KOORDINAT MAIYAH

REPORTASE KENDURI CINTA Desember 2016

KETIKA PETINJU melepaskan pukulan yang telak kepada lawannya, menurut kalkulasi secara rasional, ketepatan letak lokasi dipukulnya sang lawan akan menentukan apakah lawan tersebut tetap kuat berdiri atau justru roboh akibat pukulan tersebut. Sementara itu, posisi badan bagi keduanya juga akan menentukan ketepatan perhitungan masing-masing sehingga mampu untuk merumuskan kapan saat menyerang dan bertahan. Demikian pula terhadap atlit-atlit lain di berbagai cabang olah raga, kita akan menemukan bahwasannya presisi merupakan satu hal yang amat penting dan begitu menentukan. Presisi tersebut bisa juga kita sebut sebagai titik koordinat yang harus betul-betul akurat penempatannya.

Maiyah, sebagai sebuah Organisme yang cair berulang kali menegaskan bahwa di dalamnya tidak terdapat garis komando, tidak ada arahan instruksi atau perintah agar berpihak atau menuju suatu titik koordinat tertentu. Setiap Orang Maiyah memiliki kedaulatannya sendiri dalam menentukan pilihan di dalam semua aspek kehidupan yang ia jalani sendiri. Akan tetapi, ada hal-hal yang memang ditawarkan oleh Maiyah, yakni nilai-nilai kehidupan yang selama ini kabur, hilang, atau terkubur oleh peradaban.

Malam ini, Kenduri Cinta mengangkat “Koordinat Maiyah” sebagai tema, dengan maksud untuk terus meneguhkan bahwa Orang Maiyah memiliki landasan segitiga cinta: Allah, Rasulullah dan manusia sebagai pondasi yang kuat dan harus terus dijaga. Karena disitulah letak pusat Koordinat manusia.

Lepas pukul delapan, jamaah mulai berdatangan dan memilih tempat duduknya masing-masing, lesehan. Ada juga yang lelap menikmati kudapan angkringan di sekitar pelataran Taman Ismail Marzuki.

Kenduri Cinta edisi Desember 2016 ini bersamaan pula dengan penggenapan putaran Wirid Tahlukah 2016; Wirid Wabal. Sebuah Wirid yang prosesi awalnya dimulai pada bulan Januari 2016 dan merupakan bentuk ikhtiar dari Jamaah Maiyah untuk menyerahkan sepenuhnya kepada Allah peristiwa-peristiwa di Indonesia, khususnya kejadian-kejadian yang lebih banyak merugikan rakyat. Melalui Wirid Wabal inilah, Jamaah Maiyah memohon pertolongan Allah atas semua kesulitan yang dihadapi. Jamaah Maiyah berupaya meneguhkan hatinya, bahwa tidak ada yang mampu menolong melainkan hanya Allah.

Sigit memoderasi sesi Prolog dengan memberi sebuah landasan; Kita dititipi Maiyah untuk Indonesia atau kita dititipi Indonesia untuk Maiyah? Sebab, posisi Maiyah sebenarnya adalah seperti orang yang bersedekah, yakni merupakan bentuk bantuan yang diberikan kepada Indonesia, dan sifatnya bukanlah wajib. Karena yang seharusnya berbuat untuk Indonesia adalah para pejabat Negara yang sudah dibayar oleh rakyat untuk membereskan semua persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Negara. Sigit kemudian mempersilahkan kepada Donny untuk menyampaikan pemikirannya terkait tema Kenduri Cinta kali ini.

PINTU-PINTU MAIYAH

SEBELUM BERBICARA lebih jauh, Donny mengajak Jamaah Maiyah Kenduri Cinta membaca Al Fatihah untuk mendoakan korban Gempa Bumi di Aceh. Donny berpendapat, bahwa koordinat tidak hanya disimbolkan melalui sebuah titik lokasi dalam sebuah peta, misalnya. Sehingga, jangan dibayangkan bahwa Koordinat Maiyah sama dengan titik koordinat sebuah lokasi dalam sebuah peta. Menurut Donny, koordinat Maiyah justru memiliki sifat yang sangat dinamis karena pijakan utamanya adalah segitiga cinta Allah, Rasulullah dan manusia. Orang Maiyah memiliki kemandirian dalam dirinya untuk terus mencari kebenaran yang sejati. Dengan begitu titik koordinatnya sangat mungkin berubah berdasarkan penemuan yang ia lakukan dalam proses pencarian kebenaran itu tadi.

Seperti yang pernah dijelaskan oleh Cak Nun di Kenduri Cinta sebelumnya, posisi radikal atau liberal seseorang itu bergantung pada waktu dan kondisi tertentu. Setiap manusia memiliki kecenderungan untuk radikal dan liberal, hanya saja ada momentum yang tepat untuk mengaplikasikan radikal dan liberal itu dalam dirinya sendiri. Tidak mungkin selama 24 jam dalam sehari, seorang manusia bersikap radikal atau liberal. Karena, sejatinya kehidupan ini begitu dinamis sesuai dengan sunnatullah.

Begitu juga dengan Universalitas Maiyah hari ini, Donny menjelaskan, bahwa Maiyah merupakan sebuah ruangan yang besar dan luas, yang terdiri dari banyak pintu, dan semua orang berhak memasuki Maiyah dari pintu mana saja yang ia kehendaki. Jamaah Maiyah saat ini sangat heterogen, memiliki berbagai macam latar belakang pendidikan, agama, suku, ras, pekerjaan dan lain sebagainya. Semuanya memasuki Maiyah melalui pintu yang mereka pilih sendiri.

Ada yang memasuki Maiyah melalui pintu kebudayaan, agama, pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan dan lain sebagainya. Cairnya Organisme Maiyah inilah yang membuat Maiyah menjadi sangat unik, terlebih lagi Maiyah tidak bersifat otoriter, karena semua orang berhak mengemukakan pendapatnya, berhak mengemukakan kebenaran yang ia yakini. Yang tidak boleh dilakukan adalah memaksa orang lain untuk mengakui kebenaran yang ia yakini. Karena Maiyah sangat menjunjung tinggi otentisitas penemuan masing-masing individu di Maiyah.

Teddy, salah seorang Jamaah Kenduri Cinta malam itu mengemukakan pendapatnya, jika diibaratkan sebuah pertandingan olahraga, sebenarnya yang sedang dihadapi oleh Maiyah saat ini pertandingan Sepakbola, Bola Voli, Tenis atau pertandingan apa? Karena masing-masing olahraga tersebut memiliki aturan main yang berbeda. Atau, katakanlah Maiyah sedang berada dalam sebuah pertandingan sepakbola, misalnya. Maka, yang harus dicari saat ini adalah apakah sistem koordinatnya atau aturan main yang berlaku sudah benar atau belum, atau justru Maiyah harus menawarkan konsep sistem koordinat yang baru, yang sesuai dengan pertandingan yang sedang dijalani ini. Bisa jadi, Maiyah memang harus menawarkan sistem aturan main yang baru dalam sebuah pertandingan, karena sistem yang berlaku saat ini tidak bisa menghasilkan pertandingan yang sportif.

Seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam perang Khandaq. Pada saat itu, Pasukan Rasulullah SAW membangun parit-parit di sekitar wilayah Madinah bagian utara, atas inisiatif Salman Al Farisi. Strategi perang tersebut tidak diperkirakan sebelumnya oleh musuh saat itu, sehingga mereka tidak mengantisipasi strategi parit yang dibangun dan pasukan Muslim berhasil memenangkan pertempuran. Dari peristiwa tersebut, Teddy mengambil kesimpulan bahwa bisa saja dalam sebuah pertandingan kita membangun sistem koordinat yang kita yakini untuk menemukan kebenaran, seperti halnya di Maiyah, Orang Maiyah yang datang memiliki kedaulatan mereka sendiri untuk membangun sistem koordinat dalam dirinya sendiri.

Selanjutnya, Amien Subhan menegaskan kembali apa yang dipaparkan oleh Donny sebelumnya, bahwa landasan yang berlaku di Maiyah adalah segitiga cinta; Allah, Rasulullah dan manusia. Sehingga, ukuran yang berlaku bukanlah ukuran-ukuran materi layaknya perniagaan saat ini, sebuah barang dibeli dengan harga sekian kemudian djual dengan harga sekian, sehingga menghasilkan keuntungan sekian. Di Maiyah, ukurannya bukanlah ukuran materialisme seperti itu, tetapi ukuran yang berlaku adalah keridhloan Allah atau tidak terhadap apa yang kita lakukan.

Seperti yang dijelaskan oleh Donny sebelumnya, bahwa Maiyah berlaku sangat dinamis. Ketika kita memandang sebuah persoalan, kita bisa mendapatkan pandangan yang berbeda, berdasarkan sudut pandang dan cara pandang yang kita ambil. Seperti halnya sebuah benda yang berada di atas meja, jika kita bergesar sedikit dari posisi kita, maka yang kita lihat dari benda itu bisa saja berbeda dengan cara pandang kita pada posisi sebelumnya, begitulah Maiyah menawarkan wacana berfikir yang siklikal dalam merespon sebuah persoalan.

Furqon, salah seorang Jamaah Kenduri Cinta mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini muncul pertanyaan mengapa Maiyah tidak ikut dalam aksi 411 dan 212. Furqon menjelaskan bahwa Koordinat Maiyah di Indonesia hari ini, bahkan sejak lama tidak bisa disamakan dengan Koordinat Organisasi yang ada di Indonesia pada umumnya. Mengulang pemaparan Cak Nun pada edisi Kenduri Cinta bulan lalu, justru pergerakan Maiyah adalah pergerakan yang memang tidak terlihat oleh kasat mata. Seperti halnya pergerakan aliran darah dalam tubuh manusia atau besi yang ditanam dalam sebuah pondasi bangunan. Tidak terlihat, tetapi perannya sangat penting. Kecenderungan manusia modern saat ini selalu berpijakan pada pemahaman materialisme, sehingga selalu beranggapan bahwa yang bergerak adalah yang terlihat dan terpublikasi di media massa, sementara Maiyah hingga hari ini tidak dipublikasikan oleh media massa nasional.

Aji, Jamaah Kenduri Cinta yang saat ini tinggal di Kebon Jeruk, memiliki pandangan yang lain. Menurutnya, tema Kenduri Cinta kali ini bisa dipadatkan menjadi Koordinat sebagai kata benda dan Maiyah adalah kata kerja. Menurut Aji, Maiyah lebih lengkap jika difahami sebagai kata kerja. Karena, jika Maiyah hanya difahami sebagai kata benda, maka Maiyah tidak ubahnya seperti komunitas yang ada kebanyakan. Sedangkan di Maiyah sendiri yang ditawarkan adalah nilai-nilai kehidupan yang sangat mudah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Aji, Maiyah adalah kumpulan orang-orang yang mencari kebenaran sejati dalam dirinya masing-masing. Aji berpandangan bahwa Maiyah adalah sebuah bulatan, sehingga bagaimanapun posisi Orang Maiyah disekitarnya, Maiyah akan tetap pada bentuk bulatan yang utuh. Untuk memberikan jeda, Restu kemudian membawakan sebuah puisi karya Emha Ainun Nadjib yang berjudul “Perahu Retak”.

“Maiyah lebih lengkap jika difahami sebagai kata kerja. Karena, jika Maiyah hanya difahami sebagai kata benda, maka Maiyah tidak ubahnya seperti komunitas yang ada kebanyakan. Sedangkan di Maiyah sendiri yang ditawarkan adalah nilai-nilai kehidupan yang sangat mudah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. “
Aji, Kenduri Cinta (Desember, 2016)

SUMBU KOORDINAT

SETELAH PENAMPILAN Restu, Tri Mulyana dan Luqman Baehaqi memoderasi diskusi sesi selanjutnya. Malam ini Sabrang MDP turut hadir di Kenduri Cinta. Juga, Abdul Basith bersama Ali Hasbullah dan Bang Mathar. “Saya melihat, Kenduri Cinta selama 21 bulan terakhir di tahun 2016 ini sudah terlalu banyak melakukan hal-hal yang berkaitan untuk merubah, menata, ikut serta, menanam agar terbangun sebuah bangunan yang besar, tetapi kita berhadapan dengan proses pengrusakan yang laur biasa untuk Indonesia dan atas nama Indonesia yang hanya menguntungkan segelintir orang. Hebatnya, saya merasa teman-teman di Maiyah tidak ada lelahnya”, Bang Mathar mengawali paparan yang kemudian membahas keikutsertaan Jamaah Kenduri Cinta pada aksi 411 dan 212 yang ternyata hanya segelintir saja.

Jumlah yang sedikit itu menurut Bang Mathar bukan persoalan bahwa Jamaah Maiyah Kenduri Cinta tidak ada kepedulian terhadap isu-isu yang sedang bergulir akhir-akhir ini di Jakarta. Bang Mathar menjelaskan bahwa proporsialitas peran dan fungsi kita sebagai manusia tidak bisa diatur oleh orang lain. Setiap manusia memiliki kedaulatannya masing-masing. Sehingga, keputusan bergabungnya seseorang dalam 411 atau 212 harus berdasarkan keputusan pribadinya masing-masing, bukan karena disuruh oleh orang lain atau karena ketidaktahuan pangkal persoalan yang dihadapi, hanya karena ikut-ikutan teman, tetangga atau sahabatnya saja. Menurut Bang Mathar, hal mendasar yang harus diketahui oleh sekian banyak orang yang berkumpul pada 212, misalnya, adalah persoalan yang sedang dihadapi musuh besar yang sedang berusaha menggerogoti aset Bangsa dan Negara.

Bang Mathar berpendapat, bahwa Maiyahan di Kenduri Cinta setiap bulan hingga hari ini merupakan satu wujud partisipasi dalam proses merubah keadaan di Indonesia ini. “Kunci utama kita datang di Maiyah ini adalah keikhlasan”, lanjut Bang Mathar. Secara kualitas maupun kuantitas, tidak ada satupun manusia yang bisa mengukur keikhlasan manusia yang lainnya, yang bisa dirasakan adalah nuansanya, suasananya, rasanya, auranya. “Di sini tidak ada urusan etnis, agama, kepercayaan, suku, ras dan yang lainnya. Kita disini bersama-sama atas landasan cinta kepada Allah dan Rasulullah SAW, ingin memangku Indonesia, mengayomi Indonesia, memperbaiki yang rusak-rusak”, lanjut Bang Mathar.

Bang Mathar berpendapat, bahwa di Maiyah ini kita belajar untuk berani menyampaikan informasi yang memang seharusnya disampaikan kepada lingkungan di sekitar kita, dan kita dilatih untuk tidak terus menerus terseret dan terjebak dalam pengaruh informasi yang beredar secara masif akhir-akhir ini. Proses perjalanan kita di Maiyah, menurut Bang Mathar, merupakan proses menanam layaknya seorang petani yang menanam padi. Tugas kita hanya menanam dan merawat tanaman itu, perkara apakah tanaman itu akan kita panen atau tidak, itu bukan hak kita untuk memastikannya. Seperti salah satu isu yang saat ini juga menjadi cukup viral, masyarakat beranggapan bahwa UUD 1945 sudah dihilangkan, dan diganti dengan Amandemen UUD 1945 tahun 2002. Menurut Bang Mathar, sebenarnya UUD 1945 tidak dihapus atau dihilangkan, hanya saja dengan segala hiruk pikuk informasi yang tersebar hari ini, masyarakat dibuat lupa dengan adanya UUD 1945 tersebut. Karena yang sering dibicarakan adalah Amandemen UUD 1945 itu sendiri selama ini.

Sebelum memberi kesempatan kepada Ali Hasbullah untuk berbicara, Tri menjelaskan bahwa tema “Koordinat Maiyah” ini juga merupakan satu bahan refleksi terhadap masing-masing individu Jamaah Maiyah sendiri. Sepanjang perjalanan hingga hari ini sudah sejauh mana masing-masing Jamaah mengukur ketepatan Koordinat Maiyah dalam diri masing-masing. Ali Hasbullah kemudian mengawali pemaparannya, bahwa ia sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Tri Mulyana, momen akhir tahun ini sangat tepat untuk dijadikan momentum muhasabah bagi tiap-tiap Jamaah Maiyah.

Ali beranggapan bahwa Maiyah merupakan satu tarikat cinta yang dilakuan oleh Jamaah Maiyah dengan landasan segitiga cinta. “Kita ber-Maiyah hingga saat ini, sesungguhnya alasan yang paling mendasar adalah karena kita mencintai Allah, lalu kemudian kita mengikuti Rasulullah SAW. Kita menggali, mempelajari intisari yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam bingkai kecintaan kepada Allah SWT”, Ali melanjutkan. Selain itu, menurut Ali, Maiyah juga bisa disebut debagai gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Karena yang dilakukan di Maiyah selama ini adalah penyegaran kembali pemikiran-pemikiran Islam, dimana fondasi yang juga terus diperkuat adalah semangat mencari apa yang benar, bukan mencari siapa yang benar.

Maiyah sendiri terus meneguhkan diri agar tetap menjadi sebuah Organisme yang cair. Padahal, dengan jumlah yang semakin bertambah, Jamaah Maiyah sangat mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan komersil. Tetapi, Maiyah memutuskan untuk tidak melakukan hal tersebut. Ketika beberapa Organisasi Islam lain sangat bersemangat untuk mengkomersilkan diri dengan cara-cara seperti membuat Biro Perjalanan Haji dan Umroh, kemudian sosok atau tokoh utama mereka dikomersilkan untuk dijual dengan tagline “Umroh Bersama Ustadz X”, atau menciptakan produk-produk yang bernilai ekonomi, Maiyah memilih untuk tidak melakukan hal tersebut. Metode Puasa yang diaplikasikan oleh Cak Nun dalam kehidupan pribadinya telah meresonansi dalam Organisme Maiyah. Sementara di satu sisi, Maiyah sangat memenuhi syarat untuk menjadi sebuah Organisasi yang padat.

Ali Hasbullah menjelaskan, sebuah gerakan sosial biasanya diinisiasi dengan adanya keluhan-keluhan personal, yang kemudian terkumpul dalam jumlah massa yang cukup banyak, dan setelah terkumpul dengan jumlah yang banyak individu-individu tersebut memutuskan untuk melembagakan diri menjadi sebuah Organisasi yang padat dan terstruktur. Puncaknya, jika pemadatan tersebut berjalan sukses akan memiliki pengaruh yang lebih besar dalam sebuah Negara. Tetapi, jika tidak, maka Organisasi tersebut akan terkooptasi oleh Penguasa.

Sebenarnya hanya ada dua pilihan ketika sebuah Organisasi menjadi besar dalam sebuah Negara, yakni memiliki pengaruh atau terkooptasi oleh penguasa. Dan, Maiyah yang berlangsung bertahun-tahun sangat memegang teguh prinsip untuk tidak menjadi sebuah padatan. Tidak pernah direncanakan untuk menjadi sebuah Organiasi yang besar, kemudian terdapat posisi struktural di dalamnya, dan menceburkan diri dalam sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia. Pada faktanya, Maiyah justru seringkali melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh Negara dan Pemerintah namun nyatanya tidak dilakukan oleh mereka, dan Maiyah bersedekah untuk melakukan hal-hal tersebut.

Dengan memilih untuk menjadi sebuah Organisme yang sangat cair, Maiyah justru mampu menampung banyak pihak, mampu diterima oleh banyak kalangan, mampu membaur bersama seluruh lapisan bahwa hingga yang terbawah sekalipun. Maka, alangkah meruginya Jamaah Maiyah jika hingga hari ini tidak bisa merangkum nilai-nilai kehidupan yang didapatkan selama ini dalam proses persambungan masing-masing di Maiyah. Ali menambahkan, di Maiyah ada banyak sekali ruang-ruang yang bisa dimasuki oleh Jamaah Maiyah, yang kemudian sangat dimungkinkan untuk setiap masing-masing Jamaah Maiyah merangkum apa yang mereka dapatkan di Maiyah tersebut untuk menjadi kumpulan nilai-nilai kehidupan. Ali mencontohkan, bahwa sangat mungkin masing-masing Jamaah mengklasifikasikan misalnya 10 nilai Maiyah dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, kebudayan, kesenian, olahraga, spiritual, moral, hukum dan lain sebagainya. Yang apabila dituangkan dalam sebuah buku misalnya, bisa menjadi sebuah warisan yang sangat berharga bagi generasi di masa yang akan datang.

Mengambil refleksi pada sebuah tulisan Cak Nun yang pernah dibacanya, Luqman menuturkan tentang ditangkapnya seorang pencuri, posisi seorang manusia setidaknya akan terbagi menjadi 3 pilihan untuk merespon peristiwa pencurian itu; 1. Membenci peristiwa diambilnya barang milik orang lain, 2. Membenci pencurian tersebut karena ia tidak mendapat bagian dari apa yang dicuri, 3. Membenci perilaku pencurian yang karena apapun alasannya pencurian itu memang tidak boleh dilakukan. Persoalan ini tidak bisa dilepaskan dengan sudut pandang ketika melihat sebuah persoalan.

Dari Luqman, Sabrang kemudian dipersilahkan untuk menyampaikan paparan berikutnya. Sebelum berbicara lebih jauh, Sabrang memberikan sebuah alas dengan satu permisalan. Dalam dunia kuliner saat ini, setidaknya ada 3 hal yang menjadi pertimbangan konsumen untuk menikmati sebuah makanan, yaitu murah, enak dan cepat saji. Namun faktanya, kita lebih sering menemukan dalam satu kasus hanya terdapat 2 dari 3 komponen itu; kalau enak dan murah, biasanya tidak cepat dalam menyajikan. Kalau murah dan cepat penyajiannya, biasanya tidak enak. Atau, yang ketiga, enak dan cepat dalam proses penyajiannya, tetapi tidak murah. Dari paparan awal ini, Sabrang mengajak Jamaah Kenduri Cinta untuk menerjemahkannya ke dalam Maiyah.

“Di KC ini sudah pasti murah. Karena, anda tidak ada yang membayar datang kesini. Pilihan selanjutnya adalah mau cepat atau sehat? Kalau cepat anda belum tentu faham. Atau, kita rela sedikit mumet untuk berfikir, tetapi hasil akhirnya adalah sehat”, Sabrang menawarkan satu landasan di Kenduri Cinta malam itu.

Berbicara tentang Koordinat, Sabrang menjelaskan bahwa manusia sangat mungkin berposisi pada koordinat yang berbeda-beda, tergantung pada sumbunya.

Sabrang lalu mencontohkan ketika ia sendiri sedang mengendarai mobil. Di suatu jalan ada pengendara sepeda motor yang mendadak menyerobot jalan. Atas kejadian itu biasanya seorang supir akan memaki si pengendara motor tersebut. Akan tetapi, lain ceritanya apabila di dalam mobil tersebut supir bersama anak kecil. Maka, ada kesadaran koordinat yang lain bagi si supir, yaitu koordinat sebagai ayah. Dari satu contoh ini saja kita bisa melihat bahwa seorang supir dalam satu kondisi memiliki dua koordinat yang berbeda, dimana masing-masing akan menghasilkan output yang berbeda juga. “Pada suatu titik kita melakukan sesuatu itu tergantung kesadaran koordinat kita”, lanjut Sabrang.

“Jadi, ngomong Koordinat Maiyah ini nggak sederhana. Frame-nya dimana? Koordinat Maiyah di diri sendiri, Koordinat Maiyah pada lingkaran kebersamaan, Koordinat Maiyah pada Bangsa, Koordinat Maiyah pada peradaban, Koordinat Maiyah pada saat ini, atau Koordinat Maiyah membangun peradaban. Ini tidak sederhana”, urai Sabrang.

Maiyah pun memiliki banyak sumbu untuk menentukan dimana Koordinatnya yang tepat. Sabrang lalu menjelaskan bahwa ia tidak tertarik untuk melibatkan diri dalam 411 dan 212 yang bergulir akhir-akhir ini. Ia memutuskan untuk menarik diri dari isu besar tersebut.  “Maiyah itu bukan sebuah Organisasi atau sebuah kumpulan masyarakat yang berada pada sebuah koordinat tertentu. Kumpulan Maiyah adalah kita berlatih memahami berada pada koordinat mana, dan kita berlaku tepat pada koordinat yang kita sadari. Itu yang saya fahami dari Maiyah”, tutur Sabrang.

Dengan sistem Organisme yang sangat cair inilah Maiyah tidak hanya mampu menampung semua pihak, namun justru bisa diterima oleh banyak pihak. Maiyah mampu melihat semua Koordinat berdasarkan sudut pandang, jarak pandang, cara pandang dan resolusi pandang. Karena, dengan metode-metode itulah kita bisa memahami bagaimana bentuk koordinat manusia di setiap sumbunya. Sehingga kita memiliki banyak referensi yang membuat kita semakin tepat dalam menentukan langkah.

“Jadi, Maiyah tidak mengorganisir orang untuk menentukan langkah tertentu. Tetapi, seandainya terwujud satu langkah tertentu, maka diharapkan ada sebagai wujud dari kesadaran bersama terhadap koordinat masing-masing Orang Maiyah pada kondisi tersebut”, lanjut Sabrang.

KESATUAN PASUKAN

MERESPON PERTANYAAN-PERTANYAAN kepada dirinya tentang apakah Maiyah harus bergerak pada 212 atau tidak, Sabrang menjelaskan bahwa secara pribadi ia tidak bisa menyalahkan pihak yang ikut maupun yang tidak ikut dalam 212 lalu. Yang disesalkan oleh Sabrang adalah tentang bagaimana orang-orang menyikapi alasan untuk melibatkan diri dalam 212 atau tidak.

Mayoritas orang Indonesia pada 212 terpetakan dalam kotak-kotak yang semakin kecil. Sabrang menjelaskan bahwa sebenarnya semua sama-sama berjuang untuk kemerdekaan. Namun, manakala kita sedang memperjuangkan kemerdekaan, pada saat yang sama kita juga memaksakan perjuangan kemerdekaan kita kepada orang lain, dan itu sama saja membantah perjuangan kemerdekaan yang kita yakini. Sebab, setiap orang memiliki pemahaman masing-masing terhadap perjuangan kemerdekaan yang diyakininya.

Sabrang mencoba menarik dari gambaran peperangan. Sejak dahulu, dalam sejarah peradaban pada setiap peperangan terdapat satu titik berat tarikan kekuatan. Entah itu kekuatan kekuasaan, kekuatan teritorial, kekuatan ekonomi, kekuatan pengaruh budaya, atau apapun itu selalu terdapat satu gaya tarik menarik pada satu titik koordinat. Dan, Sabrang sendiri tidak bisa memandang pada 212 yang lalu peta peperangannya ada dimana, daya tarik menariknya ada di titik mana? Namun, lebih jauh dari itu, Sabrang menjelaskan bahwa dalam sebuah peperangan pada satu pasukan tentu terdapat Pasukan Infantri, Artileri dan Kavaleri. Masing-masing pasukan ini harus memiliki kesadaran koordinatnya masing-masing dalam berperang. Tidak bisa Pasukan Infantri menyalahkan Pasukan Artileri karena tidak berada pada benteng terdepan, tidak bisa juga pasukan Kavaleri membodoh-bodohkan Pasukan Infantri yang bergerak di barisan terdepan. Karena, setiap pasukan memiliki sistem dan strateginya sendiri-sendiri, dan mereka semua berada dalam satu kesatuan pasukan perang.

Hal inilah yang tidak difahami secara mendalam oleh masyarakat di Indonesia hari ini. Kebanyakan dari mereka berharap bahwa semua harus terjun ke medan perang. Padahal, tidak demikian strategi peperangan berlaku. Harus ada yang tetap menjaga markas pasukan, harus ada yang bertugas menjaga stabilitas logistik dan ketahanan pangan. Dan, Sabrang juga menekankan, bahwa pada koordinat penguasaan dan penjajahan terhadap Indonesia, musuh kita juga memiliki sistem “Rakaat Panjang”-nya sendiri yang kita tidak mengetahui sejauh mana sistem mereka itu sudah berjalan. Kita memiliki strategi Rakaat Panjang, tetapi jangan salah sangka juga, bahwa sebenarnya musuh juga memiliki strategi Rakaat Panjang dalam dimensi dan nuansa yang berbeda dari yang kita miliki.

Ada banyak cara berperang. Tetapi, sebelum kita berbicara tentang bagaimana cara berperang, yang harus lebih dulu kita tentukan adalah dimana medan peperangan yang akan kita ambil, sehingga kita bisa menentukan strategi yang paling tepat di medan perang tersebut.

“Indonesia, dari dulu kalau saya lihat, selalu ketinggalan dalam cara berperang”, Sabrang melanjutkan. “Musuh sudah pakai bedil, kita masih memakai bambu runcing. Musuh sudah memakai kata pembangunan, kita masih berfikir demonstrasi. Menurut Pak Toto, dalam sebuah peperangan, salah satu strategi yang paling penting adalah perebutan istilah. Hari inipun istilah penjajahan dirubah menjadi pembangunan”, lanjut Sabrang.

Terlihat halus secara istilah, tetapi mekanismenya tidak berubah, bahwa sebenarnya itu adalah penaklukan, penjajahan. Dan, Indonesia selalu saja ketinggalan dalam metode dan strategi berperang hingga hari ini. Hari ini perang yang terjadi adalah perang yang baru, sementara kita masih menggunakan cara yang lama. Maka, tidak akan ketemu.

Hari ini, jika ada pergerakan massa yang bahkan mencapai jutaan sekalipun, akan terbentur dengan regulasi. Karena unjuk rasa harus dengan izin yang diatur oleh undang-undang. Jadi, sebanyak apapun massa bergerak hari ini, akan sangat mudah dipatahkan dengan tameng regulasi pemerintah bernama undang-undang. Jika melanggar undang-undang, maka akan ditindak oleh aparat penegak hukum. Betapa peperangan saat ini tidak berlaku linier, tidak hanya berurusan dengan urusan jumlah, tapi ada faktor ekonomi disana, ada faktor hukum, ada faktor sosial, ada banyak faktor yang mempengaruhi sebuah peperangan hari ini.

“Jangan lupa, kita ghirroh-nya seindonesia itu sama. Kita cinta sama Indonesia. Kita cinta sama bangsa. Kita cinta untuk tegak menjadi Indonesia yang merdeka. Jangan lupa, semua kembali kepada kecintaan kepada Indonesia”, urai Sabrang. “Lalu, pada koordinat yang berbeda, pada pengetahuan yang berbeda, pada pasukan yang berbeda, sadarilah cita-cita bersama kita adalah memang untuk Indonesia. Syarat untuk mencintai Indonesia, yang pertama adalah cintailah orang Indonesia. Kalau kamu mencintai Indonesia, belajarlah mencintai orang Indonesia. Kalau kita sudah sepakat untuk berada dalam satu pasukan yang sama, pasukan yang berlandaskan mencintai satu sama lain, baru kita bisa berbicara tentang bagaimana melawan penjajah yang menggunakan metodologi yang bermacam-macam itu.”
“Yang harus kamu perhatikan dan waspadai adalah orang yang paling kamu percayai. Karena, ialah yang paling memiliki kemungkinan besar untuk menjadi pengkhianat”, Sabrang mencuplik sebuah kutipan dari buku karya Robert Greene; The 48 Laws of Power.

“Siapapun boleh tinggal di Indonesia, tetapi harus tahu diri. Karena yang terjadi hari ini, para pendatang datang ke Indonesia dengan sikap yang tidak tahu diri, awal mulanya mengaku sebagai tamu, lama-lama berlaku sangat serakah.”
Abdul Basith, Kenduri Cinta (Desember, 2016)

SABRANG MENCONTOHKAN bahwa di Surabaya beberapa tahun yang lalu terjadi demonstrasi menuntut kenaikan UMR. Semua mengira bahwa itu hanya satu strategi dari pihak buruh agar UMR mereka dinaikkan. Ternyata, efek panjangnya adalah bahwa pengusaha tidak mampu membayar gaji para pegawainya yang melakukan demonstrasi, yang akhirnya berujung dengan PHK massal. Setelah itu, pihak perusahaan mengganti tenaga manusia dengan mesin. Sementara itu, ada juga yang memilih untuk memindahkan perusahaannya dari Surabaya ke daerah lain, yang UMR-nya masih rendah. Para Buruh tidak bisa melihat efek jangka panjang yang akan terjadi. Karena, yang ada dalam pikiran mereka hanya tuntutan terhadap kenaikan UMR.

Dari contoh kecil itu, Sabrang menjelaskan bahwa sebenarnya pasukan kita masih kocar-kacir karena masih gagal memahami medan peperangan. Belajar dari Rasulullah SAW, dalam Perang Badar kemenangan juga dihasilkan oleh pasukan Islam yang memilih medan perangnya, bukan musuh. Sehingga, Pasukan Islam yang sudah sangat memahami wilayah peperangan itupun memahami titik-titik mana yang bisa dimanfaatkan untuk menyerang musuh. Inilah yang seharusnya kita lakukan.

Kita tentukan sendiri medan perang kita dan menarik musuh untuk masuk di medan peperangan yang kita pilih. Bukan justru terseret di medan peperangan yang sudah ditentukan oleh musuh kita. Kalau kita tidak faham medan peperangan kita sendiri, jangan berbicara tentang koordinat, jangan bermimpi untuk menang dalam pertempuran. Tidak ada harapan apapun selama kita tidak memahami medan peperangan.

“Koordinat Maiyah menurut saya adalah mengumpulkan orang-orang bersama agar dia semakin faham koordinat dirinya secara vertikal maupun horisontal, sehingga ketika dia tidak bisa dipengaruhi oleh satu koordinat lain, tidak dipengaruhi oleh satu isu, tetapi hanya dipengaruhi oleh komprehensi pemahamannya sendiri yang lebih luas. Sehingga, tidak hanya tepat pada saat itu, tetapi juga tepat pada jangka menengah dan jangka panjangnya. Karena, cita-cita kita adalah untuk Indonesia masa depan.” Sabrang memungkasi paparan awalnya.

Abdul Basith, yang dua bulan sebelumnya juga hadir di Kenduri Cinta, kali ini membiacarakan tentang Koordinat Maiyah. Ia menggambarkan bahwa ketika kita dianggap sebagai kanan, itu dikarenakan ada orang yang berada di sebelah kiri kita. Begitu juga sebaliknya. Juga, letak sebuah daerah atau kota di Peta, dikarenakan semua Negara sudah menyepakati bahwa ada aturan Garis Lintang dan Bujur, sehingga letak Koordinat suatu tempat di Peta tidak akan berubah. Berbeda dengan Maiyah. Apabila Maiyah hari ini kita anggap sebagai yang terbaik, tidak kemudian kita lantas tidak melakukan inovasi-inovasi.

Dulu, Nokia yang pernah merajai produk telepon seluler justru bisa kolaps hanya dalam hitungan bulan ketika kompetitor mereka melakukan percepatan-percepatan inovasi teknologinya. Dan, bukan tidak mungkin, jika selain Maiyah juga melakukan percepatan-percepatan untuk menjadi lebih baik, maka Maiyah yang akan tertinggal. Melandasi paparan ini, Basith mengutip salah satu hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini.

Menyinggung tentang kasus penistaan agama yang akhir-akhir ini sedang melejit, Abdul Basith menjelaskan bahwa seandainya kita lebih sering membaca Al Quran, lebih giat mentadabburi Al Qur’an, maka kita akan lebih menyadari bahwa banyak sekali penistaan agama yang dilakukan di Indonesia hari ini, bukan hanya sekedar Al Maidah ayat 51 saja. Dan, lebih dari itu, bahwa sudah saatnya Ummat Islam hari ini dijadikan target utama untuk dilemahkan. Perang asimetris di Indonesia hari ini tidak lain dan tidak bukan juga dalam rangka menyerang Islam.

Al Islaamuya’luwalaayu’laa ‘alaihi. Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam”, sambungnya kembali mengutip salah satu hadits Rasulullah SAW. Dalam hadits tersebut, dijelaskan bahwa Islam sudah menemukan koordinatnya. Islam berada pada posisi yang tinggi dimana tidak ada yang bisa berposisi lebih tinggi dari Islam. Dan, lebih dalam dijelaskan, bahwa yang dihadapi oleh Ummat Islam di Indonesia saat ini adalah perang asimetris yang modelnya tidak lagi dalam bentuk adu teknologi senjata di medan perang, tetapi bagaimana sebuah Negara menyerang dan menghancurkan Negara yang lainnya melalui cara-cara yang lebih halus; menyelundupkan Narkoba, pornografi, penyelewengan ideologi dan lain sebagainya yang muaranya adalah kehancuran generasi penerus kepemimpinan di masa yang akan datang.

“Jangan salah memposisikan diri antara tidak bisa dipengaruhi, terpengaruh atau antara setuju dan tidak setuju terhadap pendapat orang lain. Kalau kamu setuju dengan pendapat orang lain tidak berarti kamu terpengaruh, kalau kamu tidak setuju dengan pendapat orang lain bukan berarti kamu tidak terpengaruh. Yang penting adalah ketika kamu setuju dan tidak setuju, itu datang dari dirmu sendiri”, Sabrang sedikit menambahi pemaparan sebelum jeda penampilan dari Pandan Nanas.

Diiringi Pandan Nanas, Sabrang membawakan lagu Ruang Rindu dan To Much Love Will Kill You. Kemudian Pandan Nanas membawakan lagu Kopi Dangdut dan Cinta Sabun Mandi. Setelah penampilan Pandan Nanas, Luqman dan Tri Mulyana memberikan kesempatan kepada jamaah untuk bertanya.

“Maiyah merupakan sebuah ruangan yang besar dan luas, yang terdiri dari banyak pintu, dan semua orang berhak memasuki Maiyah dari pintu mana saja yang ia kehendaki”
Donny Kurniawan, Kenduri Cinta (Desember, 2016)

MERESPON PERTANYAAN dari Martin tentang apa yang sebenarnya menjadi musuh utama manusia saat ini, Sabrang menjelaskan dengan gambaran struktur sebuah pohon. Hasil dari Pohon adalah buah, itulah yang kita lihat secara kasat mata, tetapi yang tidak pernah atau jarang kita fahami adalah akar dari pohon tersebut. Padahal, awal mula buah tersebut adalah akarnya. Berbicara tentang kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh manusia hari ini, Sabrang menjelaskan bahwa akar persoalannya secara garis besar adalah bahwa manusia memiliki naluri untuk berkompetisi. Ingin menjadi lebih baik dari yang lainnya. Jika pada era Majapahit dulu, kompetisi yang terjadi adalah tentang adu kesaktian, sementara hari ini yang kita lihat adalah adu kekayaan.

“Semua orang berhak sejahtera. Yang menjadi masalah adalah ketika kamu ingin menjadi orang yang sejahtera tetapi tega membuat orang lain tidak sejahtera”, lanjut Sabrang. Fenomena hari ini, satu orang berjuang untuk membuat dirinya sejahtera dengan cara membuat satu juta orang lain tidak sejahtera. Dan, ini terjadi di Indonesia, dimana  ketimpangan kekayaan di Indonesia yaitu 1% penduduk di Indonesia menguasai 45% kekayaan di Indonesia. Dan, peperangan di dunia pada dasarnya adalah penguasaan sumber daya di tempat lain.

Sabrang bercerita bahwa penjajahan zaman dahulu sangat simpel. Penjajah dilakukan dengan datang ke sebuah tempat, menodongkan senjata kepada penduduk asli, mengancam akan membunuh jika tidak menuruti keinginan Penjajah. Kemudian, meningkat dengan sistem yang lebih halus, seperti Politik Etis. Dimana melakukan penjajahan dengan cara mendekati pejabat-pejabat kerajaan, kemudian menjebak mereka melalui perjanjian-perjanjian. Cara ini lebih efektif dari cara sebelumnya, dimana Penjajah akan melakukan penghematan besar-besaran dan meminimalisir peperangan yang mengerahkan pasukan militer, juga meminimasilir penggunaan amunisi sehingga dana yang mereka keluarkan juga semakin sedikit. Dan, hari ini kita melihat sistem yang berlaku masih sama, dimana di sekitar lokasi ekspolitasi pertambangan, penduduk sekitar tidak mengalami peningkatan kesejahteraan yang signifikan.

Berbelok sedikit, Sabrang menjelaskan bahwa Islam memiliki konsep kesejahteraan masyarakat yang lebih lengkap. Melalui sistem Zakat dan Sedekah, Islam melahirkan sebuah sistem dimana uang untuk yang berhak disalurkan melalui sistem Zakat dan Sedekah. Hari ini, kita melihat distribusi Zakat dan Sedekah di Indonesia akhirnya hanya dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dan tidak disalurkan sebagaimana mestinya. Tetapi, Islam sudah melahirkan sistem yang sangat tepat untuk menghindari ketimpangan kesejahteraan masyarakat. Dan Islam sangat menyadari bahwa adil itu bukan berarti setara, sama rata. Tidak.

Konsep Zakat dan Sedekah ini merupakan satu metode sosial yang mengajarkan manusia agar lebih mengenal manusia yang lainnya. Dengan metode distribusi uang melalui Zakat dan Sedekah, setiap orang memiliki kesempatan untuk mengenal orang lain yang akan ia salurkan Zakat atau Sedekahnya.

Kembali ke persoalan bagaimana penjajah mengusai sebuah Negara, metode yang salah satunya dilakukan hari ini adalah dengan cara memegang kendali pejabat-pejabat di wilayah Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif agar dapat dipengaruhi dalam menentukan sebuah kebijakan menguasai sumber daya sebuah Negara. Dan, ini sangat nyata terjadi di Indonesia. Belum lagi bagaimana sebuah undang-undang berhasil lolos dan disahkan, padahal undang-undang tersebut sangat merugikan kepentingan rakyat banyak. Dan masih banyak lagi contoh-contoh dimana sebuah kebijakan lebih condong menguntungkan segelintir orang saja daripada kepentingan rakyat Indonesia secara luas.

“Semua orang punya perjalanan hidupnya. Semua orang bisa beriman kemudian kafir dua detik kemudian, lalu kembali beriman beberapa saat kemudian. Hidup adalah dinamika antara hitam dan putih, hidup adalah dinamika antara diatas dan dibawah, tetapi semua gelombang itu tidak ada yang besar kecuali mengisi kerinduan kita terhadap Yang Maha”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Desember, 2016)

BAHWASANNYA SALAH SATU metode penjajahan adalah menyerbu Indonesia dengan produk-produk yang begitu banyak. Tidak dipungkiri, daya beli rakyat Indonesia merupakan yang tertinggi di Asean, bahkan termasuk 5 besar di Asia. Daya tarik inilah yang kemudian memaksa para penjajah menyerbu Indonesia dengan cara-cara yang halus. Bagaimana produk-produk mereka masuk ke Indonesia dengan biaya yang kecil, dan diminati oleh banyak orang. Maka, salah satu cara untuk menangkalnya adalah dengan cara vote uang kita sebaik mungkin. Sabrang kembali menjelaskan, bahwa dengan cara menggunakan uang kita sebijak mungkin, dengan cara membeli barang dari toko tetangga kita, membeli produk hasil industri tetangga kita sendiri, maka hal tersebut turut serta bukan hanya mensejahterakan tetangga kita tetapi dalam skala yang lebih besar akan membuat produk-produk dari luar negeri kalah bersaing. Semakin kita tidak membeli produk bangsa lain, tanpa kita usir merekapun akan pergi dari Indonesia.

Begitu pula dengan metode Rakaat Panjang yang dimiliki oleh Maiyah. Bukan berarti para penjajah tidak memiliki metode Rakaat Panjang dalam menjajah Indonesia, justru bisa jadi Rakaat Panjang mereka sudah berjalan lebih lama. Tetapi yang paling penting bukanlah seberapa panjang perjuangan itu akan berlangsung, melainkan Istiqomah dalam sebuah perjuangan itulah yang paling penting.

Abdul Basith kemudian menambahkan paparan untuk merespon pertanyaan Martin, bahwa ujung pangkal dari persoalan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia saat ini karena UUD 1945 sudah diamandemen, sementara untuk mengembalikan UUD 1945 ke posisi semula, memerlukan proses yang panjang dan tidak mudah. Harus memahamkan satu per satu anggota DPR bahwa akibat dari amandemen UUD 1945 memang begitu parah. Tetapi, persoalannya, ketika kita menuntut DPR untuk mengembalikan UUD 1945 ke posisi semula, maka pasal tentang makar juga mengancam kita. Memang perjuangannya tidak mudah. Merefleksikan Pledoi Bung Karno ketika ditahan di Bandung pada usia 30 tahun, Pak Basith menggambarkan bahwa apa yang disampaikan oleh Bung Karno saat itu sama persis dengan apa yang dialami oleh Bangsa Indonesia hari ini. Bahwa yang kita lawan bukanlah bangsa A, suku B, ras C, agama D dan lain sebagainya. Yang kita lawan adalah penjajahan. Begitu juga yang seringkali disampaikan oleh Cak Nun di beberapa Maiyahan, bahwa yang kita persoalkan adalah karena nggragas (serakah)-nya para penjajah hari ini.

Siapapun boleh tinggal di Indonesia, tetapi harus tahu diri. Karena yang terjadi hari ini, para pendatang datang ke Indonesia dengan sikap yang tidak tahu diri, awal mulanya mengaku sebagai tamu, lama-lama berlaku sangat serakah.

Memungkasi paparannya, Basith mengutip salah satu ucapan Hamka; “Andai tidak ada pekik Allahu Akbar, mungkin masih ada warna biru di bendera Merah-Putih”.

“Di sini tidak ada urusan etnis, agama, kepercayaan, suku, ras dan yang lainnya. Kita disini bersama-sama atas landasan cinta kepada Allah dan Rasulullah SAW, ingin memangku Indonesia, mengayomi Indonesia, memperbaiki yang rusak-rusak”
Bang Mathar, Kenduri Cinta (Desember, 2016)

MEMILIH PRESISI

IRFAN, SALAH SATU JAMAAH, ikut menambahkan. Melalui hadits Rasulullah SAW yang menyuruh agar mengajarkan anak-anak kita berlatih berenang dan memanah, Irfan mentadabburi Hadits tersebut bahwa berenang bisa direfleksikan pada perjuangan rakaat panjang kita hari ini, sementara memanah bisa direfleksikan dengan fokus untuk bertauhid kepada Allah swt. Sepakat dengan Abdul Basith, Irfan menyarankan agar yang dikedepankan untuk maslahat Indonesia hari ini adalah musyawarah. Yaitu dengan berkumpulnya para kepala-kepala atau pucuk pimpinan dari semua golongan di Indonesia, bukan hanya Ummat Islam saja, tetapi semua golongan untuk duduk bersama membicarakan persoalan yang dihadapi oleh Indonesia dan bersama-sama mencari jalan keluar. Dan, salah satu harapan Irfan adalah bagaimana Cak Nun ikut terlibat merangkul semua pihak yang ada di Indonesia hari ini, termasuk Habib Riziq yang hari-hari ini tampil sebagai panglima Ummat Islam di Indonesia.

Merespon paparan Irfan, Sabrang mengutarakan pendapatnya yang sedikit berbeda soal memanah. Jika Irfan mengambil nilai fokus dalam memanah, Sabrang berusaha lebih mendalam dari itu, bahwa presisi adalah yang diambil nilainya. Karena, fokus merupakan sebuah prasyarat yang harus dipenuhi seseorang sebelum ia berlatih memanah. Sedangkan presisi yang dimaksudkan oleh Sabrang adalah tentang mekanisme bagaimana kita memilih medan perang dimana kita terjun didalamnya. Banyak sekali tokoh-tokoh yang piawai dalam strategi berperang memiliki pendapat bahwa dengan kita memilih medan perang, memahami gejala alam, mempelajari arah angin, mengerti keadaan cuaca pada saat berperang, berapapun jumlah musuh yang kita hadapi, kita memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk memenangkan peperangan tersebut. Di awal Sabrang mencontohkan bagaimana Perang Badar adalah satu contoh yang paling nyata dari Ummat Islam, dimana pasukan Islam saat itu memilih sendiri medan perangnya, dan memancing pasukan musuh untuk masuk ke wilayah perang yang ditentukan oleh pasukan Islam. Secara rasional disitulah kunci utama kemenangan pasukan Islam dalam Perang Badar.

“Perang yang kita hadapi hari ini, tidak sesederhana megangkat senjata layaknya zaman dulu”, Sabrang lalu melanjutkan pemaparannya sembari mengajak jamaah untuk mengingat kembali bagaimana Reformasi 1998 di Indonesia gagal total. Kegagalan Reformasi 1998 harus dijadikan bahan refleksi bersama, bahwa sebuah pergerakan massa yang cukup besar dan mampu menggulingkan penguasa, ternyata tidak memiliki dampak yang signifikan untuk memperbaiki keadaan dan situasi Bangsa Indonesia. Sabrang menceritakan tentang perjuangan Otto van Bismarck, dimana sebelum adanya Jerman, Prusia adalah sebuah Negara yang dikuasai oleh Austria. Ketika ada momentum untuk melakukan perlawanan terhadap Austria, Bismarck adalah salah satu tokoh yang sangat menginginkan kemerdekaan Prusia dari Austria saat itu. Tetapi, apa yang dilakukan oleh Bismarck saat itu? Bismarck berpidato tentang kedamaian, yang kemudian Raja Prusia kepincut dan mengangkat Bismarck menjadi Perdana Menteri. Setelah diangkat menjadi Perdana Menteri, Bismarck melakukan penguatan pasukan, semua pasukan militernya dilatih dengan giat. Dan, pada saatnya, Bismarck bersama seluruh pasukannya itu menghabisi Austria, dan melepaskan Prusia dari Austria.

Sabrang ingin menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Bismarck itu merupakan langkah panjang yang dilakukan menuju kemerdekaan bagi Bangsanya. Kita tidak bisa menyimpulkan satu langkah awal Bismarck tadi sebagai langkah yang salah, karena pada faktanya itu merupakan salah satu strategi awal untuk menghancurkan Austria. Bismarck menyadari bahwa kekuatan Prusia saat itu belum memadai untuk melakukan perlawanan terhadap Austria. Maka, ketika ia menjadi Perdana Menteri, penguatan pasukan menjadi fokus utamanya, sehingga pada momentum yang tepat ia memimpin pasukan perang untuk menghabisi Austria.

Sabrang mengutip satu kalimat dari Sun Tzu; “Jangan pernah memulai peperangan kalau engkau belum pasti mengetahui bahwa engkau akan menang”. Sabrang menjelaskan bahwa Ekonomi modern hari ini sangat mengacu pada strategi dan ilmu perangnya Sun Tzu.

“Jangan salah memposisikan diri antara tidak bisa dipengaruhi, terpengaruh atau antara setuju dan tidak setuju terhadap pendapat orang lain. Kalau kamu setuju dengan pendapat orang lain tidak berarti kamu terpengaruh, kalau kamu tidak setuju dengan pendapat orang lain bukan berarti kamu tidak terpengaruh. Yang penting adalah ketika kamu setuju dan tidak setuju, itu datang dari dirmu sendiri”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Desember, 2016)

SEJAK DAHULU, sebuah peperangan merupakan satu mekanisme untuk memindahkan kekayaan alam, sumber daya dan harta rampasan ke negara atau bangsa lain. Jika dahulu yang dilakukan dalam sebuah peperangan adalah menyerbu sebuah negara atau bangsa dengan pasukan perang, hari ini peperangan tidak dilakukan dengan metode seperti itu. Tetapi, yang pasti tujuannya masih sama; memindahkan sumber daya dan kekayaan negara.

Sabrang menjelaskan, ada momentum tertentu yang memang harus memperlihatkan jumlah massa yang kita miliki seperti 411 dan 212, tetapi momentum seperti itu jangan dilakukan terlalu sering. Karena, hari ini kita sendiri masih belum memahami betul dimana medan perang yang harus kita masuki, bahkan jangan-jangan kita belum benar-benar siap untuk berperang? Sabrang sendiri mengakui bahwa teriakan-teriakan yang menjadi bumbu di gerakan massa 212 terlalu berani, karena sejauh penelitian Sabrang hingga hari ini belum terlihat pasukan yang benar-benar siap untuk terjun di medan perang. Jangankan untuk terjun di medan perang, untuk mengidentifikasi perang yang mana saja kita belum berhasil melakukannya. Pemetaan perang dalam kotak Al Maidah ayat 51 merupakan pemetaan perang yang terlalu sempit. Maka, seperti pesan Cak Nun pada Kenduri Cinta bulan lau; Perluas medan perang.

“Jangan bernafsu membikin petasan kembang api yang menyala sangat terang namun hanya bertahan dalam waktu singkat kemudian hilang, tetapi bikinlah lampu-lampu yang cahayanya bertahan lama, meskipun kecil. Karena, jika dikumpulkan sedikit demi sedikit, maka lampu tersebut akan menjadi sekumpulan cahaya yang jumlahnya sangat banyak”,tutur lanjut Sabrang.

Beberapa jamaah lalu kembali diberi kesempatan untuk bertanya. Muncul pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar mulai dari konstruksi berfikir, solusi-solusi menghadapi persoalan-persoalan sehari-hari dan lain sebagainya. Ada juga jamaah yang ikut mentadabburi Surat Al Kahfi, dimana beberapa pemuda dilindungi oleh Allah dalam sebuah gua selama 309 tahun. Ia menganggap bahwa Maiyah ini seperti gua tersebut, dimana orang-orang yang berada di Maiyah sudah memutuskan untuk menyepi dari keramaian, dan terus mempertahankan kebenaran yang sudah diijtihadi oleh mereka sendiri. Tetapi juga, Allah memberi contoh bagaimana Nabi Musa AS berjuang melawan Fir’aun. Dua kisah ini merupakan dua pilihan yang juga bisa diambil oleh Jamaah Maiyah untuk menentukan koordinatnya dalam proses perjuangan di dunia hari ini.

Ali Hasbullah kembali urun untuk menambahkan penjelasan tentang presisi. Di zaman Rasululllah SAW, disepakati sebuah perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian tersebut jika hanya dilihat pada saat waktu dibuatnya sangat merugikan Ummat Islam. Tetapi, Rasulullah SAW sangat jeli melihat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, dan justru pada akhirnya Perjanjian Hudaibiyah tersebut memberi keuntungan bagi Ummat Muslim di masa depan.

Abdul Basith lalu turut memaparkan bagaimana potensi konsumen di Indonesia sangat mungkin dimanfaatkan untuk menggalang kekuatan. Berkaca dari apa yang terjadi di Kulon Progo, Yogyakarta, Basith menceritakan keberadaan toserba yang dimiliki oleh investor luar kota sangat dibatasi, sementara jika ada warga sendiri yang ingin mendirikan Toserba justru dipermudah izinnya. Begitu juga dengan produk air minum, dimana Pemerintah Kabupaten Kulon Progo melalui PDAM memproduksi Air Mineral dalam kemasan yang kemudian dengan regulasi yang disahkan oleh Bupati Kulon Progo, maka seluruh instansi diwajibkan menggunakan Air Mineral dalam kemasan produksi PDAM tersebut. Hasilnya, setidaknya 500 juta rupiah setiap bulannya berhasil mereka hemat dan uang tersebut berputar di Kulon Progo, yang sebelumnya uang sebesar itu dihabiskan untuk membeli Air Mineral produk yang sudah dikenal saat ini. Begitu juga dengan seragam batik di sekolah-sekolah. Pemerintah setempat memacu homeindustry memproduksi kain batik untuk dijadikan seragam sekolah, sehingga sekolah di Kulon Progo sudah tidak lagi membeli kain produksi luar kota. Kebijakan ini berakibat pada menggeliatnya perekonomian Kulon Progo sendiri. Begitu juga dengan beras, Pemerintah Kulon Progo berhasil melakukan kerjasama dengan Bulog dan Dolog setempat agar mau membeli hasil panen dari pertanian Kulon Progo. Sehingga, beras yang beredar di Kulon Progo juga merupakan hasil panen pertanian daerah sendiri.

“Pada pemahaman saya, Al Qur’an itu begitu indah kalimatnya. Bukan hanya indah secara estetika tetapi juga indah secara pengetahuan. Karena, dalam satu kalimat petunjuk, itu bisa terdapat pagar yang luar biasa banyak serta membuat kita menggali lebih jauh dan lebih dalam. Apalagi, kalau kita melihat Al Qur’an bukan sebagai Kitab Hukum, melainkan sebagai Kitab Pengetahuan”,
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Desember, 2016)

ABDUL BASITH menyarankan agar di setiap rumah-rumah kita setidaknya ada beberapa bahan makanan yang merupakan hasil dari kebun kita sendiri. Hal ini melatih kepekaan kita untuk menyadari bahwa kita tidak bisa terus menerus bergantung pada produk dari bangsa lain. Bagaimana hari ini buah impor juga membanjiri pasar buah di Indonesia, seandainya setiap rumah memiliki beberapa pohon yang menghasilkan buah-buahan, maka satu langkah awal yang kongkrit sudah kita lakukan, yaitu menanam buah yang kelak hasilnya akan kita nikmati sendiri.

Menanggapi apa yang terjadi di Kulon Progo, Sabrang mengaku sangat gembira, dan berharap Jamaah Maiyah bisa memperluas gerakan-gerakan seperti di Kulon Progo. Dengan kemandirian ekonomi seperti itu, maka akan menjadi satu amunisi tersendiri dalam menjelajahi medan perang yang saat ini juga berlaku di wilayah kapitalisme.

Menjawab pertanyaan tentang prinsip hidup, Sabrang bercerita tentang pengalamannya ketika kuliah di Kanada, ia sempat berdiskusi dengan seorang ahli agama di sebuah masjid. Sabrang yang notabene mengambil bidang Fisika, karena terbiasa berkutat dengan ilmu-ilmu pasti, pada saat itu bertanya tentang bagaimana jika ada anak setan yang baru lahir, dan sedetik kemudian terjadi kiamat, apakah anak setan itu tetap masuk neraka atau masuk surga? Sang ahli agama tadi menjawab bukan dengan metode dogma, melainkan menawarkan pertanyaan baru; seperti apa cara setan melakukan reproduksi? Apakah seperti manusia atau mungkin dengan membelah diri seperti amuba, atau bahkan kloning?

Mendapatkan bentuk jawaban seperti itu Sabrang kemudian menyadari bahwa sesungguhnya fitur utama di dalam dirinya adalah ketidaktahuan dan kebodohan. “Makanya, saya yakin setiap perjalanan dalam kehidupan saya, itu adalah ketidaktahuan yang belum terbuka. Jadi, kebenaran yang saya fahami sekarang adalah kesalahan saya di masa depan, karena saya belum tahu presisinya. Karena saya belum tahu yang lebih benar, maka yang saya pegang yang ini saja dulu. Jadi, perjalanan itu tidak berhenti. Jadi, asumsi yang saya ikuti adalah seperti anda, saya bodoh, saya ndak tahu apa-apa”, ujar Sabrang.

Sabrang juga menjelaskan bahwa apa yang disampaikan bukanlah kebenaran yang mutlak, karena sangat mungkin orang lain memiliki informasi yang lebih lengkap dan lebih valid dari informasi yang disampaikan oleh Sabrang sendiri. Jiika prinsip dasar seperti ini yang menjadi fondasi dasar dalam diri kita, maka akan berakibat pada kerendahan hati masing-masing, kita tidak memaksakan kebenaran yang kita yakini untuk mutlak dan dipakasakan kepada orang lain, dan sangat mungkin terjadi bahwa kebenaran yang kita yakini hari ini tidak berlaku esok hari. Sabrang juga menambahkan bahwa informasi-informasi yang terkandung dalam Al Qur’an merupakan sebuah petunjuk bagi ummat manusia.

Segala sebab akibat yang terjadi dan berlaku, sudah diinformasikan oleh Al Qru’an. Bahwa apabila manusia berbuat salah, maka akibatnya adalah hukuman berupa neraka. Semenatra manusia yang taat, maka akibatnya adalah surga. Aturan seperti itu merupakan informasi yang sudah diberikan oleh Allah melalui Al Qur’an.

“Semua orang berhak sejahtera. Yang menjadi masalah adalah ketika kamu ingin menjadi orang yang sejahtera tetapi tega membuat orang lain tidak sejahtera”,
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Desember, 2016)

MENURUT SABRANG, adanya Surga dan Neraka merupakan satu metode yang memang dibikin oleh Allah untuk mengantisipasi bodohnya manusia karena membutuhkan punishment and reward. Manusia dalam perjalanannya memang membutuhkan sanjungan, hadiah, piala dan segala yang indah-indah ketika mencapai sebuah prestasi. Begitu juga ketika melakukan kesalahan, manusia perlu mendapat hukuman. Seperti halnya ketika orang tua mengajarkan anaknya untuk berpuasa, seringkali menjanjikan hadiah bagi yang berhasil melengkapi puasa selama satu bulan ramadhan. Ini merupakan satu permisalan, bagaimana Allah juga menyiapkan metode Surga dan Neraka. Pada titik tertentu akhirnya, seorang anak sudah berhasil melewati fase “hadiah” ketika menjalankan puasa selama satu bulan ramadhan, dan pada akhirnya manusia juga akan melewati fase “surga” dan “neraka”. Karena, yang paling penting dalam dirinya kelak adalah bersama Allah dan Rasulullah SAW, tidak lagi memperdulikan apakah akan mendapat surga atau neraka.

“Pada pemahaman saya, Al Qur’an itu begitu indah kalimatnya. Bukan hanya indah secara estetika tetapi juga indah secara pengetahuan. Karena, dalam satu kalimat petunjuk, itu bisa terdapat pagar yang luar biasa banyak serta membuat kita menggali lebih jauh dan lebih dalam. Apalagi, kalau kita melihat Al Qur’an bukan sebagai Kitab Hukum, melainkan sebagai Kitab Pengetahuan”, lanjut Sabrang. Karena, indahnya makan adalah ketika kita lapar, indahnya tidur ketika kita mengantuk, indahnya pengetahuan ketika kita tidak tahu kemudian menjadi tahu. Dinamika kehidupan berjalan demikian.

Sebab, jika kita mengetahui semua informasi yang ada, maka kita yang akan merasa bosan sendiri. Betapa akan sangat membosankan kehidupan jika Allah menganugerahkan kita semua mengetahui semua informasi yang ada. Sepintar-pintarnya manusia, jauh lebih banyak lagi informasi yang belum ia ketahui, karena Allah memang mengatur demikian adanya. Bahkan, di Al Qur’an sekalipun, ada banyak sekali informasi yang justru menyadarkan akan ketidaktahuan kita sendiri.

Sabrang lalu merespon pertanyaan tentang bagaimana berdakwah yang baik. Menurut Sabrang, berdasarkan pengalaman pribadi, ia selalu menyelipkan kalimat; “ini yang saya ketahui, lho.” Atau, kalimat “ini limitasi pengetahuan saya, lho”. Dengan kalimat-kalimat seperti itu Sabrang melandasi cara berfikir orang yang diajaknya bicara. Bahwa, sejatinya, ada kebenaran yang lebih mutlak dari kebenaran yang disampaikan oleh Sabrang sendiri. Karena pengetahuan kita terus berkembang dan bertambah. “Jadi yang kamu kasih tahu, tidak berpegang pada pengetahuanmu tetapi berpijak pada pengetahuanmu, sehingga ia bisa berkembang sendiri”, lanjut Sabrang.

“Kita ber-Maiyah hingga saat ini, sesungguhnya alasan yang paling mendasar adalah karena kita mencintai Allah, lalu kemudian kita mengikuti Rasulullah SAW. Kita menggali, mempelajari intisari yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam bingkai kecintaan kepada Allah SWT”,
Ali Hasbullah, Kenduri Cinta (Desember, 2016)

LIMITASI PENGETAHUAN

Menjelang pukul 3 dini hari, Pandan Nanas kembali tampil di panggung Kenduri Cinta membawakan beberapa nomor-nomor akustik sebagai jeda. Setelah Pandan Nanas, narasumber-narasumber yang hadir memberikan closings tatement. Bang Mathar mengajak Jamaah Maiyah Kenduri Cinta untuk berkenalan satu sama lain, karena hampir setiap bulan pada Jum’at kedua sama-sama hadir di Kenduri Cinta, harapannya adalah dengan mengenal satu sama lain, akan tahu potensi masing-masing sehingga bisa saling bersinergi satu sama lain. Dadang juga ikut menyampaikan agar Jamaah Maiyah Kenduri Cinta berlatih untuk terus menerus bertanya, karena orang yang sering bertanya bisa jadi akan menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan yang ia tanyakan, sementara orang yang terbaisa menjawab belum tentu bisa menyusun pertanyaan-pertanyaan yang justru sebenarnya dengan pertanyaan-pertanyaan itu akan menambah pengetahuannya. Abdul Basith lalu menyampaikan bahwa dalam riuhnya konstelasi politik yang kita hadapi hari ini, sebisa mungkin  kita bijak saat menentukan pilihan. Dan, sesulit apapun keadaan kita hari ini, jangan sampai harapan dalam diri kita padam dan hilang.

“Limitasi kita juga yang tidak bisa melihat bencana kalau bukan kehancuran. Ketidakmampuan kita berfikir juga bencana, menghilangkan kita dari kemanusiaan”, demikian Sabrang merespon pertanyaan terakhir tentang apakah bencana alam merupakan satu bentuk hukuman dari Allah, dan mengapa manusia tidak peka terhadap peringatan dari Allah tersebut. Sabrang juga mengingatkan bahwa manusia saat ini masih terus saja memahami peristiwa-peristiwa yang material, yang kasat mata, yang berupa fisik, yang wadag saja. Tidak banyak yang menyadari bahwa kehancuran moral, kehancuran cara berfikir, kehancuran dalam menyikapi persoalan, dan kehancuran mental juga merupakan sebuah bencana.

Tentang kelembutan apa yang bisa menghancurkan kejahatan, Sabrang memberikan gambaran bagaimana lautan yang luas tidak pernah menolak sampah apapun yang dibuang di lautan, dengan keluasan yang begitu luas sampah-sampah itu mampu dihancurkan, disingkirkan. Begitu juga dengan manusia. Sabrang mengajak Jamaah Kenduri Cinta untuk memperluas hati masing-masing agar mampu bersikap lebih bijak.

“Kalau hatimu bisa seluas lautan, kamu bisa cukup bijaksana, kamu bsia menampung itu semua dengan kelembutan. Ketika kamu harus marah, yang keluar dari dirimu bukanlah amarah, yang keluar adalah metode marah untuk melakukan sesuatu, bukan karena amarah. Karena marah dengan amarah itu adalah melampiaskan, sementara marah sebagai sebuah metodologi kamu tahu kapan harus berhenti”, lanjut Sabrang.

Lautan begitu tenang, mampu menampung semuanya. Tetapi, jangan lupa, lautan juga bisa menghasilkan tsunami yang mampu menghancurkan siapa saja ketika waktunya tepat, ketika momentum dan kondisinya tepat. Maka, jangan meremehkan sesuatu yang lembut sekalipun, karena dia bisa menghancurkan semuanya.

“Jangan katakan para pemuda Ashabul Kahfi ketika masuk ke dalam gua itu tidak melakukan apa-apa. Jangan bilang bahwa dongkrak yang ada didalam mobil itu tidak memiliki peran apa-apa. Dongkrak bisa saja hanya diam bertahun-tahun di dalam mobil, dan ia akan berfungsi pada saat ban mobil bocor. Metodologi bisa bermacam-macam, langkah bisa bermacam-macam. Disini, kita ber-Maiyah, semoga kita semakin tahu medan perang, semoga kita semakin tahu siapa kita, sehingga kita tahu positioning dan koordinat kita, sehingga kita bisa semakin maksimal menumbuhkan fungsi dan potensi kita untuk menjadi Rahmatan Lil ‘Alamin, sebisa-bisanya.

“Kalau hatimu bisa seluas lautan, kamu bisa cukup bijaksana, kamu bisa menampung itu semua dengan kelembutan. Ketika kamu harus marah, yang keluar dari dirimu bukanlah amarah, yang keluar adalah metode marah untuk melakukan sesuatu, bukan karena amarah. Karena marah dengan amarah itu adalah melampiaskan, sementara marah sebagai sebuah metodologi, kamu tahu kapan harus berhenti”,
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Desember, 2016)

KARENA, KESALAHAN dan ketidakmampuan adalah sifat dari manusia, tetapi ketulusan dan sunguh-sungguh itu yang diharapkan membuat Tuhan terharu. Jangan bilang orang yang kerjaannya mengasah gergaji itu tidak berani dan tidak siap untuk memotong pohon. Bisa jadi justru ketika gergajinya semakin tajam, ia akan memotong pohon semakin banyak daripada orang yang kerjaannya hanya memotong pohon dengan gergaji yang tidak diasah. Jadi, Maiyah itu ngasah gergaji, ngerti kapan harus memotong, bersabar dan mengerti kapan harus berbuat, melakukan apa saja yang bsia dilakukan.

Semoga, kalau kita dijadikan dongkrak, kita siap menjadi dongkrak. Kalau kita dijadikan spion, kita siap menjadi spion. Semoga Tuhan tidak marah. Semoga Tuhan mendukung dan menghargai terus serta menguatkan hati kita, kepandaian masuk di dalam kepala kita, kebijaksanaan masuk dalam hati kita, kesungguhan masuk dalam berjalan kita, dan dibukakkan cahaya untuk masa depan. “Aamin ya robbal ‘alaamiin.” Sabrang memungkasi.

Tepat pukul 3 dinihari, Kenduri Cinta edisi Desember 2016 dipuncaki dengan bersholawat dan berdo’a bersama dipimpin oleh para Penggiat Kenduri Cinta.