Kenduri Cinta, Menanam Benih Manusia Indonesia Baru

liputan singkat kenduri cinta edisi mei 2019

SEOLAH tak terasa, Kenduri Cinta akan memasuki usianya ke-19 tahun bulan Juni mendatang. Maiyahan di Taman Ismail Marzuki pada 10 Mei 2019 lalu menjadi penanda perjalanan terselenggaranya Kenduri Cinta ke-201. Hebat? Bagi orang Maiyah, ini bukan sebuah kehebatan. Apa yang dialami Bersama adalah sebuah proses kesadaran dimana orang Maiyah menyadari bahwa dirinya hanyalah manusia yang berkewajiban melakukan apa yang memang harus dilakukan.

Sejak pertengahan tahun 2000, Cak Nun dengan setia dan telaten menemani masyarakat ber-Maiyah. Kenduri Cinta hanyalah satu dari sekian titik Simpul Maiyah yang rutin diselenggarakan setiap bulan untuk sinau bareng. Sebelumnya, ada Padhangmbulan di Jombang yang sudah berlangsung selama 25 tahun, kemudian ada Mocopat Syafaat di Yogyakarta dan Gambang Syafaat di Semarang yang memasuki perjalanan 20 tahun. Belum lagi berbagai titik yang insidentil dihadiri oleh Cak Nun Bersama KiaiKanjeng. Hingga Sinau Bareng di Sleman tadi malam (14/5), Cak Nun Bersama KiaiKanjeng sudah mencapai titik ke 4067. Belum lagi yang dihadiri hanya oleh Cak Nun sendiri, baik Maiyahan rutin bulanan, maupun forum-forum selain Maiyahan, seperti seminar, sarasehan budaya, mimbar bebas dan lain sebagainya. Dalam rangka apa Cak Nun melakukan ini semua? Bagi Cak Nun, ini merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkan generasi baru di Indonesia. Tidak peduli kapan akan lahir generasi yang baru itu, tetapi perjuangan untuk menanam benih akan selalu dilakukan.

Sekali lagi, itu semua bukan sebuah kehebatan, bukan sebuah prestasi. Itu semua semata-mata hanya karena manusia menjalani peran, melaksanakan sesuatu yang memang harus dilaksanakan. Cak Nun secara langsung menjadi teladan bagi orang Maiyah, bahwa manusia seharusnya melakukan apa yang memang harus dilakukan. Dan Kenduri Cinta yang sudah berlangsung hingga edisi ke-201 pun bukan sebuah pencapaian yang ditargetkan atau dicita-citakan. Penggiat yang datang silih berganti, yang mempersiapkan segala sesuatunya di belakang layar, yang juga berkumpul setiap hari rabu dalam forum Reboan, mereka yang menyiapkan ubo rampe Kenduri Cinta setiap bulannya. Sudah tak terhitung berapa kali mereka berrotasi secara alami, ada yang datang dan pergi.

Begitu juga dengan jamaah, datang silih berganti, setiap bulan bertambah jumlahnya. Sama sekali tidak pernah ada undangan. Baliho yang dicetak oleh penggiat Kenduri Cinta pun tidak pernah disematkan kalimat-kalimat ajakan seperti; “Hadirilah” atau “Saksikanlah”. Ribuan orang datang berduyun-duyun atas kesadaran hatinya masing-masing. Tidak sedikit dari mereka yang datang dari luar kota Jakarta dan juga luar pulau Jawa. Semua yang kita rasakan Bersama di Maiyahan seperti Kenduri Cinta ini Cak Nun menyebutnya sebagai ‘Ajibah Maiyah.

Kenduri Cinta edisi Mei 2019 kali ini mengangkat tema “Dosa Kejujuran”, sebuah tema yang masih tersambung dengan tema Kenduri Cinta sebelumnya. Toh sebenarnya tema di Kenduri Cinta bukan menjadi faktor utama apakah jamaah akan datang atau tidak. Tema yang diangkat adalah pijakan awal untuk belajar bersama. Pada akhirnya, ada lebih banyak hal yang dibicarakan dan didiskusikan bersama. Dengan kondisi demikian, jamaah secara merdeka memiliki kebebasan untuk menafsirkan sendiri tema yang diangkat, mereka bebas mengekspresikan pendapatnya, menyampaikan pandangannya, merespons, menambah wawasan, atau bahkan membantah apa yang disampaikan.

Suasana diskusi yang sangat terbuka inilah yang menjadi salah satu magnet mengapa Kenduri Cinta dan forum Maiyahan di berbagai tempat menjadi spotlight yang didatangi oleh banyak orang. Duduk bersama, melingkar bersama, merasakan atmosfer sinau bareng, mengikatkan diri menjadi saudara satu sama lain. Kegembiraan dan kebahagiaan menikmati suasana yang guyub, rukun, akrab satu sama lain, sebuah momen yang tidak bisa diganti dengan uang sebanyak apapun. Mereka datang dengan krinduan, mendapatkan cinta, kemudian pulang kembali membawa kerinduan yang akan mereka tuntaskan di bulan berikutnya.

KARENA dilaksanakan di bulan ramadlan, Kenduri Cinta edisi Mei 2019 dimulai agak mundur dari biasanya. Mengawali forum, beberapa penggiat berada di panggung memandu jamaah untuk membaca Surat Yaasiin dan beberapa sholawat, sebagai bentuk keprihatinan atas kondisi bangsa Indonesia dalam beberapa bulan terakhir, sejak sebelum Pemilihan Umum dilangsungkan. Atas kesadaran bersama, kita semua menemukan kepatutan bahwa ada ongkos yang harus segera dibayar. Surat Yaasin dan lantunan beberapa sholawat sekadar untuk setor kepada Allah, sebisa mungkin kita sebagai masyarakat Maiyah ikut membayar ongkos tersebut.

Ba’da isya’, jamaah yang datang sudah cukup banyak. Hingga berlangsungnya diskusi sesi awal, jamaah sudah memenuhi area pelataran parkir Taman Ismail Marzuki. Lewat pukul sepuluh malam, Cak Nun bersama Ust. Noorshofa bergabung di panggung. Dahaga kerinduan jamaah kepada Cak Nun dan juga Ust. Noorshofa tunai tertuntaskan. Forum kemudian mempersilakan Ust. Noorshofa untuk menyapa jamaah, karena beberapa bulan sudah tidak berkesempatan datang di Kenduri Cinta.

“Ya Allah, orang dholim akan bertengkar dengan orang dholim. Keluarkanlah kami dari kumpulan orang-orang yang dholim itu”, sebuah doa terpanjatkan oleh Ust. Noorshofa setelah mengajak jamaah bersholawat bersama-sama. Dijelaskan oleh Ust. Noorshofa, sholawat merupakan bagian dari doa yang kita panjatkan kepada Allah. Kenapa kita bersholawat, karena Rasulullah Saw adalah manusia agung yang dpilih oleh Allah untuk menjadi kekasihnya. Allah memberi Rasulullah Saw privilege berupa syafaat yang menjadi jalan tol bagi kita untuk mendapat ridhlo Allah.

Ust. Noorshofa menukil salah satu hadits Rasulullah Saw yang menjelaskan bahwa kelak ada 3 orang yang merugi di hadapan Allah di hari akhir. Mereka adalah; orang yang jika mendengar nama Nabi Muhammad Saw disebut ia tidak bersholawat. Kedua, orang yang memasuki bulan ramadlan, dan ketika ramadlan usai dosanya belum terampuni. Ketiga, orang yang hidup bersama kedua orang tuanya namun tidak sempat berbuat baik kepada orang tuanya.

Cak Nun kemudian menyapa jamaah, mengawali dengan beberapa doa dan juga mengajak jamaah untuk membaca surat Al Fatihah untuk kebaikan bersama. Suasana terbangun secara khusyuk, Cak Nun juga kemudian meminta perwakilan jamaah untuk bergabung ke panggung, memimpin sholawatan bersama. Sebelum sholawatan, Cak Nun menjelaskan bahwa sholawatan itu ritual yang tidak perlu dipikirkan secara ruwet, lakukan saja, agar ia semakin menjadi kebiasaan di alam bawah sadar kita.

Cak Nun menjelaskan bahwa manusia dalam satu detik hanya mampu merekam 40 frame peristiwa. Sementara dalam alam bawah sadarnya terdapat sekitar 1,2 juta frame yang sudah terekam. Setiap keputusan hidup manusia lebih banyak dipengaruhi oleh 1,2 juta frame di alam bawah sadar. Manusia sangat jarang menggunakan akal untuk mengkonfirmasi setiap keputusan akalnya yang muncul secara spontan. Setiap pertanyaan tentang apapun akan dijawab spontan berdasarkan data yang tersedia di alam bawah sadar manusia. “Maka Anda jangan mengandalakan ilmu, dalam konteks bahwa Anda dikuasai secara terus menerus oleh alam bawah sadar Anda”, ungkap Cak Nun.

Setelah mbeber kloso, Cak Nun meminta perwakilan jamaah yang sudah berada di panggung untuk memimpin sholawatan. Jamaah pun mengikuti nada dan irama sholawat bersama-sama. Cak Nun kemudian memuncaki dengan Sholawat Nuur. Cak Nun sendiri yang memandu, mengajak jamaah untuk bersholawat bersama. Suasana Kenduri Cinta seketika menjadi lebih khusyuk, jamaah menundukkan kepala, khusyuk bersholawat. Doa-doa terpanjatkan, sholawat terlantunkan, menyapa kehadiran Rasulullah Saw.

Cak Nun sempat merespons beberapa hal yang akhir-akhir ini viral di media sosial. Sebuah video yang disebar liar di media sosial, sebuah potongan video Sarasehan Budaya Cak Nun di KPK bulan lalu menjadi banyak diperbincangkan banyak orang, tentu saja pro dan kontra. Dengan santai Cak Nun merespons; “Hidup itu penuh dengan koma”, ungkap Cak Nun.

Ketika sebuah konten video yang menyebutkan bahwa Cak Nun merasa hina jika datang ke Istana Negara, dengan santai Cak Nun menjelaskan, bahwa seumur hidup baru dua kali Cak Nun datang ke Istana, pertama ketika menemani Pak Harto menjelang lengser pada Mei 1998, kedua ketika Gus Dur telah dilengserkan melalui Sidang Istimewa di DPR. Cak Nun dan Ibu Via datang ke Istana Negara, bercanda dengan Gus Dur, untuk kemudian membujuk Gus Dur segera meninggalkan Istana Negara dan kembali ke rumah pribadinya di Ciganjur.

“Dan saya tidak mau melakukannya yang ketiga (datang ke Istana), sebab biasanya urusan saya ke Istana adalah menyuruh orang (penguasa) turun dan keluar dari Istana, jelas ya semuanya?”, lanjut Cak Nun. Seolah jamaah Maiyah di Kenduri Cinta memahami pesan yang hendak disampaikan oleh Cak Nun, mereka pun tertawa mendengar penjelasan Cak Nun malam itu.

Apakah konten video liar itu kemudian menjadi pembahasan utama di Kenduri Cinta? Tentu saja tidak. Jamaah Maiyah di Kenduri Cinta tidak memandang hal yang viral tersebut untuk menjadi pembahasan yang harus dituntaskan di Maiyahan malam itu. Anggap saja sebagai cemilan, snack pendamping yang sesekali perlu dikunyah.

CAK NUN bahkan menegaskan di Kenduri Cinta bahwa dirinya bukanlah orang penting di Indonesia, bukan siapa-siapa, dan tidak perlu dianggap oleh Indonesia. Maka sebaiknya Indonesia juga tidak perlu menghiraukan apa yang dibicarakan oleh Cak Nun. Dalam suasana kegembiraan sinau bareng, Cak Nun mengajarkan kita untuk selalu bersikap rendah diri, untuk tidak sombong, bahwa di atas langit masih ada langit.

Memang menjadi sesuatu yang aneh, mengapa akhir-akhir ini Cak Nun diseret dalam pembicaraan politik di Indonesia. Sudah jelas bahwa Cak Nun bukan seorang politisi, tidak memiliki partai politik, Maiyah juga bukan merupakan sebuah Organisasi Masyarakat seperti NU atau Muhammadiyah. Ketika Jamaah Maiyah bersama Cak Nun sedang asyik dan bergembira sinau bareng di Maiyahan, justru tiba-tiba ada beberapa pihak yang menyeret Cak Nun untuk dilibatkan dalam perbincangan politik nasional. Reaksi masyarakat Maiyah bukanlah reaksi yang hendak melawan atau menyerang balik, reaksi masyarkat Maiyah adalah sebuah ungkapan keresahan, karena ada sesuatu yang mengganggu kegembiraan masyarakat Maiyah dalam suasana sinau bareng yang selama ini sudah terbangun asyik dan gembira.

Dan malam itu, ketika ada jamaah yang bertanya kepada Cak Nun tentang beberapa hal, dengan enteng Cak Nun pun menyatakan; “Jangan tanyakan itu semua kepada saya, karena saya ini bukan siapa-siapa”, tentu saja ini hanya sanepan. Orang Maiyah sudah paham gaya Cak Nun, maka kemudian Cak Nun pun menyampaikan bahwa pertanyaan-pertanyaan itu akan dijawab nanti, kapan-kapan setelah suasana politik di Indonesia sudah kembali normal.

Namun demikian, Cak Nun pun menyampaikan, posisi Cak Nun sendiri memang sulit. Tentu saja berbeda ketika ada pertanyaan; “Pilih 01 atau 02?”. Jika pertanyaan itu ditujukan kepada kita, tentu saja tidak akan menimbulkan polemik. Apapun jawaban kita, sama sekali tidak akan menimbulkan keributan di media sosial. Namun berbeda dengan Cak Nun, jawaban apapun yang disampaikan oleh Cak Nun akan sangat berpengaruh. Betapa susahnya hidup Cak Nun, bukan? Jawaban dari sebuah pertanyaan sederhana saja ternyata tidak mudah disampaikan oleh Cak Nun. Tidak dijawab pun juga akan menimbulkan polemik.

Sementara, selama ini Cak Nun bersama KiaiKanjeng dan masyarakat Maiyah, hampir setiap malam berkumpul, belajar bersama, sinau bareng, Maiyahan sama sekali konten-konten ilmu yang tersampaikan di forum-forum tersebut tidak menjadikan media massa mau untuk meliputnya. Padahal, jika dihitung dengan kejernihan akal dan hati, ada banyak khasanah ilmu dan informasi yang sangat layak untuk diberitakan oleh media massa, namun ternyata memang media massa tidak sedang mencari sesuatu yang baik untuk diberitakan. Maka benarlah rumusan; bad news is a good news.

Dan tentu saja kita semua tetap bergembira bersama di Kenduri Cinta dan Maiyahan. Malam itu di Kenduri Cinta, Cak Nun mengajak kita menyelami khasanah ilmu yang begitu luas, mulai dari puasa, tadabbur Al Qur`an, memahami Al Fatihah secara komprehensif, hingga menemukan nilai kehidupan dari Sya’ir Abu Nawas.

Masyarakat Maiyah sama sekali tidak merasa terganggu dengan gangguan-gangguan terhadap Cak Nun di media sosial, kami tetap bergembira, kami selalu bergembira, dan semakin bergembira untuk terus sinau bareng di Maiyahan bersama Cak Nun. Maiyahan seperti Kenduri Cinta ini merupakan sebuah ijtihad untuk menanam benih manusia Indonesia yang baru.

Cak Nun, kami bersyukur dan bergembira di Maiyahan. Terima kasih, Cak Nun.