MANUFAKTURING KAWULO GUSTI

Reportase Kenduri Cinta Januari 2015

Cuaca Jakarta tampak bersahabat sejak sore, lalu lintas di sekitar Taman Ismail Marzuki terlihat ramai. Penggiat Kenduri Cinta sejak sore sudah hadir di lokasi maiyahan di pelataran Taman Ismail Marzuki. Setelah merapikan panggung dan mengatur perangkat tata suara, masing-masing segera memposisikan diri sesuai dengan perannya. Menjelang Isya, langit tampak mendung dan perlahan angin berhembus kencang.

Tepat pukul 20.30 WIB, Kenduri Cinta edisi Januari 2015 bertema Manufakturing Kawulo Gusti dibuka dengan pembacaan ayat suci Alquran surat Maryam. Langit seakan terharu, tepat setelah pembacaan ayat suci Alquran, hujan turun lebat. Jamaah kemudian merapat ke atas panggung dan bersama-sama melantunkan Hasbunallah, Wirid Padhangmbulan dan Shohibu Baitiy.

Mengawali maiyahan malam itu, Adi Pudjo sampaikan latar belakang mengapa Kenduri Cinta mengangkat tema Manufakturing Kawulo Gusti. Adi mengajak jamaah untuk mempertanyakan terminologi kawulo gusti. Jika dalam terminologi Jawa kita mengenal manunggaling kawulo lan gusti, maka tema Kenduri Cinta kali ini memang mengambil pijakan dari falsafah Jawa yang terkenal itu. Penggiat Kenduri Cinta seakan ingin menyampaikan sebuah pesan mendasar bahwa kapitalisasi Tuhan kini sudah berada pada tingkatan yang mengkhawatirkan. Hampir semua sumber daya alam — yang sejatinya dianugerahkan kepada penghuni alam semesta — dieksploitasi dan diperdagangkan dengan sangat bebas serta dimanfaatkan keuntungannya hanya untuk kelompok tertentu.

Tri Mulyana selaku moderator melanjutkan pemaparan mukaddimah dengan mewawancarai jamaah dengan dua pertanyaan mendasar: Apa bedanya bagi diri anda, ada Maiyah dibanding tidak ada Maiyah? Apa bedanya bagi keluargamu, masyarakat, negara dan duniamu, ada Maiyah dibanding dengan tidak ada Maiyah? Beberapa jamaah terlibat dialog-dialog. Ada yang mengatakan bahwa Maiyah memberikan nuansa berbeda dalam kehidupan mereka, sehingga mereka benar-benar mengalami perubahan jika dibandingkan sebelum mengikuti maiyahan. Bagi mereka, Maiyah ibarat sebuah oase di tengah padang pasir.

Sebenarnya fenomena ini juga terbaca di beberapa daerah, bagaimana forum-forum maiyahan seperti Kenduri Cinta saat ini banyak tumbuh. Desember tahun lalu, saat diadakan pertemuan penggiat Maiyah di Purwokerto, ada simpul-simpul Maiyah yang baru terdeteksi, seperti di Salatiga, Purworejo dan Pemalang. Uniknya, simpul-simpul baru itu tumbuh secara mandiri, dalam artian mereka mampu tumbuh dengan aktivitas mereka sendiri tanpa bergantung dengan sosok Cak Nun. Ini merupakan fakta bahwa sebenarnya Maiyah sudah menanam benih dalam setiap individu yang pada waktu sebelumnya pernah berinteraksi dengan Maiyah. Benih-benih itu kini sedang memasuki fase tumbuhnya tunas baru di sekitar pohon-pohon yang sudah berdiri kokoh sebelumnya.

MUKADIMAH KAWULO GUSTI

Melanjutkan bahasan tema, Irfan Bimantara mengajak jamaah menyadari bahwa kita sudah tidak bisa lepas dari kapitalisasi. Jika dulu orang terkaya di dunia adalah penguasa perkebunan. Lalu bergulir revolusi industri, maka orang terkaya adalah orang yang menguasai industri manufaktur. Hari ini, orang terkaya di dunia adalah orang yang menguasai teknologi informasi. Tema ‘manufaktur’ diangkat agar kita tidak lupa bahwa selalu ada campur tangan Tuhan dalam setiap apapun yang dilakukan manusia.

Sebelum memasuki diskusi sesi pertama, grup musik Cilosari 17 membawakan beberapa nomor untuk menghangatkan suasana dan memberikan kesempatan kepada jamaah untuk menyusun dan merapikan kembali posisi duduknya agar nyaman. Para jamaah tampak menikmati suasana Kenduri Cinta dengan menikmati kopi panas yang dikombinasikan dengan hisapan rokok dan kacang goreng. Sebagian lainnya tampak menikmati jajanan Angkringan di pojok belakang pelataran.

Hadir di Kenduri Cinta malam itu Bapak Abdullah Hehamahua, penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juga Kusfiardi dari Koalisi Anti Utang (KAU). Memasuki diskusi, Irfan memberi landasan dengan memaparkan 4 rukun yang harus dipenuhi sebuah negara untuk menuju baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur, yaitu: ulama, pengusaha, rakyat dan pemimpin. Sayangnya 4 rukun itu kini tumpang tindih saling mengambil alih kekuasaan. Ulama yang seharusnya istiqamah di jalan agama, kini ikut campur di dunia politik dan bisnis. Pengusaha yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi kini ikut turun dalam urusan politik. Rakyat yang seharusnya menjadi pemilik saham utama dalam sebuah negara, justru menjadi yang paling tertindas. Lantas bagaimana kita mengidamkan baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur jika rukun-rukunnya tak terpenuhi?

Irfan mengutip Cak Nun, negara Indonesia memiliki 5 pilar utama: rakyat, tentara, pemangku adat atau raja-raja nusantara, ulama dan kaum cendekiawan atau kaum intelektual. Saat ini, 5 pilar tersebut pun hanya menjadi peninggalan saja, karena pada prakteknya 5 pilar ini sudah tidak diakui keberadaannya. Selain karena sudah tidak memiliki posisi yang tepat nermartabat, masing-masing pilar justru saling berebut kuasa. Sehingga nilai-nilai dari setiap pilar makin lama makin luntur.

“Dalam diri Rasulullah SAW terdapat teladan yang mulia bagi orang yang beriman dan yang mempercayai hari akhir.”
Abdullah Hehamahua, Kenduri Cinta (Jan, 2015)

MANUFAKTURING KAWULO GUSTI — Kenduri Cinta

RASULULLAH SEBAGAI TELADAN KEPEMIMPINAN

Abdullah Hehamahua membuka paparannya malam itu dengan mengutip Alquran surat Al-Ahzab ayat 21 yang menjelaskan dalam diri Rasulullah SAW terdapat teladan yang mulia bagi orang yang beriman dan yang mempercayai hari akhir. Mayoritas manusia masih sebatas mengakui bahwa Rasulullah adalah teladan, namun belum mencapai tahap menghayati dan mengaplikasikan keteladanannya.

Dalam konsep surat Al-Ahzab ayat 21, Abdullah menambahkan, pemimpin memiliki 3 fungsi: sebagai komandan, sebagai manajer dan sebagai pelayan. Sebagai komandan, layaknya seorang leader, ia harus memiliki visi misi dalam memimpin, mampu menentukan arah kemana rakyatnya akan dibawa. Ketika menjadi manajer, pemimpin menjadi mitra bagi rakyatnya. Pemimpin ada kalanya duduk lesehan dengan rakyatnya, berbicara dari hati ke hati, menjawab keluhan-keluhan sambil meminta saran dan pendapat dari rakyatnya. Rasulullah pernah mencontohkan hal ini ketika perang badar, dimana beliau menerima saran dari salah satu prajuritnya untuk memindahkan tempat bermalam yaitu di dekat mata air.

Dalam konteks penegakkan hukum dan tata negara, Pak Abdullah bercerita bagaimana Khalifah Umar pernah marah kepada seorang sahabat yang ditugaskan menjadi gubernur, ketika masa tugasnya selesai ia membawa banyak harta dengan berkilah bahwa harta tersebut merupakan hasil perniagaan. Khalifah Umar marah karena ia ditugaskan untuk menjadi pemimpin bukan menjadi pedagang, seketika itu seluruh hartanya disita oleh khalifah lalu dimasukkan ke baitul maal. Ini merupakan contoh bagaimana Khalifah Umar mengajarkan jika pemimpin mendapat amanah maka jangan sampai lengah.

Berbeda yang terjadi hari ini, menjadi lumrah ketika seorang pemimpin melalui kerabatnya, anaknya, saudaranya atau koleganya melakukan perniagaan-perniagaan, mendirikan perusahaan untuk memenangkan tender proyek-proyek tertentu. Sejatinya, pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya.

Rasulullah SAW ketika memilih sahabat untuk diamanahi jabatan dalam pemerintahan, beliau mempertimbangkan 2 hal: kompetensi dan salatnya. Rasulullah sangat mengutamakan kompetensi calon pejabat, misal jika ia diamanahi mengurusi pertanian maka ia mesti pernah berkecimpung dengan dunia pertanian, jika untuk urusan pendidikan maka sudah seharusnya ia pernah bergelut di dunia pendidikan, begitu seterusnya. Pertimbangan kedua adalah salat. Sebelum ia diamanahi sebuah jabatan, Rasulullah SAW meminta calon pejabat tersebut untuk menjadi imam salat berjamaah.

MANUFAKTURING KAWULO GUSTI — Kenduri Cinta

“Peristiwa menyembuhkan adalah keindahan dan syarat keindahan penyembuhan adalah sakit.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2015)

HUTANG DAN KITA

Tri Mulyana kemudian memberikan kesempatan kepada jamaah untuk merespon pemaparan narasumber. Donny Kurniawan dari Malang merespon, ia mengibaratkan bahwa Indonesia ibarat “orang gila” dan kita semua sudah mengetahui bahwa Indonesia sudah gila. Donny menyarankan bahwa yang seharusnya kita lakukan saat ini adalah memperbaiki yang ada di sekitar kita saja. Ia mengkritisi para narasumber untuk tidak berpanjang lebar menjelaskan “kegilaan” Indonesia, karena menurutnya apa yang terjadi di Indonesia memang sudah sangat sakit jiwa.

Terkait hutang negara, Ruhul, mengibaratkan bahwa apabila kita memiliki uang 100 juta rupiah dan kita terbebani hutang sebanyak 20 juta rupiah (20%), berdasarkan ilmu ekonomi maka rasio hutang tersebut sebenarnya tidak begitu berpengaruh, dengan catatan kekayaan yang dimiliki digunakan untuk produksi. Berdasar data yang ia miliki, rasio hutang Indonesia saat ini hanya 26%. Ia menanyakan, apakah logis jika pada suatu saat nanti Indonesia tidak harus berhutang? Karena menurutnya, selama prosentase hutang tidak melebihi 30% dari total harta kekayaan, maka masih dianggap sehat. Sedangkan hutang masih merupakan salah satu instrumen yang berguna untuk mengendalikan perputaran uang, inflasi dan suku bunga.

Kusfiardi merespon, saat ini Indonesia melakukan “gali lobang tutup lobang” untuk membayar hutang. Bahkan, untuk menutup hutang sebelumnya, hutang yang baru tidak mencukupi untuk membayarnya. Benar adanya bahwa kekayaan Indonesia jika dibandingkan dengan hutang Indonesia itu masih lebih besar, namun jangan dilupakan bahwa banyak juga perusahaan asing yang membuka usahanya di Indonesia dan mengambil keuntungan dari sumber daya alam di Indonesia.

Dulu presiden Soekarno memberikan 4 syarat terhadap hutang luar negeri: 1. Harus berupa uang tunai dan kita memiliki kebebasan untuk membelanjakannya, 2. Berbunga rendah, 3. Memiliki batas pengembalian dalam jangka waktu yang panjang, 4. Tidak disertai persyaratan intervensi apapun. Saat ini yang terjadi, hutang luar negeri disusupi klausul-klausul yang sifatnya mengintervensi pemerintah. Bahkan keempat syarat yang diberikan oleh Soekarno dulu kini sudah tidak berlaku lagi.


Sebelum memasuki sesi selanjutnya, salah seorang jamaah, Dona Setiawan, membacakan puisi yang berjudul Macam Apa Aku Ini? dan Semangat Sampah. Kemudian Tia membawakan beberapa nomor lagu untuk menghangatkan suasana Kenduri Cinta di malam yang dingin itu.

Lewat tengah malam Cak Nun dan Syeikh Nursamad Kamba naik ke panggung. Sebelum memasuki pembahasan yang lebih serius, Cak Nun mengajak jamaah untuk arif dalam menyikapi hujan. “Ini hujan turun, saya minta anda untuk minimum diam, mulut maupun hatinya. Jangan ada yang mengeluh, jangan ada yang ngresulo, jangan ada yang mengecam, jangan ada yang bersikap negatif.” Menurut Rasulullah, Allah terkadang mendengar celetukan tidak sengaja dari hamba-Nya, namun tidak jarang karena celetukan yang tidak disengaja itu, Allah menyalakan cinta-Nya kepada hamba-hamba-Nya sehingga memudahkan seluruh urusan dan melapangkan rizkinya. Tetapi Cak Nun juga mengingatkan, terkadang Allah juga mendengar celetukan hati hamba-Nya yang membuat-Nya sakit hati. Menurut Rasulullah, Allah sering mendengar celetukan hati hamba-Nya pada saat hujan turun. Bahwa hujan adalah berkah, itu harus benar-benar kita yakini, maka Cak Nun mengingatkan jangan sekali-sekali mengeluh ketika hujan turun, meskipun kemudian ketika kita hujan-hujanan berakibat masuk angin, toh masuk angin bisa disembuhkan. “Peristiwa menyembuhkan adalah keindahan dan syarat keindahan penyembuhan adalah sakit,” tutur Cak Nun.

Cak Nun kemudian meminta Pak Abdullah Hehamahua untuk sejenak menahan diri agar tidak terburu-buru meninggalkan forum Kenduri Cinta. Cak Nun bercerita tentang pribadi Abdullah Hehamahua, bagaimana beliau mendirikan HMI di awal-awal munculnya, kemudian beliau juga yang mengawali bagaimana Bung Karno ketika itu terpecah hatinya antara HMI dan CGMI, juga GMNI .

Ndak ada gunanya mengeluh, yang harus anda lakukan sekarang adalah bersyukur, meskipun ndak masuk akal juga sekarang kita bersyukur, untuk apa ketika melihat keadaan negara seperti ini. Jangan kaget bahwa pada saatnya nanti anda akan menemukan bahwa bersyukur itu sangat rasional. Ndak usah paham dulu baru bersyukur, tetapi bersyukur saja dahulu supaya anda paham,” lanjut Cak Nun.

MANUFAKTURING KAWULO GUSTI — Kenduri Cinta

KENDURI CINTA SEBAGAI PANGGUNG PEMBUKTIAN MUTIARA ATAU BATU

Dalam beberapa bulan terakhir, Cak Nun mengunjungi berbagai lintas masyarakat dalam forum-forum maiyahan. Cak Nun berkeyakinan bahwa saat ini sudah lahir qoumun akhor di Indonesia, sehingga Allah tidak perlu menghancurkan bangsa Indonesia untuk kemudian dilahirkan menjadi kaum yang baru. Karena ditengah kehancuran yang sekarang kita hadapi, sudah lahir manusia-manusia Indonesia yang baru, yang sudah mampu merubah cara berpikirnya. Cak Nun menegaskan bahwa manusia-manusia baru seperti yang hadir di Kenduri Cinta ini juga muncul di kota-kota lain seperti Purwokerto, Banyumas, Ngawi dan kota-kota lainnya. Sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk mengeluh, karena di masa datang manusia-manusia Indonesia yang saat ini berusia 20-30 tahun inilah yang akan membangun peradaban baru di Indonesia.

“Allah tidak perlu menghancurkan bangsa Indonesia, ditengah kehancuran bangsa Indonesia ini Allah melahirkan qoumun akhor, Indonesia yang berbeda, Indonesia yang baru, dan itu sudah terjadi,” lanjut Cak Nun.

Cak Nun mengingatkan bahwa proses Indonesia yang baru ini nantinya harus melewati beberapa tahapan, itu harus kita lalui. Mungkin bukan kita yang menikmati buahnya, bisa jadi anak-anak kita, generasi setelah kita yang menikmati apa yang kita tanam saat ini. Sejak jauh-jauh hari Cak Nun juga mengingatkan bahwa yang dilakukan oleh Maiyah saat ini adalah menanam, kemudian menyerahkan sepenuhnya hak panen kepada Allah. Kapan akan dipanen, itu semua 100% hak Allah.

Cak Nun mengapresiasi Tia yang sebelumnya membawakan beberapa lagu nostalgia. “Kenapa di KC ini semua boleh tampil tanpa ada syarat, bahkan setan pun tampil boleh. Karena kalau dia berbuat buruk disini, dia akan mengalami kebakaran di hati, jiwa dan pikirannya, mungkin juga hidupnya. Barang siapa berbuat jahat di sini, barang siapa memiliki hati jahat di sini, anda tunggu saja, ndak usah lama-lama,” lanjut Cak Nun.

Cak Nun kembali menjelaskan bagaimana posisi malaikat dan setan yang tidak memiliki kemungkinan lain. Jika malaikat hanya memiliki pilihan untuk menaati semua perintah Allah, sedangkan setan sebaliknya, pilihan yang bisa ia pilih hanyalah mengingkari apa yang menjadi perintah Allah. Cak Nun mengajak jamaah untuk memahami bahwa satu-satunya bentuk ketaatan setan adalah menuruti perintah Allah yaitu: berbuat jahat. Seperti halnya harimau, pilihannya adalah menerkam binatang yang lebih lemah dari dirinya demi bertahan hidup. Ia tidak memiliki kemungkinan untuk memakan rumput. Sedangkan jin dan manusia memiliki kemungkinan-kemungkinan lain. Jin dan manusia bisa berpotensi seperti malaikat, namun dalam beberapa saat ia juga sangat mungkin berperilaku seperti setan. Dalam surat Al-Kahfi, Allah menjelaskan: faman sya’a fa-l-yu’min, wa man sya’a fa-l-yakfur. Dalam ayat itu Allah memberikan kebebasan bagi manusia untuk memilih untuk beriman atau kufur. “Jadi lebih beruntung mana, anda atau setan?” Cak Nun melempar pertanyaan kepada jamaah.


“Apakah ada makhluk di muka bumi ini yang tidak kembali ke Allah?” Cak Nun bertanya. Seperti biasa, Cak Nun mengajak jamaah untuk berpikir lebih jernih dalam menyikapi kehidupan. “Bagaimana mungkin kita mendoakan makhluk lain agar tidak kembali kepada Allah? Karena dalam Alquran sudah jelas, bahwa innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Sehingga sudah jelas, bahwa semua yang diciptakan oleh Allah pasti akan kembali ke Allah.”

Allah membiaskan kehidupan manusia dengan idiom surga dan neraka sebagai bentuk ujian apakah kita ini mampu untuk tetap fokus kepada Allah atau tidak. Kemudian semua manusia mengharapkan bahwa kelak ia dimasukkan ke surga oleh Allah. “Jadi menurut saya, anda nggak usah mikirin surga atau mikirin neraka. Tapi pikirkanlah Allah dan tunjukkanlah dirimu kepada Allah,” terang Cak Nun.

Tidak ada syarat untuk hadir dan tampil di Kenduri Cinta, karena Allah menghamparkan bumi untuk semua makhluk-Nya juga tanpa syarat apapun. “Ya syarate nek iso, pas enek kotak infak liwat yo isenono,” kelakar Cak Nun untuk menyegarkan suasana yang disambut gelak tawa oleh para jamaah.

Menyambung hal itu, pada masa peralihan orde baru ke orde reformasi, bersamaan Sabrang (putra Cak Nun) sedang menempuh kuliah di Kanada, krisis moneter melanda Indonesia yang salah satu akibatnya adalah nilai tukar mata uang rupiah menurun sangat tajam terhadap dollar Amerika, Cak Nun meminta Sabrang untuk kembali ke Indonesia karena Cak Nun tidak mampu membiayai biaya kuliah Sabrang di Kanada. Dalam prosesnya, Cak Nun menceritakan Sabrang bersedia untuk kembali ke Indonesia dengan satu syarat: Jangan minta saya untuk kuliah di Indonesia. Syarat ini kemudian sempat dipertanyakan oleh Cak Nun, Sabrang menjelaskan bahwa di Indonesia seseorang harus menjadi orang hebat terlebih dahulu baru kemudian ia diizinkan boleh tampil di depan umum, sedangkan di Kanada hal tersebut justru tidak berlaku. Di Kanada, semua orang boleh tampil di depan umum supaya publik tahu bahwa dia hebat atau tidak.

Setelahnya, Cak Nun membacakan syair karya Syeikh Imam Busyairi: Muhammadun basyarun, wa laysa ka-l-basyari, bal huwa yaquut baina-l-hajari. Muhammad itu manusia biasa, tapi dia tidak biasa, dia mutiara diantara bebatuan. Dan Kenduri Cinta ini menyediakan tempat untuk membuktikan semua orang apakah dirinya adalah batu atau mutiara, untuk membuktikan apakah dia manusia hebat atau manusia biasa saja. Dan di sinilah semua yang datang dipersilakan untuk membuktikan dirinya, apakah dia batu atau mutiara.

“Karena dalam demokrasi, anda itu mau mutiara, mau berlian, mau emas, mau perak, mau batu suaranya hanya satu. Sehingga setiap hari anda dididik bahwa semua orang memiliki hak yang sama. Padahal berbeda,” lanjut Cak Nun. Cak Nun kemudian menjelaskan bahwa demokrasi itu memiliki waktu dan tempat yang tidak tetap. Tidak semua elemen kehidupan ini harus menganut demokrasi. Demokrasi harus tahu diri bahwa dia tidak bisa berlaku dimana pun dan kapan pun.

“Kemerdekaan itu jalan untuk menemukan batasan, kalau manusia menemukan batasnya maka dia akan sejati.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2015)

MANUFAKTURING KAWULO GUSTI — Kenduri Cinta

Abdullah Hehamahua lalu diminta Cak Nun untuk menjelaskan term qoumun akhor. Pak Abdullah mengawali dengan bercerita bagaimana beliau beberapa kali harus masuk penjara di masa lalu dengan durasi penahanan yang berbeda-beda, mulai yang tercepat 3 hari dan yang terlama adalah 2 tahun. Ketika dalam tahanan yang beliau lakukan adalah membaca buku. Ide-ide dan konsep-konsep yang muncul saat dirinya menjadi Ketua Umum PB HMI hingga sekarang (di KPK) merupakan buah dari apa yang ia baca ketika berada di dalam sel tahanan saat itu. Beliau mengakui bahwa penjara adalah surga bagi para pejuang. Namun bukan berarti untuk menjadi seorang pejuang kita harus merasakan hidup di dalam penjara. Kata penjara bisa diasumsikan dalam bentuk lain, bukan hanya dalam bentuk ruangan yang sempit yang dibatasi oleh jeruji besi.

Merespon yang disampaikan oleh Donny sebelumnya, Abdullah Hehamahua pernah menulis Masyarakat Indonesia Dilanda Sakit Jiwa Yang Parah. Latar belakangnya adalah terpilihnya beberapa kepala daerah yang sudah ditangkap oleh aparat pemberantas korupsi, namun masih terpilih lagi pada saat pemilu. Di daerah lain juga terjadi, kepala daerah yang sudah ditahan, terpilih pemimpin baru yang ternyata masih anggota keluarganya. Ada yang istrinya, ada juga anaknya. Sehingga muncul pertanyaan: Siapa yang salah? Rakyatnya? KPUD-nya? Calon pemimpinnya? Partainya atau undang-undangnya? Pak Abdullah sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Donny bahwa Indonesia sedang sakit jiwa. Tidak ada pasien di rumah sakit jiwa yang mengakui bahwa dirinya sakit jiwa, malah mereka menuding para dokter dan perawat yang mengalami sakit jiwa, persis dengan apa yang terjadi dengan Indonesia saat ini.

Menggunakan ilustrasi permainan catur. Apabila kita bermain catur melawan juara dunia catur dengan menggunakan teori permainan catur yang baku, maka bisa dipastikan kita akan kalah hanya dalam beberapa langkah. Karena sang juara dunia tersebut sudah pasti hafal dengan teori-teori tersebut. Tetapi lain halnya apabila kita meninggalkan teori catur dan bermain dengan gaya kita sendiri dalam bermain, justru kemungkinan menang menjadi lebih besar, dengan satu catatan, aturan main permainan catur tetap digunakan.

Merespon pertanyaan Ruhul Ma’ani, menurut Pak Abdullah, justru sebenarnya orang yang meminjam uang lah yang membantu kelangsungan hidup si pemberi pinjaman. Persoalannya adalah hutang luar negeri Indonesia semakin tahun semakin bertambah, bahkan saat ini hutang luar negeri Indonesia mencapai 3.000 trilyun rupiah, sehingga setiap tahun negara melalui APBN masih harus menganggarkan untuk pelunasan hutang beserta bunganya.

Dengan menggunakan metode pendekatan Islam, sangat logis sebuah negara mampu bertahan hidup tanpa harus berhutang. Beliau mencontohkan bagaimana Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq berhasil melakukannya. Hanya dalam 2 tahun masa kepemimpinannya, seluruh penduduk Madinah saat itu tidak ada yang memiliki hutang, hal ini ditandai dengan tidak satu pun penduduk Madinah yang menerima zakat fitrah.

Mengutip salah satu hadits Rasulullah SAW, Pak Abdullah Hehamahua berikan solusi bagaimana memperbaiki bangsa, yakni dengan selalu berusaha menuju yang lebih baik. “Beruntunglah ia apabila hari ini lebih baik dari hari kemarin, merugilah ia apabila hari ini sama dengan hari kemarin, dan celakalah ia apabila hari ini lebih buruk dari hari kemarin,” lanjut Pak Abdullah Hehamahua.

Suasana diskusi semakin segar ketika Pak Abdullah Hehamahua berkelakar dengan beberapa anekdot yang menyindir perilaku perokok, di saat bersamaan Cak Nun sedang menghisap kretek favoritnya. Cak Nun kemudian membalas kelakar Pak Abdullah Hehamahua tentang rokok dengan anekdot yang sangat elegan dan tidak kalah lucu dengan cerita yang disampaikan oleh Pak Abdullah Hehamahua.

ALLAH, MANUSIA, HAK DAN KEWAJIBAN

Selepas Abdullah Hehamahua berpamitan, Cak Nun mbeberke kloso untuk mengantar Syeikh Nursamad Kamba menjelaskan kepribadian Rasulullah Muhammad SAW sebagai yaquut baina-l-hajari. Cak Nun mengelaborasi idiomatik tersebut karena saat ini kita menghadapi fakta zaman demokrasi saat orang-orang sudah tidak miliki lagi tradisi dan kepekaan untuk menghargai keistimewaan-keistimewaan dan keunggulan-keunggulan. Karena sejatinya hak setiap orang itu tidak sama. Dalam sistem demokrasi, semua orang memiliki hak untuk dipilih dan memilih, tetapi itu hanya berlaku pada saat pemilihan umum. Selepas pemilihan umum, hak setiap orang berbeda satu sama lain. Cak Nun mengibaratkan bagaimana hak antara bebek, ayam dan burung berbeda satu sama lain.

“Bahkan dirimu dengan dirimu itu berbeda, karena engkau setiap hari memiliki pengetahuan yang baru tentang dirimu. Dirimu yang sekarang bukan lagi dirimu yang kemarin, karena yang berkembang adalah pemahamanmu terhadap dirimu sendiri,” tutur Cak Nun

Menjelaskan tentang hak dan kewajiban, Cak Nun menguraikan mengapa Allah menggunakan terminologi Akbar, bukan Kabiir. Hal ini dikarenakan Allah sangat dinamis terhadap diri-Nya. Begitu juga Allah menciptakan manusia dilengkapi dengan akal pikiran agar manusia mampu berkembang dalam berpikir dan memahami akan dirinya. Allah tidak memiliki kewajiban apa-apa terhadap seluruh makhluk hidup dan alam semesta yang Dia ciptakan, sejatinya hanya Allah-lah yang memiliki hak atas semua yang ada di alam semesta ini, sedangkan manusia justru sebaliknya. Manusia tidak memiliki hak apa-apa di muka bumi ini, melainkan hanya memiliki kewajiban terhadap Allah yang harus ditunaikan. Sehingga ‘hak asasi manusia’ yang diagung-agungkan saat ini itulah yang sebenarnya merusak pikiran manusia. Kalaupun ada hak yang dimiliki oleh manusia, itu pun hanya hak pakai atau hak pinjam.

Cak Nun lalu melontarkan sebuah pertanyaan: Presidenmu yang sekarang ini kerikil atau emas? Cak Nun menjelaskan bahwa pertanyaan tersebut bukan dalam rangka merendahkan seseorang diantara orang yang lainnya. Batu tidak semestinya menjadi rendah ketika berhadapan dengan emas, begitu juga sebaliknya, emas jangan sampai merasa lebih unggul ketika berhadapan dengan batu. Batu memiliki harga dirinya sendiri, begitu juga dengan emas, ia memiliki harga dirinya sendiri. “Cuma, batu jangan di-emas-kan dan emas jangan sampai di-batu-kan,” lanjut Cak Nun.

Mekanisme demokrasi yang ada saat ini sangat mungkin memposisikan bongkahan batu disamakan dengan emas, dan pada saat yang bersamaan memposisikan bongkahan emas disejajarkan dengan batu. “Jadi seluruh cita-citamu tidak akan berhasil, selama engkau tidak menempatkan emas sebagai emas, mutiara sebagai mutiara,” lanjut Cak Nun.

“Beruntunglah ia apabila hari ini lebih baik dari hari kemarin, merugilah ia apabila hari ini sama dengan hari kemarin, dan celakalah ia apabila hari ini lebih buruk dari hari kemarin.”
Abdullah Hehamahua, Kenduri Cinta (Jan, 2015)

Menyambung paparan Kusfiardi, Cak Nun bercerita tentang kisah sekelompok tikus yang frustasi menghadapi seekor kucing yang selalu merampok makanan-makanan milik tikus. Hingga suatu hari, tikus-tikus menemukan solusi, yaitu menggantungkan lonceng di leher kucing agar apabila kucing mendatangi tempat tinggal para tikus maka mereka bisa mengetahuinya. Setelah semua bersepakat, timbul lah satu pertanyaan: man yualliku-l-jaros? Siapa yang akan menggantungkan lonceng tersebut di leher si kucing? Ilustrasi ini sengaja dilemparkan Cak Nun untuk memancing pencarian jalan keluar dari kehancuran-kehancuran yang kita keluhkan.

Untuk menuju arah perubahan yang diidamkan: pertama, tentukan siapa mutiaranya, ia yang akan menjadi eksekutor perubahan sebagai pemimpin. Persoalannya, sistem demokrasi yang ada tidak memungkinkan mutiara ditempatkan sebagai mutiara dan batu ditempatkan sebagai batu. Kedua, tentukan apa saja yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan.

CANGKUL, PEDANG DAN KERIS SEBAGAI PRINSIP KESEJATIAN

“Matematika adalah ilmu yang paling suci. Ilmu pasti adalah ilmu kesucian. Karena tidak ada opini, tidak ada tafsir, tidak ada ijtihad dalam matematika. Bahwa 4 x 4 = 16, itu pasti. Matematika adalah salah satu bentuk tajalli-nya Allah,” ungkap Cak Nun.

Cak Nun mengelaborasi tentang maraknya kemunculan lembaga-lembaga yang menggunakan kata syariat. Mengambil satu contoh kasus yaitu: bank syariat. Konvensional dan syariat seharusnya adalah sebuah persoalan yang berhubungan dengan prinsip. Sebuah bank konvensional yang memutuskan untuk memunculkan bank syariat, seharusnya berlandaskan sebuah alasan yang sangat prinsipil bahwa dalam sistem bank konvensional terdapat aturan-aturan yang tidak sejalan lagi dengan syariat. Apabila bank tersebut memutuskan untuk bertransformasi menjadi bank syariat, maka seharusnya bank yang masih bersifat konvensional gugur dengan sendirinya. Ibarat seseorang memutuskan menjadi mualaf setelah sebelumnya kafir, bahwa ketika ia mengucapkan dua kalimat syahadat itu merupakan pertanda bahwa dia sudah memeluk Islam, identitas sebelumnya (kafir) secara otomatis hilang, karena ini merupakan hal yang sangat prinsip.

Namun yang terjadi dalam industri bank syariat saat ini adalah kata syariat hanya digunakan sebagai alat ekonomi dan kapitalisasi untuk menarik nasabah-nasabah dengan target pasar yang baru. Syariat tidak dijadikan sebuah prinsip nilai yang utama, hanya digunakan sebagai label untuk meraih keuntungan baru. “Ternyata kita ini menggunakan sesuatu yang prinsip untuk sebuah hal yang main-main,” kata Cak Nun.

Pada saat forum maiyahan di Boyolali, Cak Nun melemparkan sebuah pertanyaan kepada para jamaah tentang perbedaan tayamum dan wudhu. Bahwa yang primer adalah wudhu, sedangkan tayamum adalah sebuah peristiwa yang dapat dilakukan menggantikan dalam keadaan darurat. Ia memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum dilaksanakan. Tayamum dilakukan dengan debu sebab ketiadaan air, disinilah letak daruratnya. Cak Nun bertanya: Ini negaramu, negara wudhu atau negara tayamum? Serentak jamaah menjawab: Negara tayamum. Dengan pemahaman itu, memudahkan jamaah dalam mengidentifikasi bahwa Indonesia saat ini dalam keadaan “negara tayamum”. Cak Nun melanjutkan bahwa idiom tayamum sudah sering digunakan oleh masyarakat di pedesaan Boyolali dan Salatiga untuk menggambarkan situasi dan kondisi pemimpin di daerahnya. Lumrah mereka mengatakan: Aaah, ini lurah tayamum ini… sebagai bentuk ungkapan bahwa pemimpin di desanya itu adalah pemimpin yang sifatnya darurat, bukan pemimpin yang sejati.

“Cita-cita kita adalah membangun ‘negara wudhu’ yang sebenarnya, dengan air yang sebenarnya, dengan kesucian yang sebenarnya,” lanjut Cak Nun.

MANUFAKTURING KAWULO GUSTI — Kenduri Cinta

“Sesungguhnya inti dan energi Alquran sudah ada dalam dirimu. Seandainya tidak ada Islam asalkan manusia benar-benar menjadi manusia sejati, maka sesungguhnya tidak akan terjadi kerusakan-kerusakan di bumi ini.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2015)

“Siapa yang memperhatikan bahwa engkau sedang galau? Apakah Indonesia memperhatikan kegalauanmu? Apakah negara dan pemerintah concern terhadap kegalauanmu? Apakah ada ulama-ulama yang memiliki file di dalam hatinya bahwa umatnya galau? Kamu sendirian maka kamu harus mempunyai sahabat sejati dalam hidupmu, sehingga kapanpun dan dalam keadaan apapun, engkau memiliki teman. Dan siapakah temanmu yang sejati itu? Allah!” tegas Cak Nun. “Kembali ke hidupmu yang sejati. Kemanapun anda pergi, anda harus selalu memiliki kesadaran untuk berpijak kepada Yang Sejati.”

Menegaskan penjelasan tentang prinsip kesejatian, Cak Nun memberikan tiga idiom sebagai pemahaman dan kesadaran: cangkul, pedang dan keris. Sebelum menjelaskan lebih jauh terkait idiomatik ini Cak Nun bercerita salah satu hasil diskusinya dengan Sabrang yang berakhir pada kesimpulan bahwa orang Barat itu tujuan hidupnya adalah bahagia, sedangkan orang Indonesia tujuan hidupnya adalah kaya. Beberapa waktu yang lalu Cak Nun mengklasifikasikan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia dimana semua orang berlomba-lomba untuk menuju satu tujuan sama, yaitu: menjadi kaya.

Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-8 dibawa oleh para pedagang, dan tidak diterima oleh masyarakat Nusantara ketika itu, karena yang membawa Islam adalah para pedagang, dimana saat itu pedagang adalah kasta terendah dalam struktur tatanan masyarakat. Islam diterima oleh masyarakat ketika didakwahkan oleh para ulama pada abad ke-14, karena ulama adalah kasta tertinggi di masyarakat Nusantara ketika itu. Karena ulama pada saat itu adalah begawan, panembahan, orang mulia dan “keris”.

Saat ini, kasta tertinggi di masyarakat adalah orang kaya. Setelah orang kaya adalah penguasa, yang tujuan utamanya untuk menjadi orang kaya. Kemudian adalah orang pintar yang juga tujuan utamanya untuk berkuasa dan menjadi orang kaya. Selanjutnya adalah orang kuat yang memiliki kekuatan dan kesaktian, yang juga memiliki tujuan untuk berkuasa dan menjadi orang kaya.

Kembali ke 3 idiom: cangkul, pedang dan keris. Cangkul berfungsi sebagai lambang/alat ekonomi, pedang adalah lambang kekuasaan, dan keris adalah lambang dari kewibawaan, kepribadian, kasepuhan dan pusaka. Cak Nun tampaknya ingin segera mengajak jamaah Kenduri Cinta menyelami logika yang lebih dalam lagi berdasarkan 3 idiomatik ini, menanyakan kepada jamaah: Kamu melakukan semua hal di dunia ini untuk apa? Cangkul, pedang atau keris?

Dengan perumpamaan itu, Cak Nun menjelaskan bahwa di masyarakat saat ini barang siapa yang memiliki “cangkul”, ia sudah pasti tidak akan memiliki “pedang” apalagi “keris”. Sedangkan orang yang memiliki “pedang” sudah pasti ia memiliki “cangkul”, tetapi ia belum memiliki “keris”. Sedangkan orang yang memiliki “keris”, ia sudah pasti memiliki “cangkul” sekaligus “pedang”. Cak Nun menyederhanakan idiomatik ini dalam peristiwa salat.

“Cangkul” dalam salat adalah gerakan-gerakan seseorang ketika melaksanakan salat, “pedang” dalam salat adalah kebenaran syariat yang dijalankan oleh seseorang mulai dari wudhu, cara berpakaian, hingga bacaan salatnya. Sedangkan “keris” adalah perlambang khusyuk ketika seseorang ketika ia melaksanakan salat. Syarat utama khusyuk adalah anda fokus kepada Allah, anda ingat 100% kepada Allah ketika anda salat dan anda menyadari anda sedang berhadapan sepenuh hati dengan Allah ketika salat.

Meskipun demikian, Cak Nun mengingatkan kembali bahwa kita tidak perlu memperdebatkan khusyuk atau tidaknya salat seseorang, karena itu merupakan hak Allah 100%, sama halnya dengan dengan surga dan neraka bahwa itu merupakan hak prerogatif Allah. Bahkan Rasulullah sekalipun sudah mengingatkan, bukan amal ibadah kita yang akan mengantarkan kita ke surga, melainkan Rahmat Allah SWT. Bahwa kita meyakini itu adalah puncak keimanan kita, tetapi kita tidak memiliki otoritas menentukan seseorang masuk surga atau neraka.

Untuk kembali menyegarkan suasana, Cak Nun melemparkan beberapa kelakar dan anekdot untuk melatih cara berpikir jamaah Kenduri Cinta agar terbiasa berdialektika dengan cara berpikir Maiyah yang siklikal, spiral dan penuh tikungan sehingga tidak kaget menghadapi paradoks-paradoks dalam kehidupan. “Anda jangan hidup dalam satu penggalan, sehingga anda kebingungan dalam penggalan itu. Anda harus transenden, anda harus mampu melihat keseluruhan dari metabolisme kehidupan yang Allah ciptakan itu, sehingga anda mampu bersyukur,” lanjut Cak Nun.

“Ikon utama Allah adalah rahman dan rahim sebagai bukti bahwa Allah ingin bermesraan dengan manusia dan semua makhluk-Nya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2015)

MANUFAKTURING KAWULO GUSTI — Kenduri Cinta

MUHAMMAD: MUTIARA DIANTARA BEBATUAN

Syeikh Nursamad Kamba menyambung forum dengan memaparkan tentang Yaquut dalam diri Muhammad SAW. “Kadang kita menggunakan agama sebagai tumbal (alasan) untuk melegitimasi perilaku-perilaku abnormal kita,” Syeikh Kamba membuka. Banyak yang beranggapan dengan berbuat baik maka dapat dengan mudah menghapus kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan sebelumnya. Seolah-olah agama hanya dijadikan legitimasi terhadap perilaku-perilaku abnormal manusia.

“Yang saya pelajari dari sosok Nabi Muhammad SAW bukanlah hal yang seperti itu,” lanjut Syeikh Kamba. Menyambung syair Syeikh Imam Busyairi, Syeikh Nursamad Kamba menambahkan bahwa Allah telah lebih dahulu memerintahkan kepada Muhammad untuk mengatakan kepada umatnya bahwa dia adalah manusia biasa, hanya saja ia memiliki posisi yang ekslusif dengan menerima wahyu. Seperti yang difirmankan oleh Allah dalam Surat Al-Kahfi ayat 110: Qul, innama ana basyarun mutslukum yuuhaa ilayya annamaa ilaahukum ilaahun waahidun.

“Muhammad SAW adalah satu-satunya nabi yang secara kongkrit dibuktikan keberadaannya dan seluruh perilaku kehidupannya, yang mana pembuktiannya bukan hasil rekayasa atau hasil imajinasi. Karena dia hidup sebagai manusia yang berjuang,” lanjut Syeikh Kamba.

Syeikh Nursamad Kamba mengelaborasi kepribadian Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul, dimana Muhammad tidak tahu bahwa dia akan menjadi Rasul. Salah satu buktinya adalah ketika beliau menerima wahyu pertama, beliau menghadapi kegelisahan luar biasa. Salah satu hikmah bahwa Nabi juga manusia biasa adalah supaya dia menjadi teladan dan pedoman bagi umatnya di kemudian hari.

Syeikh Nursamad mengajak jamaah untuk kritis terhadap fenomena akhir-akhir ini dimana begitu maraknya kelompok atau golongan yang mengklaim dirinya sebagai pengikut setia Nabi Muhammad SAW namun mereka meninggalkan rasionalitas dan akal mereka dalam berpikir. Ilmu-ilmu agama diajarkan sebagai doktrin yang dihafalkan, sehingga menjadi kaku. Hal ini juga yang menjadi salah satu penyebab terjadinya banyak pertikaian dalam Islam.

Berdasarkan riwayat, Muhammad saat berusia 10 tahun mengalami peristiwa yang sangat berpengaruh pada kehidupannya kelak, beliau mengalami proses pembelahan dada oleh malaikat untuk dibersihkan hatinya dari 3 hal: dengki, curang dan kesombongan. Dan kemudian diisi dengan kearifan, kelapangan dada serta fleksibilitas hidup. Buah dari peristiwa ini adalah Muhammad menjadi sosok yang penuh simpati kepada orang-orang sekitarnya, karena ia tidak memiliki perilaku curang, iri, dengki dan sombong. Semestinya, apabila kita ingin menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan dan panutan, sudah semestinya kita membersihkan hati kita dari hal-hal tersebut. Maka tidak mengherankan apabila saat ini kita melihat fenomena bagaimana seorang pejabat negara yang dikenal sebagai penghafal Alquran, namun korup ketika menjadi pejabat. Hal itu menurut Syeikh Nursamad Kamba merupakan akibat dari perilaku manusia yang mengaku dirinya Islam namun masih memelihara rasa iri, dengki, curang dan sombong dalam dirinya.

Syeikh Nursamad Kamba berpendapat, apabila memang kita ingin benar-benar mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, terlebih dahulu kita membersihkan diri kita dari hal-hal tersebut (curang, iri, dengki dan sombong), sebelum kita menjalankan sunnah-sunnah Nabi lainnya. Bahwa meneladani Nabi Muhammad SAW bukan hanya soal gaya berpakaian saja, melainkan juga bagaimana beliau bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya.

“Agama sejatinya adalah pembawa kedamaian, namun saat ini agama justru menjadi salah satu pemicu konflik.”
Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Jan, 2015)

MANUFAKTURING KAWULO GUSTI — Kenduri Cinta

HATI DAN AKAL YANG MENJAGANYA

Salah satu tujuan manusia diciptakan dan dijadikan khalifah oleh Allah adalah agar menjadi wakil Allah di muka bumi. Dalam artian, manusia adalah refleksi kerpibadian Allah. Allah memiliki sifat Rahman dan Rahim, maka sudah sewajarnya manusia juga memiliki sifat yang demikian. Allah Maha Pemberi tanpa pamrih, maka sudah seharusnya manusia juga merefleksikan dirinya seperti sifat tersebut. Karena agama mengajarkan agar manusia mampu merefleksikan sifat-sifat Allah, apabila manusia tidak mampu merefleksikan dirinya atas sifat-sifat Allah maka percuma saja manusia mempelajari agama dan beragama di bumi ini.

Menyambung penjelasan Syeikh Nursamad Kamba, Cak Nun merefleksikan kembali peristiwa bagaimana Allah pertama kali meniupkan ruh ke tubuh Adam. Pertama, Allah meniupkan ruh tepat di kepala Adam, kemudian di dada dan yang terakhir di bawah perut Adam. Cak Nun mengelaborasi bahwa 3 titik tempat ditiupkannya ruh oleh Allah dalam tubuh Adam tersebut merupakan simbol bagaimana pemimpin menggunakan metodenya dalam memimpin, apakah ia akan menggunakan akal (disimbolkan dengan kepala) atau dengan hati (disimbolkan dengan dada) atau dengan nafsu (disimbolkan dengan kemaluan).

Cak Nun meminta jamaah agar saat pulang membaca dan mempelajari Surat An-Nuur ayat 35, dimana dalam ayat tersebut terdapat idiom dari Allah yaitu miyskat, misbah dan zujaajah. Misykat adalah simbol dari diri manusia sedangkan misbah adalah simbol dari hati manusia, dan zujaajah adalah simbol dari akal manusia. Pada ayat itu dijelaskan sebuah dialektika mendasar, yaitu terjadinya komunikasi yang baik antara akal dengan pikiran, antara hati dengan pikiran, atau bersambungnya antara kepala dan hati manusia. Cak Nun menjelaskan bahwa kepemimpinan manusia terletak pada akalnya, sedangkan potensi bahaya manusia terletak pada hatinya.

Berdasarkan apa yang dijelaskan sebelumnya, sesungguhnya hati memang memiliki potensi yang lebih berbahaya dari akal karena ia letaknya lebih dekat dengan nafsu, sehingga ia mampu bergerak tanpa batas. Cak Nun mengibaratkan ketika seseorang ditawari gaji yang lebih tinggi, hatinya akan sangat gembira menerimanya, tetapi akalnya sesungguhnya mampu menahan untuk menolak tawaran gaji yang lebih tinggi itu.

Al misbaahu fiz-z-ujaajah maksudnya adalah bahwa hatimu itu dibatasi oleh akalmu. Kalau engkau menuruti kata hatimu, baik seperti apapun, jika tidak diimbangi dengan manajemen akal maka dirimu akan hancur. Maka engkau dianugerahi akal oleh Allah,” lanjut Cak Nun. Karena hati sejatinya tidak mampu me-manage dirinya sendiri, akal dianugerahkan oleh Allah kepada manusia untuk mengimbangi hatinya. Cak Nun mengibaratkan perpaduan akal dan hati itu seperti sebuah lampu bohlam, dimana cahaya dari lampu tersebut diatur sedemikian rupa agar tidak melelehkan kaca yang menjaganya, namun lampu tetap menghasilkan cahaya. Apabila kaca pecah, maka cahayanya justru tidak ada. Kaca dalam bohlam itulah simbol dari akal manusia, sedangkan cahaya yang dihasilkan oleh lampu yang berada di dalam kaca adalah hatinya.

Yang terjadi saat ini, banyak manusia yang masih menyimpan rasa hasad, iri, dengki dan sombong sehingga itu mengakibatkan kaca yang seharusnya melindungi hatinya meleleh, akalnya menjadi tidak rasional dalam berpikir. Semua konstelasi yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan hasil dari versi kedengkian kelompok A melawan versi kedengkian kelompok B atau kelompok yang lain, begitu seterusnya.

Jika manusia sudah mampu mengatur bagaimana hubungan antara hati dan akal dengan baik, maka puncaknya adalah yakaadu zaituhaa yuudhi’u walau lam tamsashu naar, bahwa pikiran (akal) dan hati yang diatur dengan baik, maka tanpa pemantik apapun, keduanya dalam diri manusia akan menyala. Sayangnya manusia kini membutuhkan pemantik berupa motivasi untuk menyalakan akal dan hatinya, padahal sesungguhnya apabila ia mampu membangun hubungan yang baik antara akal dan hati dalam dirinya sendiri, ia tidak perlu motivasi dalam dirinya untuk menyala.

“Sesungguhnya inti dan energi Alquran sudah ada dalam dirimu,” tutur Cak Nun. Bahwa seandainya tidak ada Islam, asalkan manusia benar-benar menjadi manusia yang sejati, maka sesungguhnya tidak akan terjadi kerusakan-kerusakan di bumi ini. Manusia sejatinya tidak akan mampu mengenal Allah, tidak mungkin mampu mengalami pemahaman apapun mengenai Allah. Satu-satunya jalan agar manusia mengetahui Allah adalah dengan cara Allah sendiri yang memberi tahu kepada manusia, dan dalam sejarah diceritakan bahwa proses pemberitahuan ini berjalan sejak berabad-abad silam lamanya. Hingga pada akhirnya Allah memberikan shortcut kepada manusia berupa Alquran sebagai pedoman dasar informasi tentang Allah.

“Al misbaahu fiz-z-ujaajah adalah bahwa hatimu itu dibatasi oleh akalmu.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2015)

MANUFAKTURING KAWULO GUSTI — Kenduri Cinta

Saat selanjutnya, Cak Nun mengurai tentang asma’ul husna yang marupakan cara Allah memberitahu manusia tentang siapa diri-Nya. Icon utama Allah adalah Rahman dan Rahim sebagai bukti bahwa Allah ingin bermesraan dengan manusia dan semua makhluknya. bahwa Allah memiliki sifat yang lain, itu benar. Tetapi Allah memiliki icon utama Rahman dan Rahim yang merupakan representasi diri-Nya untuk bermesraan dengan makhluk-Nya.

Kalimat Allahu Akbar sejatinya adalah output dari kekaguman manusia terhadap apa yang ia temui. Manusia mengagumi ciptaan Allah di semesta alam sehingga ia mengekspresikan kekagumannya dengan kalimat Allahu Akbar. Sama seperti ketika peristiwa takbir yang dikumandangkan pada hari raya idul fitri, ia merupakan sebuah peristiwa agung atas kekaguman-kekaguman dan ketakjuban-ketakjuban manusia, ia mengalami kekaguman atas tarawih-nya, atas tahajud-nya, atas zikir-nya, atas puasanya, atas salatnya sehingga ia mengumandangkan takbir ketika hari raya tiba, karena ia sudah tidak tahan lagi untuk mengungkapkan kekaguman-kekaguman yang ia alami selama bulan Ramadan. Manusia tidak akan menjadi apa-apa seandainya ia tidak mengalami ketakjuban dalam hidupnya.

“Kalau teh sudah manis, maka kita sudah lupa dengan gula,” Cak Nun melanjutkan penjelasannya tentang iman. Menurut Cak Nun, apabila seorang manusia sudah bertauhid maka sudah tidak ada jarak lagi dengan iman, secara otomatis dalam hidupnya ia sudah beriman dengan Allah. Bahwa pembuktian iman dengan kalimat atau ucapan itu merupakan wujud kemesraan. Seperti halnya seorang suami mengucapkan I love you kepada istrinya, karena sejatinya pembuktian kecintaannya kepada istrinya sudah ia lakukan ketika resmi menikahinya. Ketika ia sudah menikahi wanita pujaannya dan menjadikannya sebagai istri, maka kalimat I love you bukan lagi sebuah pembuktian kecintaan, melainkan sebagai wujud kemesraan.


Menyinggung peristiwa diserangnya sebuah kantor berita di Perancis, Cak Nun mengingatkan bahwa sesungguhnya apa yang kita ketahui saat ini mayoritas berasal dari informasi yang berasal dari mata kita sendiri (ainul yaqin). Sedangkan informasi yang kita dapat bisa jadi kadar kebenarannya hanya sepertiga dari kebenaran yang sebenarnya. Sehingga jelas, bahwa sebenarnya kita berenang dalam lautan ketidakbenaran, kita berenang di lautan syubhat. Dari keseluruhan informasi yang kita dapatkan itu ternyata lebih banyak ilusinya daripada kenyataannya. Menurut Stephen Hawking, ilusi adalah musuh utama dari ilmu pengetahuan, bukan kebodohan.

Cak Nun menarik garis persambungan bagaimana Nabi Muhammad dijadikan oleh Allah sebagai nabi yang buta huruf, agar ia tidak mengetahui sebuah pengetahuan berdasarkan informasi yang literer — huruf, kata dan kalimat — melainkan sebuah pengetahuan berdasarkan ilmu-l-yaqin, haqqu-l-yaqin dan ‘ainu-l-yaqin. Alangkah indahnya seandainya kita sekarang melakukan “mandi besar” untuk membersihkan semua ilusi-ilusi yang ada dalam diri kita, agar kita mampu bergaul dengan kenyataan supaya kehidupan kita menjadi lebih otentik. Sehingga ketika kita mengambil keputusan apapun dalam kehidupan kita, karena sudah melalui pijakan otentisitas kehidupan yang kita alami sendiri.

“Kalimat ‘Allahu Akbar’ adalah ekspresi manusia ketika ia kagum, takjub, terharu atau ketika berada dalam bahaya besar. Kalimat ‘Allahu Akbar’ adalah output dari dalam diri manusia yang meneliti segala apapun yang ada di dunia.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2015)

ALLAH MAHA PARADOKS

“Kenduri Cinta ini saya anggap sebagai oase,” Sudjiwo Tedjo mengawali. Sudjiwo Tedjo menggambarkan bahwa hidup penuh paradoks, ia berpendapat bahwa apa yang disampaikan oleh Syeikh Nursamad Kamba dan Cak Nun sebelumnya tentang akal hanyalah untuk memancing semua yang hadir di Kenduri Cinta ini untuk berpikir lebih mendalam. Oksigen dalam kehidupan itu penting, namun sekaligus oksigen juga membunuh manusia karena ia memiliki peran dalam tubuh manusia untuk mengatur sel-sel yang ada sehingga manusia menua. Adanya keriput dalam tubuh manusia itu merupakan akibat dari oksigen yang ada dalam tubuh manusia. Begitu juga cinta, ia menggembirakan tetapi sekaligus juga membahayakan.

“Maka ada benarnya ungkapan too much love will kill you. Tuhan itu Maha Paradoks,” lanjut Sudjiwo Tedjo. Ia menambahkan salah satu buktinya adalah bagaimana malaikat Jibril tidak kuat menembus sidratul muntaha ketika mengantarkan Nabi Muhammad menghadap Allah pada saat peristiwa isra’ mi’raj. Sudjiwo Tedjo juga tentang Rahwana yang mencintai Shinta bukan karena ia bernama Shinta, karena Rahwana tidak menyembah nama melainkan menyembah Dzat.

Suasana Kenduri Cinta semakin hangat ketika Cak Nun dan Sudjiwo Tedjo saling melempar kelakar dan anekdot. Sudjiwo Tedjo mempraktekkan bagaimana ia begitu merdeka ketika membaca Alquran tidak dengan intonasi nada Arab, melainkan dengan intonasi nada Jawa. Sudjiwo Tedjo juga bercerita pengalamannya ketika ia melaksanakan ibadah umroh oleh Syeikh Nursamad Kamba.

“Saya menghargai Cak Nun karena Cak Nun tidak laku di televisi,” lanjut Sudjiwo Tedjo. Menurutnya, Cak Nun sangat jujur untuk menyampaikan sesuatu tanpa harus berpura-pura. Di beberapa kesempatan Cak Nun mampu menyampaikan sebuah persoalan yang mendasar namun mampu menyampaikannya dengan bahasa yang merakyat, menurut Sudjiwo Tedjo hanya Cak Nun yang mampu melakukan hal tersebut. Sudjiwo Tedjo bercerita bagaimana Cak Nun pernah menjelaskan tentang peristiwa kentut yang membatalkan wudhu. Wudhu adalah peristiwa batin, peristiwa ruhani bukan peristiwa materi itulah mengapa ketika seseorang batal karena kentut, ia tidak mengusap pantatnya, melainkan mengusap tangannya, wajahnya, kepalanya dan kakinya yang terangkum dalam peristiwa wudhu.

MANUFAKTURING KAWULO GUSTI — Kenduri Cinta

Merespon Sujiwo Tedjo, Cak Nun jelaskan bahwa siapapun yang mengaji, melantunkan shalawat atau azan dengan intonasi nada Arab, itu bukan karena ia terjajah Arab, melainkan ia masih dalam masa berjuang mencari Yang Sejati. Menurut Cak Nun, Jawa itu sangat indah, tetapi ia akan indah bagi orang yang sudah mencapai puncak ketenangan dalam pencariannya itu. Cak Nun menegaskan, bahwa untuk mendalami Islam bukan berarti harus ke-arab-araban tetapi juga tidak dibenarkan untuk meninggalkan bahasa Arab. Dan sudah jelas, bahwa Arab itu belum tentu Islam, ia hanya merupakan salah satu instrumen dalam Islam.

Penggunaan intonasi Arab atau Jawa dalam melantunkan shalawat atau ayat Alquran menurut Cak Nun harus ditempatkan sesuai dengan situasi dan kondisinya. Apabila yang dihadapi adalah masyarakat yang sudah terbiasa dengan perangkat dan budaya Jawa, maka akan mudah diterima. Tetapi bagi masyarakat yang belum terbiasa dengan perangkat dan budaya Jawa, maka itu tidak bisa dipaksakan.

Di puncak diskusi, Cak Nun mengajak jamaah untuk selalu bersyukur atas semua informasi yang sudah disampaikan oleh Allah. Karena jika bukan karena Allah, kita tidak akan mendapat informasi apapun di dunia ini. Allah memberikan kita informasi yang sangat sedikit tentang Nabi Khidir, dengan pengetahuan yang sangat terbatas akan sosok Nabi Khidir, semampu kita harus mengambil hikmahnya.

Kenduri Cinta edisi Januari kali ini dipuncaki dengan sebuah cerita pertemuan seorang dari Baduy yang thawaf di Masjidil Haram dengan mengucapkan kalimat Yaa Karrim dengan Rasulullah SAW. Kemudian dilanjutkan dengan penampilan Sudjiwo Tedjo membacakan puisi dengan bahasa dan intonasi Jawa dan ditutup dengan doa yang dipimpin oleh Syeikh Nursamad Kamba, sesaat selesai doa, hujan pun kembali turun deras.

shortlink: kenduri.in/kcjan15