LELUHUR MASA DEPAN

Reportase Kenduri Cinta Desember 2014

Kenduri Cinta edisi Desember 2014 diawali dengan tadarus Alquran surat Luqman kemudian dilanjutkan dengan bersama melantunkan wirid Hasbunallah, wirid Padhangmbulan dan Shohibu Baitiy. Irfan selaku moderator lalu menyapa jamaah yang sudah hadir di pelataran Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta kali itu juga dihadiri oleh kelompok puisi Nandong dari Aceh yang digawangi oleh Mbak Zubaidah, selain itu Dik Doank juga mengajak beberapa anak didiknya di Kandang Jurang Doank di Kenduri Cinta kali ini.

Seperti biasanya, Irfan sebagai moderator ‘memancing’ jamaah untuk merespon tema Kenduri Cinta kali itu: Leluhur Masa Depan. Sebenarnya judul ini sudah pernah diangkat oleh Juguran Syafaat di Purwokerto pada bulan Agustus yang lalu, dengan mempertimbangkan beberapa aspek, judul ini kembali diangkat oleh penggiat Kenduri Cinta pada edisi akhir tahun ini.

Wilda, salah satu jamaah yang mengaku baru pertama kali datang ke Kenduri Cinta merespon. Menurut pandangannya, Leluhur Masa Depan merupakan sebuah tradisi yang baik pada hari ini yang kemudian akan diluhurkan (diwariskan) di masa depan. Wilda sendiri menyadari bahwa dilahirkan di dunia ini bukan sebuah pilihan, karena kita tidak bisa memilih akan dilahirkan dimana, dilahirkan dari rahim siapa, tidak bisa memilih ibu kita atau bapak kita siapa.

Nur Rahman dari Yogyakarta, yang tinggal di wilayah Patangpuluhan juga ikut sampaikan pandangannya. Tidak jauh berbeda dari Wilda, Nur Rahman juga menegaskan bahwa tradisi yang kita lakukan hari ini bisa jadi adalah leluhur di masa yang akan datang. Tentunya kita harus mewariskan tradisi yang baik agar generasi di masa yang akan datang mendapatkan warisan leluhur yang baik.

Fikar Wedha, salah satu seniman asal Aceh yang malam itu akan menampilkan musikalisasi puisi, mengatakan bahwa leluhur kita sebenarnya memiliki jalan keluar yang tidak bisa diselesaikan oleh bangsa Indonesia. Apabila kita mendapati persoalan di Aceh, maka hendaknya kita menanyakan jalan keluarnya kepada Aceh. Apabila kita mendapati persoalan di Bugis, maka kita harus menanyakan jalan keluarnya kepada Bugis. Begitu seterusnya. Karena ibaratnya, bangsa Indonesia ini adalah anak terakhir yang dilahirkan oleh leluhur bangsa ini. Bangsa Indonesia jelas lebih muda dari bangsa Majapahit, apalagi dari bangsa Nusantara.

Bram dari Pamulang memberi wacana bahwa Leluhur Masa Depan adalah kita yang saat ini hidup di masa ini. Karena apa yang akan kita tinggalkan akan diwariskan kepada generasi setelah kita. Jika kita tidak mampu mewariskan sesuatu yang baik bagi generasi selanjutnya, maka lebih baik kita menjaga budaya warisan leluhur terdahulu sehingga kelak masih terjaga pada generasi yang akan datang.

Leluhur Masa Depan merupakan sebuah tradisi yang baik pada hari ini yang kemudian akan diluhurkan (diwariskan) di masa depan.

Melanjutkan diskusi, Irfan mencoba menarik bahasan ke masa lampau, pada sebuah kisah asal muasal munculnya air zam-zam. Saat itu, Siti Hajar harus bolak-balik berjalan dari bukit Shofa ke bukit Marwa sebanyak 7 kali, yang kemudian peristiwa ini diabadikan dalam ritual sa’i ketika kita melaksanakan haji atau umroh. Ketika Siti Hajar mencari air dan berjalan diantara kedua bukit tersebut—karena saat itu Nabi Ismail masih bayi sedangkan pada saat itu ibundanya, Siti Hajar sudah kehabisan bekal air—malaikat Jibril turun ke tempat tersebut kemudian menggali tanah hingga akhirnya keluarlah air dari tempat itu. Jibril lalu berkata: Jangan takut terlantar. Sesungguhnya, di sinilah Baitullah yang akan dibangun oleh anak ini (Ismail) bersama ayahnya. Dan sesungguhnya, Allah tidak akan menelantarkan hambanya.

Dari kisah ini Irfan mencoba menarik garis lurus dengan apa yang terjadi dengan bangsa kita saat ini. Kita tidak perlu meminta malaikat Jibril untuk turun ke bumi Indonesia ini hanya sekedar untuk menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat banyak sumber daya alam yang kita tahu begitu luar biasa stoknya. Bahkan dari sumber mata air, Indonesia bisa menghidupi bangsa lain, sebagaimana kita ketahui bagaimana air mineral di Indonesia yang dikelola oleh bangsa asing ternyata menghasilkan keuntungan yang tidak kalah dengan pengelolaan minyak bumi.

Adi Pudjo, salah satu penggiat Kenduri Cinta lantas meneruskan penafsiran Irfan sebelumnya tentang Leluhur Masa Depan. Menurut Adi, leluhur memang merupakan sesuatu yang berasal dari masa lampau. Jika ditarik asal katanya, luhur artinya adalah suatu kebaikan atau kemuliaan, maka dapat disimpulkan leluhur adalah sesuatu yang melahirkan kebaikan. Maka benar apa yang disampaikan sebelumnya bahwa kita yang hidup di generasi sekarang akan mewariskan sesuatu yang baik di masa yang akan datang, jikalau ternyata kita tidak mampu mewariskan yang baik, maka lebih baik kita menjaga warisan leluhur kita agar tetap terjaga.

Toni Adam, asal Manado, kemudian mengkritisi bagaimana bangsa ini tidak bisa menjaga warisan dari leluhur terdahulu. Kita mendapati fakta bahwa terlalu banyak sumber daya alam bangsa ini yang dikuasai oleh bangsa asing. Bahkan hasil laut bangsa ini banyak yang dikelola oleh asing, setelah dikemas dengan kemasan yang baru kemudian dimasukkan kembali ke negara ini. Akhirnya kita hanya menjadi bangsa yang konsumtif bukan bangsa yang produktif. Padahal kita memiliki modal yang besar untuk menjadi bangsa yang produktif. Seperti yang dicontohkan sebelumnya, dari sumber mata air saja kita ternyata mampu menghidup bangsa lain, tentu akan lebih berguna bagi bangsa kita sendiri apabila bangsa kita sendiri yang mengelola sumber mata air tersebut.

Andrean memberikan sebuah wacana bahwa pemuda Indonesia saat ini sedang dihancurkan oleh peradaban yang kebarat-baratan dan kearab-araban. Saat ini kita dihadapkan sebuah fenomena dimana kita secara tidak sadar sedang digeser cara berfikirnya untuk meninggalkan budaya milik leluhur kita. Saat ini kita merasa lebih gaya ketika makan di restoran-restoran mahal yang menjajakan makanan cepat saji daripada mengkonsumsi makanan khas negeri sendiri.

Tak lama setelah diskusi awal, Restu membacakan sebuah puisi yang berjudul Indonesiaku Engkaulah Ular karya Ragil Juwarno yang dipublikasikan di majalah Sabana edisi terbaru.

LELUHUR MASA DEPAN — Kenduri Cinta

BELAJAR DARI ACEH

Moderator kemudian memperkenalkan para narasumber, salah satunya adalah Zubaidah, seorang seniman yang baru saja meluncurkan sebuah buku berisi puisi-puisi kontemplasi. Ada juga Andi Yetriayni dari Komnas Perempuan, juga Muslahudin Daud seorang tokoh dari Aceh. Hadir juga Dik Doank dari Kandang Jurang Doank.

Andi Yetriayni sampaikan bahwa Komnas Perempuan pada awalnya (tahun 1998) adalah Komnas Anti Kekerasan pada perempuan, karena lebih menyoroti kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh para perempuan. Berkaca pada kasus-kasus yang terjadi sebelumnya, kasus kekerasan pada perempuan membutuhkan teknik yang berbeda dari kasus-kasus lainnya. Di Aceh contohnya, pada saat Aceh dinyatakan sebagai daerah operasi militer muncul dugaan kuat bagaimana pelaku pelecehan seksual kepada perempuan berasal dari kalangan militer yang saat itu bertugas disana. “Kita masih terdikotomi dalam istilah kita dan mereka, seolah-olah kita lebih baik dari mereka.” Terkait dengan tema, Andi menegaskan bahwa seharusnya kita lah yang menentukan identitas bangsa kita sendiri, bukan bangsa lain. Menurutnya, apa yang diwariskan oleh leluhur kita terdahulu kini hanya menjadi dekorasi saja dalam kehidupan kita saat ini.

Andi Yetriyani memaparkan beberapa kasus ketika ada seorang perempuan yang menganut agama leluhur—agama ini saat ini tidak diakui sehingga terjadi kesimpangsiuran di kalangan masyarakat—dan saat ia meninggal, masyarakat sekitar menolak memakamkannya, dengan alasan bahwa dia adalah penganut agama leluhur. Akhirnya ia dikuburkan di pekarangan rumahnya sendiri. Ini hanya sebuah kasus kecil. Pada kasus lain kita pernah melihat fakta bagaimana jenazah terduga teroris yang ditembak mati oleh petugas kepolisian juga ditolak dikuburkan di pemakaman dekat tempat tinggalnya. Betapa kondisi ini memprihatinkan. Peristiwa ini adalah akibat stigma masyarakat yang terbangun secara instan oleh media yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Masyarakat kita banyak sekali yang tidak memiliki filter yang kuat untuk menyaring informasi. Semuanya seakan ditelan mentah-mentah tanpa ada usaha untuk mengkonfirmasi kebenaran informasi yang mereka terima.

Jika ditarik asal katanya, luhur artinya adalah suatu kebaikan atau kemuliaan, maka dapat disimpulkan leluhur adalah sesuatu yang melahirkan kebaikan.

DEGRADASI SOSIAL

Muslahuddin Daud—masyarakat Aceh dan aktivis perdamaian—mencoba merefleksikan 10 tahun peristiwa bencana alam tsunami di Aceh 2004 silam yang memakan korban jiwa lebih dari 200 ribu jiwa. Muslahuddin sendiri juga merupakan salah satu korban yang selamat. Pada hari terjadinya peristiwa ia berada di pantai di Meulaboh. Muslahuddin menceritakan bagaimana degradasi sosial di Aceh terjadi pasca peristiwa tsunami. Setelah peristiwa tsunami, pemerintah menyatakan bahwa Aceh dalam kondisi daerah tanggap darurat bencana. Tidak kurang dari 2.000 proyek yang melibatkan 500 lebih lembaga dunia terlibat dalam proses evakuasi hingga proses pemulihan kondisi di Aceh. Terkait degradasi sosial, Muslahuddin menegaskan bahwa dalam pandangan masyarakat kita saat ini apabila ada sebuah daerah yang terkena bencana alam, maka menjadi sebuah kewajiban bagi daerah yang lain untuk membantu pemulihan daerah tersebut. Muslahuddin menyayangkan kondisi tersebut, karena kondisi itulah akhirnya merubah cara berpikir masyarakat Aceh yang awalnya mampu mandiri ketika menghadapi sebuah permasalahan kini terkesan “manja”, karena yang terjadi justru menantikan uluran orang lain.

Hadirnya LSM-LSM di Aceh kala itu juga banyak merubah mindset masyarakat Aceh yang sebelumnya sangat mandiri untuk bekerja tanpa dibayar, dengan masuknya LSM-LSM tersebut yang membawa bantuan berupa uang tunai, dengan sistem birokrasi pada umumnya, secara tidak langsung merubah cara bekerja masyarakat di Aceh, mereka kini tidak mau bekerja kecuali ada bayarannya. Muslahuddin sendiri bercerita pada suatu waktu ia membawa bantuan dari temannya di Singapura berupa beras sejumlah 13 ton, ketika truk yang membawa beras tersebut tiba di penampungan pengungsian, tidak ada orang yang mau menurunkan beras bantuan itu karena ia tidak memiliki uang untuk membayar biaya penurunan beras dari truk. Fenomena ini sangat disayangkan oleh Muslahuddin, karena leluhur kita dahulu tidak berlaku demikian. Tradisi dan budaya yang diwariskan oleh leluhur kita adalah gotong royong. Mindset materialisme yang sudah terbangun ini justru lebih sulit dirubah, karena selama 4 tahun masa rehabilitasi Aceh pasca bencana tsunami hal itu tumbuh subur dibiasakan disana. Sehingga yang terjadi saat ini, apabila ada orang luar Aceh yang masuk ke Aceh, maka mereka akan dimintai bantuan, jika tidak membawa bantuan maka mereka tidak akan disambut dengan baik.

Degradasi sosial inilah yang disayangkan oleh Muslahuddin, karena secara otomatis anak-anak yang lahir pasca bencana tsunami pada tahun 2004 tidak mewarisi tradisi leluhur Aceh yang sebenarnya sangat kuat, dermawan, tangguh, tidak mengandalkan bantuan orang lain. Tetapi mereka justru dibesarkan dalam tradisi yang berbeda jauh dari sebelumnya.

Muslahuddin kemudian bercerita bagaimana dermawannya para leluhur di Aceh zaman dahulu, ketika pergi menunaikan ibadah haji ke Mekkah, disaat mereka masih menggunakan kapal laut dan menempuh perjalanan kurang lebih selama 3 bulan, apabila mereka mendapati bahwa uang saku perbekalan mereka dalam perjalanan tersebut tersisa, maka sisa uang saku tersebut akan diwakafkan dan ditinggalkan di tanah suci. Dari wakaf tersebut kini berdiri Baitul Asyi di Mekkah bahkan setiap jamaah haji asal Aceh yang berangkat ke tanah suci setiap tahunnya akan diberi uang hasil pengelolaan rumah wakaf tersebut, tahun 2014 ini setiap jamaah haji asal Aceh mendapatkan uang tunai Rp. 6.000.000,-

Budaya dermawan yang mulai luntur ini diikuti dengan lunturnya kebiasaan hidup keras, dimana didikan hidup yang keras ini membuat sebagian besar masyarakat Aceh sangat cepat menjalani proses recovery pasca bencana tsunami. Sebelum terjadi tsunami, masyarakat Aceh disuguhi kekerasan yang terjadi di lapangan, bagaimana Aceh saat itu menjadi daerah operasi militer. Dalam masa tersebut, secara tidak langsung mendidik sifat kekerasan pada anak-anak, saat ini bahkan hampir semua anak kecil di Aceh memiliki senjata mainan. Muslahuddin menyayangkan hal ini karena anak-anak kecil sudah terdidik dengan kekerasan sejak usia dini. Karena beberapa tahun sebelumnya mereka dipertontonkan bagaimana perlakuan militer yang sangat keras kepada masyarakat di Aceh. Ketika konflik di Aceh membara saat itu, masyarakat Aceh sangat sulit melaksanakan tradisi dan budaya warisan leluhur karena begitu ketat dan kerasnya pengawasan dari pemerintah saat itu melalui tangan militer yang bertugas disana. Muslahuddin mengkhawatirkan bahwa budaya kekerasan inilah yang nantinya akan diwariskan kepada generasi penerus selanjutnya di Aceh.

Muslahuddin menambahkan, bahwa hampir 60% kekuasaan politik di Aceh saat ini berada di tangan mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka, dan sebagian besar dari mereka bahkan tidak lulus SMA. Sehingga muncul stigma di masyarakat bahwa untuk menjadi anggota dewan atau pejabat di Aceh tidak perlu lulus SMA, tentu ini menjadi sebuah kekhawatiran tersendiri di masa yang akan datang, terkait kualitas kepemimpinan. Leluhur Aceh dahulu tidak memiliki sikap seperti ini, mereka justru memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya pendidikan. Tradisi leluhur Aceh dahulu, masyarakatnya mengumpulkan beras yang kemudian diperjualbelikan dimana hasilnya digunakan untuk membiayai putra asli Aceh untuk bersekolah ke pesantren-pesantren, bahkan tidak sedikit yang akhirnya belajar hingga ke Mesir bahkan sampai Arab Saudi. Namun tradisi tersebut saat ini sudah luntur.

Pasca tsunami Aceh, banyak sekali beasiswa yang ditawarkan kepada para pelajar-pelajar di Aceh, tidak kurang saat ini terdapat 3.000 magister jebolan luar negeri. Namun ketika mereka kembali ke Aceh, mereka berhadapan dengan para lulusan Kejar Paket C. Dalam sebuah survey independen yang dilakukan oleh Muslahuddin dan kawan-kawannya, setidaknya 44% anggota parlemen di Aceh adalah lulusan SMA ke bawah. Muslahuddin mengkhawatirkan bagaimana mungkin mereka mampu mengelola anggaran daerah yang jumlahnya sekitar 27 triliun rupiah setiap tahunnya, menurutnya ini adalah tsunami jilid II. Muslahuddin memaparkan bahwa pada tahun 2007 terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7,8%. Namun pada kuartal ketiga tahun 2014 ini pertumbuhan ekonomi di Aceh hanya 2,7% dengan total anggaran mencapai 27 triliun rupiah tersebut. Angka ini merupakan urutan no 4 di Indonesia. Merosotnya pertumbuhan ekonomi di Aceh diikuti dengan bertambahnya angka kemiskinan dan angka kematian ibu hamil, dan dalam kualitas pendidikan, Aceh juga mengalami kemerosotan yang cukup tajam, padahal anggaran pendidikan di Aceh termasuk dalam angka yang cukup besar (no. 4 di Indonesia). Muslahuddin menyebut fenomena ini sebagai kutukan bantuan berupa uang tunai.

PEREMPUAN DAN PERDAMAIAN

Sesi berikutnya, ikut mengisi maiyahan malam itu Zubaidah Johar, seorang sastrawan asal Aceh yang baru saja meluncurkan buku kompilasi puisi kontemplasi. Zubaidah memperkenalkan beberapa teman-teman seniman asal Aceh yang malam itu ikut bergabung di Kenduri Cinta: Fikar, Yopi dan Yasin.

Pada tahun 2008, Zubaidah melakukan sebuah penelitian yang bertema perempuan dan perdamaian. Dalam penelitian ini, Zubaidah turun ke daerah-daerah yang menjadi titik konflik Aceh yang pada masa lalu menjadi daerah operasi militer, yaitu: Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Dalam penelitiannya Zubaidah bertemu banyak perempuan yang mengalami kekerasan pada masa daerah operasi militer diterapkan di Aceh.

Zubaidah bercerita tentang pertemuannya dengan beberapa perempuan korban kekerasan seksual di Aceh, bahkan ada yang masih mengalami masalah pada alat reproduksi mereka akibat kekerasan pada saat itu. Dari penelitian ini Zubaidah kemudian merangkumnya dalam sebuah buku yang berjudul Pulang Melawan Lupa pada tahun 2012. Dari buku itu, Zubaidah mempertanyakan apa sebenarnya motif utama kesepakatan perdamaian antara GAM dengan NKRI? Bukankah kesepakatannya adalah bahwa masyarakat Aceh mendapatkan hak perdamaian, hak kesejahteraan? Kesepakatan ini juga tentunya menuju masyarakat Aceh yang sebenarnya, yaitu masyarakat yang islami, yang menghargai hak-hak setiap manusia, yang menghargai hak perempuan dan juga hak atas terselenggaranya pendidikan yang berkualitas. Pada bulan Agustus 2014, Zubaidah kemudian meluncurkan buku Memahat Perahu Nirwana. Buku ini bercerita tentang orang-orang yang bergembira dengan perjanjian perdamaian namun lupa dengan warisan leluhur Aceh yang sebenarnya.

Kenduri Cinta malam itu seakan menjadi malam sastra saat Zubaidah mempersilahkan Evi Idawati membacakan sebuah puisi yang berjudul Dalam Gemuruh Gelombang dan Sasi Bakri yang membawakan puisi yang berjudul Damai Siapa. Zubaidah sendiri kemudian membawakan puisinya sendiri yang berjudul Memahat Perahu di Pulau Nirwana.


Menyeimbangkan pembacaan puisi oleh Zubaidah dan kawan-kawannya, Dik Doank kemudian tampil bersama anak-anak Kandang Jurank Doank membawakan beberapa lagu karya mereka sendiri. Sebagai seorang praktisi pendidikan anak, Dik Doank menyarankan bahwa mendidik anak seharusnya dengan keindahan. Dik Doank menjelaskan bahwa pelajaran menggambar esensinya adalah mengajarkan anak-anak agar terbentuk menjadi generasi pencipta dan penemu, bukan generasi penjiplak dan peniru. Dik Doank bercerita bagaimana pesawat terbang ditemukan pertama kalinya oleh Wright bersaudara. Sebelum pesawat terbang ditemukan, Wright bersaudara menggambarnya terlebih dahulu. Setelah itu baru kemudian diukur secara detail secara keseluruhan.

Dik Doank mengomentari bagaimana kurikulum pendidikan di negara ini berkali-kali diganti, bahkan yang terbaru—kurikulum 2013—akhirnya dicabut lagi oleh menteri yang baru dan dikembalikan ke kurikulum yang sebelumnya. Dik Doank bercerita ketika ia diundang menjadi pembicara di depan para peserta Indonesia Mengajar, ia menyarankan bagi yang ditugaskan di pesisir untuk jangan mengutamakan pembelajaran Calistung (baca-tulis dan berhitung), melainkan mengajarkan bagaimana yang seharusnya mereka lakukan sebagai penduduk pesisir, karena negara ini adalah negara bahari yang memiliki wilayah lautan yang sangat luas.

Dik Doank juga menyoroti fenomena pelarangan menggambar oleh beberapa aliran, bahkan ada yang menganggap aktivitas menggambar adalah sebuah aktivitas yang haram. Dik Doank mengkritisi fenomena ini, karena akibatnya adalah banyak sekali anak-anak generasi muda islam yang tidak mampu menggambar dengan baik, imbasnya adalah kreativitas mereka terbendung dan terkurung, sehingga imajinasi mereka tumpul. Yang terjadi akhirnya, sangat sedikit sekali generasi muda islam yang kreatif.

Menyambung penampilan dari Dik Doank bersama anak-anak Kandang Jurang Doank, Zubaidah dan teman-teman seniman dari Aceh menampilkan musikalisasi puisi yang bertema refleksi tsunami Aceh tahun 2004. Fikar membawakan puisi yang berjudul Smong dan Nyeri dari Aceh. Dalam khasanah budaya Aceh, terdapat sastra tutur Nandong dimana dalam syair sastra tutur Nandong terdapat sebuah istilah yang dikenal sebagai Smong yang memiliki arti gelombang raya yang menggulung. Smong merupakan salah satu istilah dalam bahasa masyarakat Semelu. Fikar dan kawan-kawan sudah mengusulkan kata Smong untuk dimasukkan ke dalam kamus besar bahasa Indonesia sebagai istilah baru pengganti tsunami yang merupakan istilah dari Jepang. Peristiwa Smong atau kita lebih mengenalnya sebagai tsunami pernah terjadi juga di Aceh pada 4 Januari 1907, yang merupakan efek domino dari letusan Gunung Krakatau. Dan Syair yeng berjudul Smong merupakan warisan leluhur masyarakat Semelu. Menurut Fikar, setidaknya ada 3 fungsi sastra di Aceh: sebagai media menggembirakan hati yang membacanya, membahagiakan hati yang menyaksikan pembacaan sastra tersebut dan yang terakhir sebagai pencerahan bagi semuanya. Sebagai pencerahan inilah yang menjadi media transformasi ilmu kepada khalayak.

LELUHUR MASA DEPAN — Kenduri Cinta

PENJAJAHAN MELALUI KEMITRAAN

Lewat tengah malam, Irfan mempersilahkan Noorshofa, Pak Tjuk, Andre Dwi dan Rusdianto untuk berbagi. Pak Tjuk mengawali dengan menginformasikan tentang Kerajaan Kalingga pada abad ke 8. Pada saat itu tatanan masyarakat di Kalingga sudah terstruktur dengan rapi, moral mereka sudah terbangun baik. Suatu ketika datanglah para saudagar yang profesinya sebagai pedagang datang ke Kalingga dengan salah satu misi selain berdagang adalah untuk berdakwah tentang Islam. Singkat cerita, melihat tatanan masyarakat Kalingga yang sudah tertata dengan baik, para saudagar tersebut seolah-olah ingin membuktikan bahwa masyarakat Kalingga benar-benar sudah mencapai pada tatanan moral yang tinggi, para saudagar tersebut sengaja meninggalkan harta benda yang mereka bawa di Kalingga. Dalam aturan undang-undang Kerajaan Kalingga saat itu, bahwa setiap orang dilarang untuk menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Pada suatu hari diceritakan putra mahkota Raja Kalingga saat itu melanggar aturan tersebut, dimana dalam undang-undang Kalingga Dharmasastra disebutkan barangsiapa yang menyentuh barang orang lain tanpa izin, maka ia akan dijatuhi hukuman yang berat. Aturan tersebut tetap diberlakukan, dan sang putra mahkota tidak luput dari aturan ini.

Menyambung pemaparan Andi Yettriyani dari Komnas Perempuan, Pak Tjuk menjelaskan bahwa leluhur kita dulu memiliki aturan yang sangat ketat terkait urusan perlindungan terhadap perempuan, dalam sebuah aturan leluhur kita dijelaskan: jangankan untuk menyentuh apalagi melakukan kekerasan dan pelecehan seksual kepada perempuan, melihat wajah perempuan saja ada aturannya. Sehingga menurutnya, leluhur kita dan seharusnya kita sekarang ini iuga lebih maju lagi dalam persoalan menghormati perempuan. Tetapi pada faktanya, kita tidak cukup mampu menjaga warisan leluhur kita sendiri sampai-sampai sekarang harus dibutuhkan yang namanya komisi nasional yang khusus menangani persoalan hak-hak perempuan.

Tentang konstelasi politik internasional, Pak Tjuk memperkirakan bahwa akan terjadi kekuatan yang multipolar, bukan hanya bipolar. Ada banyak indikasi yang cukup kuat dimana nantinya akan muncul blok-blok yang baru dalam peta politik internasional. Jika sebelumnya kita mengenal Washington Consensus dan Beijing Consensus, beberapa tahun yang lalu kemudian muncul Mumbai Consensus. Ini adalah satu dari sekian indikasi yang cukup kuat dimana akan muncul kekuatan-kekuatan baru dalam peta politik internasional dalam beberapa bulan kedepan. Bahkan, blok-blok ini sekarang tidak hanya menyusup ke pemerintahan, melainkan sudah ikut bermain dalam bentuk perusahaan-perusahaan swasta. Salah satu tandanya adalah kita baru akrab dengan kata “kemitraan” dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Saat ini menurut Pak Tjuk, kita seolah-olah seperti menjadi orang yang baru lahir di dunia. Layaknya seorang manusia yang baru lahir, kita tidak memiliki pengetahuan yang pasti tentang diri kita sendiri. Generasi kita saat ini benar-benar mengalami kemunduran yang luar biasa jika dibandingkan dengan pencapaian leluhur kita di masa lampau. Terlalu banyak teknologi yang kita miliki dahulu, saat ini kita sudah tidak memilikinya. Dan itu terjadi di semua bidang ilmu pengetahuan. Kita benar-benar mengalami kemunduran yang luar biasa saat ini.

MENANAM DAN MENANAM

Narasumber selanjutnya, Noorshofa, mengajak jamaah yang hadir untuk bersama-sama melantunkan salawat sebelum memasuki pembahasan materi yang akan dipaparkan. Jika narasumber sebelumnya menarik konteks leluhur kepada sosok-sosok yang dekat sejarahnya dengan bangsa ini, maka Noorshofa menarik konteks leluhur kepada Rasulullah SAW. Noorshofa menyatakan bahwa apabila kita berbicara tentang leluhur, maka kita membicarakan konteks masa lalu dan masa yang akan datang, sehingga judul Kenduri Cinta kali ini sudah cukup tepat menurut beliau. “Kita adalah leluhur untuk masa yang akan datang, dan orang-orang tua kita terdahulu adalah leluhur masa kini bagi kita,” lanjut Noorshofa.

Dalam Risalah Qusyairiyah dijelaskan bahwa seorang wali mampu mencapai derajat kewaliannya dengan asmaul husna, tandanya bahwa seorang wali baru akan mampu membuka tabir kewaliannya setelah ia benar-benar memaknai asma-asma Allah. Setidaknya ada 4 asma Allah yang bisa dijadikan pijakan oleh seorang wali untuk membuka tabir kewaliannya: Al-Awwal, Al-Akhiir, Ad-Dzhohir dan Al-Bathin. Al-Awwal, artinya adalah bahwa ia mampu melihat ke belakang. Dalam konteks ini dijelaskan bahwa apa yang terjadi hari ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang sudah dilakukan oleh orang-orang terdahulu, apa yang sudah dilakukan oleh pemimpin-pemimpin kita terdahulu maka itulah yang kita lihat hasilnya hari ini. Al-Akhiir, artinya bahwa ia mampu “melihat” apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, melihat disini bukan dalam artian melihat secara keseluruhan, melainkan ia mampu memperkirakan dan memprediksikan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah mengatakan, apabila besok datang hari kiamat dan hari ini di tangan kita terdapat biji kurma, maka tanamlah dan jangan berpikir apakah biji tersebut akan tumbuh atau tidak. Ketika engkau menanam biji tersebut, maka engkau akan mendapatkan pahala dari biji yang engkau tanam itu. Noorshofa menegaskan agar kita tidak perlu berharap terlalu banyak kepada pemerintahan yang ada saat ini atau yang akan datang, bahwa tugas kita hanyalah menanam. Persoalan apakah tanaman itu akan tumbuh dan berbuah atau tidak, itu merupakan hak prerogatif Allah. Dalam beberapa pertemuan maiyahan sebelumnya Cak Nun seringkali mengingatkan kita agar kita terus menerus menanam kebaikan-kebaikan melalui Maiyah, dan kita tidak perlu menagih kapan kita akan memanen apa yang kita tanam hari ini karena Allah yang memiliki hak 100% dalam soal itu. Karena yang sejatinya menumbuhkan pohon bukanlah kita melainkan Allah.

Noorshofa mengkorelasikan konteks ini dengan kisah Rasulullah SAW ketika ditegur oleh Allah disaat beliau mempertanyakan kenapa pamannya tidak diberi hidayah untuk memeluk Islam. Dalam Alquran dijelaskan dalam Surat Al-Qashas ayat 56: Innaka laa tahdi man ahbabta, walakinnallaha yahdi man yasaa’ — Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah pada orang yang kau sayangi, tetapi Allahlah yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Bahwa untuk persoalan yang sangat krusial seperti ini dalam kehidupan kita, Allah jua lah yang paling berhak menentukan karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tugas utama kita sebagai manusia adalah menanam.

Dikisahkan dalam buku Qiroatu-r-rosyidah, dalam sebuah cerita dikisahkan seorang raja pada suatu hari berkeliling mengunjungi rakyatnya, di sebuah desa ia menemukan seorang yang sudah tua renta sedang menanam pohon mangga. Timbul rasa penasaran Sang Raja, ia kemudian menghampiri orang tua tersebut dan mengatakan: Wahai Pak Tua, apa yang kau harapkan dari pohon yang engkau tanam ini, bukankah usiamu sudah lanjut, dan kematian segera menghampirimu? Orang tua tersebut menjawab: Wahai Raja, apa yang aku tanam ini mungkin hasilnya tidak aku nikmati, tetapi anak cucuku di generasi selanjutnya mungkin yang akan menikmati buahnya. Mendengar jawaban orang tua tersebut, Sang Raja terkagum-kagum. Dari kisah itu kita dapat mengambil hikmah betapa orang tua tersebut sudah memikirkan untuk kepentingan orang banyak untuk masa yang akan datang. Dan itulah yang seharusnya kita lakukan hari ini, kita menanam semua kebaikan-kebaikan untuk kemudian generasi setelah kita yang akan menikmatinya. Mungkin kita tidak menikmati hasil yang kita tanam, tetapi yakinlah bahwa Allah pasti akan memberi kita balasan yang setimpal dari apa yang kita lakukan hari ini. Dan inilah representasi dari Al-Akhiir, dimana kita menanam sesuatu yang akan dipanen di masa yang akan datang.

LELUHUR MASA DEPAN — Kenduri Cinta

Kita adalah leluhur untuk masa yang akan datang, dan orang-orang tua kita terdahulu adalah leluhur masa kini bagi kita.

Noorshofa melanjutkan yang ketiga: Ad-Dzhohir. Allah Maha Melihat, dan manusia diberikan secuil penglihatan oleh Allah melalui indra penglihatannya. Jika kita mampu membuka tabir asmaul husna Adz-Dzohir ini, kita akan mampu melihat hakikat dari semua ciptaan Allah. Dalam surat Ar-Rahman dijelaskan dengan gamblang bagaimana semua ciptaan Allah tunduk dan sujud kepadaNya. Wa-n-najmu wa-s-sajaru yasjudan, ayat ini direpresentasikan mulai dari bintang hingga pepohonan semua sujud kepada Allah. Bahwa dari semua ciptaan Allah, mulai yang sangat tinggi letaknya di angkasa, hingga yang kita lihat sehari-hari semua pada hakikatnya tunduk dan sujud kepada Allah. Tentu sujudnya pepohonan dan bintang tidak sama dengan sujudnya manusia, mereka semua bersujud sesuai dengan fitrahnya sebagai makhluk Allah. Ketika kita melihat sebuah bunga mekar di pagi hari, saat itulah bunga tersebut sedang sujud kepada Allah. Saat kita menyaksikan matahari terbenam di waktu senja, saat itu pula kita melihat kesejatian sujud sang matahari kepada Allah.

Al-Bathin, banyak sekali ulama-ulama kita yang mampu melihat dengan mata batin mereka sehingga mereka tidak hanya melihat sesuatu yang dilihat dari kedua mata saja, namun juga mampu melihat apa yang tersirat dalam batin mereka. Cak Nun juga pernah menjelaskan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menerima karomah, fadhillah dan ilham. Dan diterimanya ilmu Allah tersebut berdasarkan kualitas keimanan seseorang terhadap Allah SWT.

Melengkapi pemaparan tentang Rasulullah SAW adalah leluhur kita, Noorshofa bercerita kisah Anas bin Malik yang mengikuti Rasulullah SAW sejak ia berusia 10 tahun, hingga tiba pada suatu hari ia bepamitan kepada Rasulullah SAW karena ia akan menikah dan harus mendampingi istrinya, Rasulullah SAW menanyakan apa yang diminta oleh Anas bin Malik. Anas bin Malik menjawab, bahwa yang ia inginkan adalah selalu dekat dengan Rasulullah SAW sampai di surga, karena Anas bin Malik merasakan bahwa tidak ada kehidupan yang lebih indah selain bersama dengan Rasulullah SAW. Betapa Alquran benar-benar menjadi leluhur yang sangat agung bagi umat manusia, bahkan Allah memasukkan Alquran ke dalam hati Rasulullah SAW karena Nur Muhammad adalah makhluk yang paling dicintai oleh Allah. Alquran mampu menembus dimensi yang tidak terbatas yang tidak terjangkau oleh akal manusia. Sehingga tidak ada alasan lagi bahwa Alquran adalah leluhur terbaik bagi kita yang disampaikan oleh Allah kepada kita melalui Rasulullah SAW.

Menjelang pukul 3 dini hari Annisa Arumingtiyas menutup forum dengan membawakan dua lagu: Yesterday dan Panggung Sandiwara. Luqman Baehaqi kemudian menampilkan stand up comedy. Tepat pukul 3 dini hari, Rusdianto memimpin doa bersama untuk menutup Kenduri Cinta edisi Desember 2014.