LITERASI(AL) – ESENSI(AL)

Minggu malam (5/4) Bangbang Wetan hadir dengan nuansa yang sedikit berbeda. Tagline di panggung yang biasanya menyajikan “Bangbang Wetan sebagai forum pencerahan”, kali ini yang tertulis adalah Majelis Masyarakat Maiyah, dengan mengangkat tema LITERASI(AL) – ESENSI(AL)?

Diawali dengan ngaji dan sholawatan, acara kemudian dilanjutkan dengan opening session yang dimoderatori oleh Amin. Sebelum memasuki sesi diskusi, Amin mempersilahkan kawan-kawan dari Oi (Orang Indonesia) Surabaya serta Cussy dan kawan-kawan untuk mengalunkan beberapa lagu sembari meminta jamaah agar segera merapat ke dekat panggung.

Sesudahnya, Amin mempersilahkan Fajar untuk menyampaikan beberapa hal terkait kongres pemadatan Isim Bangbang Wetan yang telah diselenggarakan pada tanggal 24 Maret lalu.

LEBIH PENTING MANA: ESENSI ATAU LITERASI?

Bahwa ide dasar dimunculkannya tema malam itu diawali ketika penggiat mengadakan rembug untuk membahas struktur Isim BBW. Dalam rembug tersebut, muncul celetukan berkaitan dengan konsep struktur yang digagas sebab ketidaklaziman sebagaimana organisasi pada umumnya. Dari situlah kemudian penggiat secara tidak sengaja akhirnya mempertanyakan: lebih penting mana esensi ataukah literasi? Secara sederhana, literasi dapat dimaknai sebagai apa yang tersurat (eksplisit), sedangkan esensi adalah “makna” di balik yang tersurat.

Beberapa jamaah lalu memberikan tanggapannya. Ada yang mengatakan bahwa antara literasi dan esensi adalah dua hal yang sama pentingnya, karena sesungguhnya kedua hal tersebut saling mengisi. Ada juga jamaah yang memberikan komentar bahwa literasi dapat dimaknai sebagai pola subyektif manusia yang diterapkan dalam tulisan. Sedangkan esensi tidak harus dituliskan, yang penting adalah implementasinya (dilakukan). Jamaah lainnya, Hari, mendefinisikan literasi dan esensi dengan memberi contoh dengan pemaknaan terhadap jihad. Secara literasi, jihad dimaknai sebagai perang, angkat senjata, dll. Esensi berbanding lurus dengan pemaknaan terhadap literasi itu sendiri. Dan pemaknaan terhadap literasi pada dasarnya bergantung pada software pengolah literasi itu sendiri, yaitu: hati.

Selanjutnya ada juga jamaah yang berasal dari komunitas literasi Jawa Timur, menyampaikan bahwa secara harfiah, literasi berasal dari kata literate yang artinya adalah kemampuan membaca (apapun). Literasi tidak hanya dimaknai dengan membaca yang tersurat, namun juga membaca segala yang tersirat.

“Satu-satunya cara untuk bisa mencapai esensi adalah menghancurkan segala hal kecuali Allah SWT. Kuncinya adalah memerdekakan diri dari segala kepentingan, lepaskan segala kepalsuan yang ada pada diri.”
Kyai Muzammil

Merespon berbagai pandangan, Kyai Muzammil ikut sampaikan pandangannya dengan mengutip bagian kecil dari kitab ilmu nahwu mengenai kalam.

Dalam kitab tersebut disebutkan tentang: kalamuhum lafdzun mufiidun musnadu — Kalam itu harus berupa lafadz. Mufidhun yang memberikan pengertian. Musnadu yang disandarkan. Perkataan itu sebetulnya apa yang ada dalam hati. Sedangkan kata atau kalimat hanya menunjuk apa yang ada dalam hati. Oleh karena itu apa yang tertulis adalah literasi, sedangkan dalam literasi tidak selalu ada esensi. Sehingga esensi sebenarnya lebih penting dari literasi itu sendiri. Pertanyaannya, apakah esensi itu masih ada? Fakta yang sering muncul dewasa ini justru “aksi”, baik itu tindakan tulisan, maupun ucapan seringkali tidak sesuai dengan esensinya. Banyak orang kehilangan esensi.

Orang yang memisahkan antara action dan esensi sesungguhnya telah melakukan suatu “pembegalan”. Di Maiyah, kita mencoba membangun suatu kejujuran. Ada kesesuaian antara apa yang diucapkan dengan yang dilakukan. Esensi yang sesungguhnya adalah ketika segala apa yang kita lakukan, kita tulis ataupun kita ucapkan sesuai dengan hati dan tidak mempunyai kepentingan apapun atau biasa kita sebut “nol kepentingan”. Dan satu-satunya cara untuk bisa mencapai esensi adalah hancurkan segala hal kecuali Allah SWT. Dengan kata lain, kuncinya adalah memerdekakan diri dari segala kepentingan. Lepaskan segala kepalsuan yang ada pada diri, agar kemudian esensi itu bisa kau capai.

Dalam ilmu ushul fiqh, literasi adalah lafadz. Lafadz berhubungan dengan makna. Lafadz adalah literasi/eksistensi. Sedangkan makna adalah esensi. Pertanyaannya, apakah lafadz dapat merepresentasikan semua makna? Apakah ada kata yang bisa melingkupi semua makna? Ternyata tidak. Karena pada dasarnya setiap bahasa mempunyai limitasinya, sehingga tidak mungkin lafadz itu bisa mewakili semua esensi.

Dalam ilmu ushul fiqh juga disebutkan bahwa, lafadz itu ada yang mempunyai makna mutobik (makna yang pas dan jelas). Contoh, makna rumah sebagai bangunan tempat tinggal. Namun dalam bahasa Arab tidak semua kata, maknanya adalah mutobik. Karena ada makna lain, yaitu tasmim, yang berarti kandungan di dalamnya. Lahirnya Islam ekstrimis, garis keras, dan sebagainya, sesungguhnya dikarenakan kurangnya pemahaman terhadap makna tasmim mengenai Islam.

Jika dikaitkan dengan tasawuf, suatu misal, ketika kita bershawat namun terjebak dengan redaksional shalawat dan suara merdu orang yang bershalawat. Maka sesungguhnya saat itu kita telah berhenti pada literasi, sehingga lupa dengan esensi shalawat.

Ananto juga ikut sampaikan pemaknaannya terhadap tema. Menurutnya, literasi pada mulanya dimaknai sebagai baca dan tulis. Namun dalam perkembangannya, pemaknaan terhadap literasi lebih meluas, karena ada pada proses untuk memahami, mengkaji dan pada akhirnya mengambil kesimpulan untuk membuat suatu keputusan.

MENGETAHUI KEBENARAN DENGAN BERSUCI

Malam itu Sabrang ikut hadir memperkaya forum. Merespon tema, Sabrang berikan satu pemetaan. Amsal Tuhan adalah jagat raya. Esensi dari kebenaran Tuhan dapat dilihat dengan adanya jagat raya. Sedangkan manusia untuk menyampaikan esensi yang dia pahami adalah melalui media kata-kata atau bahasa. Dengan kata lain, bahasa adalah amsal kebenaran yang diungkapkan manusia. Karena kita bagian dari alam semesta, hal itu berarti pasti kita sendiri adalah bagian dari kebenaran yang paling benar.

Literasi mengarah pada awareness tentang informasi yang tertulis. Sedangkan esensi adalah makna terhadap apa yang tertulis. Esensi dalam bahasa tentu dapat mengalami degradasi. Kata-kata atau kalimat ataupun ucapan dapat terdegradasi maknanya manakala kesemuanya bercampur dengan ekspresi, intonasi, dan juga bahasa tubuh mereka yang menyampaikan. Dan degradasi tersebut bisa semakin nyata terlihat manakala semua informasi tersebut dituliskan. Informasi disini dimaknai sebatas kebenaran yang dipahami manusia, bukan kebenaran jagat raya.

Kebenaran setiap manusia, menurut Sabrang, adalah kebenaran versinya sendiri. Kita di dunia ini sejatinya sedang berwudhu atau bersuci menghadap ke Tuhan. Oleh karenanya ketika kita membaca suatu literasi, semestinya kita paham sejauh mana degradasi informasi itu ada.

Untuk mengetahui kebenaran informasi, kita harus “bersuci”. Jika diumpamakan dengan air wudhu, kira-kira demikian:
— Air mutlak; informasi yang kita tidak punya andil di dalamnya. Misal, informasi tentang Alquran dan jagat raya.
— Air musyammas (suci tapi makruh); bagaimana kita mengkontekstualkan perjalanan laku dengan pemahaman.
— Air musta’mal (air yang tidak dapat digunakan untuk berwudhu karena sudah digunakan wudhu oleh orang lain); informasi dari orang lain, sehingga untuk membenarkan info tersebut harus mengambil sebanyak-banyak referensi. Misal: terjemahan dan tafsir.
— Air mutanajis; output informasi dari seseorang yang sudah punya kepentingan. Misal: media massa, ilmu-ilmu yang ada di buku. Untuk bisa mengambil esensi dari sini, maka kita harus mencari sebanyak-banyak literasi, agar kita bisa mengambil benang merahnya.

Literasi itu penting karena bicara tentang bagaimana kita mengumpulkan sebanyak-banyak air. Esensi dari setiap tetes air yang kita kumpulkan tentu berbeda-beda. Tapi dari setiap perbedaan itu nantinya akan terlihat konsistensi tentang sebenarnya yang dimaksudkan seperti apa.

“Bahasa adalah amsal kebenaran yang diungkapkan manusia. Karena kita bagian dari alam semesta, hal itu berarti pasti kita sendiri adalah bagian dari kebenaran yang paling benar.”
Sabrang

DUNIA TUTUR, DUNIA TULIS, DUNIA TONTON DAN DUNIA TWEET

Mengawali diskusi, Joko, dosen HI Unair, mengajukan 3 pertanyaan kepada jamaah. Pertama, mengapa Alquran yang diturunkan kepada Rasulullah yang “buta huruf” justru ayat pertamanya adalah iqro? Apa jadinya jika ayat pertama yang turun justru sami’na? Adakah beda antara membaca dan mendengar? Pertanyaan kedua, mengapa Alquran justru diturunkan di suatu wilayah dimana tidak memiliki banyak pemiki-pemikir kelas wahid saat itu? Padahal hampir 800 ayat dalam Alquran memerintahkan untuk berpikir, berpikir, dan berpikir? Pertanyaan ketiga, kenapa model keimanan tertinggi dalam Islam justru Nabi Ibrahim? Bukan Nabi Musa yang kritis sekali dalam bertanya? Pun demikian bukan pula Harun yang apapun kata Musa dia ikuti?

Menurutnya, kata kuncinya adalah hanief yang artinya senantiasa mencari. Setelah mencari, orang yang hanief biasanya berlega hati dan tidak menganggap dirinya yang paling benar. Dan karakter itulah yang dimiliki Nabi Ibrahim AS. Ketika kita belajar agama, jarang sekali ada ruang-ruang yang membatasi kita untuk menggunakan akal. Namun seringkali yang terjadi justru kita sendiri membatasi diri, sehingga esensi dari agama tersebut tidak dapat kita terima dengan sempurna.

Dalam pandangannya, dunia sudah berlangsung dalam 4 tahap. Pertama, dunia tutur, dimana segalanya saat itu disampaikan secara lisan (gethuk tular, dongeng). Dunia tutur ketika belum dikenal adanya tulisan, dan yang dominan saat itu adalah mendengar. Kedua, yaitu dunia tulis, dimana saat itu sudah ada keseimbangan antara membaca dan menulis, yang mana keduanya merupakan kemampuan produktif. Ketiga, yaitu dunia tonton. Ada perbedaan mendasar antara menonton, membaca dan mendengar. Ketika kita mendengar, ada aktivitas individu untuk berimajinasi. Pun demikian ketika kita membaca. Sedangkan ketika menonton, kita tahu banyak hal tetapi tidak melakukan apa-apa, yang output-nya adalah “anak nongkrong”, bukan “generasi pembangun atau penggerak” sebagaimana dunia baca/tulis itu masih eksis. Keempat, yaitu dunia tweet. Ketika kita mendengar, yang dimiliki adalah sublimasi dan kondensasi.

Misalkan, Mahabharata masuk ke Indonesia butuh sekitar 2.000 tahun. Kristen masuk ke Indonesia butuh waktu sekitar 1.000 tahun. Dan Islam masuk ke Indonesia hanya butuh waktu sekitar 500 tahun. Sedangkan Harry Potter ketika masuk ke Indonesia hanya butuh waktu tidak lebih dari 1 hari. Mengapa bisa demikian? Karena tidak ada kesempatan untuk mengendapkan dan mencerna. Dewasa ini, kemampuan kita untuk mengendapkan segala apa yang kita terima sangatlah lemah. Kreativitas kultural pun akhirnya tidak dapat muncul. Keahlian kita untuk “meramu” sudah dimatikan, dan bergeser menjadi keahlian untuk “ngemplok”.

Dalam dunia tweet, kita cenderung hanya meneruskan tweet dan berkomentar, bukan berpendapat. Ada perbedaan yang mendasar antara komentar dan pendapat. Dalam berpendapat, ada olah pikir atau kemampuan untuk mencerna sesuatu. Mengeja terlebih dahulu tentang apa yang kita ketahui. Sedangkan dalam berkomentar, hal itu tidak ditemukan.

Seribu tahun yang lalu, hal yang paling sulit adalah menemukan jawaban atas pertanyaan. Oleh karenanya tugas filsuf yang paling utama adalah memberikan jawaban atas pertanyaan. Sedangkan dalam era tweet seperti sekarang ini, jawaban dapat mudah ditemukan di media-media elektronik. Sehingga kemampuan yang harus kita latih sekarang bukanlah kemampuan menjawab, namun kemampuan bertanya.

Jika dikaitkan dengan pendapat sufi, bahwa ketika dunia berisik seperti dewasa ini, peganglah 3 hal: Pertama, tanyakan dulu apa benar. Kedua, apakah perlu. Dan yang ketiga, apakah patut.

“Dewasa ini, kemampuan kita untuk mengendapkan segala apa yang kita terima sangatlah lemah. Kreativitas kultural pun akhirnya tidak dapat muncul. Keahlian kita untuk “meramu” sudah dimatikan, dan bergeser menjadi keahlian untuk “ngemplok”.”

JARENE, SAKJANE DAN SEJONE

Sebelum mempersilahkan narumber berikutnya, Amin mempersilahkan kepada Mbak Almas dan Mas Hari “Tello” untuk mengisi beberapa lagu.

Berikutnya, Cak Parto hadir dengan menyampaikan bahwa Bangbang Wetan sesungguhnya adalah supra-kampus. Karena tema-tema yang dibahas disini tidaklah dapat ditemukan di kampus.
Berkenaan dengan tema Bangbang Wetan malam itu, yaitu mengenai literasi dan esensi, menurut beliau keduanya sama-sama penting. Dalam literasi ada esensi dan dalam esensi tentu juga ada literasi. Ada 3 kata yang menjadi kunci untuk memahami literasi dan esensi, yaitu: jarene, sakjane dan sejone. Menanggapi pernyataan sebelumnya, yaitu: apakah benar bahwa Rasulullah itu buta huruf? Menurut beliau, kemungkinan buta huruf saat itu karena penyampaian kalamullah tidak disampaikan dalam wujud tertentu, tidak ada literasinya.

+

Berikutnya, Cak Suko selaku moderator memberi kesempatan kepada jamaah untuk memberikan feedback berkenaan dengan ulasan yang sudah disampaikan sebelumnya oleh narasumber.

Pertama, jamaah dari Madura yang menyampaikan esensi mengenai tema. Dengan gaya bicara yang luwes, jamaah tersebut membacakan benang merah antara literasi dan esensi berdasarkan pemahamannya. “Literasi ketok moto, esensi ning njero dodo. Literasi kocomoto, esensi nyoto-nyoto. Literasi itu cara, esensi itu capaian. Literasi itu salat, esensi itu bekas salat. Literasi itu tersurat, esensi itu tersirat.”

Kedua, seorang jamaah yang menyampaikan bahwa generasi kita sesungguhnya adalah generasi emprit. Kemudian dia menyinggung tentang kehebatan leluhur, salah satu buktinya yaitu dengan ditemukannya situs Gunung Padang. Intinya, beliau mengingatkan kembali kepada semua jamaah Maiyah agar tidak minder. Banyak cerita-cerita mitologi dan superhero yang saat ini dikenal, seperti kisah Mahabharata, Iron Man, Hulk, dan sebagainya, sebenarnya jika mau ditelusuri, itu terinspirasi dari cerita-cerita yang ada di Nusantara.

+

Menanggapi beberapa hal, Kyai Muzammil sampaikan bahwa biasanya dalam menentukan hadist itu sahih atau tidak seringkali melihat dari sanadnya. Apakah orang yang menyampaikan itu jujur atau tidak, kapan orang tersebut hidup dan ada tidak kemungkinan bertemu dengan Rasulullah SAW. Tetapi ada ahli bahasa yang tidak butuh itu, cukup melihat pada karakter dan “rasa” bahasanya. Salah satu contoh, yaitu Imam Al Ghazali. Dahulu, Ihya’ Ulumuddin (karya Imam Al Ghazali) pernah hampir dibakar karena ada seseorang yang bernama Muhammad bin Hasan menganggap bahwa kitab tersebut mengajarkan hal yang sesat dikarenakan tidak memperhatikan sanad dalam pembuatannya. Sehingga ia mengusulkan kepada pemerintahan saat itu agar kitab tersebut dibakar. Malam hari sebelum pembakaran tersebut dilakukan, Muhammad bin Hasan bermimpi dicambuk oleh Umar bin Khattab karena menurut Nabi Muhammad SAW, kitab tersebut sudah benar dan sesuai dengan apa yang pernah beliau sampaikan. Keesokan harinya, ketika ia bangun, bekas cambukan tersebut masih ada. Kemudian Muhammad bin Hasan segera bergegas menghadap ke raja yang berkuasa saat itu dan memohon agar pembakaran kitab tersebut dibatalkan.

“Hati itu bagai permukaan danau. Semakin halus permukaan danau, semakin tenang dan tidak ada goyangan. Semakin bisa pula kita merasakan titisan air dari langit.”
Sabrang

GENERASI MONYET

Selanjutnya, Sabrang merespon jamaah yang berbicara mengenai kecintaan kepada leluhur. Menurut Sabrang, seringkali orang terjebak pada kecintaan-kecintaan tersebut, berhenti pada prasangka-prasangka namun tidak mengelaborasi dengan pengetahuan yang ada. Ketika berhenti pada prasangka maka konsekuensinya tentu kita akan disepelekan orang.

“Jika Anda tidak percaya dengan sejarah yang ada saat ini, maka bangunlah sejarah baru dengan struktur-struktur yang baru yang lebih solid.”

Konsep Iron Man bukanlah berasal dari Gatotkaca. Namun Iron Man diciptakan saat lahirnya perang dunia II. Waktu itu masyarakat sedang bosan dengan perang, sehingga diciptakanlah satu tokoh superhero baru yang senang berperang. Masyarakat “diuji” apakah tokoh seperti itu dapat diterima oleh masyarakat? Dan ternyata, jawabannya: iya. Bahkan hal tersebut diterima dan “laku” hingga hari ini.

Menurut Stanley—penulis dan pencipta karakter Hulk—Hulk berasal dari bahasa Arab, yaitu ghulb, yang berarti penghancur/perusak. Kita harus mau belajar hal-hal seperti itu, agar kita punya “resonansi” terhadap karya-karya mereka.

Kita memiliki pre-konsepsi bahwa nenek moyang kita sangatlah “ampuh”. Ada golongan yang percaya dengan keampuhan tersebut tanpa memiliki dasar, namun juga ada golongan yang percaya karena didukung adanya ilmu pengetahuan. Sebenarnya sangatlah mudah untuk membangkitkan kepercayaan suatu generasi.

Analogi yang sederhana adalah cerita tentang generasi monyet. Ada sekitar lima ekor monyet yang dikumpulkan dalam satu kandang. Di dalam kandang tersebut disediakan tangga, yang mana di ujung dari tangga tersebut diletakkan pisang. Kemudian, salah satu diantara monyet tersebut mengambil pisang. Ketika ada monyet yang mengambil pisang, maka keempat monyet yang lain disiram air dingin. Hal yang sama terjadi berulang-ulang. Hingga pada percobaan kesekian, setiap ada monyet yang mau mengambil pisang, maka monyet-monyet yang lain segera menghalangi dan memukul monyet tersebut. Akhirnya, terdapat struktur kepercayaan baru, bahwa barangsiapa mengambil pisang maka akan dikeroyok oleh sekumpulan monyet yang lain.

Percobaan berikutnya, satu monyet dalam kandang tersebut digantikan dengan monyet yang baru. Monyet baru ini tidak mengetahui bahwa ada “aturan main” seperti itu. Oleh karenanya dapat dipastikan ketika dia berusaha mengambil pisang yang ada di ujung tangga, serta merta monyet yang lain mengeroyok dia. Sampai pada beberapa percobaan kemudian, dimana monyet-monyet yang ada di dalam kandang tersebut sudah diganti dengan monyet-monyet yang baru, “aturan main” tersebut tetap berlangsung. Dalam alam bawah sadar mereka meyakini bahwa ketika ada monyet yang berusaha mengambil pisang, maka halal hukumnya untuk dikeroyok monyet-monyet yang lain, tanpa mereka mengetahui kenapa hal tersebut dilakukan.

Sama halnya dalam mempelajari sejarah yang ada hari ini, ketika kita tidak berani “melepaskan diri” dari “otoritas informasi” yang ada, seperti halnya monyet-monyet tersebut, maka selamanya kita akan terjebak dengan sesuatu yang kita sendiri tidak faham kebenarannya. Kita hidup di zaman dimana kita diberikan pilihan, mau menjadi seperti monyet-monyet itu ataukah menjadi manusia.

JOWO KARI SEPARO, LONDO KARI SEJODHO, CINO GELA GELO

Jayabaya pernah meramalkan bahwa akan tiba suatu zaman dimana jowo kari separo, londo kari sejodho, cino gela gelo. Dalam teks Jawa, ada tujuh lapis untuk memaknai kalimat tersebut, mulai dari sanepan, pasemon, dst. Jowo kari separo maksudnya adalah bahwa pengetahuan kita nantinya tinggal separo (setengah). Maksudnya adalah hanya setengah ilmu pengetahuan yang dapat kita capai dari leluhur kita. Londo kari sejodho; dapat diinterpretasikan bahwa pola pemikiran londo nantinya akan sejodoh dengan kita, sejodoh dengan pola kepemimpinan kita jika kelak tiba waktunya, sehingga tidak ada lagi peperangan, karena yang ada adalah perjodohan sebagaimana suami dan istri. Dan yang terakhir, cino gela gelo maksudnya bahwa nantinya cina hanya akan mengikuti, ngetutke dari belakang, dan itu sudah tampak mulai dari sekarang. Salah satu buktinya yaitu dapat dilihat dari kemampuannya dalam me-replikasi segala hal.

Jika anda bangga menjadi orang Jawa, maka jadilah orang Jawa yang tenanan. Kalau anda belajar terjemahan Alquran dalam bahasa Indonesia, maka pelajari juga terjemahan Alquran dalam bahasa Jawa. Ada banyak keindahan-keindahan tafsir dalam bahasa Jawa yang tidak dapat dideskripsikan sebagaimana yang ada dalam terjemahan bahasa Indonesia. Dan keindahan tersebut hanya dapat ditangkap ketika hati kita ber-resonansi terhadapnya. Salah satu contoh, Al-Baqarah diartikan sebagai sapi betina dalam bahasa Indonesia. Namun dalam bahasa Jawa, Al-Baqarah ditafsirkan sebagai baqo’-nya roh atau kekekalan roh. Atau contoh lain, tafsir terhadap Bismillahhirahmannirrahim, yaitu bumi bersemi dengan bertemunya mani dan ruh dalam rahim.

Prinsipnya, Alquran tidak diturunkan dengan bahasa Arab. Tetapi Alquran diturunkan dengan bahasa Alquran. Kalaupun memang benar bahwa Alquran itu adalah kebenaran mutlak, maka semestinya “ditembak” dengan tafsir menggunakan bahasa apapun, baik Jawa, Arab, ataupun bahasa Indonesia, akan tetaplah benar.

KAWRUH, NGELMU DAN PANGERTEN

Joko menanggapi jamaah dengan mengawali bahwa tafsir itu bukan tentang benar atau salah, tetapi yang lebih penting yaitu sejauh mana tafsir itu menyediakan hikmah. Menurut Joko, dari beberapa nabi dan rasul, yang paling mendekati kosmologi orang Jawa adalah Nabi Idris AS. Jika dikaitkan dengan tema malam ini mengenai literasi, maka orang Jawa sesungguhnya sudah memperkenalkan 3 (tiga) hal yaitu kawruh, ngelmu, dan ngerti/pangerten. Puncak dari kebijaksanaan adalah pengerten. Nabi Idris adalah salah satu nabi yang memiliki gudang pangerten.

Menurut orang Jawa, kawruh adalah kawitane weweruh. Dalam bahasa Inggris disebut knowledge (pengetahuan). Sedangkan ngelmu jelas berbeda dengan ilmu. Ilmu adalah barang katon (sesuatu yang terlihat), sedangkan ngelmu biasanya berkonotasi dengan wahyu. Dan pangerten adalah puncak dari kesemuanya itu, yaitu berkenaan dengan hikmah.

“Sekolah itu untuk menghimpun informasi namun anda harus bisa mengkritisi informasi-informasi yang anda terima.”
Emha Ainun Nadjib

ALAM SEMESTA ADALAH PARTNER

Bangbang Wetan sejatinya tidak sedang mencari siapa yang benar, namun mencari dan menemukan apa-apa yang benar sehingga bisa diketahui informasi mana yang sekiranya paling benar. Sabrang kemudian merespon mengenai nabi sebagaimana disampaikan oleh Joko sebelumnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak nabi yang berasal dari Yahudi, dan ujungnya adalah Nabi Ibrahim AS.

Pak Manu, seorang ahli yang mempelajari bahasa Kawi dan Sansekerta, pernah ditanya oleh Sabrang tentang bagaimana pembuatan keris. Menurutnya, dalam pembuatan keris membutuhkan gabungan antara besi yang terdiri dari 18 jenis dan 143 jenis batu lintang/meteor. Gabungan dari itu akan menghasilkan keris dengan resonansi tertentu yang dibutuhkan oleh pembuat keris. Ketika ditanyakan kembali, apakah untuk mendapatkan jenis batu lintang tertentu yang sesuai dengan komponen keris yang dibutuhkan, kita harus menunggu ada meteor? Ternyata jawabannya tidak. Karena teknologi orang Jawa jauh melebihi dari apa yang bisa kita bayangkan, ada mekanisme upacara “buka langit – narik lintang” untuk mendapatkan hal tersebut. Disinilah menunjukkan bahwa ada perbedaan mendasar struktur pemikiran orang Jawa dan pemikiran Barat terhadap alam semesta.

Asumsi sains barat menganggap alam semesta/ jagat raya ini sebatas mesin. Meskipun nanti jika ada variabel lain, hal itu tidak disampaikan. Sedangkan orang Jawa sebaliknya, menganggap bahwa alam semesta adalah partner yang bisa diajak bekerja sama. Alam semesta tidaklah dianggap sebagai mekanik, namun alam semesta diposisikan sebagai kehidupannya itu sendiri. Sehingga manusia Jawa tidak akan memanipulasi alam semesta, tidak mungkin mengeksploitasi, karena sesungguhnya alam semesta adalah partner bagi kehidupan mereka.

Orang Jawa sesungguhnya sangatlah feminin. Sedangkan Yahudi Barat sangat maskulin. Nusantara adalah satu-satunya negara patirtan di dunia. Negara-negara yang lain adalah kontinental. Dan karakter khas kontinental adalah maskulin. Hanya ada dua negara di dunia yang berkarakter feminin, yaitu Indonesia dan India.

Menanggapi pernyataan jamaah mengenai penemuan candi di Gunung Padang, bahwa sesungguhnya menurut Sabrang, penemuan-penemuan tersebut memang belum solid, namun dapat dipastikan validitasnya, termasuk indikasi adanya penemuan situs di Meksiko. Namun pertanyaannya, bagaimana nenek moyang kita bisa sampai kesana hanya dengan transportasi kapal yang kita miliki saat itu? Menjawab pertanyaan tersebut, ada jawaban menarik terkait hal tersebut. Telah dijelaskan dalam Alquran bahwa malaikat disuruh sujud ke manusia, sehingga logis tidak jika manusia bisa “memerintah” malaikat. Sehingga pertanyaan tentang bagaimana nenek moyang bisa sampai disana bukanlah hal yang sulit untuk dijawab jika mekanismenya seperti itu.

SEBAB – QUDRAT – AKIBAT

Cara pandang ilmu Barat selalu mengkondisikan sebab dan akibat, atau aksi dan reaksi. Ada jarak yang tegas antara sebab dan akibat. Sedangkan cara pandang masyarakat Jawa menganggap bahwa diantara sebab dan akibat ada yang dinamakan sebagai qudrat. Misalkan, suatu hari kita mengendarai sepeda kemudian di tengah jalan kita sadar bahwa kehilangan kunci. Seketika kita menghentikan sepeda, kemudian memanfaatkan lampu/penerangan yang ada untuk mencari kunci tersebut di tempat kita berhenti. Orang barat menganggap bahwa hal tersebut konyol, karena tidak mungkin kunci tersebut hilang di tempat kita berhenti saat itu. Namun, pola pikir orang Jawa sebaliknya. Mereka menganggap bahwa kewajiban mereka hanyalah mencari, kalaupun nanti tidak ketemu kunci tersebut, ya tidak menjadi masalah. Toh bisa saja ada kemungkinan ketika di tengah jalan tiba-tiba ada orang yang memberikan kunci tersebut kepadanya karena Allah memperkenankan demikian. Allah berkenan karena orang tersebut sudah melakukan kewajibannya untuk mencari. Itulah yang dinamakan qudrat.

Berikutnya, Cak Suko mempersilahkan Cak Nun untuk mengelaborasi tema diskusi malam itu secara keseluruhan.

Cak Nun mengawali dengan berpesan kepada jamaah untuk mulai memfilter segala pengetahuan yang diterima, khususnya tentang Jawa, mulai dari fakta-faktanya, manuskrip yang ada, maupun yang berkaitan dengan klenik.

“Segala kawruh yang disampaikan malam ini jangan membuat anda tenggelam di sungai. Anda harus berenang dan bisa memilah-milah mana pengetahuan yang memang benar atau pengetahuan yang masih berdasarkan tafsir, otak atik gathuk, dan sebagainya.

“Sekolah itu untuk menghimpun informasi namun anda harus bisa mengkritisi informasi-informasi yang anda terima. Dalam memahami masa silam, selain mengetahui fakta-faktanya, yang paling penting adalah kita harus memahami metodologinya. Yang perlu anda pelajari terlebih dahulu adalah bagaimana anda melihat sejarah yang ada, bukan dengan cara pandang yang disediakan Barat saat ini, namun dengan cara pandang yang sudah disediakan oleh mbah-mbah kita dahulu.

“Cara pandang yang kita gunakan hari ini, baik terhadap politik, agama, kesehatan atau apapun itu sesungguhnya bukan merupakkan cara pandang yang kontinyu dilakukan oleh mbah-mbah kita dahulu.

“Kita jangan apriori terhadap yang manapun. Kita harus obyektif. Kalau bahasa ilmiahnya itu suci. Bahasa olahraganya sportif. Bahasa moralnya jujur. Dan bahasa keseniannya pas atau tidak fals.

An Nabiy Al Ummi bisa dimaknai bahwa segala sesuatu yang diungkapkan oleh Rasulullah adalah otentik dari beliau, tidak bersumber dari literatur-literatur atau bacaan. Dengan kata lain, Rasulullah terlindung dari informasi-informasi yang sifatnya seperti air mutannajiz dan musta’mal. Misalkan, ketika Rasulullah berkata: makanlah sebelum lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang. Hal itu otentik dari dirinya. Ternyata dewasa ini justru ada penelitian yang membuktikan bahwa ketika orang makan maka 20 menit setelahnya, orang tersebut baru merasakan kenyang.”


Cak Nun menambahkan, “Ada aturan yang sering kita baca di kantor-kantor pemerintahan: yang tidak berkepentingan dilarang masuk. Dengan kata lain, yang boleh masuk hanyalah orang-orang yang berkepentingan. Sedangkan meraka yang datang di acara-acara Maiyah, sejatinya adalah mereka yang tidak mempunyai kepentingan apapun. Sehingga yang muncul justru sebaliknya: yang tidak berkepentingan silahkan masuk. Artinya, bahwa sesungguhnya kita semua ini sudah tidak diterima di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karenanya, kalau hari ini kalian bicara Indonesia ya jangan dengan energi. Indonesia saat ini seperti ajjaharul jahiliyah, yaitu sejahil-jahilnya orang Jahiliyah.”

Rumus dalam mencari jodoh menurut Kyai Muzammil yaitu pertama sholikhah (nilainya 1). Jika nasabnya baik, maka tambahkan nilai 0 (nol) di belakang angka 1. Jika cantik, tambahkan lagi 0. Jika pintar, tambahkan lagi 0. Atau jika kaya, bisa ditambahkan lagi 0. Dan seterusnya. Namun seandainya tidak kaya, tidak pintar, tidak cantik, ataupun nasabnya tidak begitu baik juga tidak masalah, yang penting sholikhah, nilainya masih 1. Namun jika yang lain-lain tersebut ada, tetapi tidak sholikhah, maka nilainya adalah 0.

Atau menggunakan rumus lain. Menurut Cak Nun, dalam mencari jodoh formulanya sederhana. Ya misalkan tidak sholeh/sholikhah, minimal nasabnya baik. Seandainya pun nasabnya tidak baik, minimal pintar. Atau seandainya tidak pintar, tetapi kaya. Atau seandainya tidak sholeh, tidak bernasab baik, tidak pintar, ataupun tidak kaya, setidak-tidaknya taat. Atau seandainya tidak memenuhi semua kriteria tersebut, maka setidak-tidaknya haruslah “pantes” bagi kita.

Allah itu menciptakan makhluknya sesuai dengan takaran kemampuannya masing-masing. Sehingga ada rumus dalam QS. Al An’am ayat 3: la tudrikuhul abshoru wa huwa yudrikul abshoro wa huwal lathiful khobir yaitu bahwa Allah adalah Dzat yang para makhluk tidak dapat melihat sedangkan Dia Maha Melihat, dan Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengabarkan.

Menyambung perkataan Sabrang bahwa Allah sesungguhnya sedang ber-tajalli, me-literasi menjadi alam semesta. Mengapa Allah menerjemahkan dirinya menjadi simbol, ke level literasi? Karena Allah tidak mungkin dapat dilihat secara wadag oleh manusia, sehingga Ia harus meliterasikan diri-Nya.
Jarak itu adalah syarat keindahan. Maka Allah menciptakan keindahan dengan membuat jarak antara diriNya dengan makhluk-Nya. Jarak itu antara esensi dan literasi. Maka kita tidak mungkin bisa ketemu Allah dalam wujud nyata-Nya, melainkan hanya bayangan-Nya.

Dalam hadist: uthlubul ‘ilma wa lau bish shin (carilah ilmu sampai ke negeri Cina), ada satu kata kunci disitu yaitu wa lau, yang berasal dari bahasa Indonesia yaitu walau, atau dalam bahasa Jawa disebut masio. Maksudnya yaitu bahwa mencari ilmu tidaklah selalu dari orang pintar kepada yang lebih pintar, namun belajar itu juga bisa dari orang yang tidak pintar. Ibaratnya, jika kita ingin belajar menjadi orang baik, maka belajarlah juga ke pencuri. Dan Cina bukan berarti adalah negara yang lebih pintar daripada yang ingin belajar kepadanya.

Tanpa terasa, jam sudah menunjukkan pukul 03.30 WIB. Jamaah tampak masih memenuhi halaman Balai Pemuda dan tetap setia di tempatnya masing-masing. Terakhir, acara dipuncaki dan ditutup dengan sholawat dan doa yang dipimpin oleh Kyai Muzammil.

[Teks: Wilda Prihatiningtyas]