Maiyah dan Jalan Sunyi

UNTUK TETAP eksis dalam era gombalisasi mengantarkan manusia-manusia modern saling berpacu menawarkan citra-citra palsu kepahlawanan, kesan-kesan relijius serta penampilan-penampilan glamor bak selebriti dengan polesan konsep apik, matang dan terencana. Fenomena ini memicu kecederungan kompetisi yang ketat, selfish dan egosentris yang berdampak: melihat orang lain selain dirinya sebagai kompetitor bahkan musuh yang harus dikalahkan karena menghalangi eksistensinya. Bahkan dalam menggombali dirinya sendiri, manusia-manusia modern ini mampu menampilkan sosok dan figur yang berbeda tentang dirinya secara spesifik dan terkesan berkasta tinggi. Mulai dari pemasangan baliho warna warni, poster-poster besar dan megah pada tempat-tempat strategis di bahu-bahu jalan agar orang lain tidak melupakan betapa istimewanya manusia palsu tersebut.

Bersambung pada dunia maya, gombalisasi melalui media sosial yang mudah diakses orang banyak, peng-update-an status secara terperinci dengan display picture sebagai pelengkap dan pendeskripsian terjadinya suatu pencitraan. Iklan-iklan, layanan masyarakat agar terlihat berprikemanusiaan. Aturan-aturan kemanusiaan dengan prosedur yang tidak memihak masyarakat. Sungguh suatu keadaan gaduh. Di tengah kegaduhan ini sungguh beruntung orang yang mampu bermaiyah. Bermaiyah menuju jalan sunyi. Menentang arus yang tidak mewajibkan diri untuk tampil ke permukaan.

Maiyah adalah jalan sunyi yang merupakan sebuah jawaban untuk kebutuhan berkualitas luhur, yang mampu menjernihkan hasrat. Umumnya manusia memerlukan suasana syahdu agar dapat berdialog dengan dirinya sendiri. Boleh jadi seluruh kegaduhan hidup yang muncul karena jarangnya manusia berdialog dengan dirinya sendiri. Bahkan kegaduhan ini sudah menjelajah pada wilayah yang seharusnya mengajak manusia kepada keheningan yakni agama.

Para agamais bahkan menciptakan penataan peraturan-peraturan yang mempersoalkan siapa-siapa yang berhak masuk surga dan yang akan menjadi penghuni neraka. Ironisnya karena asas penilaian ini bukan berdasarkan acuan baku tuntunan orang beragama bukan juga kualitas-kualitas yang muncul akibat peribadatan orang beragama melainkan berdasarkan logika kelompok yang meskipun seseorang berbuat jasa untuk kebaikan orang banyak tapi tidak dikategorikan sebagai penghuni surga hanya karena yang bersangkutan tidak termasuk dalam kelompok atau golongan atau grup tertentu.

Agama adalah hening yang memampukan manusia berdialog dengan batinnya dan dapat mendengarkan firman-firman Tuhan, setidaknya bisikan-bisikan ilahi yang memberi petunjuk ke arah mana seseorang menghadap untuk menemukan jati dirinya. Bisikan-bisikan ilahi tersebut semacam cermin yang dicahayai yang bila mana manusia memandangnya maka akan memantulkan gambaran sebagaimana gambaran dirinya sendiri sebagaimana apa adanya. Inilah jati diri. Seluruh kegaduhan hidup yang merupakan ajang perlombaan menampilkan diri bukan atas inspirasi jati diri melainkan diri yang terbentuk oleh persepsi-persepsi dan konsepsi-konsepsi egosentrisitas yang berawal dari hasrat bayang-bayang kepalsuan dunia.

Lebih jauh lagi jika kemudian agama tidak mengajarkan perenungan. Padahal agama penuh dengan petunjuk-petunjuk penerang jalan manusia, semacam lentera atau obor. Dalam hal ini manusia hanya dapat menemukan jati diri melalui perenungan. Dengan bercermin pada cahaya ilahi manusia dapat melihat keberadaan dirinya sendiri pada orang lain. Jika berbagi maka yang terasa adalah memberi kepada dirinya sendiri. Jika berharta maka yang terasa adalah peduli pada yang lain. Jika yang lain disakiti maka berasa sakit pula. Inilah contoh diri yang terbebas dari egosentrisitas dan subjektifitas. Seperti yang dipertuntunkan Tuhan pada kitab suci “Siapa yang membunuh suatu jiwa maka seolah membunuh seluruh umat manusia, dan siapa yang menghidupkan suatu jiwa maka seolah menghidupkan seluruh umat manusia”. Lebih tegas Kanjeng Nabi Muhammad SAW tentang jati diri ini bersabda: “Perumpamaan orang-orang beriman dalam saling mengasihi dan saling menyayangi adalah ibarat satu raga, jika salah satu organnya sakit maka sekujur tubuh ikut merasakan demamnya”.

Ini berarti semakin dalam perenungan seseorang semakin berpotensi menemukan jati diri nya. Semakin terang cahaya ilahi tempat seseorang bercermin semakin mampu melihat refleksi dirinya pada diri orang lain. Semakin larut seseorang dalam diri objektif-nya semakin tebal pula rasa kepedulian kemanusiaannya. Wajar, jika Tuhan mempercayakan kepemimpinan di bumi kepada mereka yang memperoleh pencerahan tinggi sebab pencerahan ilahi membuat seseorang memiliki apresiasi atau sebuah sikap penghargaan tinggi terhadap kemanusiaan dan lingkungan. Sehingga dalam bersikap, berprilaku dan bertindak hanya mempertimbangkan kepentingan orang banyak dan kepentingan lebih luas. Sama sekali melepaskan diri dari kecendrungan kepentingan individu atau kelompoknya. Menjadi pemimpin tanpa pencerahan cahaya ilahi hanya akan menimbulkan kehidupan yang gelap dimana individu berjuang untuk personal interest yang akan berakibat terhapusnya nilai-nilai kemanusian dan mempersulit orang lain memperjuangkan hak dan keadilan.

Dalam hiruk pikuk suasana dan kondisi kegaduhan demikian inilah, Maiyah hadir menawarkan dan mengajak kita menuju jalan sunyi. Sungguh merupakan tawaran memenuhi kebutuhan yang berpotensikan penjelmaan manusia berkelas tinggi. Namun juga sebuah tantangan hebat karena jalan sunyi yang disuguhkan tidak hanya melawan arus tapi kesunyiannya begitu hening hingga puisi-puisi pun tersembunyi dari kata-kata. Demikian Cak Nun menyanyikan Jalan Sunyi. Konon nilai-nilai pada cawan Maiyah yang dihidangkan mendorong orang menjadi individu-individu yang dewasa, bertanggung jawab pada diri, keluarga, masyarakat maupun negara dan bangsanya.

Maiyah sarat akan poin-poin pencerahan dan mengajarkan kecintaan pada Allah dengan meneladani Kanjeng Nabi. Yang ditegaskan pada sabdanya: “tiada beriman seseorang di antara kalian kecuali jika sudah mampu mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri”. Dalam praktek cinta Rosul dimaknai dengan memunculkan rasa simpatik melalui ajaran-ajaran keserhanaannya yang manusiawi antara lain: kelapangan dada, akomodatif, fleksibel, kehalusan budi/perkataan, sikap yang menyenangkan, air muka yang gembira, sifat dermawan, toleransi, memaafkan, mengabaikan keinginan diri sendiri, melupakan ketidak-adilan orang lain kepadanya. Esensi maiyah mampu membawa kita pada peniadaan-diri untuk melebur ke dalam diri Rosul.

SHALAWATAN DAN PEMAKNAANNYA

TUHAN SAJA bershalawat pada Nabi dan merekomendasikan pada umat-Nya untuk bershalawat pada Nabi. Jika bershalawat diperuntukkan guna kepentingan Kanjeng Nabi sendiri, bukankah Tuhan telah menjamin keselamatan manusia mulia nan agung itu dunia-akhirat? Namun pada shalawat itu sendiri terselip syafaat dan tuntunan bagi manusia yang sedang mencari keteduhan jiwa. Dengan firman-Nya, Tuhan menegaskan betapa luhur dan mulianya budi pekerti Muhammad. Dan bagi siapapun yang berkenan mengenalnya, pasti dapat mengerti kualitas diri dan memahami mengapa Tuhan mengangkat derajat-nya. Jika Plato, sang filsuf Yunani kuno menggambarkan manusia ideal ada dalam dunia ide-ide, maka Muhammad memenuhi persyaratan-persyaratan manusia ideal itu dalam dunia nyata. Seluruh kehidupan Muhammad adalah keteladanan yang paripurna; ketahanan mental, pengendalian diri, kegigihan dalam perjuangan semua mencerminkan daya kontrol emosi, psikis dan spiritual yang prima. Butiran-butiran pasir di gurun dan tetes-tetes air di samudera pun tidak cukup menguraikan kelebihan Muhammad. Abu Hanifah melukiskannya dalam sebuah puisi “Engkau yang tanpamu tak tercipta manusia. Tidak, bahkan alam tak tercipta tanpamu”.

Tuhan berharap akan muncul kebaikan dari manusia dengan meletakkan keteladanan pada Muhammad yang basyar. Siapakah selain Muhammad yang mampu memperlihatkan percontohan bahwa seorang putra bangsawan, berdarah biru dan dari keluarga yang terhormat serta disegani di masyarakat, dengan cara baik-baik menyentuh orang-orang untuk peka dan peduli terhadap keadaan lingkungan; itupun bukan atas kemauan atau ambisi pribadi melainkan dari perenungan-perenungan atas perintah Tuhan, lalu diperlakukan dengan kasar, ditentang dengan penuh kekerasan hingga fisiknya bercucuran darah yang semua penderitaan dan siksaan itu ditanggungnya dengan penuh lapang dada. Dihadapinya dengan prinsip lá ubáli; tiada lain karena berharap keridhoan Allah. Adakah cinta yang lebih agung dari pada kesediaan mengorbankan diri demi memperoleh restu kekasih?

Maiyatulloh menuntun manusia menuju cinta Rosul melalui shalawatan. Dari pemaknaan: bershalawatlah, Allah melimpahkan syafaat dan barokah Kanjeng Nabi kepada umatnya. Ibarat sebuah wadah yang penuh, setiap kali dituangkan air akan melimpah ruah dan mengalir ke segala penjuru arah. Demikianlah yang dijalani, dijalankan dan diajarkan Cak Nun dan KiaiKanjeng. Bershalawat ke penjuru nusantara bahkan ke luar negeri demi mengalirkan barokah Kanjeng Nabi. Risalah cinta yang terpancar dari simpul-simpul maiyah adalah keberkahan bagi nusantara. Sayangnya secara formal Indonesia tidak merasakannya, tidak menyadarinya atau mungkin sengaja mengabaikannya. Karena segala fokus diarahkan pada perlombaan pecintraan gombal. Meski Tuhan sudah mensinyalir kondisi ini pada firmanNya; bagi mereka yang suka diambung tinggi yang bukan karena jerih payahnya akan tersiksa dan jatuh ke bawah oleh gombalnya sendiri. Walau ternyata Indonesia baik-baik saja. Bukan karena Tuhan tidak bersungguh-sungguh dengan firmanNya melainkan barokah yang dialirkan oleh Kanjeng Nabi, yang pada setiap sujudnya berbisik ke hadapan sang Pencipta “Ya Allah, ummati.. ummati”.

Menyaksikan keberkahan yang terpancar dari ketekunan kegiatan-kegiatan yang melibatkan Kanjeng Nabi memunculkan optimisme dan positive thinking. Namun ada kalanya kegiatan-kegiatan ini ditumpangi kecenderungan duniawi demi menampilkan popularitas pribadi atau kelompok. Ajaran dan ajakan kebaikan Kanjeng Nabi yang dimanipulasi dengan tujuan kekuasaan dan kepentingan-kepentingan sosial, politik dan ekonomi. Dan di jalan sunyi maiyah-lah menjaga keseimbangannya.

Keberkahan cinta Rosul yang dihidangkan dari dapur maiyah melepaskan dahaga, mendampingi masyarakat yang sedang bersedih karena tertipu dan dikalahkan oleh tata cara dan peraturan penguasa. Maiyah sama sekali tidak memprovokasi apalagi membalas dendam tapi mendorong masyarakat untuk merenungkan hikmah di balik itu semua. Maiyah mengunggulkan husn dzann, prasangka baik dan memetik nilai-nilai kebaikan pada setiap keadaan yang dihadapi masyarakat sebagaimana yang dicontohkan oleh Kanjeng Nabi. “berbuat baiklah pada orang yang berbuat jahat padamu” yang merupakan salah satu misi utama Maiyah. Dituangkan pada sebuah petikan puisi dari Cak Nun yang menggambarkan semangat pengorbanan,

“..mungkin engkau memerlukan darahku untuk melepas dahagamu…

mungkin engkau butuh kematianku untuk menegakkan hidupmu..

ambillah, ambillah”.

Semangat pengorbanan dalam cinta hanya bisa tumbuh dalam jiwa orang-orang yang telah berjalan pada jalan sunyi yang meniadakan diri. Dalam tradisi para kekasih Allah dan pejuang-pejuang di jalan sunyi, konon pengikut Khidr mengenal ungkapan: “Jika engkau mengada maka Tuhan meniada, jika engkau meniada maka Tuhan ada”. Nabi Musa A.S masih mengada ketika telah sepakat untuk tidak mempersoalkan aksi-aksi Khidr yang terbilang anomali seperti membocorkan perahu, membinasakan jiwa, menegakkan tembok. Berbeda dengan pengalaman Kanjeng Nabi saat seeorang bertanya: “wahai baginda Rasulullah, kapankah hari kiamat datang?”. Beliau balik bertanya dengan penuh kesabaran:”apa engkau siapkan untuk itu?” lalu “aku tidak banyak bersiap diri, aku hanya mencintai Rasul dan para orang-orang saleh”. Baginda pun menutup percakapan itu dengan bersabda:”seseorang akan dibangkitkan bersama sesiapa yang dicintainya” (HR. Thabrani).

CINTA ROSUL DAN KEMURNIAN ISLAM

JIKA MENGACU pada kisah penobatan Nabi Adam A.S sebagai khalifah di bumi, mungkin Tuhan rada kecewa pada keadaan umat manusia sekarang ini. Mungkin iblis sedang merayakan ‘kemenangan’ prediksinya tentang manusia yang akan cenderung membuat kerusakan dan pertumpahan darah di bumi. Lebih kecewa lagi tentunya Kanjeng Nabi, yang menyaksikan ajaran-ajaran yang diperjuangkannya dimanipulasi dan eksploitasi oleh para pemburu kekuasaan, penyembah hawa nafsu. Logika dan acuan baku agama diperdagangkan dan disesuaikan dengan neraca profit. Mereka yang mengendarai agama untuk tujuan duniawi bahkan tampil dengan bungkusan-bungkusan kesalehan dipenuhi dengan atribut simbol-simbol agama yang memukau. Dengan kefasihan berbahasa dan berkomunikasi, menampakkan diri konsisten dalam mendermakan hartanya pada orang-orang miskin dan anak-anak yatim. Dan pengikut umat beragama mendapati dirinya terpisah-pisah dalam kurungan sekte-sekte, golongan-golongan, grup-grup, mahzab-mahzab, kelompok-kelompok atau aliran-aliran.

Para pejalan sunyi, pelaku Maiyah tidak pernah menonjolkan bakti dan ibadahnya di hadapan publik karena keyakinan bahwa hubungan dengan Allah adalah rahasia. Mereka tampil layaknya manusia biasa seperti halnya Kanjeng Nabi. Seorang Master Sufi pada abad ke 3H/9M, imam Muhammad al Junaid ketika ditanya, mengapa tidak mengikuti irama music simá? Apakah karena tidak memiliki sensitifitas rasa seni tinggi? Ia menjawab sesuai dengan yang dituliskan pada QS Al Naml:88: “kamu melihat gunung-gunung seolah diam tak bergerak padahal sesungguhnya sedang beterbangan laksana awan-awan”. Maksud dari pernyataan ini: engkau menyaksikan fisikku diam tak bergerak tapi jiwaku sedang menari-nari mengikuti gelombang irama kehadiran ilahi.

Esensi ajaran-ajaran agama sesungguhnya bermuara kepada daya kendali diri dan daya kontrol jiwa yang prima seperti yang dipraktekkan Kanjeng Nabi bahwa selama hidupnya yang cemerlang tak sekalipun pernah menyimpan dendam, dengki, iri dan curang terhadap orang lain. Tak sekalipun Kanjeng Nabi pernah menyinggung apalagi dengan sengaja menyakiti perasaan orang. Tak sekalipun melakukan atau menyikapi sesuatu secara reaksional dan emosional. Justeru cintanya kepada umat manusia begitu dalam dan luas mengalahkan segalanya. Ketika Sayyidah Aisyah r.a ditanya:”apakah akhlaq Rasulullah itu?”. Jawabnya: “semua yang ada dalam al Quran”. Maksudnya, Allah memilih budi pekerti Muhammad sebagai acuan role model dengan praktek nyata leading by doing bagi ajaran-ajaran yang diabadikan dalam al Quran. Jelaslah bahwa ajaran-ajaran yang termuat dalam al Quran dimaksudkan dan bertujuan membentuk kemuliaan akhlaq yang tercermin pada karakter Muhammad. Adapun menuaikan rukun iman dan menegakkan rukun islam dimaksudkan untuk terciptanya manusia-manusia Muhammad yang bebas dari kebutuhan institusi beragama dan kelembagaan.

Maiyah dengan jalan sunyi-nya menyadarkan kita untuk tetap memfilter, mencerna dan memikir ulang segala macam pemberitaan dan informasi; mendewasakan sikap sebgaimana memuhammadkan diri yang akan mengantarkan kita menemukan kesejatian dan kemurnian islam.