KUFUR AWARD; MANIPULASI CITRA, KAPITALISASI PENCITRAAN

Reportase Kenduri Cinta Februari 2016

Kenduri Cinta edisi Februari 2016 mengangkat tema Kufur Award; Manipulasi Citra, Kapitalisasi Pencitraan. Pembicaraan mengenai “pencitraan” telah beberapa kali diangkat pada forum Kenduri Cinta, pada Oktober tahun lalu misalnya, Kenduri Cinta mengangkat tema Oraisinalitas dan Manusia Gagal Identitas yang secara tema ‘satu garis’ dengan pencitraan. Pembahasan tentang citra merupakan ranting dari tema besar tentang kesejatian bahwa segala sesuatu yang sejati maka tidak ada manipulasi didalamnya.

Kenduri Cinta malam itu kembali mewujudkan keistiqamahannya dalam berproses selama 16 tahun terakhir. Di tengah riuhnya ibukota, Kenduri Cinta mampu bertahan secara mandiri, secara swadaya. Tentu, perjalanan 16 tahun itu bukan diniatkan sebagai sebuah pencitraan. Layaknya sebuah komunitas, dalam Kenduri Cinta pun orang datang dan pergi silih berganti, dinamika organisasi dan interaksi antara internal dan eksternal juga merupakan sebuah proses perjalanan tersendiri.

Setelah Isya, segera para penggiat menggelar alas duduk dan memulai forum, mengajak hadirin melingkar bersama. Tri Mulyana, Nashir, Hendra, Ibrahim dan beberapa perwakilan penggiat mengawali acara, mengajak jamaah bersama melantunkan Hizib Wabal.

Tri Mulyana, Adi Pudjo, Donny Kurniawan dan Ali malam itu kembali mengingatkan bahwa Maiyah tidak menjadikan hasil sebagai tujuan, tetapi bagaimana kita menikmati prosesnya. Lazimnya di dunia marketing, sebuah produk dipromosikan dengan berbagai manipulasi agar dapat menarik minat konsumen. Komunikasi dalam periklanan adalah contoh nyata bagaimana sebuah pencitraan dilakukan. Tri Mulyana menyambungkan hal itu dengan dunia politik, dimana pencitraan seakan menjadi hal wajar di masyarakat. Pada tingkat berikutnya, masyarakat tidak lagi memiliki kemampuan untuk mencari latar belakang, sejarah serta kemampuan para wakilnya, mereka kini hanya diam menerima teknologi informasi yang bernama pencitraan.

Syair puisi Cak Nun yang berjudul Menyorong Rembulan terasa begitu kontekstual dengan keadaan saat ini, begitulah yang disampaikan Adi Pudjo. Gerhana bulan terjadi karena matahari ditutupi bumi sehingga matahari tidak bisa memantulkan cahayanya ke bulan sehingga cahaya matahari tidak sampai ke permukaan bumi. Seperti yang terjadi kini, para kekasih Allah tidak bisa memantulkan cahaya Allah ke penduduk bumi karena tertutup gerhana yang kita kenal sebagai pencitraan.

Masyarakat begitu mudahnya kagum dengan orang-orang yang baru saja dikenalnya di televisi, koran, media massa, media sosial dan media publikasi lainnya. Orang sudah tidak peduli lagi dengan sejarah hidupnya dan perjalanan hidupnya, asalkan hari ini tampak baik di mata mereka maka saat itu pula orang itu akan dianggap baik. Bahkan, jika di kemudian hari pencitraan orang itu luntur, masyarakat dengan mudah memakluminya karena mereka akan menemukan sosok baru, yang juga lahir dari pencitraan.

Adi Pudjo memandang para tokoh-tokoh yang melakukan pencitraan tidak berbeda dengan kiasan Cak Nun dalam syair Menyorong Rembulan. Menutup pemaparannya, Adi Pudjo menyimpulkan bahwa setidaknya ada 3 penyakit dalam diri manusia yang bermuara pada kehancuran individu: kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti dan kekaguman pada diri sendiri yang terlalu berlebihan.

MENUTUPI KEBENARAN

Pada kesempatan berikutnya, Ali memaparkan tema Kenduri Cinta dengan menarik persambungan dengan tema bulan lalu, Gerbang Wabal, sebuah tema yang diangkat untuk memohon keadilan kepada Allah atas pelanggaran terhadap batas-batas — salah satu pelanggaran batas tersebut adalah pencitraan yang telah berada pada tingkat kufur. Ia menambahkan, citra adalah output dari proses yang dilakukan secara terus-menerus, bahwa seseorang dicitrakan menjadi ‘orang baik’ karena murni dari proses perjalanannya, sedangkan pencitraan adalah proses manipulasi terhadap citra yang sebenarnya. “Kufur secara bahasa artinya adalah menutupi. Sedangkan istilah kafir dipahami sebagai peristiwa pengingkaran terhadap sebuah kebenaran,” terangnya.

Pada masa Rasulullah SAW, orang-orang Quraisy sebenarnya percaya terhadap kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW, tetapi mereka menutupi kebenaran itu sehingga disebut sebagai orang kafir. Pencitraan juga merupakan peristiwa menutupi kebenaran, menutupi citra sesungguhnya. “Citra itu hasil dari perilaku kita, seperti halnya Rasulullah SAW yang memiliki perangai sebagai orang yang bisa dipercaya sehingga beliau memiliki gelar Al-Amin,” lanjut Ali yang menceritakan bagaimana Rasulullah SAW tidak hanya dipercaya oleh para sahabatnya tetapi juga oleh musuh-musuhnya. Gelar Al-Amin bukanlah sebuah target, melainkan output dari perilaku, bukan hasil pencitraan yang bersifat temporer.

Seperti yang dilakukan Cak Nun dengan maiyahan, banyak orang bertanya-tanya apa sebenarnya tujuan Cak Nun dengan Maiyah ini? Jika kita melihat respon animo masyarakat, acara maiyahan —yang banyak berlangsung secara rutin di pelosok-pelosok kota di Indonesia— dihadiri oleh ribuan orang tanpa media promosi. Maiyah seringkali dicurigai sebagai alat politik yang akan digunakan oleh Cak Nun, namun dengan berjalannya waktu kecurigaan tersebut tidak pernah terbukti.

Maiyah hadir di tengah manipulasi-manipulasi citra di masyarakat, bahkan jika ada orang yang berani melakukan pencitraan di forum Maiyah justru akan membuka jati dirinya sendiri. Hal itu karena kemurnian Maiyah, sebuah forum organik tanpa rekayasa dimana semua orang berhak berbicara, semua orang berhak menyatakan pendapat dan gagasan-gagasannya, semua orang berhak untuk meyakini kebenaran apapun. Maiyah telah menjelma menjadi sebuah majlis ilmu, mencari apa yang benar bukan siapa yang benar.

“Kufur secara bahasa artinya adalah menutupi. Sedangkan istilah kafir dipahami sebagai peristiwa pengingkaran terhadap sebuah kebenaran.”

Ali, Kenduri Cinta (Feb, 2016)

KC1

Pada kesempatan selanjutnya, Donny membawa 3 kalimat tanya sebagai alat pengupas, yaitu: Apakah itu baik, apakah itu buruk dan apa akibat dari itu? Menurut Donny, setiap tema dapat dikupas dari 3 pertanyaan itu. Seperti tema malam itu yang ia tarik menjadi 3 kata dasar: kufur, citra dan pencitraan. Ia kemudian membangun pertanyaan-pertanyaan berdasar ketiga hal tersebut: Apakah citra itu baik? Apakah citra itu buruk? dan Apakah akibat dari citra? Pertanyaan serupa juga diterapkan pada kata pencitraan dan kufur.

Donny berpendapat, citra lebih dekat kepada pemahaman yang positif. Misalnya seseorang tercitrakan sebagai orang baik karena memang ia selalu melakukan kebaikan-kebaikan. Sebaliknya, pencitraan lebih cenderung kepada pemahaman negatif. Pencitraan adalah perilaku manipulatif.

Forum berjalan hangat ketika salah satu jamaah bernama Muslimin ikut merespon tema. Menurutnya, citra dan pencitraan tidak bisa dibenarkan atau disalahkan secara absolut, sifatnya tetap relatif. Karena sejatinya kita tidak pernah tahu apa niat yang ada dalam diri seseorang ketika melakukan suatu perbuatan. Baik atau buruknya citra atau pencitraan itu sifatnya relatif, apa yang kita lihat dari seseorang adalah citra.

Ahmad memiliki pendapat berbeda, menurutnya setiap orang pasti melakukan pencitraan dan secara tidak langsung setiap manusia akan menjadi bahan omongan bagi orang lain di sekitarnya. Menurut Ahmad, sebagai manusia tidak berhak untuk menjustifikasi apakah seseorang melakukan pencitraan atau tidak. Makin sering kita membicarakan citra seseorang, pada saat itulah kita melakukan pencitraan. Ahmad mencontohkan, jamaah Maiyah yang seringkali membicarakan Cak Nun maka secara tidak langsung hal tersebut juga sebuah perilaku pencitraan.

Tri Mulyana menutup sesi diskusi awal malam itu dengan sebuah penggambaran bahwa ketika orang sakit sariawan yang lebih memilih mengobati dengan minum air garam daripada minum obat yang diiklankan di media massa. Citra pada air garam tidak mudah disangkal oleh sebuah iklan obat sariawan, karena air garam telah terbukti mampu mengobati sariawan jauh sebelum obat sariawan diproduksi oleh industri farmasi dan diiklankan di media masa. Artinya, citra itu akan bertahan dalam waktu lama sedangkan pencitraan tidak akan bertahan lama karena digunakan untuk tujuan atau kepentingan yang sesaat.

“Citra itu akan bertahan dalam waktu lama sedangkan pencitraan tidak akan bertahan lama karena digunakan untuk tujuan atau kepentingan yang sesaat.”
Tri Mulyana, Kenduri Cinta (Feb, 2016)

Sebelum memasuki sesi selanjutnya, Tri Mulyana mewakili penggiat menyampaikan informasi agenda komunitas yaitu Musyawarah Lengkap yang sedianya akan diadakan pada tanggal 27 Februari 2016 di Aula Serbaguna SMKN 27 Jakarta Pusat. Musyawarah Lengkap merupakan agenda rutin komunitas Kenduri Cinta setiap tahun, salah satu agendanya adalah memilih formatur kepengurusan. Selain Musyawarah Lengkap, Kenduri Cinta juga memiliki perangkat bernama Forum Reboan, sebuah forum mingguan yang menjadi ‘dapur’ bagi Kenduri Cinta.

Fahmi menambahkan informasi tentang agenda Musyawarah Lengkap Kenduri Cinta. Salah satu agenda besar di tahun 2016 bagi penggiat Maiyah adalah mengumpulkan data tentang Maiyah sebanyak mungkin, dimana didalamnya juga terdapat informasi tentang Cak Nun, KiaiKanjeng dan tentunya sejarah dari setiap simpul Maiyah itu sendiri. Musyawarah Lengkap nantinya akan menyusun formatur baru dalam Komunitas Kenduri Cinta.

Perjalanan 16 tahun Kenduri Cinta tentu tidak terjadi begitu saja tanpa proses. Setiap bulannya, teman-teman penggiat mempersiapkan segala sesuatunya terkait persiapan maiyahan Kenduri Cinta, dari pembuatan desain baliho dan poster, pemasangan baliho, menyusun mukadimah, menghubungi narasumber, mengkondisikan tenda dan sound system hingga menggelar karpet dan juga persiapan non-teknis yang dikerjakan secara kolektif.

Terkait pengumpulan data, hal itu menjadi sebuah solusi ketika Maiyah “tidak dianggap” oleh dunia mainstream, diharapkan Maiyah memiliki bank data yang menjadi bahan rujukan bagi generasi berikutnya. Proses pengumpulan data dan informasi literasi juga dilakukan oleh Cak Nun. Saat ini Cak Nun rutin menulis tulisan-tulisan baru di situs caknun.com. Sesi lalu ditutup dengan pembacaan puisi oleh Restu yang disambung dengan penampilan musik Jazz memukau dari Jojo and Friends.

“Agar sedikit kebal terhadap pencitraan, biasakan untuk tidak memiliki pre-konsepsi, tidak punya prasangka apa-apa. Kalau curiga, ubah itu menjadi waspada.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Feb, 2016)

KC2

PRE-KONSEPSI DAN BELIEF SYSTEM

Lewat pukul sepuluh malam, suasana makin ramai, jamaah berdatangan bahkan tampak banyak yang berdiri di belakang karena tidak kebagian area untuk duduk.

Malam itu Sabrang hadir di forum lebih dini, ia mengawali, “Dari apa yang sudah diceritakan tadi (sesi prolog) sudah menjadi pemetaan bagus, tentang perbedaan antara citra dan pencitraan. Pencitraan adalah sebuah kata kerja yang dilakukan agar terjadinya sebuah citra,” Ia melanjutkan, ”Pada dasarnya kita tidak mengenal orang lain sama sekali, yang kita kenal adalah citra orang itu berdasarkan informasi yang kita punya. Yang ada di kepala kita adalah pendapat kita tentang orang lain.”

Kita memiliki beragam informasi tentang sahabat, saudara, pacar, istri, suami bahkan orang tua kita, itu semua adalah informasi berdasar pengalaman dan pengetahuan kita tentang mereka. Karena tidak setiap detik kita bersama mereka maka mustahil kita mampu mengenal orang lain 100%, yang ada dalam pikiran kita adalah interpretasi kita tentang mereka berdasarkan pengalaman kita dengan mereka.

“Kadang citra sangat terlimitasi oleh pengetahuan kita terhadap orang lain,” terang Sabrang dengan menjelaskan perkembangan pengetahuan seseorang terhadap orang lain akan memperlengkap citranya terhadap orang tersebut, tetapi kita harus menyadari bahwa itu tetaplah sebuah persepsi. “Perangai juga bisa berubah. Kalau saya melihat seseorang pemarah, itu bukanlah citra, itu hanya keadaan sesaat ketika ia menghadapi masalah. Pemarah tidak bisa menjadi potret seseorang. Tapi kalau saya tahu apa yang menyebabkan dia marah, maka saya akan tahu hal-hal apa yang membuat dia marah. Ketika saya memahami belief system dalam dirinyaapa yang membuatnya marah, sedih, bahagia dan lain sebagainya—maka saya akan lebih mengenal dia,” lanjut Sabrang.

Ketika masyarakat diperlihatkan sosok tokoh yang membaur dengan masyarakat di pasar, di jalan, turun ke selokan dan sebagainya, kita menilai tokoh tersebut merakyat. Padahal cara-cara yang digunakan merupakan hal lazim dan biasa, tetapi karena pejabat sebelumnya tidak pernah melakukan hal demikian maka kita terkagum. Atribut seperti itulah yang seringkali digunakan sebagai alat pencitraan. Persoalan bukan pada si tokoh yang melakukan pencitraan, tetapi lebih terletak pada rentang pengalaman kita terhadap apa yang kita amati.

Pencitraan tidak mungkin tidak menggunakan alat-alat yang sering digunakan oleh masyarakat. Dengan contoh penggunaan sorban dan peci Sabrang menjelaskan pre-konsepsi yang tertanam dalam pikiran sejak kecil bahwa sorban atau peci adalah atribut kyai atau ulama, citra tersebut tertanam dalam pikiran kita. Pre-konsepsi banyak mempengaruhi dalam mengelola informasi.

“Agar sedikit kebal terhadap pencitraan, biasakan untuk tidak memiliki pre-konsepsi (terhadap apapun), tidak punya prasangka apa-apa. Kalau curiga, ubah (curiga) itu menjadi waspada,” lanjut Sabrang yang juga menekankan bahwa prasangka baik pun juga perlu kita manage menjadi sebuah kewaspadaan, meskipun prasangka baik itu sifatnya positif. “Kalau kita melihat fakta sebagai fakta, kita melihat keadaan sebagai keadaan, kita melihat ilmu sebagai ilmu, melihat apapun bukan sebagai prasangka, kita akan tidak mudah terpengaruh oleh prasangka-prasangka, karena dia (prasangka) tidak bisa menggunakan alat-alat dalam diri kita,” jelasnya.

“Selama masih terseret-seret oleh pre-konsepsi, maka kita akan mudah termakan oleh pencitraan.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Feb, 2016)

Sabrang kembali mengingatkan bahwa musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. Saat seseorang menjadi lebih alim maka pada titik itu musuh terbesarnya juga menjadi lebih alim. Ketika seseorang makin pintar, maka pada saat sama musuh terbesarnya juga menjadi lebih pintar.

Sabrang malam itu juga mendiskusikan perihal mimpi yang acapkali muncul dalam pikiran manusia akan membuat manusia itu bertarung hanya untuk mengejar dan mendapatkan mimpinya. Banyak orang kini memuja kekayaan, popularitas, kekuasaan dan sebagainya. Dari mimpi-mimpi yang berbeda inilah setiap manusia kemudian membangun musuh dalam dirinya, proses ini terjadi karena manusia itu kalah terhadap konsepsi-konsepsi yang muncul dalam dirinya.

Dalam istilah Jawa ada istilah wang sinawang. Seringkali kita terjebak dalam sebuah konsep bahwa nasib yang dialami oleh orang lain terasa lebih indah dari apa yang kita alami. Padahal belum lah tentu demikian. Kita lebih sering terpengaruh oleh pre-konsepsi. Pre-konsepsi inilah yang membangun alat-alat pencitraan dalam diri kita. “Selama masih terseret-seret oleh pre-konsepsi, maka kita akan mudah termakan oleh pencitraan. Untuk melatihnya (agar tidak terseret-seret oleh pre-konsepsi) tidak bisa dilakukan hanya sekali dua kali, tetapi dilakukan setiap hari,” jelasnya.

Publik hari ini hanya disuguhi potret-potret yang tercerai-berai, lalu dirangkai oleh alat yang bernama pencitraan —baik itu oleh media massa atau bangunan citra di setiap manusia, yang telah dijelaskan sebelumnya— dan semua itu seringkali dicerna langsung tanpa ada pemilahan dan penelitian yang mendalam. Bahwa benar, kita tidak berhak menjustifikasi bahwa sesuatu itu sebuah kepalsuan atau manipulasi melalui pencitraan, tetapi kita juga jangan sampai kehilangan kewaspadaan tentang dugaan-dugaan itu. Dengan semakin banyak kita mengambil dan mencari informasi, juga peristiwa-peristiwa, semakin terlatih pula kewaspadaan dalam diri kita.

Sabrang mengamini bahwa sulit untuk menjustifikasi sebuah pencitraan atau bukan, tetapi dengan kewaspadaan yang terlatih, kita akan mampu merasakan sesuatu yang berbeda. Ibarat kita minum teh dengan gula terlalu banyak pasti akan terasa terlalu manis. Dengan pola belajar yang teratur makan kita akan menjadi lebih peka, bisa membedakan yang mana pencitraan dan mana realita. Tetapi kalau kita tidak terlatih waspada, maka yang dominan dalam diri kita adalah prasangka. “Dengan tidak memiliki standar ukuran reaksi kita terhadap informasi yang ada adalah prasangka, dan prasangka itu tidak ada dasarnya,” lanjut Sabrang.

Pada titik itulah Sabrang menjelaskan pentingnya jarak pandang dalam memahami informasi. “Kadang-kadang perlu jarak pandang untuk melihat kejernihan informasi. Kadang-kadang juga perlu mendekat untuk mempertinggi resolusi pandangmu. Cara pandangmu perlu dirubah untuk melengkapi informasi dan sudut pandangmu diperkaya untuk memperbanyak input yang ada,” Sabrang memungkasi.

“Jangan adu kebenaran, tetapi saling melengkapi kebenaran.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Feb, 2016)

Tri Mulyana lalu menggali lebih dalam paparan Sabrang dengan menanyakan bagaimana menyikapi keadaan yang dijejali informasi-informasi yang justru membangun pre-konsepsi. Menjawab, Sabrang katakan, ”Anda tidak akan pernah bisa menyaring informasi yang anda terima, karena ketika anda menonton anda tidak akan tahu apa yang akan anda tonton. Ketika anda sudah tahu bahwa tontonan itu harus difilter, tontonan itu sudah terlanjur masuk ke dalam diri anda. Jadi yang difilter bukan informasi yang masuk melainkan bobot informasi yang masuk. Mana informasi yang memang harus dicatat, mana yang harus dipinggirkan, mana yang hanya sebatas wacana dan seterusnya. Jadi bobot informasinya yang harus ditata.”

Sabrang menggambarkan bagaimana air kotor dapat menjadi air yang jernih setelah melewati sekian tahap metode dengan berbagai media penyaringan, mulai dari pasir, batu dan media-media lainnya. Seperti itulah seharusnya dalam penyaringan terhadap informasi, proses penyaringannya tidak hanya melalui satu tahap melainkan melewati beberapa tahap hingga informasi menjadi jernih.

“Saya tidak melarang adanya pre-konsepsi. Skema pre-konsepsi dalam diri kita itu penting. Itu (prekonsepsi) sangat naluriah dan menancap dalam diri kita, itu memudahkan hidup kita,” lanjutnya. Dengan contoh sederhana, ia mencontohkan seorang pekerja yang setiap hari menggunakan sepeda motor untuk berkendara, ia sudah menentukan dimana ia meletakkan kunci, helm, tas kerja hingga sepatu yang akan ia pergunakan. Semua hal itu tidak perlu dipikir ulang karena konsepnya sudah tertanam dalam akal pikirannya. Itulah yang dimaksud dengan pre-konsepsi yang tertanam untuk memudahkan kita. Yang perlu diperjelas adalah bagaimana kita menyadari apakah pre-konsepsi terhadap sesuatu itu benar-benar sudah tertanam dalam diri kita atau merupakan produk infiltrasi dari luar diri kita.

Merespon paparan Sabrang, Saptar menyatakan sepakat bahwa kini kita dibanjiri informasi dan kita tidak memiliki kemampuan untuk membendungnya, hal itu berujung pada ketidakmampuan mengelola informasi, apalagi mengimplementasikannya dalam kehidupan. Pada kesempatan berikutnya, salah satu jamaah bernama Lubis menyampaikan kritiknya tentang pencitraan yang kini justru dijadikan ajang kompetisi oleh tokoh-tokoh partai politik.

Merespon Lubis, Sabrang katakan bahwa yang menjadikan orang mengikuti kompetisi untuk menjadi pemimpin karena ada ekses ekonomi didalamnya. Dalam pemilihan ketua kelas di sekolah misalnya, setiap siswa akan saling tunjuk satu sama lain tidak mau menjadi ketua kelas karena tidak ada ekses ekonomi disitu. Hal yang sama terjadi dalam sebuah komunitas seperti geng motor misalnya. Sebuah organisasi yang tidak ada pretensi dan tidak ada ekses ekonomi akan lebih sulit memilih pemimpin, akan tetapi ketika organisasi memiliki peluang ekonomi maka akan terjadi kompetisi dalam setiap pemilihan pemimpin, yang terjadi kemudian adalah kapitalisasi pencitraan, dalam dunia kapitalis apapun yang menghasilkan uang akan dijual. Saat ini pencitraan menjadi sebuah produk yang mampu menghasilkan uang, maka terjadilah kapitalisasi pencitraan.

“Ada 3 penyakit dalam diri manusia yang bermuara pada kehancuran: kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti dan kekaguman pada diri sendiri yang berlebihan.”
Adi Pudjo, Kenduri Cinta (Feb, 2016)

KC6

DUNNING-KRUGER EFFECT

“Jangan adu kebenaran, tetapi saling melengkapi kebenaran,” ucap Sabrang mengingatkan bahwa tingkat pemahaman seseorang terhadap kebenaran lah yang banyak menjadi persoalan. Setiap orang memiliki batas pemahaman yang berbeda, maka yang dilakukan bukan merasa paling benar melainkan saling melengkapi kebenaran. Seseorang dengan lingkaran pemahaman lebih luas seharusnya lebih memaklumi orang lain yang memiliki batas lingkaran pemahaman yang lebih kecil, bahkan mestinya mampu menjadi pihak yang mengasuh layaknya ayah kepada anaknya.

Sabrang mengisahkan saat ia ditanya anaknya: Apakah Tuhan memiliki mata untuk melihat? Jika ia menjawab: Iya, Tuhan memiliki mata untuk melihat, maka ketika pengetahuan anak tentang Tuhan berkembang, dia akan merasa dibodohi. Sabrang memilih membalik pertanyaan: Menurut Nawai, Tuhan itu melihat dengan apa? Dan dijawab: Tuhan kan Maha Melihat, maka menurut Nawai Tuhan melihat dengan mata. Kemudian Sabrang mengunci pernyataan Nawai pada kalimat “menurut Nawai“, sehingga yang dilakukan adalah menggunakan limitasi pemahaman Nawai untuk menjawab pertanyaan Nawai sebelumnya. Jika kelak ia mendapat pemahaman informasi baru, ia tidak merasa dibodohi, karena jawaban sebelumnya adalah berdasar pemahamannya saat itu.

Tentang derasnya informasi, Sabrang sampaikan bahwa informasi sebanyak apapun yang masuk tidak perlu dipermasalahkan karena informasi pasti masuk, meski tanpa sadar ke dalam otak manusia, bisa melalui radio, televisi, surat kabar, atau postingan-postingan di media sosial, semuanya masuk tanpa sadar dan tanpa filter. Otak manusia adalah tempat sampah,

“Kita hidup di dalam sebuah rumah yang didalamnya tidak hanya terdapat tempat sampah. Ada informasi yang memang harus kita letakkan di dalam kamar, ada yang kita simpan di lemari dan ada juga yang kita buang di tempat sampah. Manusia diberi hak prerogatif untuk mengatur bagaimana informasi itu diolah. Pengetahuan yang banyak itu ndak salah sama sekali bahkan baik karena itu memperluas pengetahuan kita. Tetapi kita perlu meletakkan mana yang harus diletakkan di kamar, mana yang harus diletakkan di lemari, dan mana yang harus diletakkan di tempat sampah,” lanjut Sabrang.

Sabrang mengambil contoh informasi tentang iman dalam Islam. Banyak orang menempatkan informasi tersebut di dalam “kamar”, bukan di lemari, bukan di gudang, apalagi di tempat sampah, sehingga kita tidak lagi mempertanyakan tentang kebenaran informasi tentang iman.

“Siapa yang pencitraannya hanya untuk dirinya, dia akan ditelan oleh dirinya sendiri. Tetapi kalau pencitraannya dilandasi fii sabilillah, berjuang di jalan Allah, maka Allah lah yang akan memolesnya.”
Pakde Mus, Kenduri Cinta (Feb, 2016)

Memetakan keadaan, Sabrang memaparkan tentang Dunning–Kruger effect yang kini banyak melanda masyarakat. Dunning–Kruger effect adalah sebuah keadaan dimana seseorang merasa lebih hebat dari orang lain sehingga berasumsi bahwa orang lain mengerjakan sesuatu itu bukan atas dasar kompetensinya.

Seringkali kita merasa lebih hebat dari orang lain, sehingga mudah menyalah-nyalahkan. Kita sukar berendah hati, memahami posisi dan kondisi mereka, sebab kita tidak pernah merasakan apa yang mereka rasakan. Perilaku ini diungkapkan Sabrang dengan melihat banyaknya orang yang menghujat pejabat negara dengan mengatakan “tidak becus” padahal belum tentu jika pada posisi sama ia dapat melakukan hal lebih baik dari yang dihujatnya.

“Masyarakat saat ini tidak hanya dipimpin oleh regulasi, masyarakat saat ini terutama dipimpin oleh kapitalisme, dan dalam dunia kapitalisme yang paling penting adalah uang,” lanjut Sabrang dengan melanjutkan bahwa dengan uang yang kita miliki kita mampu melakukan perlawanan bahkan menghancurkan sistem kapitalisme, karena kekuatan kapital —sekuat apapun di dunia ini— konsumennya adalah rakyat, sehingga yang mampu menghancurkan kapitalisme adalah rakyat itu sendiri.

Tentang konsumsi beras misalnya. Jika memang kita mencintai Indonesia, maka kita harus berani membeli beras yang hanya merupakan hasil petani Indonesia, bukan beras impor. Jika dengan mengkondisikan pemanfaatan uang ini sudah bisa kita lakukan, maka kita tidak akan terpengaruh dengan kondisi ekonomi global. Selama ini kita menghabiskan uang karena terlalu banyak pre-konsepsi di kepala kita. Keputusan kita dalam membeli suatu produk lebih sering karena pencitraan-pencitraan, bukan berdasarkan apa yang benar-benar kita inginkan. Sabrang menegaskan untuk melawan kapitalisme tidak perlu dengan revolusi.

“Citra terlimitasi oleh pengetahuan kita terhadap orang lain.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Feb, 2016)

KC7

PENCITRAAN FI SABILILLAH

Setelah penampilan musik akustik, Jojo and Friends lalu membawakan lagu Flashlight dari Jessie J dan Dealova sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Once. Pada sesi berikutnya, Ibrahim mempersilakan Pakde Mus dan Mulyadi Tamsir (Ketua PB HMI) untuk ikut bergabung di forum.

Politik pencitraan menurut Mulyadi telah diperparah dengan kondisi masyarakat Indonesia yang konsumtif terutama terhadap tayangan media massa. Ia berpendapat bahwa masyarakat musti melakukan introspeksi dalam menentukan pilihan politiknya, tidak hanya terbuai dengan pencitraan-pencitraan.

Pakde Mus, salah satu guru Maiyah yang malam itu turut menemani hadir, secara bersahaja mengatakan bahwa manipulasi tidak berbeda dengan ngapusi. Berangkat dari sebuah ayat Alquran: Arrijaali qowwamuuna ‘alaa-n-nisaa’, beliau menjelaskan kriteria utama pemimpin dalam Alquran adalah seorang laki-laki — tentu penafsiran ayat ini bisa luas dan beragam.

Pakde Mus mengisahkan Rasulullah SAW yang sering berkhalwat di gua Hira’. Menurut beliau, jika diruntut sejak kerasulan Nabi Ibrahim AS, maka apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW merupakan aplikasi dari pengesaan Tuhan. Dalam fase ini Rasululullah mengalami guncangan batin, hingga Jibril hadir menyampaikan wahyu pertama. Hal itu fase dimana Rasulullah SAW membangun citra yang prosesnya terjadi secara alamiah. Jika kita mempelajari, sejak masa kecil, beliau lahir dalam keadaan yatim, kemudian ibunya meninggal dan memperoleh gelar Al-Amin serta sederet peristiwa lainnya hingga menumbuhkan citra baik dalam diri Rasulullah SAW.

“Abu Bakar Ash-Shiddiq berusia lebih tua dari Rasulullah, tetapi beliau sangat taat, sangat patuh kepada Rasulullah SAW dan membenarkan setiap ucapan Rasulullah SAW. Beliaulah orang kedua yang beriman setelah Siti Khadijah,” sambung Pakde Mus melanjutkan penjelasannya tentang citra dengan menarik sejarah Islam pada masa Khulafaur Rasyidiin.

Salah satu alasan mengapa Abu Bakar terpilih menjadi Imam pasca Rasulullah SAW wafat adalah karena senioritas itu, sedangkan Umar Bin Khattab terpilih menggantikan Abu Bakar karena keberanian yang dimilikinya. Umar Bin Khattab adalah pemberani, ahli strategi perang, pendekar yang ahli gulat yang berwibawa namun zuhud. Pada masanya, ekspansi dakwah Islam makin meluas. Kepribadian itulah yang menjadi keunggulannya. Sedangkan Utsman dikenal sebagai sosok yang lembut dan dermawan, hal itulah yang menjadi pertimbangan terpilihnya Utsman menjadi pengganti Umar bin Khattab. Begitu juga dengan Ali bin Abi Thalib yang memiliki keunggulan dengan kecerdasannya.

“Siapa yang pencitraannya hanya untuk dirinya, dia akan ditelan oleh dirinya sendiri. Tetapi kalau pencitraannya dilandasi fii sabilillah, berjuang di jalan Allah, maka Allah lah yang akan memolesnya,” terang Pakde Mus.

Berkaitan dengan kapitalisasi dan kapitalisme, Pakde Mus mengutip ramalan Ki Jongko Joyoboyo: Mbesuk nek kowe nemoni jaman iki kali wis ilang kedunge, pasar wis ilang kumandange. Dari kutipan itu Pakde Mus memotret budaya transaksi jual beli di supermarket yang dinilai telah banyak menggerus budaya dan tradisi. Kini pembeli cukup mengambil barang kemudian membayarnya di kasir. Berbeda dengan tradisi yang dilakukan di pasar-pasar tradisional dimana budaya komunikasi antara pembeli dan penjual masih terjaga, mulai dari menanyakan kabar, menanyakan kualitas barang, membandingkan kualitas barang dengan produk yang berbeda hingga proses tawar menawar.

“Tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kedaulatan masing-masing untuk memilih mana yang benar. Konflik yang terjadi karena setiap orang memaksa orang lain memilih kebenaran yang dia yakini.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Feb, 2016)

Sebelum menyerahkan forum ke Cak Nun, Ibrahim menyampaikan pendapatnya, menurutnya Abu Bakar memiliki citra berupa kebijaksanaan, Umar memiliki citra berupa keberanian, Utsman memiliki citra kekayaan dan kedermawanan dan Ali memiliki citra kecerdasan. Dari keempat citra itu, Ibrahim menarik benang merah bahwa Ali masuk Islam ketika masih anak-anak. Ibrahim menyambung bahwa yang kecerdasan merupakan hal yang pertama kali dapat diidentifikasi dari sosok anak. Kecerdasan adalah hal utama yang harus dimiliki setiap orang. Apabila kecerdasan seorang anak dimanipulasi maka kemudian akan mempengaruhi keberaniannya, kebijaksanaannya dan kedermawanannya. Dari pemahaman ini Ibrahim berpendapat apabila kita memilih pemimpin yang melakukan manipulasi kecerdasan terhadap dirinya, maka yang akan terjadi kepalsuan-kepalsuan dalam kebijaksanaan, kedermawanan dan keberanian yang ditampilkan oleh pemimpin tersebut.

Ibrahim lantas mempersilakan Cak Nun mengelaborasi pemaknaan yang lebih mendalam. Cak Nun mengawali dengan menekankan suatu prinsip bahwa perubahan pandangan terhadap apa saja harus bersifat dinamis, “Kalau anda ngomong ‘Indonesia’, paginya harus di cek lagi. Pandangannya harus dikembangkan, persepsi anda harus dikembangkan, atau anda ganti, atau anda ubah, tambahin, kurangin setiap hari. Pandangan anda harus berubah setiap hari, harus berkembang setiap hari. Karena waktu bergerak itu bukan sehari, tetapi setiap jam, bahkan setiap menit, setiap detik. Tidak ada yang permanen karena segala sesuatu bekerja beriringan dengan waktu.”

Cak Nun memperkuat bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta berlaku dinamis, diri kita yang saat ini bukanlah diri kita dua jam sebelumnya, bukan diri kita yang satu hari sebelumnya juga bukan diri kita yang esok hari. Pemahaman dan pengetahuan kita tentang kebenaran jika bertahan lama tanpa ada pembaharuan, tanpa ada pengembangan maka hal itu seperti karat yang menempel pada sebuah paku.

Sebelum memasuki ruang diskusi lebih jauh, Cak Nun mengingatkan bahwa salah satu sebab mundurnya peradaban manusia adalah kesalahan dalam memaknai dan menggunakan kata. Satu yang dicontohkan adalah penggunaan kata haji. Seseorang disebut sebagai haji ketika dia melakukan ritual ibadah haji, mulai dari miqot, thawaf, sa’i, wukuf, melempar jumroh hingga tahalul. Ketika ia selesai melakukan ritual maka dia bukan lagi seorang haji. Namun, kata haji kini banyak digunakan sebagai kata benda, padahal seharusnya haji adalah sebuah kata kerja.

“Masyarakat kini dipimpin oleh kapitalisme dan dalam dunia kapitalisme yang paling penting adalah uang.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Feb, 2016)

Secara sartir, Cak Nun membahas bagaimana banyak oarng sibuk dengan istilah-istilah baru yang disematkan dengan kata islam; islam liberal, islam nusantara, islam suni, islam syiah dan lain sebagainya, yang pada akhirnya orang sibuk memperdebatkan istilah-istilah dan tidak lagi mempelajari dan memahami — apalagi memperbaharui — pengetahuan mereka tentang saripati dari semua, yaitu: Islam.

Setiap kata kini berpotensi menimbulkan konflik. Satu misal, ketika ada orang yang membicarakan Ali bin Abi Thalib, maka dengan mudahnya ia dituduh Syiah, ketika ada orang yang membicarakan Khulafaur Rasyidin tetapi tidak mengikutsertakan Ali bin Abi Thalib akan dianggap anti-Syiah. Konflik seperti itu dikarenakan pengetahuan yang terpenjara oleh sebuah kata: syiah.

Hal sama juga terjadi dengan kata aku, kamu, tuhan dan sebagainya. Cak Nun memberi contoh bagaimana Cak Nun dengan Cak Fuad (kakaknya) merasa lebih akrab dengan panggilan “ente“. Hal itu merupakan keputusan antara sang kakak dengan adik dalam mewujudkan kemesraan satu sama lain tanpa mengurangi estetika hubungan keluarga. Masyarakat kini lebih gemar menggunakan kata kamu daripada anda. Sekilas hal tersebut biasa dan lumrah. Cak Nun mengingatkan, pada setiap kata yang kita ucapkan tersimpan roso. Saat kita mengucapkan “anda” akan memiliki roso yang berbeda dengan saat kita mengucapkan “kamu“.

Begitu juga dengan penggunaan kata hak dalam ‘hak asasi manusia’. Tidaktepatnya penggunaan kata hak menyebabkan seluruh manusia memiliki hak yang wajib dihormati oleh manusia lainnya. Sementara itu tidak ada satupun yang berani mengumumkan tentang ‘wajib asasi manusia’. Dunia seakan tidak mau memahami bahwa sebelum adanya hak maka harus terlebih dahulu ditunaikan kewajiban. Menjadi tidak etis ketika seorang suami meminta hak untuk meniduri istrinya sementara ia tidak bekerja untuk menafkahi keluarganya, begitu juga tidak etis ketika seorang pekerja menuntut hak berupa gaji kepada majikannya ketika ia tidak bekerja sesuai dengan apa yang diharapkan majikannya.

“Anda harus takabbur kepada dirimu sendiri, bukan takabbur kepada orang lain. Kalau kepada dirimu sendiri anda harus takabbur, takabbur itu artinya mengatasi.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Feb, 2016)

KC4

KAPITALISME DAN KEDAULATAN

Cak Nun lalu mempersilakan waktu seluasnya untuk jamaah bertanya dan merespon. Setidaknya ada 5 orang yang bertanya dan memberikan respon terhadap apa yang dipaparkan sebelumnya. Beberapa pertanyaan lebih kepada bahasan yang sifatnya pribadi, seperti: bagaimana hukumnya desain grafis dalam Islam, bagaimana hukumnya gaji yang didapat dari hasil dari pekerjaan desain grafis yang menggunakan aplikasi bajakan, bagaimana sikap kita terhadap manipulasi-manipulasi pencitraan yang ada, bagaimana menyikapi budaya bangsa lain yang masuk ke Indonesia serta bagaimana melatih kesabaran.

Cak Nun lalu memberi kesempatan kepada Sabrang untuk merespon, “Sifat dari sebuah gagasan yang dilakukan bersama akan menjadi lebih kuat jika dipercaya secara bersama,” Sabrang menyambung dengan mencontohkan selembar kertas yang dicetak sedemikian rupa lalu disepakati bersama sebagai mata uang. Jika dilihat dari material bahannya hanyalah kertas yang tidak ada nilainya, tetapi karena manusia secara kolektif menyetujui lembaran kertas tersebut bernilai tinggi maka semua sepakat dan percaya bahwa lembaran kertas itu berharga.

Hal itu banyak sama dengan sebuah gagasan atau ide. Jika ia tidak disepakati secara bersama maka “aturan” tidak akan terwujud. Ketika kita sudah terpenjara dalam sebuah sistem kesepakatan tersebut, kita pastinya akan mengalami kesulitan untuk bersikap radikal. Mengambil contoh kesepakatan tentang lembaran kertas bernama uang sebelumnya, kita tidak akan mampu dan sulit memiliki keberanian yang radikal untuk hidup tanpa uang.

Kapitalisme pun pada awalnya juga merupakan sebuah ide gagasan yang kemudian banyak orang justru terjebak dalam sistem kapitalis, mereka berusaha untuk menghancurkan kapitalisme karena mereka merasakan kerugian saat hidup dalam sistem kapitalisme. Menurut Sabrang, untuk merubah itu semua tidak cukup dengan revolusi karena sistem kapitalisme sudah berlaku begitu luas hampir di semua negara.

Inti dari kapitalisme adalah jualan, produsen mengambil uang dari konsumen yang kemudian ditukar dengan produk yang diproduksi olehnya, bahkan hingga tingkat sebuah produk yang sebenarnya tidak dibutuhkan sama sekali oleh konsumen atau masyarakat. Industri kapitalis merekayasa untuk menggiring opini publik bahwa kulit putih lebih indah dari kulit yang tidak putih. Setelah opini terbangun kuat (kulit putih adalah kulit yang lebih indah) industri kemudian “menyerang” masyarakat dengan produk-produk pemutih kulit. Tidak cukup disitu, dimunculkan krim pelembab, krim penghilang minyak, hingga krim pembersih wajah. Semua itu adalah produk-produk yang dimunculkan atas dasar rekayasa penggiringan opini yang dilakukan sebelumnya.

“Orang Maiyah sudah mampu menemukan kebahagiaan dalam dirinya. Orang Maiyah memiliki sistem dalam dirinya untuk menemukan kenikmatan atas sesuatu yang belum tentu orang lain mampu menikmatinya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Feb, 2016)

Perlawanan terhadap sistem kapitalistik setidaknya dapat dimulai dengan menumbuhkan kedaulatan dalam penggunaan uang dalam diri setiap orang, demikian menurut Sabrang, hal itu karena uang adalah objek utama dalam sistem kapitalisme. Menarik kepada pertanyaan bagaimana orang yang bekerja di dunia kapitalisme, terutama di bidang advertising, Sabrang justru memperkuat bahwa orang yang mampu menghancurkan sebuah sistem adalah orang yang sangat paham seluk beluk sistem tersebut. Sabrang menyarankan kepada jamaah yang meresahkan hal tersebut untuk tetap bekerja di dunianya dan mempelajari sistem dari dalam.

Satu hal yang menjadi fokus pembahasan Sabrang adalah peran telik sandi. Sabrang berharap bahwa akan datang suatu masa dimana anak-anak muda Maiyah berada di pusat birokrasi pemerintahan, di pusat industri kapitalisme, memahami dan mempelajari sistem yang berlaku, hingga tiba saatnya nanti mereka akan menghancurkan sistem dengan ilmu yang mereka pelajari. Anak-anak muda yang sudah menentukan kesetiaannya kepada masa depan Indonesia, yang sama-sama memiliki jiwa pemberontakan atas ketidaksetujuan atas sistem yang ada.

Anak-anak muda Maiyah diharapkan mulai berkumpul dalam kelompok-kelompok lebih kecil, memilih pemimpin yang tepat bukan berdasar suara terbanyak melainkan memilih pemimpin berdasarkan kemampuannya memimpin. Pemimpin yang bisa menyusun strategi, menggerakkan pasukan utnuk menyerang, bertahan dan seterusnya.

“Satu kalimat Cak Nun yang inspiratif buat saya adalah: kalau kamu masuk kandang kambing kamu tidak menjadi kambing, kamu masuk kandang sapi kamu tidak akan menjadi sapi. Kalau kamu tetap menjadi manusia sebagai dirimu sendiri, kamu bisa berperan untuk berkomunikasi dengan mereka. Saya melihat kalimat itu sebagai potensi luar biasa untuk menjadi tulang-tulang dan sendi-sendi untuk pergerakan masa depan. Saya ingin menjadi generasi yang jarak pandangnya tidak hanya dua meter, tetapi kalau bisa jarak pandangnya mencapai 10 kilometer, dengan begitu kita tahu betul kemana akan melangkah, bagaimana mengantisipasi jika langkah-langkah mengalami kegagalan, mempelajari kesalahan-kesalahan di masa silam dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan itu, juga mempelajari keberhasilan-keberhasilan di masa silam untuk kita ulang kembali. Masalah Indonesia begitu rumitnya, tidak ada ada masalah yang rumitnya seperti Indonesia. Kita harus pelajari bareng-bareng karena Indonesia hanya bisa diubah dengan rumus baru, rumus yang bisa ndandani Indonesia ini akan menjadi rumus untuk ndandani dunia,” pungkas Sabrang.

“Citra itu hasil dari perilaku kita, seperti halnya Rasulullah SAW yang memiliki perangai sebagai orang yang bisa dipercaya sehingga beliau memiliki gelar Al-Amin.”
Donny, Kenduri Cinta (Feb, 2016)

KC5

MIN ‘INDIHI BIWALIYYIHI

Melanjutkan forum, Cak Nun ikut urun dengan menyampaikan, “Harap ingat, Sabrang itu cakrawalanya dan Cak Fuad itu khatulistiwanya. Khatulistiwa bisa dijangkau garisnya, kalau dia (Sabrang) itu cakrawala. Saya diantara cakrawala dan khatulistiwa,” Cak Nun menyambung, “Semua pertanyaan tadi, meski dengan jawaban apapun, tolong diingat itu jawaban parsial, padahal masalahnya sangat komperhensif. Jadi kalau saya ikut menjawab, itu merupakan jawaban sementara. Besok anda akan menemukan lagi permasalahan baru.”

Cak Nun mengibaratkan situasi sekarang seperti keadaan salat saat berada di pesawat terbang yang tidak memungkinkan untuk memastikan arah kiblat. Dengan landasan itu, pertanyaan-pertanyaan yang muncul tidak akan mampu dengan jawaban akurat yang dapat berlaku dalam kehidupan normal, karena secara keseluruhan kita berada di tengah sistem yang tidak benar dan tidak normal, keadaan yang tidak bisa dirubah secara parsial.

“Tadi saya sampaikan kepada Gus Mus (Pakde Mus), kita semua hidup di lautan racun yang luar biasa dan kita mencari obat dari racun yang sama karena kita hanya bisa hidup dari lautan racun itu. Obatnya harus min ‘indihi biwaliyyihi,” lanjut Cak Nun.

Sebelum merespon pertanyaan-pertanyaan, Cak Nun memberi 3 pijakan: parsial-komprehensif, lokal-global dan darurat. Bahwa pertanyaan-pertanyaan skalanya parsial tetapi menyangkut permasalahan yang lebih luas, lebih komprehensif. Pertanyaan-pertanyaan itu juga merupakan pertanyaan yang skalanya lokal, tetapi juga menyangkut persoalan yang sifatnya global. Dan juga, pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya terjadi dalam keadaan yang darurat seperti penggambaran Cak Nun sebelumnya; bagaimana seseorang melakukan salat ketika berada di pesawat terbang sehingga ketika ia salat, ukurannya bukan meletakkan Kabah secara materiil, melainkan secara ruhani yaitu berada dalam hatinya dengan izin Allah sesuai dengan prosedur yang sudah disampaikan melalui Alquran dan Hadits Rasulullah SAW.

“Tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kedaulatan masing-masing untuk memilih mana yang benar. Konflik yang terjadi karena setiap orang memaksa orang lain memilih kebenaran yang dia yakini,” ucap Cak Nun.

Ketika membicarakan kecurangan dunia advertising, sebenarnya juga tercakup dalam sistem kapitalisme dunia yang sudah pasti tidak seimbang. Persoalan aplikasi dengan lisensi bajakan, jika kita melihat kacamata lokal mungkin itu merupakan sebuah persoalan sepele, tetapi ketika seorang desainer merancang iklan advertising yang skalanya lebih luas, kita dapat melihat bahwa persoalan lisensi bajakan tadi bukanlah persoalan lokal.

“Perlawanan terhadap sistem kapitalistik setidaknya dapat dimulai dengan menumbuhkan kedaulatan dalam penggunaan uang dalam diri setiap orang.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Feb, 2016)

Cak Nun kemudian bercerita bagaimana orang Sudan yang menganut madzhab Hanafi ketika salat posisi tangannya saat takbir berbeda dengan umat muslim di Maroko yang juga bermadzhab Imam Hanafi. Hal serupa, Muhammadiyah tidak menggunakan bedug di masjid, bedug digunakan oleh NU, namun dalam sejarah KH. Ahmad Dahlan lah yang merintis penggunaan bedug di masjid. Begitu juga dengan ziarah kubur, madzhab Imam Syafi’i tidak begitu menganjurkan, sedangkan ulama-ulama besar Islam seperti Ibnu Taymiah adalah ulama yang memberi hikmah yang salah satunya adalah ziarah kubur, sementara Ibnu Taimiyah adalah salah satu ulama yang menjadi rujukan Muhammadiyah.

Cak Nun kembali mengingatkan konflik-konflik yang banyak terjadi karena ketidaktepatan pemahaman dalam menggunakan kata. Satu contoh, kata violence diartikan dengan kekerasan, menurut Cak Nun kosakata yang lebih tepat adalah kekejaman. Kekerasan sering diartikan dengan perbuatan yang menyakiti orang lain dalam bentuk fisik, seperti memukul, menampar, menendang dan sebagainya. Orang sulit memahami bahwa ketika diludahi sebenarnya juga bersifat violence. Kekejaman dapat dilakukan dengan perilaku yang bersifat kekerasan atau kelembutan.

Cak Nun juga mengelaborasi essay Pancasila Oreng Madura yang dirilis pada tanggal 6 Februari 2016 lalu. Tulisan yang menjelaskan bahwa ada hubungan erat antara Pancasila dengan Rukun Islam. Secara perlahan Cak Nun merespon pertanyaan-pertanyaan dengan penggambaran berada di sebuah kapal besar bernama kapitalisme, yang pada keadaan tertentu hanya ada dua pilihan: mengikuti aturan yang berada didalam kapal atau segera loncat dari kapal untuk berenang di lautan yang lebih luas dan mencari kapal baru. Seandainya kita tak memiliki keberanian keluar dari kapal besar itu, maka yang kita lakukan adalah kompromi-kompromi. Kompromi-kompromi semacam itu merupakan kompromi yang terukur, bukan kompromi yang dilakukan secara sembarangan.

Bagaimana nasib gaji seorang karyawan yang bekerja dengan menggunakan aplikasi berlisensi bajakan? Cak Nun memberi contoh betapa tidak seimbangnya ketika seorang karyawan yang bekerja di kantor mewah di bilangan Sudirman tetapi ketika makan siang tetap memilih makan di Warteg di pinggir jalan. Secara ekonomi, tidak ada yang salah, tetapi secara moral seharusnya orang yang bekerja di gedung mewah maka membeli makannya juga di restoran kelas atas. Tetapi karena yang terjadi adalah berjalannya sistem yang salah, maka hal itu menjadi peristiwa darurat. Dalam keadaan seperti itu, seandainya perusahaan mampu membeli lisensi asli tetapi tidak mau membeli, maka itu bukan salah karyawannya. Jika karyawan merasa berdosa dengan keadaan demikian itu, Cak Nun menyarankan agar melakukan kafarat, yaitu dengan menyayangi setiap orang yang ditemui, bersedekah lebih banyak, beribadah lebih khuysuk dan lain sebagainya.

“Salah satu sebab mundurnya peradaban manusia adalah kesalahan dalam memaknai dan menggunakan kata.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Feb, 2016)

KC8

SEDEKAH MAIYAH

Salah yang kini marak adalah banyak orang yang mengkritisi budaya luar dengan menggunakan dalil man tasyabbaha biqoumin fahuwa minhum; barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia adalah bagian dari kaum tersebut. Cak Nun berpendapat, dalam penggunaan dalil harus disepakati batasannya, sejauh mana yang dimaksud dengan “menyerupai perilaku budaya bangsa lain”. Jika hanya menggunakan logika, maka hampir semua perilaku kita adalah ‘menyerupai’ bahkan ‘meniru’ budaya bangsa lain. Seperti khitan yang sebenarnya adalah tradisi Yahudi, apakah berkhitan dianggap sebagai bagian dari Yahudi? Tentu tidak. Disinilah kejernihan berpikir diperlukan untuk menentukan sampai mana batasan “menyerupai kaum” itu?

Tentang kapitalisme dan kapitalisasi, Cak Nun menjelaskan bahwa keduanya berbeda. Kita tidak bisa lepas dari kapitalisme, tetapi yang bisa tidak kita lakukan adalah tidak melakukan kapitalisasi di segala bidang. Cak Nun jauh sebelumnya pernah menjelaskan bahwa ada empat bidang departemen yang seharusnya tidak boleh dikapitalisasi oleh negara, yaitu: pendidikan, kesehatan, kebudayaan dan agama.

“Anda tahu bahwa saya pernah terlibat di industri. Saya pernah membikin Gardu — sebuah acara talk show di Indosiar pada dekade 90-an akhir. Kemudian saya (memutuskan) keluar dari industri karena ternyata kapitalismenya luar biasa. Sejak 1998, tepatnya dua hari setelah Pak Harto turun, saya melihat bahwa sebenarnya Reformasi ini palsu dan semua ternyata punya niat politik sendiri, kecuali saya, yang bodoh, yang tidak mengerti dan tidak punya ambisi, saya akhirnya meninggalkan itu semua.

“Saya tidak baca koran, saya tidak nulis di media, saya tidak masuk TV, saya menghindari kapitalisasi diri saya, saya menghindari kapitalisme bukan kemudian saya antikapitalisme. Saya tidak anti-antian. Jadi bukan ‘saya menolak industri’ tetapi saya ingin membuktikan bahwa ada yang lebih kuat dari itu dan ada yang lebih benar dari itu (kapitalisme dan kapitalisasi),” lanjut Cak Nun yang juga memohon doa agar suatu saat diberi kesempatan menuliskan sejarah perjalanan beliau ini.

“Anda tahu, maiyahan di Jogja, di Surabaya dan di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur ditayangkan di stasiun televisi lokal. Harap anda tahu itu tidak bersifat kapitalistik. Itu tidak dijual, itu mereka (stasiun televisi) kita sedekahi (dengan diperbolehkan menayangkan) dan ada teksnya bahwa tayangan ini disedekahkan oleh KiaiKanjeng dan Jamaah Maiyah kepada masyarakat. Jadi tidak boleh membayar,” Cak Nun menjelaskan.

“Dan mereka (stasiun televisi) boleh pasang iklan sebanyak-banyaknya, boleh ambil duit (dari tayangan maiyahan) sebanyak-banyaknya dan kita (Maiyah) tidak dapat apa-apa dan (mereka) jangan kasih apa-apa (kepada Maiyah). Saya ingin memberanikan diri untuk menyatakan; Ya Allah, Engkau lebih besar dari segalanya. Kalau aku harus mati karena itu, matilah aku. Ndak ada masalah,” lanjut Cak Nun.

Cak Nun seakan membuktikan kepada jamaah Maiyah bahwa kita bisa bertahan ditengah-tengah kapitalisasi dunia yang sedemikian parahnya, tanpa kita terlibat didalamnya pun kita mampu bertahan. “Saya tidak bisa menyelesaikan masalah Indonesia. Ilmu apapun tidak akan mampu menyelesaikan karena diambil oleh racun yang sama. Saya cuma (memperlakukan) siapa saja yang bertemu dengan saya, saya gedhein (besarkan) hatinya, saya bikin pikirannya dinamis, cerdas, sehingga menjadi orang yang mutakabbir, orang yang mampu mengatasi masalahnya sendiri.

“Anda harus menjadi orang yang takabbur kepada dirimu sendiri, bukan takabbur kepada orang lain. Kalau kepada dirimu sendiri anda harus takabbur, takabbur itu artinya mengatasi. Engkau harus lebih besar dari masalahmu, karena engkau punya akal yang memuai dan berkembang. Allah sudah kasih bekal. Masalah apapun, kamu harus menjadi lebih besar dari masalahmu, kamu harus cari jalan keluarmu. Kamu jangan menjadi lebih kecil oleh masalahmu, kamu ndak boleh sedih oleh keadaan Indonesia, jangan mau ditekan oleh apa-apa. Kamu harus punya sumber ketenangan dari Yang Paling Sejati,” tutur Cak Nun.

“Maiyah membuktikan bisa bertahan ditengah kapitalisasi dunia yang sedemikian parahnya, tanpa kita terlibat didalamnya pun kita mampu bertahan.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Feb, 2016)

Cak Nun mengungkapkan bahwa ciri orang Maiyah adalah dalam diri mereka sudah terdapat software yang mampu mengidentifikasi keindahan dari sesuatu yang kelihatannya tidak indah. “Orang hidup dalam iri dengki selama ini karena selalu membayangkan bahwa kehidupan orang lain lebih indah, istri orang lain lebih cantik, harta orang lain lebih banyak. Yang membikin anda tidak bahagia adalah karena anda punya hasad, iri, dengki, anda punya cemburu,” lanjut Cak Nun.

“Orang Maiyah sudah mampu menemukan kebahagiaan dalam dirinya, bahkan jika diberi pilihan untuk bertukar posisi dengan orang lain, orang Maiyah tidak akan mengambil pilihan itu. Karena orang Maiyah sudah meyakini bahwa apa yang Allah berikan kepada mereka adalah yang terbaik. Orang Maiyah memiliki sistem dalam dirinya untuk menemukan kenikmatan atas sesuatu yang belum tentu orang lain mampu menikmatinya.

“Begitu hebatnya orang Indonesia salah satunya adalah ketika mereka mampu menyikapi berapapun uang yang ada ditangan mereka. Ketika mereka hanya memiliki uang seratus ribu rupiah, mereka akan mengatakan: itu cukup untuk menghidupi keluarganya. Dan apabila esok ia hanya memiliki lima puluh ribu rupiah, ia pun dengan berani akan mengatakan: insya Allah cukup. Dan ketika besoknya lagi ia memiliki uang yang lebih sedikit dari itu, ia pun akan berani menyatakan: yah, dicukup-cukupkan.

“Jangan sekali-kali anda menyatakan bahwa anda tidak cinta kepada Indonesia. Nyatakanlah bahwa aku bangga menjadi orang Indonesia, karena anda ini diciptakan oleh Allah secara khusus,” ungkap Cak Nun, “Kita adalah bagian satu sama lain diantara kita. Dan ini yang kita butuhkan untuk dunia. Ini peradaban sudah sampai di ujungnya. Anda harus siap dengan sistem baru, dan Maiyah ini bukan hanya untuk Indonesia. Maiyah ini untuk umat manusia, ini untuk rahmatan lil ‘alamiin, untuk era yang baru,” tutup Cak Nun.

Memungkasi Kenduri Cinta edisi Februari 2016, Cak Nun kembali mengelaborasi idomatik Allah dalam surat An-Naas; Robbun, Maalikun dan Ilaahun. Menjelang pukul empat dinihari, Cak Nun mengajak semua yang hadir untuk berdiri dan berdoa bersama untuk kebaikan bersama, juga doa untuk Alm. Mas Agung Waskito, salah satu sahabat Cak Nun yang dulu pernah beberapa kali bersama Cak Nun menggarap pementasan teater, salah satunya adalah Lautan Jilbab. 

shortlink: kenduri.in/kufuraward