MAIYAH BUMI DAN MANUSIA

Reportase Kenduri Cinta edisi OKTOBER 2018

Maiyah adalah hidayah dari Allah. Berbekal kejernihan hati dan pikiran, Maiyah telah menjadi laboratorium pembelajaran. Maiyah membebaskan siapa saja untuk datang dan ikut belajar bersama. Nuansanya egaliter, terbuka atas siapa saja, tak memandang suku, ras, agama, profesi, pendidikan dan sebagainya. Lintas usia. Tua muda, anak kecil, orang dewasa, laki-laki, perempuan semua membaur menjadi satu. Mereka hadir sebagai manusia yang saling mengamankan satu sama lain, sehingga tidak ada ancaman, yang terasa adalah kenyamanan layaknya singgah di rumah sendiri.

Seperti forum maiyahan di berbagai kota, begitu pula suasana Kenduri Cinta. Suasana kebersamaan yang harmoni, saling mengikatkan diri pada tali kesetiaan peneguhan nilai-nilai Maiyah. Lebih dari 18 tahun berlangsung, Kenduri Cinta berproses menemani masyarakat ibukota. Kini, setiap perhelatan Kenduri Cinta, jamaah bahkan datang lebih awal memenuhi pelataran Taman Ismail Marzuki. Berbeda misalnya saat 5-10 tahun lalu. Andai pun datang tengah malam, pengunjung masih bisa menemukan area kosong untuk duduk. Sekarang? Datang pada pukul sembilan malam sudah sesak dipenuhi jamaah.

Inilah wujud kerinduan. Mereka datang atas kesadaran cinta, mereka datang merindukan suasana kehidupan. Apalagi hidup di Jakarta, suasana persaingan yang dipenuhi himpitan persoalan hidup, tak ayal Kenduri Cinta dianggap oase yang menyegarkan. Meski hanya satu bulan sekali mereka bersua di forum ini, namun dahaga kerinduan itu terobati. Tak peduli seberapa besar permasalahan yang mereka hadapi sehari-hari, namun duduk bersama, menekun, sinau bareng di Kenduri Cinta adalah obat mujarab untuk sejenak menemukan ketenangan batin.

Nuansa kebersamaan di Kenduri Cinta juga terbangun atas kesetiaan para penggiatnya yang menjaga api semangat pelayanan di komunitas. Setiap Rabu malam, mereka berkumpul dalam forum Reboan. Membicarakan berbagai hal, tak jarang saling berbagi cerita tentang persoalan yang dihadapi. Belum tentu juga ditemukan solusinya, namun kebersamaan itu ada dan nyata, sehingga mereka merasa tidak kesepian, ada rumah bersama yang bisa mereka singgahi.

Setiap helatan Kenduri Cinta, semua tugas terbagi. Ada yang menyusun naskah mukadimah, ada yang bertugas mencetak poster dan memasang baliho di pelataran TIM, hingga menghubungi vendor persewaan tenda dan sound system sudah harus dipastikan kejelasannya satu hari sebelum penyelenggaraan. Setiap penggiat memposisikan diri sesuai dengan kapasitasnya. Tak ada organisasi yang baku, namun tahapan demi tahapan yang berlangsung bukan tanpa rencana. Pada hari pelaksanaan, menjelang Magrib, seluruh persiapan teknis musti tertata rapi. Para penggiat pun menikmati senja, sembari nyruput kopi atau teh, bercengkrama dan menyapa jamaah yang mulai berdatangan. Tak sedikit pula jamaah yang datang dari luar kota Jakarta.

Akhir bulan sebelumnya, gempa bumi menggoncang kota Palu. Kita semua terhenyak, belum selesai tahap recovery gempa bumi di Lombok. Namun, itulah fenomena alam. Alam hanya menjalani sunnatullah. Kenduri Cinta edisi bulan ini memotret peristiwa itu. Tema “Maiyah Bumi dan Manusia” memiliki banyak pemaknaan, Maiyah sendiri memiliki arti kebersamaan, maka jika dipahami secara harfiah, tema kali ini dalam rangka menyadarkan kembali bahwa kehidupan manusia selalu berdampingan bahkan bersama dengan alam dan bumi didalamnya.

Membuka Maiyahan, diawali pembacaan surat Yasin dan Wirid Padhangmbulan, beberapa penggiat lantas memandu diskusi. Mengupas lambaran tema berdasarkan perspektif yang mereka tangkap. Agar diskusi semarak dan interaktif, jamaah pun dilibatkan. Beginilah asyiknya Maiyahan, setiap jamaah dapat mengungkapkan pendapat mereka. Yang dihitung bukan siapa yang benar, namun dengan semakin banyak informasi yang disampaikan justru semakin menambah wawasan.

“Cara merawat dan meruwat bangsa adalah dengan mempelajari sejarah. Sejarah menjadikan orang menjadi dewasa”
Hadi Nur Ramadhan, Kenduri Cinta (Oktober, 2018)

innallaha ma’anaa

“Tema ini diangkat agar kita bersama-sama menyadari hal pertama hadirnya kita di bumi adalah sebagai manusia, bukan yang lain,” Adi Pudjo memantik diskusi pada sesi prolog. Kenapa sebagai manusia? Sebagai makhluk ahsani taqwim yang diciptakan Allah, sudah seharusnya kehadiran manusia di bumi mewujudkan keseimbangan, kehidupan yang harmoni. Sayangnya, kecerdasan manusia tidak sepenuhnya mewujudkan keseimbangan itu. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan mengakibatkan kondisi bumi justru tidak seimbang lagi.

Nashir lantas ikut menyampaikan, menurutnya pada khasanah sejarah Islam, kata maiyah pernah terungkap dalam sebuah peristiwa perjalanan Nabi Muhammad Saw bersama Abu Bakar Ash Shiddiq, saat dikejar oleh pasukan kafir Quraisy. Rasulullah Saw bersama Abu Bakar bersembunyi di dalam gua Tsur. Saat itulah ayat Allah turun dan diwahyukan kepada Rasulullah Saw: Laa takhof wa laa tahzan, innallaha ma’anaa. Terdapat kata “ma’a” di dalam ayat tersebut, dimana salah satu turunannya kemudian adalah kata Maiyah, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya adalah kebersamaan.

Maiyah Bumi dan Manusia bisa dipahami sebagai konteks kebersamaan antara bumi dan manusia. Bumi sebagai makhluk Allah yang lebih dahulu diciptakan daripada manusia, maka secara struktur bumi adalah saudara tua manusia. Namun kini manusia justru habis-habisan mengeruk sumber daya alam yang ada, tanpa mengingat bahwa bumi adalah juga makhluk Tuhan yang memiliki hak untuk hidup. Keserakahan manusia begitu massif sehingga bumi dalam kondisi yang sudah tidak sehat lagi. Salah satu pertanda yang nyata yang kita rasakan adalah suhu panas bumi yang panasnya sudah melebihi normal.

Apakah fenomena alam gempa bumi juga ada kaitannya dengan eksploitasi sumber daya alam itu? Bisa iya juga bisa tidak. Jawaban pastinya silakan dicari masing-masing. Namun, Indonesia adalah negara kepulauan yang berada di dalam area ring of fire, dengan 127 gunung berapi aktif. Maka gempa bumi juga merupakan peristiwa alam yang normal-normal saja. Pergeseran lempengan bumi hampir setiap hari terjadi, ada yang skalanya kecil, kadang dengan skalanya besar.

Sementara itu, manusia mengambil kosakata yang negatif untuk menggambarkan fenomena alam yaitu bencana alam. Padahal, jika ditilik dari kajian sains, fenomena gempa bumi adalah peristiwa normal, sebab bumi membutuhkan keseimbangan pada ekosistem daur hidupnya.

Donny kemudian menyitir ayat Alquran surat Al Anfal ayat 32-33 yang menjelaskan bahwa tidak diturunkan bencana apabila sebuah kaum masih bersama dengan Nabi Muhammad Saw. Donny mentadabburi ayat ini dimana pada sebuah forum Maiyahan dimana Cak Nun dan KiaiKanjeng bersama Gus Mus hadir. Gus Mus menyarankan kepada masyarakat untuk memperbanyak sholawat dan istghfar. Pesan itu menjadi relevan jika ditarik dengan apa yang disampaikan oleh Allah melalui surat Al Anfal 32-33. Kita sebagai manusia yang hidup jauh sekian abad setelah wafatnya Rasulullah Saw, maka satu-satunya cara untuk selalu menghadirkan Rasulullah Saw adalah dengan cara bersholawat. Ketika kita ber-sholawat, bukan sekadar kalimat puji-pujian saja, namun energi cinta dan kerinduan kita kepada baginda Rasulullah Saw juga akan terpancar dari sholawatan itu.

Menurut Donny, nur Muhammad adalah kekasih Allah yang paling utama, sehingga Allah pun tidak tega jika umat Muhammad Saw harus merasakan kepedihan. Dan Nabi Muhammad Saw memegang peranan penting terselamatkannya umat manusia dari segala marabahaya yang ada. Ketika terjebak di Gua Tsur, yang dikhawatirkan oleh Abu Bakar bukanlah sekadar bagaimana jika mereka ditemukan oleh pasukan musuh, namun lebih dari itu, jika sampai Rasulullah Saw yang merupakan kekasih Allah itu tersakiti, bagaimana mungkin umat manusia akan sanggup menanggung risiko murka Allah, karena kekasih Allah yang paling dicintai itu disakiti.

Selanjutnya, Dicky mengambil sudut pandang lain, menurutnya di Maiyah kita dapat belajar bagaimana menjadi manusia. Suasana diskusi di sesi awal begitu semarak dan interaktif. Bergantian, jamaah pun turut serta menyampaikan pendapatnya.

“Manusia adalah satu-satunya makhluk yang punya inisiatif untuk mengubah keseimbangan di bumi.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Oktober, 2018)

Perilaku manusia dalam pemanfaatan sumber daya alam seringkali berakibat buruk pada ekosistem. Sugiyanto, jamaah asal Tegal yang aktif dalam sebuah organisasi peduli alam menceritakan bagaimana eksploitasi yang dilakukan di area Gunung Slamet terjadi tanpa tanggung jawab. Dengan dalih penelitian untuk memenfaatkan suhu panas bumi, pengeboran demi pengeboran dilakukan tanpa perhitungan matang atas dampak buruk ekosistem.

Lain lagi dengan Hendar, seorang ASN pada sebuah kementerian, menyampaikan bahwa masyarakat memerlukan wawasan kemaritiman, karena wilayah laut bukan merupakan wilayah yang memisahkan kepulauan, melainkan wilayah yang mempersatukan pulau satu dengan yang lainnya. Maka, jika berbicara tentang bumi, kita tidak bisa melepaskan laut, karena laut adalah bagian dari bumi.

Diskusi makin menarik, seorang jamaah mengibaratkan layaknya ingin mendaki gunung, jangalah meremehkan gunung, karena jika meremehkan maka bisa kesasar bahkan bisa menghilang. Fenomena ini menarik, dalam hal kaitannya dengan alam, manusia tidak boleh meremehkan alam hanya sebagai benda mati. Alam semesta juga makhluk hidup. Alquran juga menjelaskan bagaimana alam semesta juga beribadah kepada Allah, tentu dengan cara mereka sendiri tidak seperti cara manusia beribadah.

“Manusia ini banyak membangun di bumi, tetapi sama sekali tidak menanam,” ucap Diah, jamaah asal Nganjuk yang saat ini bekerja di sebuah kementerian yang turut mengungkapkan keresahannya. “Ada banyak aturan hukum yang sudah disusun agar manusia tidak semena-mena, namun birokrasi kita memang sudah sangat bobrok, sehingga dihadapan “amplop” aturan main itu tidak berfungsi sama sekali,” tambahnya.

Lima menit lewat pukul sepuluh malam, diskusi sesi prolog disudahi. Donny lantas mempersilakan Panji Siswanto dan Bhimantoro, dua seniman gitar untuk tampil ke panggung, bergantian mereka menampilkan nomor-nomor akustik dengan lagu-lagu yang telah dikenal jamaah, jamaah pun tidak sedikit yang ikut bernyanyi bersama. Kebersamaan malam itu semakin terasa, pelataran Taman Ismail Marzuki sudah penuh, banyak jamaah yang berdiri karena sudah tidak kebagian area untuk duduk.

Setelah jeda penampilan Panji dan Bhimantoro, Sigit dan Fahmi mempersilakan Kyai Muzammil, Sabrang MDP dan Ust. Hadi Nur Ramadhan. Setelah menyampaikan resume diskusi sesi prolog, Sigit lantas memberikan kesempatan kepada Ust. Hadi Nur Ramadhan untuk menyampaikan materi.

“Salah satu cara merawat dan meruwat bangsa Indonesia adalah dengan mempelajari sejarah,” Ust. Hadi memulai paparannya setelah sebelumnya menceritakan romantisme kekagumannya kepada Cak Nun, karena sejak lama ia membaca dan mengoleksi buku-buku karya Cak Nun. Satu hal yang sangat membekas, sebuah tulisan Cak Nun tentang kesederhanaan alm. K.H. A.R. Fachruddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah yang zuhud.

“Sejarah lah yang menjadikan orang menjadi dewasa,” Ust. Hadi melanjutkan bahwa setiap orang pasti akan menua, tetapi tidak semua orang mampu menjadi dewasa. Ia kemudian menceritakan beberapa kisah perjalanan tokoh-tokoh bangsa, bagaimana mereka menjadi tokoh besar karena ada mentor yang mendampingi. Berbeda dengan anak-anak milenial hari ini, menurut Ust. Hadi Nur anak-anak muda hari ini tidak memiliki mentor seperti tokoh-tokoh bangsa terdahulu berproses. Mengutip apa yang disampaikan oleh Alm. Ali Audah, Ust. Hadi Nur menyampaikan bahwa yang mendewasakan manusia itu ada 3 hal: guru, buku, dan lingkungan.

Sebelum memberikan kesempatan kepada Kyai Muzammil, Fahmi Agustian menyampaikan, malam itu forum Maiyahan tidak hanya di Kenduri Cinta saja, juga ada Suluk Pesisiran (Pekalongan), Maiyah Kalijagan (Demak), Maiyah Tulungagung dan Sanggar Kedirian (Kediri). Fahmi mengantar Kyai Muzammil dengan pertanyaan: Apakah mereka yang terkena dampak dari gempa bumi adalah korban? Atau jangan-jangan kita yang selamat di Jakarta ini sebenarnya juga tidak benar-benar selamat?

“Semua manusia pasti mati, tetapi tidak semua manusia memberi arti.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Oktober, 2018)

azab, ujian, atau nikmat

Mengutip ayat Alquran: Sanuriihim aayaatina fi-l-aafaqi wa fii anfusihim hatta yatabayyana lahum annahu-l-haqqu, awalam yakfi bi robbika annahu ‘alaa kulli syaiin syahiidaa, Kyai Muzammil menjelaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini merupakan bukti kebesaran Allah. Pada awalnya, alam semesta ini kosong, hingga kemudian Allah yang berinisiatif menciptakan komponen-komponen alam semesta mulai dari partikel yang terkecil hingga yang terbesar.

Kyai Muzammil menarik benang merah dengan tema Kenduri Cinta, bahwa Maiyah Bumi dan Manusia itu bisa dipahami bahwa bumi dan manusia adalah satu kesatuan, maka apa yang terjadi atau apa yang dialami oleh bumi, maka itu juga merupakan fenomena yang dialami manusia. Gempa bumi misalnya, menurut Kyai Muzammil, merupakan cerminan dari manusia itu sendiri. Jika bumi juga mengalami gempa, begitu juga dengan manusia. Dengan skala yang berbeda.

Kepastian apakah gempa bumi itu adalah azab, ujian, atau nikmat kita sebagai manusia tidak akan mampu menemukan jawaban pastinya, karena itu merupakan hak Allah. Kyai Muzammil menegaskan, tugas kita sebagai manusia adalah bagaimana mampu mengambil hikmah dari setiap fenomena alam yang terjadi. Karena setiap fenomena alam pada dasarnya adalah peristiwa dimana Allah sedang menampakkan kebesaran-Nya di hadapan manusia.

Kaitannya dalam struktur penciptaan, Kyai Muzammil menjelaskan bahwa bumi lebih dahulu diciptakan oleh Allah, sementara manusia adalah makhluk yang paling terakhir diciptakan setelah segala kelengkapan alam semesta sudah diciptakan.

Sebelum memberikan kesempatan kepada Sabrang, Fahmi mengulas tentang 4 teori pernikahan: pernikahan manusia dengan Allah, pernikahan manusia dengan alam semesta, pernikahan penguasa atau pemimpin dengan rakyat, dan pernikahan antara laki-laki dengan perempuan.

Pada kesempatan berikutnya, Sabrang menyampaikan perspektifnya, saat sebelum kejadian Big Bang, tidak ada kejelasan antara ruang dan waktu, yang ada adalah kekosongan. “Sains modern menyebut manusia sebagai children of the stars, anak-anak dari bintang,” Sabrang tambahkan. Maka, pernyataan bahwa manusia itu terkoneksi dengan alam semesta menjadi sangat relevan, sebab pada dasarnya kita berasal dari titik ledakan Big Bang dimana semua saling terkait.

Bumi ini sendiri sudah memiliki ekosistemnya dengan skema hitungan perjalanannya,” Sabrang melanjutkan penjelasannya yang pada awalnya seluruh bumi ini adalah daratan, hingga kemudian ekosistem berlangsung, terpisah lah antara dataran, hingga membentuk pulau-pulau yang dipisahkan lautan. Jauh sebelum ada manusia, sudah ada bumi dengan ekosistem yang sudah tertata baik. Termasuk juga di dalamya binatang-binatang dan pohon-pohon dengan cara hidupnya yang juga sudah tertata baik secara ekosistem.

Sabrang melanjutkan, Big Bang terjadi dengan hitungan yang sangat presisi. Mekanisme dan ekosistem alam semesta yang kita alami hari ini adalah hasil dari ledakan besar itu yang secara hitungan konstanta sudah sangat tepat, tidak lebih dan tidak kurang. Dengan menggunakan sudut pandang netral, Sabrang menjelaskan bahwa fenomena alam seperti gempa bumi itu merupakan bagian dari ekosistem bumi itu sendiri.

Pada dasarnya, fenomena alam itu merupakan peristiwa keseimbangan. Adanya bumi yang bergerak, angin yang berhembus, hujan yang turun dan lain sebagainya adalah peristiwa keseimbangan alam. “Karena kita kuat menahan hembusan angin, maka kita tidak menyebut angin sebagai bencana,” Sabrang jelaskan, “Begitu juga dengan hujan, karena kita memiliki payung yang kuat, rumah kita juga mampu menahan derasnya air hujan yang turun, maka kita tidak menyebut hujan sebagai bencana. Ketika persiapan kita kurang baik dalam menyambut fenomena alam itu, maka kemudian kita menyebut bencana.”

“Kalau kita tak mau menderita, kita harus bisa bersinergi dengan alam, kenal dengan ‘kakak’ yang lebih tua.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Oktober, 2018)

Waktu terus merambat. Sabrang melanjutkan paparannya. Dalam pandangannya, rencana kerja bumi tidak dalam rangka membunuh manusia. Kita pun sebagai manusia seringkali merasa ge-er, manusia merasa mereka lah pusat alam semesta, hal itu ikut mengakibatkan hilangnya kepekaan kita terhadap gejala-gejala alam. Gempa tak hanya terjadi saat manusia ada, jauh sebelum manusia diciptakan bumi telah memiliki fenomena alam itu. Namun belum terdefinisikan sebagai bencana alam, karena tidak ada korban manusia.

Sabrang juga memaparkan, diperhatikan atau tidak oleh manusia, pergerakan alam tidak akan tetap pada pada sistemnya. Jika suatu hari ada asteroid hancur atau gerhana bulan, kejadian alam itu tetap akan terjadi meski manusia telah mengetahuinya. Lebih jauh lagi, manusia memilih sendiri untuk tinggal di wilayah mana yang ia kehendaki. Maka, jika terjadi sesuatu dengan wilayah yang ia tempati, manusia tidak bisa menyalahkan bumi, karena secara usia saja, bumi lebih dulu ada dibandingkan keberadaan manusia.

Bumi pun memiliki sistem tata kelola yang tak bisa sepenuhnya dipahami manusia. Jika populasi binatang berkurang, biasanya juga ditandai dengan gejala alam seperti kesuburan rumput dan tumbuh-tumbuhan yang terganggu, curah hujan yang berkurang. Bumi lalu menemukan pola baru, menemukan keseimbangan yang baru.

“Manusia adalah satu-satunya makhluk yang punya inisiatif untuk merubah keseimbangan di bumi,” Sabrang melanjutkan, “Apa bumi bergerak tidak ada hubungannya dengan manusia? Ada. Tetapi saya tidak bisa memastikan dimana titik persambungannya,” Sabrang menggambarkan, jika ada lahan dengan luas tertentu menghasilan panen 5 ton misalnya, dengan inovasi dan teknologi yang dirancang oleh manusia luas lahan sama mampu menghasilkan panen 2 kali lipat, bahkan tanpa mengganggu lahan yang lain. Ketika hal itu dikolaborasikan dalam lingkup yang lebih luas, secara keseluruhan, produktivitas lahan di berbagai tempat juga akan meningkat. Namun, hal itu akan memberi dampak yaitu keseimbangan bumi akan berubah, karena bumi akan beradaptasi lagi dengan teknologi atau sistem baru yang diciptakan manusia.

Sabrang berpendapat bahwa konsep kekhalifahan manusia yang dicanangkan Allah adalah konsep yang melegitimasi bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki hak untuk menciptakan keseimbangan di bumi, selanjutnya adalah bagaimana manusia mengarahkan keseimbangan itu menuju arah yang baik atau buruk.

“Jika suatu saat manusia punah, bumi akan menemukan sendiri keseimbangannya,” Sabrang melanjutkan. Manusia itu seperti ‘virus’ bagi bumi. Penebangan hutan, eksplorasi minyak dan sebagainya menghasilkan dampak bagi bumi. Pada titik tertentu, bumi akan mencari kembali keseimbangan dirinya. Dalam proses itu bisa saja caranya dengan gempa bumi, erupsi gunung berapi dan sebagainya.

Fenomena alam lain adalah naiknya suhu bumi yang mencapai titik yang mengkhawatirkan. Jika naiknya fenomena ini (suhu bumi) tidak dibarengi dengan proses adaptasi manusia terhadap perubahan itu, maka manusia akan terkena dampaknya. Keseimbangan dengan ekosistem yang baru mesti segera ditemukan.

“Kalau kita tidak mau menderita, kita harus bisa bersinergi dengan alam, kenal dengan ‘kakak’ yang lebih tua, karena dia (alam) sudah hidup lebih dahulu dari kita, kalau kita tidak mau belajar nanti kita akan kena akibatnya sendiri, karena alam sudah hidup lebih lama dan dia akan hidup lebih lama lagi dari manusia. Semua manusia pasti mati, tetapi tidak semua manusia memberi arti,” Sabrang memungkasi.

“Di Maiyah, tidak ada mu’allim, yang ada adalah muta’allim.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Oktober, 2018)

Manusia; MAKRO KOSMOS

Setelah rangkaian diskusi, moderator lantas meminta kelompok musik dari Musik Jalanan Center untuk tampil ke forum. Setelahnya, Cak Nun bergabung ke forum, “Bismillahirrohmanirrohiim, Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Malam ini kita paparan-paparan saja karena bahannya sangat banyak, guru-guru kita juga sangat banyak, sehingga kita pakai ilmu maiyahan: kalau Anda datang ke forum, jangan menunggu informasi yang ada di depan, tetapi siap memaknai apa saja yang ada di depan ini,” Cak Nun menyapa sambil menunjuk teman-teman narasumber yang duduk bersila di depan, mengingatkan jamaah untuk tidak konsumtif dalam menerima informasi.

Dialektika yang diselenggarakan di Maiyah adalah belajar bersama, sinau bareng, tidak ada konsep mengajar, karena mengajarhanyalah akibat dari proses belajar bersama. Adanya pihak yang bertanya kemudian ada pihak lain yang lebih menguasai informasi sehingga memberi tahu kepada yang belum tahu. Maka sebetulnya tidak ada proses mengajar, yang ada adalah proses belajar bersama. Seperti halnya yang terjadi di pesantren-pesantren, santri datang menghadap Kyai, kemudian melakukan perjanjian bersama untuk mempelajari suatu kitab. “Jadi begitulah di Maiyah, tidak ada mu’allim, yang ada adalah muta’allim,” Cak Nun melanjutkan.

“Jadi apa saja Anda terima, yang penting adalah pemaknaan informasi terhadap diri Anda dan untuk diri Anda,” Cak Nun lantas mengajak Syeikh Nursamad Kamba dan Pipit Ruchiyat Kartawijaya untuk tampil ke forum. Cak Nun kembali menyampaikan bahwa setiap fenomena alam bisa dimaknai sebagai peringatan, ujian, atau hukuman, atau kombinasi dari ketiganya, tinggal persentase masing-masing kadarnya.

Seperti yang sudah ditulis Cak Nun di rubrik Tajuk yang dirilis di situs caknun.com, kita memaknai bahwa siapapun yang meninggal pada saat gempa bumi terjadi, kita ber-khusnudzon bahwa mereka sedang dipercepat oleh Allah menuju surga. Bagi mereka yang terkena dampaknya dan masih diberi kesempatan hidup, kita ber-khusnudzon bahwa mereka sedang diperkuat mental hidupnya oleh Allah. Bagi yang tidak terkena dampaknya, bisa menjadi lebih bahaya jika fenomena alam di Lombok atau Palu tidak memberikan pelajaran dalam hidupnya. “Terserah apakah gempa bumi itu azab atau bukan, tetapi yang pasti kita harus menjadi lebih baik,” lanjut Cak Nun.

Membahas hadits Rasulullah Saw; innama bu’istu liutammima makarima-l-akhlaq, bahwa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw bukan mengislamkan seluruh umat manusia, namun tugas utama beliau adalah menyempurnakan akhlak. Seluruh dakwah Rasulullah Saw adalah mengantarkan manusia menuju perilaku moral yang sebaik-baiknya.

Cak Nun lantas memaparkan konsep Syu’uru-d-diin (rasa agama) dan Syu’uru-l-ardhli (rasa bumi), Ilmu-d-diin (ilmu agama) dan Ilmu-l-ardhli (ilmu bumi), Hukmu-d-diin (hukum/hikmah agama) dan Hukmu-l-ardhli (hukum/hikmah bumi). Bahwa jika kita berbicara dalam konsep kemakhlukan maka manusia adalah makro kosmos karena dalam diri manusia terdapat semua unsur dari seluruh penciptaan Allah di alam semesta ini. Sementara jika kita berbicara pada wilayah volume, maka manusia adalah mikro kosmos jika dibandingkan dengan alam semesta.

Membedah kata hukum, Cak Nun meminta konfirmasi kepada Syeikh Nursamad Kamba dan Kyai Muzammil, mengenai kesamaan dan ketidaksamaan kata hukum pada bahasa Arab dengan kosakata bahasa Indonesia. Hakim, dalam pemahaman bahasa Indonesia, adalah orang yang menjadi hakim. Sementara dalam bahasa Arab, disebut qadhli. Pemaknaan yang paling tepat dari kata hukum dalam bahasa Arab, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, adalah membijaksanai bukan menghukumi.

“Dasar dari seluruh kebijaksanaan Allah dalam kehidupan ini, nomor satu ditanamkan kepada Ibrahim AS, karena tanaman utamanya harus tauhid,” Cak Nun melanjutkan sembari menjelaskan bahwa di Maiyah pemahaman khataman Alquran tidak hanya terbatas pada pengkhataman dalam pembacaan mushaf-nya saja, tetapi ada juga dimensi khataman dalam pemaknaan ayat di dalam Alquran. “Ada khataman Alquran yang bersifat kuantitatif, ada khataman yang bersifat kualitatif,” ungkap Cak Nun.

“Maiyah tidak diperkenankan untuk menonjolkan dirinya, mengancam siapapun dan apapun saja, semua harus merasa aman di Maiyah.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Oktober, 2018)

Melewati tengah malam, forum makin hangat. Cak Nun melanjutkan paparannya, “Menurut saya, gempa, masalah Indonesia, apapun saja, tetap nomor satu adalah jangan melewati batas dimana saat kebenaran tidak bisa lagi diperdebatkan, maka Anda harus memastikan kebaikan dan kebijaksanaannya.”

Setiap menjelang pemilihan umum, Cak Nun selalu ditanya tentang siapa yang pantas menjadi presiden. Kepada mereka Cak Nun menjawab, “Pilpres itu penting, tapi bukan itu yang utama. Ada yang lebih utama dan sifatnya jangka panjang.”
Apa yang dilakukan oleh Cak Nun melalui maiyahan inilah yang disebut Cak Nun sebagai suatu perjuangan yang bersifat jangka panjang. Menemani generasi muda untuk menemukan kembali kesejatian sebagai bangsa Indonesia.

Mengumpulkan serpihan-serpihan kebenaran sejati yang berserakan, untuk dikumpulkan kembali, ditanamkan kembali, diproses bersama untuk masa depan Indonesia. Mungkin generasi yang sekarang berproses tidak menikmati hasilnya, tapi sudah pasti bahwa generasi-generasi ini adalah generasi yang sudah menentukan dimana mereka harus berpihak.
Maka, perdebatan siapa kandidat yang paling pantas memimpin Indonesia bukan hal utama, juga bukan hal yang penting untuk diperdebatkan. Kenikmatan berdemokrasi justru saat kita berada di bilik suara, dimana pilihan kita merupakan hal yang rahasia, aurat kita.

“Maiyah tidak diperkenankan untuk menonjolkan dirinya, mengancam siapapun dan apapun saja, semua harus merasa aman di Maiyah. Semua bersahabat dan bersaudara, dan itu tidak tergantung kepada apa agamamu dan apa sukumu, apa identitiasmu, dan apa profesimu, semua harus merasa aman di Maiyah,” tegas Cak Nun.

Melanjutkan forum, Fahmi membacakan tulisan Pipit Ruchiyat yang meneropong tentang Pilpres 2019 dari sudut kitab primbon. Di tengah pembacaan itu, sesekali Pak Pipit menimpali, merespon juga mengoreksi. Pak Pipit lantas menceritakan mengapa ia seringkali menulis analisis politik berdasarkan sudut pandang primbon. Pada tahun 2002 silam, Pak Pipit menyampaikan problematikan sistem presidensial di Indonesia dalam kaitannya dengan tatanan Undang-Undang. Berdasarkan ilmu yang ia kuasai, ada banyak masalah yang di kemudian hari akan melahirkan masalah baru bagi Indonesia. Namun, masukan dari Pak Pipit itu tidak didengar oleh pemerintah.

Kesimpulan dari dua tulisan Pak Pipit itu bahwa semua kandidat jika dihitung secara hitungan primbon, sama-sama tidak berjodoh dengan Republik Indonesia. Namun lebih dari itu, Pak Pipit menyampaikan sebuah keresahan, seharusnya yang dijadikan materi kampanye adalah program atau visi dan misi masing-masing kandidat, sehingga para pemilik suara akan lebih cermat dan bijak dalam memberikan suaranya. Pak Pipit juga menyoroti program-program serta visi dan misi partai politik pengusung dimana banyak hal yang tidak sama, sehingga rancu. Selain itu, yang terjadi saat ini justru kampanye personal, bukan saling beradu program-program dan rencana jangka panjang yang akan dilaksanakan. Pak Pipit merupakan anggota tim internal di kementerian dalam negeri yang menyusun Undang-Undang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Partai Politik.

“Teman-teman sekalian, tolong kita ingat bahwa di Maiyah ini Anda sangat berdaulat, sangat merdeka untuk mendengarkan dan belajar kepada apa saja tanpa batas, karena yang nomor satu bukan apa pelajarannya tetapi bagaimana Anda memaknai pelajaran itu dan mengambil keputusan dengan kedaulatan masing-masing,” Cak Nun menyambung paparan Pak Pipit. Cak Nun bahkan menyebut forum Kenduri Cinta sebagai forum yang ultra liberal. Karena siapapun saja berhak berbicara dan setiap orang merdeka untuk mendengarkan dan kemudian mengambil hikmah atau membuang informasi yang mereka terima.

“Agama itu, dari seluruh ritual yang ada, dari segi ilmu dan seluruh ajaran-ajarannya, mengajarkan kebijaksanaan.”
Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Oktober, 2018)

Maiyah; AL-HANIFIYAH

Memperkaya diskusi, Sabrang bertanya kepada Pak Pipit, apakah dua tulisan Pak Pipit yang baru dibacakan itu menjadi jawaban bagi rakyat Indonesia untuk memilih salah satu dari dua kandidat Capres dan Cawapres di Pemilu 2019? Pak Pipit menyampaikan, bahwa tulisan itu bukan untuk rekomendasi memilih tetapi lebih kepada keresahan dan kegundahannya melihat kampanye pemilihan presiden yang berisi pencitraan personal serta kurangnya informasi yang berkaitan dengan rencana-rencana para kandidat. Menurut Pak Pipit, proses elektoral merupakan momen pendidikan politik bagi masyarakat.

Pak Pipit menambahkan, di Amerika calon presiden tidak berhak mengajukan rancangan Undang-Undang. Hal itu berbeda dengan di Indonesia dimana presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang. Sistem presidensial inilah yang menurut Pak Pipit membuat iklim politik di Indonesia menjadi rancu. Keresahannya itu ia tuangkan dalam buku Pemerintah Bukanlah Negara.

Selain itu, yang terjadi di Indonesia, koalisi pemeirntah tidak solid. Seringkali koalisi pemerintah tidak satu suara. Hal ini semakin memperburuk suasana politik di Indonesia. Seharusnya, koalisi pemerintah satu suara karena mereka telah bersepakat untuk bersama dalam periode pemerintahan. Persoalan lain adalah anggaran rapat birokrasi di tataran elit yang dinilainya sangat tinggi.

Sementara di internal partai politik sendiri, dengan sistem pendaftaran calon legislatif yang terbuka, melahirkan persaingan yang tidak sehat sesama anggota partai. Mereka saling bersaing memperebutkan suara. Persaingan yang tidak sehat ini justru memperlemah partai politik.

Memperkuat nilai-nilai hikmah dari paparan Pak Pipit, Cak Nun lantas mengajak jamaah untuk mempertanyakan, “Yang penting itu siapa kamu ataukah apa yang kamu lakukan?” Serentak jamaah menjawab, “Apa yang dilakukan.” Cak Nun merefleksikan jawaban itu pada kepemimpinan nasional, “Yang penting itu siapa presidennya atau sistem pemerintahannya?”

Pertanyaan-pertanyaan itu ibarat jika wajannya berkarat, siapapun yang menggoreng tetap saja beracun. Atau jika kita menaiki bus, kemudian bus tidak berjalan sebagaimana mestinya, yang dipertanyakan adalah sopirnya yang bermasalah atau mesin busnya yang bermasalah? Hal itu menunjukkan betapa persoalan sistem presidensial di Indonesia sangat pelik dan masih meninggalkan banyak persoalan. “Mohon ini menjadi pembelajaran bersama, bahwa lima tahun lagi Anda masih tetap akan menderita,” Cak Nun mengingatkan lagi bahwa yang perjuangkan bersama di Maiyah adalah perjuangan jangka panjang, bukan jangka pendek lima tahunan saja.

Memang sebaiknya tidak perlu memperdebatkan siapa Capres dan Cawapres yang layak dipilih, karena kita sebenarnya sudah sama-sama paham bahwa lima tahun ke depan kita belum akan menemukan Indonesia yang sejati. Kepada anak-anak muda Maiyah, Cak Nun berharap agar meneruskan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, karena Sumpah Pemuda masih orisinil jika dibandingkan dengan Proklamasi 1945.

Cak Nun juga menyampaikan bahwa Maiyah hari ini masih setengah dari rakaat pertama dari total perjalanan tiga rakaat yang akan ditempuh. Karena Maiyah harus menjadi elemen yang tidak menganggu pihak lain. Maiyah tidak boleh menjadi gerakan yang ekstrim dan puritan sehingga mudah dibubarkan.

Secara khusus Cak Nun berharap agar anak-anak muda Maiyah melalui simpul-simpulnya melakukan tiga hal: cross information, cross system, dan cross vertilization. Anak-anak Maiyah harus saling bertukar informasi, saling bertukar manajemen sistem, dan juga saling menyuburkan satu sama lain. Dengan jangkauan dan kemajuan teknologi yang ada, setiap simpul Maiyah diharapkan saling bertukar informasi, sehingga apa yang dibicarakan di Kenduri Cinta misalnya, teman-teman di Bangbang Wetan juga mengetahuinya Begitu seterusnya agar terbangun di seluruh simpul Maiyah.

“Misi Rasulullah Saw bukan persoalan identitas, melainkan nilai-nilai kemanusiaan. Allah menyatakan: Laqod kholaqna-l-insaana fii ahsani taqwiim.
Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Oktober, 2018)

Cak Nun lantas meminta Syeikh Nursamad Kamba untuk menyampaikan pandangannya, terutama pada hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi karena bias-bias pemahaman agama. “Lima tahun ke depan kita siap-siap untuk tetap menderita, tetapi bagi saya pribadi beruntung kita dipertemukan dengan Maiyah, kalau tidak ada Maiyah kita bisa depresi. Maiyah tidak hanya meneduhkan, tetapi juga menenangkan hati kita semua,” Syeikh Nursamad Kamba mengawali.

“Gagasan-gagasan di Maiyah sangat relevan dengan gagasan-gagasan yang diistilahkan dalam sejarah Islam disebut sebagai gagasan AlHanifiyah,” Syeikh Kamba melanjutkan, “Al Hanifiyah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang mengikuti atau berusaha untuk tetap berada dalam agama yang diwarisi sejak Nabi Adam AS, tetapi Alquran menggunakannya secara tekstual dari zaman Nabi Ibrahim AS.” Dalam surat Al Baqoroh ayat 132 dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim AS berwasiat kepada para keturunannya bahwa Allah telah memilihkan agama bagi mereka, dan salah satu wasiatnya adalah agar jangan sampai mereka meninggal kecuali dalam keadaan muslim. Walaa tamuutunna wa antum muslimuun.

Muslim dalam ayat ini bisa dipahami dengan pemahaman berserah diri. Islam yang diturunkan oleh Allah kepada kita bukanlah identitas semata, melainkan adalah perilaku kepasrahan sebagai manusia kepada Allah Swt. Salah satu sifat yang diwariskan dari Al Hanifiyah adalah sifat terpuji yang juga tercermin dari perilaku Rasulullah Saw yaitu Al Amin. Untuk menuju sifat Al Amin itu, kita musti mampu menanggalkan sifat-sifat kedengkian, kecurangan, iri, hasad yang kemudian kita isi dengan kelapangan dada. Menurut Syeikh Kamba, orang yang tidak memiliki kelapangan dada tidak akan bisa berlaku jujur. Begitu juga orang yang tidak berwawasan luas, juga akan sulit untuk berlaku jujur.

Sifat jujur merupakan sifat yang paling inti dari kepasrahan diri manusia kepada Allah. Sementara, inti dari dakwah Rasulullah Saw adalah liutammima makarima-l-akhlaq, menyempurnakan akhlak. Adanya ketetapan ibadah yang diwajibkan oleh Allah kepada manusia, seperti yang terkandung dalam rukun Islam, tidak lain adalah alat untuk menuju kepasrahan diri di hadapan Allah. Melalui ritual yang sudah ditentukan oleh Allah itu, salah satu hakikatnya adalah agar manusia mampu menjadi makhluk yang penuh dengan kebijaksanaan dan kearifan.

“Maka sesungguhnya agama itu, dari seluruh ritual yang ada, dari segi ilmu dan seluruh ajaran-ajarannya, mengajarkan kebijaksanaan,” Syeikh Kamba menerangkan, manusia dianugerahi panca indera yang tujuannya agar manusia dapat mendayagunakan indera itu untuk memperoleh manfaat berupa hikmah dari setiap kebajikan yang ia perbuat.

“Saya memahami bahwa misi Rasulullah Saw itu bukan persoalan identitas, melainkan tentang masalah nilai-nilai kemanusiaan, karena Allah menyatakan dalam Alquran: Laqod kholaqna-l-insaana fii ahsani taqwiim,” Syeikh Kamba melanjutkan, bahwa yang dibawa oleh Rasulullah Saw adalah nilai, bukan identitas. Begitu juga dengan spirit Maiyah, bahwa titik beratnya adalah membebaskan kita untuk menemukan cara dalam bermesraan dengan Allah.

“Mengapa pada 12 abad terakhir Alquran sebagai sumber gagasan dan inspirasi dan sunnah Rasul sebagai pedoman teladan, tidak bisa memberikan efek baik kepada kehidupan kita? Sementara Rasulullah Saw mampu melaksanakannya dalam waktu kurang lebih 10 tahun ketika di Madinah, dan menghadirkan dampak yang positif?” Syeikh Kamba mempertanyakan.

Justru yang tampak, umat Islam hanya bisa menunggangi keunggulan Rasulullah Saw, namun sama sekali tidak meneladani Rasulullah Saw dalam berbagai hal. Padahal Rasulullah Saw tidak hanya menawarkan gagasan-gasagan, tetapi juga melakukan dan mengaplikasikan gagasan-gagasan itu.

“Islam adalah pengolahan ke dalam dirimu, bukan ekspresi identitasmu. Islam itu intrinsik di dalam dirimu.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Oktober, 2018)

Menambahkan apa yang dipaparkan oleh Syeikh Kamba, bahwa Al Hanifiyah bukan dalam rangka melahirkan aliran baru dalam Islam. Cak Nun berangkat dari istilah ahsanu taqwim yang disebut oleh Allah di dalam Alquran. Menurut Cak Nun, kenapa Allah menggunakan kata taqwim karena Allah benar-benar ingin melibatkan manusia dalam kehidupan ini. Maka Allah merumuskan rukun Islam, dimana maksud yang terkandung adalah bahwa manusia harus membereskan urusannya dengan Allah (hablumminallah) baru kemudian manusia akan mampu membereskan urusannya dengan sesama manusia (hablumminannaas).

“Aslinya yang bagus itu kalau orang tidak tahu Anda beragama apa,” Cak Nun menjelaskan, “Islam adalah pengolahan ke dalam dirimu, bukan ekspresi identitasmu. Jadi, Islam itu intrinsik di dalam dirimu.” Seperti halnya lebah, memproduksi madu yang diambil dari sari berbagai bunga, dan tidak pernah ada label dari madu bahwa madu ini diambil dari bunga tertentu. Semuanya dikumpulkan menjadi satu, kemudian disajikan dalam bentuk madu.

Tetapi, kita sudah terlanjur hidup di era yang sudah terbiasa melembagakan sesuatu, melabelkan sesuatu sehingga manusia terkotak-kotak dalam label-label. “Maiyah ini kita hindari jangan menjadi lembaga. Karena (Maiyah) ini perjalanan ke dalam dirimu masing-masing,” Cak Nun menegaskan bahwa Maiyah sama sekali tidak memiliki tujuan untuk memadatkan diri menjadi organisasi seperti halnya Ormas atau Parpol.

Setelah paparan-paparan dari Syeikh Kamba dan Cak Nun, Musik Jalanan Center kembali tampil untuk menyegarkan suasana. Setelah penampilan MJC, Iswan secara singkat menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Cak Nun melalui berbagai tulisan maupun forum-forum maiyahan selama ini dalam rangka menemani kita untuk memaknai hidup. Tentu saja, masing-masing dari kita memiliki penangkapan hikmah yang berbeda skalanya satu sama lain.

“Tidak ada ilmu yang bisa membuktikan sesuatu kecuali matematika,” Sabrang memberikan pungkasan, “Fisika tidak membuktikan alam. Fisika hanya membuktikan hipotesis; itu belum salah. Fisika tidak pernah bisa membuktikan bahwa (informasi) itu sudah paling benar,” lanjutnya. “Kita sebenarnya berselancar di dunia kebijaksanan, mau tidak mau. Yang bisa membuktikan hanya matematika. Lainnya hanya kira-kira,” tambah Sabrang.

“Jadi, dibutuhkan jiwa juang kalau memang mau berjuang untuk Indonesia. Orang yang berhasil jaman dahulu adalah orang yang bekerja keras. Tapi orang bekerja keras kalah sama orang yang bekerja tepat. Orang yang bekerja tepat kalah sama orang yang bekerja keras dan bekerja tepat. Dan orang yang bekerja keras dan bekerja tepat akan kalah sama orang yang bekerja efisien. Jadi orang yang bekerja keras, bekerja tepat, dan bekerja efisien itu lebih ampuh lagi. Tapi, ada orang yang lebih ampuh lagi yaitu orang yang berani menyongsong masa depan,” Sabrang mengungkapkan rasa optimisnya akan kegemilangan masa depan Indonesia.

Kenduri Cinta edisi Oktober 2018 dipuncaki dengan doa bersama yang dipimpin oleh Cak Nun dan Syeikh Nursamad Kamba.