Kutemukan Jawaban di Maiyah

SUDAH MENJADI kebiasaanku sejak 12 tahun yang lalu, ketika datang ke Kenduri Cinta (KC), aku membawa sejumlah pertanyaan yang membebani kepalaku. Sama halnya dengan malam itu, 15 september 2017. Bersama suamiku, kami berniat sinau bareng kepada sang guru; Cak Nun, dengan kondisi kepala yang rasanya mau meledak akibat persoalan-persoalan di sekitarku, yang aku tak mampu menemukan solusinya.

Dan… sesuai dugaan, saat mulai sesinya Cak Nun, atmosfir-atmosfir positif mengelilingi para jamaah Maiyah KC, memberi pencerahan pada kepala-kepala yang hadir disitu, salah satunya diriku. Berbagai pertanyaan seputar kehidupanku saat ini, terjawab dengan sendirinya dari paparan Cak Nun, tanpa aku harus menyampaikannya dalam bentuk pertanyaan kepada beliau.

Belenggu Pemimpin

Kebetulan tema KC malam itu Belenggu Pemimpin. Ndilalahnya pas juga dengan persoalan yang kuhadapi. Cak Nun menyoroti berbagai lingkup kepemimpinan, kepemimpinan dalam keluarga, lingkungan sekitar, Masyarakat dan Negara. Dan Cak Nun mengambil sudut, tema KC saat ini adalah Kepemimpinan dalam lingkupnya kenegaraan.

Cak Nun mengutip ajaran kepemimpinannya Ki Hajar Dewantoro. “Kita ambil ajarannya Ki Hajar Dewantoro misalkan; Ing ngarso sung Tulodho, kelakuannya orang yang didepan, gimana sekarang? Setelah ini besanku, setelah itu adikku, setelah itu anakku, jadi yang terjadi saat ini  bukan Ing ngarso sung Tulodho, melainkan ‘Ing ngarso sung mbunthoni’ Jika sedang didepan, tidak memberi kesempatan yang lain untuk memimpin.  Ing Madyo, kalau ditengah masyarakat dia biasanya kerjasama , memonopoli, atau menangan? Dan kalau di belakang; Tutwuri, yang ada hanya nyrekali atau hanjrekali, kita selalu menjegal yang didepan kita, sikut2an.” ujar Cak Nun.

Pesan berharga yang saya peroleh malam itu, Ketika pemimpin kita jadi belenggu bagi kita, maka jadikan diri kita sendiri sebagai pemimpin, karena toh, dengan mereka menjadi pemimpin atanpun tidak menjadi pemimpin, itu sama saja. “Kullukum Ra’in; setiap Anda adalah pemimpin” kata Cak Nun. Dan yang tak kalah menarik terkait kepemimpinan, Kepemimpinanmu harus lebih besar dari dirimu, karena kepemimpinan itu datangnya dari Allah, jadi didalam dirimu, Allah harus yang paling besar.

Pak Husein, warga Turki, yang mengabdi untuk Indonesia.

Pak Husein, Pengelola Sekolah pelayanan, bercerita tentang metode kepemimpinan yang diajarkan disekolahnya. Baginya, setiap guru adalah leader di kelas. Anak-anaknya Cak Nun (Adiknya Mas Sabrang) juga semua bersekolah disana. Banyak yang menarik dari sekolah tersebut, salah satunya adalah beasiswa ke Luar Negeri yang diberikan sekolah. Sekolah mensyaratkan satu  syarat; “Setelah Anda lulus dari Luar negeri, anda harus kembali ke Indonesia, karena anda dibutuhkan disini bukan disana”. Kata Pak Husein.

Sejauh ini banyak Lulusan Luar Negeri yang memilih bekerja di Luar Negeri karena gajinya besar. Berbeda dengan Pak Husein dan guru-guru turki yang memilih mengajar di Indonesia “Saya memilih indonesia karena gajinya kecil, guru kami tidak mengejar pendapatan, kami hidup sederhana saja. 20 Tahun saya bekerja, belum punya rumah, masih kontrak rumah. Posisi sekarang, pendapatan saya hanya cukup 1 bulan selesai.”

Tadabbur, Sedekah Karya, Takabbur, Takwa dan Pancasila

Cak Nun mentadabburi kalimat Bismillahirrohmanirrohiiim. Bismillahirrohmanirrohim itu terdiri dari Bismillahi, Roh, Mani, Rohim. sebelum roh, ada perjanjian “Alastu bi rabbikum, bukankah Aku Tuhanmu?” Setelah roh sepakat, “Ya saya bersaksi, Kamu lah pengayomku”. Baru kemudian ditiupkan roh itu ke Mani, dan ditempelkan kepada Rohim (Rahim). Allah lah yang mengajari kita  jauh sebelum Ibu kita mengajari kita. menurut Cak Nun, Tadabbur itu berbeda dengan Tafsir “Kalau Tadabbur, salah tidak apa-apa asal hasilnya baik, dan Allah menyuruhnya Tadabbur bukan tafsir, Afala yatadabbarunal Qur`an “. Tadabbur itu dari kata Dubur (jalan belakang), yang penting itu outputnya, yang dikeluarkan dari duburmu itu baik.

Cak Nun juga bercerita, pernah karya cerpennya diklaim seagai karya orang lain, dan pelakunya tidak merasa kalau dia mencuri. Sampai disurati oleh majalahnya, dikonfirmasi tentang karya tersebut. Daripada berselisih, Cak Nun memilih untuk menyedekahkannya, memberi pernyataan bahwa Cak Nun mengikhaskan karya tersebut jadi milik orang itu, karena pada dasarnya cerpen itu tetep jadi miliknya Cak Nun, meskipun duitnya (royaltinya) menjadi milik orang tersebut. “Jadi saya dapat dua rizqi. Satu, cerpen itu tetap milik saya, dan yang kedua saya besodaqoh. Karena saya juga mensodaqohkan jadi Allah juga nggak tega sama saya” kata Cak Nun.

Kemudian soal Takabbur, Cak Nun menilai, itu boleh saja, asal pada tempatnya. Karena Allah sendiripun punya sifat Almutakabbir, Yang Maha Takabbur. “Dirimu harus takabbur pada masalahmu, dirimu harus takabur pada kekerdilanmu, dan jangan takabur kepada orang.” Ujar Cak Nun.

Untuk kata Taqwa, Cak Nun juga punya pemaknaan yang berbeda, yang saya sangat menyukai itu. Kata Cak Nun, Takwa itu sama dengan Waspada. Waspada terhadap yang didepanmu, disamping kananmu, disamping kirimu dan dibelakangmu. Kalau tidak waspada di jalan raya bisa tertabrak. Jika ada ilmu melintas dan kamu tidak waspada untuk memetiknya, maka dia akan berlalu, karena pada hakikatnya, ilmu itu tidak harus dicari, tinggal kita petik disekitar kita, asalkan sinyal kita kuat untuk menangkapnya. Maka tugas kita adalah memperkuat sinyal itu, agar setiap peluang yang ada, kita mampu menangkapnya.

Sesi terakhir, Cak Nun membahas Pancasila sebagai falsafah bangsa, yang sebetulnya menggunakan spirit rohani, bukan materi. Dari sila pertama sampai sila kelima semuanya rohani: 1. Ketuhanan 2. Adil dan beradab 3. Persatuan 4. Kebijaksanaan, Permusyawaratan perwakilan 5. Keadilan sosial, semuanya rohani. Jika saat ini yang dikejar pemerintah Indonesia materi, apa itu namanya bukan mengkhianati Pancasila? Wallahu A’lam bishowab.

Cak Nun selalu memandang berbagai persoalan dengan sisi positif, unik dan lucu, karena endingnya kita selalu bisa menertawakan penderitaan kita sendiri, sambil terus menanamkan cinta kita kepada Allah, Muhammad dan Indonesia, itulah yang membuat saya dan para jamaah Maiyah selalu Kangen KC.

Qurotul Aini Mahmudah, Jamaah Kenduri Cinta