dirinya adalah orang Jawa, Arab atau Cina, tetapi dia melihat bahwa dirinya adalah hamba Tuhan dan dia menyikapi dirinya adalah manusia, sebagai salah satu makhluk Tuhan yang bernyawa,” Sabrang melanjutkan sembari menjelaskan bahwa meskipun manusia sudah mencapai pada titik diri yang sejati, bukan berarti dia tidak memerlukan identitas dan personalitas lagi. Karena setiap manusia memerlukan identitas untuk berlaku dan bermanfaat di masyarakat. Meskipun identitas yang lahir pada tahap ini bukanlah identitas yang lahir berdasarkan informasi yang diserap dari lingkungan di sekitarnya lagi, melainkan sebuah informasi yang lahir dari kepastian dalam dirinya, bahwa ia membutuhkan identitas itu untuk berguna bagi masyarakat.

“Identitas yang tidak gagal adalah identitas yang dia tentukan sendiri atas dasar manfaat, bukan karena sangkaan-sangkaan orang lain yang ia percayai tentang dirinya sendiri,” jelas Sabrang. Keberhasilan sebuah identitas adalah manakala ia memiliki kesadaran mengubah identitas-identitas itu dengan mandiri dari dirinya sendiri.

“Bukan plin-plan, tetapi fleksibel, bukan keras kepala tapi teguh,” Sabrang menegaskan pembeda dengan menambahkan bahwa seorang laki-laki yang memiliki identitas sebagai bapak dapat berlaku benar terhadap anaknya, seorang pemimpin mampu berlaku benar kepada rakyatnya, seorang rakyat berlaku benar kepada pemimpinnya, itu merupakan identitas yang secara sadar dapat dirubah secara mandiri, sehingga ia bisa berlaku sebagai manfaat.

Pada kesempatan berikutnya, Sabrang menegaskan kembali, forum Maiyah tidak mencari siapa yang benar melainkan apa yang benar, sehingga keputusan untuk salah atau benar dapat berubah setiap saat berdasarkan cara pandang dan sudut pandang di setiap kemungkinan-kemungkinan. “Apa yang benar” tidak harus sama pada setiap individu, kebenaran tumbuh bersama otentisitas dirinya, sehingga kebenarannya bisa menampung kebenaran orang banyak, kebenarannya menjadi paling tinggi dan paling luas, itulah salah satu tujuan di Maiyah, menjadi identitas yang tidak gagal karena kita harus menemukan bahwa diri kita merupakan hasil dari pemahaman atas diri kita yang sejati bukan atas informasi yang diadopsi dari sekitar kita.

TERUS-MENERUS MENCARI KEBENARAN

“Adakah orang yang selalu berlaku baik dan adakah orang yang selalu berlaku buruk? Apakah ‘baik’ yang kita pahami itu sama dengan ‘baik’ yang dipahami oleh orang lain dan apakah ‘buruk’ menurut kita itu sama dengan ‘buruk’ menurut orang lain?” Sabrang merespon pertanyaan sebelumnya tentang manusia yang berlaku baik dan pada waktu lain berlaku buruk. Baik atau buruk, benar atau salah seharusnya bisa disimpulkan berdasarkan limitasi pengetahuan dirinya. Karena setiap kita memiliki sudut pandang tentang benar atau salah yang berbeda satu sama lain, yang pada tahap selanjutnya membentuk identitas kita masing-masing.

Pemahaman seseorang terhadap orang lain itu bukanlah pemahaman yang sebenarnya, karena pemahaman hanya bersifat konsep yang dibentuk oleh dirinya untuk mempersangkakan seseorang. Kita tidak bisa menyatakan orang lain benar atau salah, yang paling mungkin kita lakukan adalah kita mempertanyakan kenapa dia berlaku demikian? Apa alasan berpikirnya sehingga ia memutuskan untuk berlaku seperti itu?

Menurut Sabrang, sebenarnya tidak ada orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja, karena setiap orang pasti melakukan sesuatu karena memiliki keyakinan akan kebenaran. Kebenaran yang kita yakini mungkin tidak satu frekuensi dengan kebenaran yang diyakini orang lain, tetapi semakin banyak kita memahami versi tentang kebenaran, kita akan memiliki konsep yang semakin luas akan kebenaran itu sendiri.

“Orang berbuat baik atau buruk itu sebenarnya kita juga tidak tahu apakah itu baik atau buruk, karena kita sendiri berbuat baik atau buruk itu sesuai dengan limitasi pengetahuan kita. Menurut saya naluri yang paling baik dari manusia adalah menyadari bahwa dirinya lebih banyak tidak-tahunya daripada yang dia tahu,” lanjut Sabrang.

Dalam konsep kegagalan, setiap manusia tidak mungkin sepenuhnya mampu menyimpulkan dirinya gagal atau sukses. Berdasarkan limitasi yang dimiliki manusia, yang paling mungkin dilakukan adalan menemukan indikasi dari kegagalan atau kesuksesan dalam setiap peran yang dijalaninya. Karena sebuah kebenaran yang diyakini harus mampu diteliti, apakah kebenaran itu merupakan merupakan hasil dari kemurnian dalam mencari kebenaran atau merupakan hasil pengaruh dari lingkungan disekitarnya yang tak ia sadari.

Man ‘arofa nafsahu faqad ‘arofa robbahu merupakan salah satu rumus yang bisa digunakan dalam menentukan identitas dirinya. Karena jika seseorang tidak bisa membentuk identitasnya sendiri berarti dia belum menemukan dirinya sendiri dan itu juga berarti dia tidak menemukan Tuhan itu sendiri. Islam memberikan rumusan lain: Ihdina-s-shiroto-l-mustaqiim — untuk terus-menerus mencari kebenaran, karena dalam perjalanan hidupnya, manusia tidak selalu berada pada jalan yang lurus menuju pencarian sejati, sehingga Allah menyiapkan ayat tersebut dalam surat Al-Fatihah yang selalu kita baca pada setiap kita melaksanakan salat. Hal itu merupakan indikasi bahwa salah satu tugas manusia dalam kehidupan adalah mencari.

“Berhasil atau gagal tidak terletak pada fakta sebuah peristiwa, tetapi terletak pada pemaknaan terhadap fakta itu sendiri,” lanjut Sabrang. Bahwa ketika seseorang menjadi kaya raya belum tentu hal itu dimaknai sebuah keberhasilan, kalau memang belief system yang terbangun dalam dirinya bahwa kaya raya merupakan sebuah keberhasilan, maka ketika seseorang mencapai posisi kaya raya, ia akan merasa berhasil. Tetapi sebaliknya, apabila ternyata dengan kaya raya justru dirinya merasa jauh dari Tuhan, bisa jadi kaya raya adalah sebuah kegagalan.

Kenduri Cinta

“Manusia yang sudah menemukan jati diri tidak akan bisa menyampaikan caranya menemukan jati dirinya yang sejati kepada orang lain, karena apabila ia memberikan metodenya kepada orang lain maka justru jati dirinya yang sejati itulah yang akan diketahui oleh orang lain.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Okt, 2015)

“Tidak ada informasi dan petunjuk yang akurat daripada apa yang sudah disampaikan oleh Rasulullah SAW,” respon Sabrang terkait pertanyaan jamaah tentang rumusan bagaimana cara menemukan jati diri. “Apa yang saya sampaikan bukanlah kebenaran yang sejati dan saya pun tidak pernah bisa menemukan benar dan salah. Kebenaran yang kita yakini merupakan sebuah kesalahan yang belum kita pahami, kebenaran yang kita yakini belum tentu menjadi kebenaran di hari esok,” Sabrang melanjutkan, “Manusia yang sudah menemukan jati diri tidak akan bisa menyampaikan caranya menemukan jati dirinya yang sejati kepada orang lain, karena apabila ia memberikan metodenya kepada orang lain maka justru jati dirinya yang sejati itulah yang akan diketahui oleh orang lain.”

Sabrang menyambung bahwa yang bisa dipelajari oleh orang lain adalah wacana-wacana perjalanan hidupnya, pemikirannya dan mengumpulkan semua informasi untuk kemudian dijadikan refleksi sebagai metode menemukan jati diri kita yang sejati. Sabrang juga menyampaikan, bahwa sosok yang paling pantas untuk dijadikan refleksi sebagai cara menemukan jati diri manusia yang sejati adalah sosok Rasulullah SAW.

“Pikiran adalah produk dari akal, perasaan merupakan produk dari hati,” Sabrang membuka tentang bagaimana cara mensingkronkan antara akal, pikiran, hati dan perasaan. Menurut Sabrang, dalam khasanah Jawa dikenal bahwa akal adalah guru sejati dan hati adalah sejati guru. Karena akal itu bisa kita bawa kepada kebaikan dan keburukan, sedangkan hati hanya bisa kita bawa kepada kebaikan. Sayangnya, manusia tidak terlatih untuk mendengar hati, karena kepala kita lebih sering cerewet dengan segala kesoktahuan kita. Jika pun kita pada satu kondisi mampu mendengarkan hati, selalu kita negasikan sendiri karena ketidakberanian kita. “Pikiran itu didesain untuk memahami masa lalu bukan untuk memahami masa depan. Apapun yang kita alami saat ini, dalam pikiran kita adalah masa lalu,” jelasnya.

Sabrang mencontoh bagaimana informasi yang sampai pada diri kita secara wajar sangat sedikit sekali bekasnya jika dibandingkan dengan informasi yang sampai pada diri kita yang dibarengi dengan stimulus lain berupa tamparan atau amarah. Ketika seorang anak dimarahi ayahnya, informasi yang sampai pada dirinya akan sangat membekas, karena perasaan dalam diri manusia memiliki rentang yang lebih luas daripada akal. Akal atau pikiran hanya bisa memprediksi masa depan berdasarkan pola yang pernah terjadi di masa lalu.

“Ada penelitian, ketika kita ditampar dan dimarahi, informasi yang masuk ke dalam diri kita akan lebih membekas ketika kita ditampar, daripada hanya dimarahi, karena stimulus yang masuk ke kepala kita lebih banyak,” kata Sabrang yang kemudian menceritakan bagaimana dirinya mengalami kesulitan yang luar biasa ketika mempelajari sejarah. “Pengalaman hati dan pengalaman pikiran adalah dua hal yang berbeda,” lanjut Sabrang. Salah satu contoh, seringkali manusia merasakan marah atau sedih ketika bangun dari tidur tanpa ia ingat apa yang ia alami dalam mimpinya ketika ia tidur. Manusia mengingat pengalaman hatinya, tetapi tidak ingat pengalaman pikirannya (kognitif).

“Setiap informasi yang datang pasti mengandung kebenaran, dan dalam setiap kebenaran pasti mengandung ilmu. Yang kita bangun terlebih dahulu adalah naluri mencari ilmu.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Okt, 2015)

GAGAL MENCARI ILMU

“Manusia itu gagal ketika dia berhenti mencari siapa jati dirinya,” Beben menyambung cerita perjalanan hidupnya yang pernah di dunia bulutangkis selama 10 tahun, hingga menjuarai turnamen tingkat Asia, dan 17 tahun di dunia IT, namun sekarang justru merasa nyaman di dunia Jazz. Dari refleksi itu, Beben menyimpulkan bahwa hidup itu memang mencari. Terkait jati diri, Beben memahaminya dengan mempelajari cara bermain musisi-musisi Jazz, ketika ia bisa mengenal ciri khas dari setiap pemain Jazz itu maka disaat itulah ia menganggap telah mengenal jati diri musisi itu.

Beben menekankan, yang paling penting adalah bagaimana kita menikmati setiap proses pencarian, kuncinya adalah jangan berhenti, karena ketika kita berhenti disitulah kita gagal. Bahwa manusia akan bertemu pada kondisi naik-turun, hal itu merupakan dinamika yang niscaya dalam kehidupan. Apapun yang kita lakukan harus bisa mengantar kita kepada Tuhan. Karena perjalanan dalam menjalani peran adalah bukan Jazz-nya, bukan badmintonnya, bukan IT-nya, bukan kayanya, bukan miskinnya, tetapi yang paling utama adalah manfaat yang bisa diberikan kepada orang-orang di sekitarnya.

Sabrang menambahkan, menukil ayat Al-Fatihah: Ihdina-s-shiroto-l-mustaqiim, kita meminta untuk ditunjukkan jalan lurus, jalan yang benar. Pada intinya, manusia akan terus mengalami presisi yang berubah terhadap sebuah kebenaran, ayat Al-Fatihah tadi membuktikan bahwa sebenarnya manusia tidak selalu berada pada presisi yang sama persis setiap hari, sehingga Allah memberikan sebuah formula ihdina-s-shiroto-l-mustaqiim.

Menanggapi pertanyaan bagaimana menyikapi dan kaitan antara garis tangan atau sesuatu yang sudah digariskan dalam kehidupan, Sabrang berpendapat, disitulah kebebasan memilih: apakah disikapi positif atau negatif. “Semua hal di dunia dapat dilihat secara positif, semua hal juga bisa dilihat secara negatif. Positif tidak harus berarti mempercayai dan negatif tidak harus berarti tidak mempercayai,” lanjut Sabrang. Bahwa ada informasi tentang garis tangan, yang seharusnya dilakukan adalah mempelajari dan meneliti informasi tersebut.

“Setiap informasi yang datang pasti mengandung kebenaran, dan dalam setiap kebenaran pasti mengandung ilmu. Apabila kita tidak melihat ilmu dalam informasi tersebut, bukan kemudian kita menyatakan informasi tersebut tidak mengandung ilmu, melainkan karena kita yang tidak bisa melihat ilmu didalamnya,” Sabrang melanjutkan, “Tidak semua ilmu sampai kepada kita dalam keadaan yang matang, yang langsung siap dicerna. Terkadang ilmu yang datang kepada kita seperti beras yang masih harus kita olah terlebih dahulu sebelum kita mengkonsumsinya. Jangan beranggapan baik atau buruk terlebih dahulu, bahwa kita setuju atau tidak setuju itu merupakan sebuah pilihan. Yang kita bangun terlebih dahulu adalah naluri mencari ilmu.”

Sebelum memasuki sesi berikutnya, Restu membawakan sebuah naskah karya Cak Nun, Manusia dan Kernet. Beben Jazz dan Jojo menyambung dengan membawakan beberapa nomor akustik pilihannya.

“Manusia itu gagal ketika dia berhenti mencari siapa jati dirinya.”
Beben Jazz, Kenduri Cinta (Okt, 2015)

Kenduri Cinta

KEDAULATAN MANUSIA MAIYAH

Pada sesi berikutnya, kelas diskusi Maiyah mendapat materi khusus berisi 9 pointer yang diberi judul Kedaulatan Manusia Maiyah. Bersama moderator, Sabrang ikut memandu lebih mendalam satu demi satu pointer tersebut.

Maiyah adalah cara belajar kehidupan yang unik, demikian bunyi pointer pertama. Dalam pandangan Sabrang, satu dari banyak keunikan Maiyah adalah tidak terbangunnya sistem otoritatif di Maiyah. “Di Maiyah, spirit yang harus kita jaga adalah bahwa semua orang berhak untuk berbicara, dan kebenaran dari apa yang dibicarakan diserahkan kepada masing-masing. Tidak ada ujian seperti halnya institusi pendidikan, juga tidak bersifat seperti ceramah. Dalam setiap diskusi, tidak harus semua setuju dan tidak setuju atas pendapat yang dikemukakan. Semua yang hadir ketika kembali ke rumah sama-sama memiliki bekal yang sama untuk kemudian diolah oleh masing-masing,” jelasnya.

Pointer kedua: Keunikan belajar di Maiyah juga karena tidak ada janji apapun yang disepakati sebagai alasan untuk belajar. Di Maiyah, setiap individu berhak memetik ilmu yang manapun yang ia perlukan. Sesuatu yang dianggap baik bagi dirinya belum tentu baik bagi orang lain, begitu juga sesuatu yang dianggap buruk bagi dirinya, belum tentu buruk bagi orang lain. Bertebarannya ilmu di Maiyah, dipetik sendiri oleh setiap yang hadir, bukan dicekoki atau didoktrinkan. Keunikan tersebut terlihat pada beberapa ciri diantaranya: tidak bersifat otoritatif, motif berkumpulnya yang menegasikan motif-motif yang ada selama ini, dan dibangunnya semangat mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar.

Dengan sistem belajar yang tidak otoritatif, maka setiap yang hadir memiliki kesempatan sama untuk mencari kebenarannya. Dengan kesadaran bahwa kita semua memiliki ketidaktahuan yang lebih luas dari apa yang kita ketahui, dengan kesempatan mendengar dari banyak pihak, kita tidak memiliki keharusan untuk menyimpulkan mana yang paling benar. Sabrang memberikan contoh bagaimana 50 orang menggambar gajah dari sudut pandang dan cara pandang masing-masing. Seperti yang dihasilkan ketika memotret gajah dengan kamera telepon seluler biasa dan kamera digital, kebenaran gambarnya sama, yang berbeda adalah resolusinya. “Maiyah memberi kesempatan kepada kita untuk melihat banyak gambar gajah, sehingga kita bisa melihat gajah itu sendiri secara lebih lengkap, tidak otoritatif. Maiyah tidak menjanjikan apa-apa, kamu yang menemukan dan memetik ilmunya sendiri. Bahkan memetik ilmu itu dari siapa saja,” tambah Sabrang.

Fahmi sebagai moderator, membacakan pointer ketiga: Yang dimaksud ‘Tidak bersifat otoritatif’ adalah di dalam Maiyah siapa saja bisa dan boleh berbicara. Berbeda pada komunitas atau organisasi lainnya, yang lazimnya orang disodori ‘ini lho yang benar’, di Maiyah semua teori dilontarkan. Masing-masing orang yang akan mengujinya di dalam pengalaman hidup. Teori-teori, pengetahuan, dan pandangan yang dilontarkan sebagai diskursus untuk mencari kebenaran masing-masing.

Konstruksi kebenaran yang dibangun di Maiyah, menurut Sabrang, adalah sebuah konstruksi dasar tentang kebenaran, bahwa kebenaran bisa mempunyai banyak wajah, dari jarak pandang, resolusi pandang dan dari cara pandang yang berbeda. Bahkan ilmu sekalipun memiliki banyak sifat. Dalam rumus Maiyah, salah satunya adalah rumus yang mengadopsi jenis-jenis air: mutlak, musyammas, musta’mal dan mutannajis — dibahas di Kenduri Cinta edisi Maret 2015: Ateisme Agama. Maiyah adalah membebaskan.

Aktivitas bermaiyah berangkat dari keseharian masing-masing. Sehingga sikap bermasyarakat orang-orang Maiyah tidak berbasis isu tapi berakar pada permasalahan hidup yang dihadapi sehari-hari di lingkungannya.

Dalam proses pembelajaran yang unik itu, Maiyah cenderung menempatkan kasus per kasus hanya sebagai contoh, sehingga tidak terseret dalam wilayah pro-kontra, mendukung-menolak, memihak-memusuhi, setuju-tidak setuju — pointer ke-4.

“Dalam Maiyah kita memiliki kesadaran bersama bahwa kita mencari apa yang benar bukan siapa yang benar, dan dari yang kedua kita mengetahui bahwa setiap orang yang berbicara tidak membawa kebenaran sejati, dia hanya membawa kebenaran dari sudut pandangnya sendiri,” lanjut Sabrang yang juga menegaskan bahwa Maiyah menyerahkan kedaulatan kepada setiap yang hadir. Jika pun kelak lahir sebuah konsensus bersama untuk menyikapi suatu hal, Maiyah akan tetap memberi landasan bahwa hal tersebut lahir dari kesepakatan bersama bukan hasil dari otoritas seseorang atau segelintir orang di Maiyah.

Pointer ke-5: Yang dimaksud ‘motif berkumpulnya menegasikan motif-motif yang ada’ adalah jamaah tidak berkumpul di dalam Maiyah dengan motif yang ada pada lazimnya orang berkumpul, misalnya untuk mencari surga, mencari kekuasaan, mencari keuntungan ekonomi, atau kesamaan nasib, sebab Maiyah tidak menjanjikan semua itu. Pada faktanya, setiap jamaah memiliki motifnya masing-masing (bisa termasuk motif-motif tersebut di atas), tetapi yang mengikat mereka adalah ‘kebersamaan’. Di dalam kebersamaan itu yang berlangsung adalah pengayaan wacana dan ilmu. Pengalaman masing-masing menentukan apa yang diperoleh. Dan karena itu, mereka tidak memperdebatkan ilmu, karena mereka menikmati kekayaan ilmu, sehingga yang tumbuh di dalam diri mereka adalah kelapangan jiwa dan toleransi, dan mampu menampung semuanya.

Sabrang mengurai, di Maiyah yang terjadi adalah mendorong untuk terbangunnya jiwa yang luas, yang mampu menampung semua, bukan membangun diri yang sempit untuk minta dipahami melainkan membangun diri menjadi pribadi yang memahami, yang memaklumi, yang juga bisa mencari solusi bukan hanya menyinyiri.

“Di Maiyah semoga kamu bisa menemukan apa yang kamu cari. Di Maiyah kita berbagi pengetahuan, tetapi di Maiyah kita sadar bahwa pengetahuan tidak ada gunanya kalau dia tidak menjadi pemahaman. Bagaimana mengubah pengetahuan menjadi pemahaman? Ketika pengetahuan dikawinkan menjadi dasar lelaku (hidup) dan menjadi ilmu yang dijalankan benar-benar, maka ia akan menjadi sebuah pemahaman. Sehingga tidak hanya menjadi pengetahuan copy-paste yang hanya dipasang di media sosial. Bukan hanya menjadi identitas gaya hidup, tetapi menjadi lelaku ilmu yang dijalankan dengan sebenar-benarnya ilmu. Yang kita cari di Maiyah adalah pemahaman yang tidak hanya di kepala, tetapi juga pemahaman dalam hati, dalam badan, dalam lelaku dan seterusnya. Itulah yang diharapkan Maiyah,” lanjut Sabrang.

Maiyah memberi jarak antara wacana dan kepercayaan akan kebenaran, sehingga masing-masing individu memiliki ruang untuk mengolah semua informasi yang diperoleh untuk menjadi kebenaran yang diyakininya.

Pointer ke-6: Di dalam Maiyah, jamaah dinalurikan untuk ‘tidak mencari siapa yang benar tapi apa yang benar’. Lazimnya, ketika menerima informasi, orang akan memiliki reaksi ‘benar’ atau ‘salah’ dan kemudian ‘percaya’ atau ‘tidak percaya’. Dalam hal ini, Maiyah mendorong agar setiap individu mengolahnya (dengan metodologi yang mengandung prinsip ‘tidak mencari siapa yang benar tapi apa yang benar’) sedemikian rupa secara berdaulat, sehingga ketika ia sampai pada suatu kesimpulan, itu tetap berdasarkan kedaulatan dan kemandiriannya. Di sini, siapapun bisa menjadi guru dan teori apapun diterima sebagai wacana untuk masing-masing individu menemukan kebenaran. Pemahaman dan pengalaman hidup yang akan menguji kebenaran itu. Demikianlah, Maiyah memberi jarak antara wacana dan kepercayaan akan kebenaran, sehingga masing-masing individu memiliki ruang untuk mengolah semua informasi yang diperoleh untuk menjadi kebenaran yang diyakininya.

“Kuncinya ada disini. Ini jawaban Maiyah tentang identitas. Di Maiyah kita mencoba membangun budaya bahwa ada jarak antara wacana dengan apa yang diyakini,” sambung Sabrang sembari mengulang contoh bagaimana air kotor bisa berubah menjadi air jernih setelah melewati lapisan-lapisan filter yang ia lalui. Jamaah Maiyah terlatih untuk menerima wacana apa saja, karena dalam dirinya sudah terbangun filter-filter yang kuat akan pengetahuan itu sehingga informasi yang masuk ke dalam diri mereka dapat mereka putuskan untuk diterima atau ditolak, untuk disepakati atau tidak disepakati, untuk disetujui atau tidak disetujui. Mereka mengolahnya secara mandiri tanpa intervensi dari siapapun.

“Maiyah mengharapkan pelaku Maiyah menemukan identitasnya sendiri, menemukan identitasnya sebagai peran sosialnya, bukan didikte mana yang benar dan mana yang salah. Yang dilakukan pelaku Maiyah adalah mencoba membangun bersama untuk menemukan diri dan menemukan identitas, Maiyah tidak mempengaruhi setiap individu untuk menemukan identitasnya, tetapi mereka menemukan identitasnya sendiri secara mandiri,” urai Sabrang.

Pointer ke-7: Output dari semua proses di atas adalah kedaulatan manusia Maiyah. Yaitu manusia yang berkebersamaan. Di dalam kebersamaan itu, mereka membangun naluri-naluri dasar. Mereka mengidentifikasi, lalu memiliki kesimpulan, yang boleh jadi sama. Kebersamaan di dalam Maiyah tersebut membantu memperkaya view yang akan menumbuhkan dan meneguhkan kedaulatan individu tersebut.

Menurut Sabrang, ketika sekumpulan manusia berkumpul dalam kebersamaan dan mereka sudah pasti tahu siapa dirinya, mereka tidak akan gampang ‘masuk angin’. Ketika mereka berkumpul, mereka juga akan berusaha menemukan kebenaran orang lain dan akan menampung kebenaran bersama. Sehingga yang diharapkan adalah ketika terjadi kebenaran bersama itu bukanlah dari 1 atau 2 orang, tetapi hasil dari kesadaran dan pengetahuan bersama tentang sebuah kesimpulan yang dipahami bersama dan bukan karena otoritas siapa-siapa. Ketika kita menyelamatkan seseorang di sebelah kita, bukan karena perintah siapa-siapa melainkan karena kesadaran bersama bahwa itu yang harus dilakukan. Di Maiyah, kita datang dengan intelektual kita masing-masing, dengan identitas kita masing-masing dan dengan personalitas masing-masing, juga dengan diri kita masing-masing, tetapi kita tetap bisa menemukan kebersamaan. Bukan hanya pengetahuan yang didapat, tetapi meningkat satu tingkat yaitu kebijaksanaan. Pengetahuan adalah menemukan perbedaan antara A dengan B, tetapi kebijaksanaan menemukan persamaan antara A dengan B.

Maiyah adalah cara belajar kehidupan yang unik.

Pointer ke-8: Di dalam Maiyah tidak ada kewajiban untuk patuh terhadap figur. Jika pun masing-masing jamaah Maiyah merasakan dan menemukan keharusan untuk patuh terhadap figur semata didasarkan dan merupakan hasil dari proses kedaulatan individu.

Ditambahkan, dalam Maiyah tidak terbangun sistem otoritatif sehingga tidak ada kewajiban untuk patuh terhadap figur. Bahkan kepada Cak Nun sekalipun. Yang kita bangun adalah bahwa setiap jamaah membangun dirinya masing-masing. Bahwa apabila pada satu kondisi kemudian seseorang merasakan bahwa dirinya harus patuh terhadap salah satu figur, hal tersebut harus benar-benar hasil dari proses kedaulatan individu masing-masing, bukan dari pengaruh orang lain atau tekanan sosial yang mereka hadapi di Maiyah. Di Maiyah, semua harus lahir dari keputusan masing-masing, apapun yang dilakukan dan apapun yang diputuskan.

Fahmi lalu membacakan pointer ke-9, yang merupakan pointer terakhir dari materi Kedaulatan Manusia Maiyah: Aktivitas bermaiyah berangkat dari keseharian masing-masing. Sehingga sikap bermasyarakat orang-orang Maiyah tidak berbasis isu tapi berakar pada permasalahan hidup yang dihadapi sehari-hari di lingkungannya.

“Di Maiyah kita sama-sama memiliki kesadaran bahwa tidak ada satupun dari kita yang kualitasnya setingkat nabi, rasul apalagi malaikat. Di Maiyah kita berangkat dari diri sendiri, tidak bermimpi terlalu tinggi, keluarga kita beres, kita sendiri beres baru kemudian jika diri kita sudah aman dan terselamatkan barulah kita memasuki kepada pintu yang lebih besar dan lebih luas,” Sabrang juga katakan, Maiyah adalah menyelamatkan diri, tetapi bukan dalam sudut pandang egois, tetapi menyelamatkan diri karena hanya itulah satu-satunya kedaulatan yang bisa kita lakukan, “Dalam Maiyah kita tidak membangun otoritas, yang kita bangun adalah kedaulatan masing-masing. Jika nanti terbangun sebuah kebersamaan hal itu merupakan lahir dari kedaulatan masing-masing, bukan dari pengaruh dan juga bukan dari manipulasi identitas. Itu yang diharapkan oleh Maiyah,” pungkas Sabrang.

Kenduri Cinta

MEMASUKI RUANG-RUANG KEHIDUPAN MELALUI AL-HUJURAT

Melewati tengah malam, Cak Nun masuk ke forum dan meminta jamaah yang hadir untuk menyusun summary dari pemaparan Sabrang. Cak Nun malam itu membacakan Surat Al-Hujurat sebagai pengantar.

“Jangan ngomong identitas tanpa mengingat personalitas, dan jangan ngomong soal personalitas tanpa mengingat identitas,” Cak Nun membuka dengan simulasi-simulasi sederhana, mendefinisikan apa itu personalitas dan identitas. Menyambung surat Al-Hujurat, Cak Nun sampaikan, “Dialektika antara personalitas dan identitas itu harus dibawa pada maqam dan proporsi yang tepat. Gagal identitas adalah ketika anda tidak mampu menemukan identitas yang menyelamatkan personalitasmu.”

Menyambung dari 9 pointer Kedaulatan Manusia Maiyah dalam materi yang dipaparkan oleh Sabrang sebelumnya, Cak Nun menegaskan bahwa di Maiyah tidak ada kewajiban untuk patuh kepada sosok figur, bahkan kepada Cak Nun sekalipun. “Harap anda ketahui bahwa saya bukan hanya tidak boleh dianut, tetapi saya tidak mau dianut dan saya marah kalau dianut. Anda tidak boleh menjadi pengikut saya. Haram hukumnya menjadi pengikut saya, menurut saya,” tegas Cak Nun. Bahwa pada akhirnya setiap jamaah memutuskan untuk memposisikan diri taat dan patuh kepada figur, maka itu harus berdasarkan hasil dari kedaulatan masing-masing. Otensitas dan kejujuran selalu ditekankan oleh Cak Nun dalam setiap forum-forumnya.

Keputusan untuk taat di Maiyah merupakan sebuah ketaatan kepada nilai-nilai yang murni dan otentik. Seperti sistem pemerintahan negara, menteri tidak taat kepada presiden, yang seharusnya terjadi adalah presiden dan menteri taat kepada undang-undang dan konstitusi. Dalam Islam, hakikat ketaatan hanyalah kepada Allah dan Rasululah SAW.

Manusia saat ini banyak mengalami kegagalan dalam mendefinisikan identitas, Cak Nun mencontohkan tentang data-data yang tercantum dalam setiap KTP, SIM atau paspor dan tanda pengenal lainnya merupakan data yang sifatnya adalah personalitas, bukan identitas. Sehingga penggunaan istilah kartu identitas juga tidak tepat. Bukan hanya soal golongan darah, jenis kelamin dan tanggal lahir, bahkan nama seseorang itu merupakan sebuah personalitas, karena seseorang tidak memiliki opsi ketika orang tua mereka memilihkan nama.

“Milikilah kedaulatan. Anda boleh jadi presiden, anda boleh jadi menteri, anda boleh punya identitas apapun, satu syaratnya: itu merupakan keputusan otentik anda,” tutur Cak Nun, bahwa selain karena sebuah keputusan yang tidak otentik dalam menentukan identitas, manusia yang meniru orang lain dalam menentukan identitasnya juga merupakan satu versi lain dari bentuk Manusia Gagal Identitas. Mungkin sebuah identitas bisa saja sama dengan identitas orang lain, itu tidak masalah, tetapi keputusan menentukan identitas tersebut harus berdasarkan kemurnian.

“Gagal identitas adalah ketika anda tidak mampu menemukan identitas yang menyelamatkan personalitasmu.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Okt, 2015)

Menyambung penjelasan Beben bahwa manusia harus bermanfaat bagi orang lain, Cak Nun menambahkan, output manusia kepada manusia lain merupakan sebuah hal yang lebih penting dari sekedar identitas. “Semua identitas itu tidak penting. Jangan percaya kepada kata presiden, jangan percaya kepada kata ulama, jangan percaya kepada kata siapapun, jangan percaya pada cap-cap apapun, karena yang penting adalah output-mu memberi aman kepada manusia atau tidak, memberi kebaikan kepada manusia atau tidak, memberi kegembiraan kepada manusia atau tidak,” tegas Cak Nun.

Ayat dalam Surat Al-Hujurat menjadi landasan bahwa di Maiyah tidak ada kewajiban untuk taat atau patuh kepada siapapun kecuali Allah dan Rasulullah SAW; Yaa ayyuhalladzina aamanu la tarfa’u ashwatakum fauqa sautinnabii. Dari ayat tersebut, Cak Nun memberi kesimpulan bahwa Allah melarang kita untuk merasa lebih penting dari Rasulullah SAW. Sekali lagi Cak Nun menegaskan bahwa kalaupun harus dirumuskan, maka ketaatan yang terjadi adalah taat kepada nilai-nilai Maiyah bukan kepada sosok figur yang berbicara di panggung Maiyah. Poin inilah menurut Cak Nun yang menjadi kunci utama dari 9 pointer dalam Kedaulatan Manusia Maiyah, bahkan Manusia Maiyah juga harus berani untuk mengambil sikap tidak menggunakan identitas Maiyah.

“Maiyah ndak ada juga tidak masalah, harus berani mengambil sikap seperti itu, jangan sampai Maiyah menjadi takhayul yang kemudian menjadikan anda besar kepala. Tetapi kalau anda memakainya karena cinta dan kemurnian hati anda, Allah akan memuji anda,” lanjut Cak Nun.

Selanjutnya, Cak Nun menjelaskan ayat lain dalam surat Al Hujurat: Yaa ayyuha-n-naasu inna kholaqnaakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnaakum syu’uuban wa qobaaila lita’arofuu inna akromakum ‘indallahi atqookum innallahaa ‘aliimun khobiirun. Dari ayat ini, Cak Nun menjelaskan korelasi antara identitas dengan termi maskulinitas dan femininitas. Bahwa manusia diciptakan di dunia ini merupakan hasil dari polarisasi antara maskulin dan feminin. Bahkan semua mahluk yang diciptakan oleh Allah merupakan hasil polarisasi antara maskulin atau feminin. Dalam dimensi yang lain terdapat istilah keras dan lembut, dalam diri manusia ada bagian tubuh yang memang harus keras dan ada bagian tubuh yang harus lembut. Dan jika dipersempit lagi, dalam diri seorang laki-laki tetap mengandung sifat maskulin dan feminin yang komposisinya mungkin ada yang lebih dominan salah satunya, atau juga ada yang seimbang prosentasenya.

Dalam ayat tersebut juga dijelaskan tentang syu’uuban wa qobaail. Cak Nun menjelaskan bahwa kedua istilah tersebut hanya dipahami dengan pemahaman suku dan bangsa, padahal pengertian tersebut bisa diperluas lagi lebih detail seperti: komunitas, kelompok, organisasi, forum dan sebagainya. Karena pada akhirnya Allah menjelaskan dalam ayat tersebut: inna ‘akromakum ‘indallahi atqookum — terserah apapun identitasnya, karena yang paling penting adalah bagaimana output-nya apakah mulia atau hina. Begitu mudahnya kita menjalani kehidupan ini, bahwa sebenarnya yang menjadi tugas utama kita adalah menanam, karena Allah lah yang bertanggung jawab terhadap panen atau tidaknya yang kita tanam. “Jadi, ternyata bermacam-macam orang itu, baik buruknya, sukses tidaknya identitas seseorang itu yang menentukan adalah Allah,” tutur Cak Nun.

Kenduri Cinta

“Bukan Kenduri Cinta bagian dari Indonesia, tetapi Indonesia bagian dari Kenduri Cinta, Indonesia adalah bagian dari Maiyah, Indonesia adalah bagian dari hatimu dan dirimu.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Okt, 2015)

INDONESIA BAGIAN DARI KENDURI CINTA

Cak Nun memberikan bekal untuk tema yang akan dibicarakan di Kenduri Cinta bulan depan: Indonesia bagian dari Kenduri Cinta. Dengan mengambil dasar dari tulisan Indonesia Bagian Dari Desa Saya, Cak Nun memberikan penjelasan bahwa memang posisinya harus seperti itu, karena apabila kita berposisi sebagai bagian dari Indonesia, maka kita memiliki hak untuk menuntut sesuatu kepada Indonesia. Tetapi Maiyah memutuskan bahwa Indonesia adalah bagian dari Maiyah. Apa yang dilakukan oleh Maiyah kepada Indonesia hingga detik ini merupakan salah satu bentuk peristiwa sedekah kepada Indonesia. “Bukan Kenduri Cinta bagian dari Indonesia, tetapi Indonesia bagian dari Kenduri Cinta, Indonesia adalah bagian dari Maiyah, Indonesia adalah bagian dari desa saya, Indonesia adalah bagian dari hatimu dan dirimu,” lanjut Cak Nun.

Cak Nun kembali memberikan penegasan bahwa maiyahan yang telah berlangsung bertahun-tahun di Indonesia, tempat berkumpulnya orang banyak, bukan dalam rangka untuk menuntut sesuatu kepada Indonesia, bukan dalam rangka menawar-nawarkan diri menjadi pemimpin di Indonesia. “Kita bukan bagian dari Indonesia, Indonesia adalah bagian dari diriku maka kewajibanku bukan meminta kepada Indonesia tetapi memberi kepada Indonesia. Kita bersedekah kepada Indonesia. Kenduri Cinta adalah sedekah kepada Indonesia. Tidak wajib hukumnya, dia cuma sunnah,” tegas Cak Nun, “Temukan yang anda alami, anda gembirai, anda pahami di Kenduri Cinta yang tidak ada di luar Maiyah, supaya anda tahu bahwa Maiyah adalah jawaban bagi zaman yang rusak ini.”

Mengutip Surat Al-Baqarah ayat 148: Walikulli wijhatun huwa muwallihaa fastabiqu-l-khoirot ainama takuunu ya’ti bikumullahu jamii’an innallaha ‘alaa kulli syaiin qodiir. Kalimat pembuka telah menyatakan bahwa segala sesuatu itu memiliki titik kecenderungan kepada sesuatu hal yang ia menghadapnya. Berdasarkan pemahaman Cak Nun, bahwa setiap segala sesuatu itu memiliki kecenderungannya masing-masing, dan Allah lah yang mengasuhnya. Dari ayat ini, Cak Nun menjelaskan bahwa kalimat walikulli wijhatun adalah bentuk personalitasnya, sedangkan kalimat yang muncul setelahnya fastabiqu-l-khoirot itulah identitasnya, bukan namanya, bukan bendanya yang penting, tetapi perbuatan baiknya lah yang paling primer untuk menguatkan personalitasnya.

Bahwa sesungguhnya Islam itu merupakan hal yang bersifat rohani, bukan jasmani. Menggunakan istilah IT, hardware dan software, Cak Nun menerangkan bahwa Islam itu software, karena pada zaman Nabi Adam tidak dikenal kata islam. Bahkan nabi-nabi sebelum Rasulullah Muhammad SAW tidak semuanya melaksanakan rukun Islam. Maka identitas manusia sesungguhnya bukanlah siapa dia dalam menjalani perannya di kehidupan, tetapi apakah yang dilakukan adalah sesuatu yang baik atau tidak, sehingga rumusannya dalam ayat tersebut Allah meneguhkan bahwa output terbaik dari keberagaman segala makhluknya adalah identitas; Fastabiqu-l-khoirot.

Cak Nun melanjutkan ceritanya ketika tahun 1982, pada masa kampanye sedang berlangsung, dan posisi Soeharto sudah mulai kuat, PPP dan PDI bersikap oposisi terhadap pemerintahan saat itu. Suatu hari Cak Nun diundang oleh PPP untuk hadir dalam sebuah kampanye. Ketika itu, Cak Nun ter-faitacompli karena berada pada posisi yang sulit, seandainya Cak Nun tidak datang bukan tidak mungkin Cak Nun akan dianggap bagian dari Soeharto, sedangkan Cak Nun sendiri merupakan orang yang sudah memutuskan untuk independen. Tetapi Cak Nun menyadari, bahwa kebingungan yang dihadapi hanyalah kebingungan identitas semata. Ditengah kebingungan itu, ibunda Cak Nun datang ke Jogja dan Cak Nun meminta saran dan pertimbangan kepada Ibunda Chalimah. Ibunda berpesan, “Hidup itu kan sederhana, Nak. Pokoknya kamu itu berbuat baik, terserah dimana, terserah sama siapa. Dengan siapapun, dimanapun.”

Dengan pesan itu, Cak Nun kemudian menjadi tidak khawatir lagi terhadap dugaan orang yang berkaitan dengan identitas, kalaupun harus masuk ke arena kampanye PPP, Cak Nun tidak perlu menjadi bagian dari PPP, karena yang terpenting adalah berbuat baik kepada siapapun dan dimanapun, sesuai dengan pesan dari sang Ibu. “Jangan takut berada dimanapun, jangan takut melakukan apapun asalkan anda punya kecerdasan dan berdaulat murni dengan diri anda, anda akan menemukan hidayah dari Allah SWT,” Cak Nun menegaskan untuk melengkapi pemahaman tentang kedaulatan dalam diri manusia.

“Karena yang terpenting adalah persambungan yang abadi antara anda dengan asal-usul anda dan tempat tujuan anda yaitu: innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Okt, 2015)

Kenduri Cinta

Merespon harapan dari Mas Syafril, Cak Nun kemudian memberikan informasi bahwa Maiyah sudah mulai tumbuh di beberapa kota, selain Padhangmbulan di Jombang, Kenduri Cinta di Jakarta, Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Gambang Syafaat di Semarang dan Bangbang Wetan di Surabaya, sekarang Juguran Syafaat di Purwokerto, Maneges Qudroh di Magelang, Maiyah Pemalang, Pekalongan, Batang dan sekitarnya sudah mulai tumbuh juga, di Madiun dan sekitarnya baru saja lahir Warok Kaprawiran. Dengan tumbuhnya forum-forum baru itu, Cak Nun berdoa semoga harapan Mas Syafril dapat terwujud, yaitu lahirnya forum serupa di Balikpapan.

Sejauh perjalanan Maiyah hingga saat ini, Cak Nun menegaskan tidak pernah memanfaatkan jumlah jamaah yang hadir untuk kepentingan duniawi. “Saya tidak mengatakan menjadi presiden itu rendah, tetapi memiliki tujuan menjadi presiden itu rendah. Menjadi orang kaya itu tidak rendah, tetapi memiliki tujuan menjadi orang kaya itu rendah. Anda harus tahu bedanya,” lanjut Cak Nun sembari menjelaskan perbedaan antara kaum sudra, brahmana dan ksatria. Sudra adalah orang yang tujuan utamanya adalah kepentingan harta benda dan duniawi semata, sedangkan brahmana adalah orang yang fokus utamanya adalah rida Allah, bahwa kemudian seorang brahmana menggunakan dunia untuk mencapai rida Allah, seperti menjadi tukang becak, pedagang, pengusaha atau apapun saja, itu bukan dalam rangka profesi, tetapi titik poinnya adalah walaa tansa nashiibaka mina-d-dunyaa, bahwa tujuan utama manusia adalah menuju Allah, tetapi dalam mencapai tujuan menuju Allah itu manusia diberi kesempatan untuk menikmati dunia, pada takaran dan prosentase yang wajar. Sedangkan ksatria adalah brahmana yang sanggup ‘turun gunung’ untuk dipekerjakan mengurusi negara dan pemerintahan.

“Sekali lagi saya tekankan, yang disebut gagal identitas adalah kalau anda menginginkan identitas. Tetapi kalau anda ingin berjuang itu mulia. Ingin menjadi gubernur itu rendah, tetapi kalau anda ingin berjuang itu mulia. Dan karena anda ingin berjuang kemudian orang meng-gubernur-kan anda itu resiko,” tutur Cak Nun dengan memuncaki pemaparan tentang identitas di Kenduri Cinta.

Cak Nun juga kembali menekankan untuk selalu menemukan presisi yang tepat dalam menentukan sikap dalam diri sendiri, seperti yang dijelaskan oleh Sabrang sebelumnya bahwa antara keras kepala dan teguh itu berbeda, antara curiga dengan waspada, antara plin-plan dan luwes. Di Maiyah kita mempelajari segala sesuatu hingga detil.

Cak Nun kemudian mempersilahkan Pakde Mus untuk memuncaki Kenduri Cinta edisi Oktober 2015 dengan mengajak jamaah melantunkan wirid bersama. Menjelang pukul 4 dinihari, Kenduri Cinta dipuncaki dengan doa bersama yang dipimpin oleh Pakde Mus.