Kenduri Cinta: Memberkati Ibukota dan Mengasuh Adik-adiknya

MASYARAKAT JAWA lebih akrab menyebutnya kenduren atau kondangan. Yakni orang-orang berkumpul, duduk melingkar atas undangan pihak penyelenggara (shohibul hajat). Kemudian pak Modin, sang juru doa kampung menyampaikan maksud/keperluan dari sang tuan rumah. Bisa berupa haul, selametan, bancakan, tasyakuran, dll.  Dipuncaki dengan doa dipimpin oleh pak Modin, dan seluruh warga yang hadir mengaminkannya.

Sebagai ungkapan syukur kepada Allah, serta ucapan terima kasih kepada warga yang hadir, shohibul hajat meletakkan setampah (jenis nampan terbuat dari anyaman bambu) nasi berukuran besar berikut lauk-pauk, krupuk, peyek, dan ragam penganan (cucur,  pisang, apem). Khusus kue apem, ada filosofinya. Apem berasal dari bahasa Arab, yakni afuan/afuwwun, yang berarti ampunan. Jadi, dalam filosofi Jawa, kue ini merupakan simbol permohonan ampun atas berbagai kesalahan manusia. Selain sebagai rasa syukur, kenduren juga dimaksudkan sebagai sarana memohon ampunan kepada Sang Maha Rahman.

Setampah nasi tersebut ditaruh persis di tengah orang-orang yang melingkar. Kemudian beberapa orang bertugas membagikan sebongkah nasi pada lembaran daun jati. Di penak, dibungkus diberikan keseluruh hadirin. Semua rata kebagian. Sang tuan rumah senang, sebab bisa berbagi dan hajatnya di ombyongi doa bersama. Warga juga ikut gembira lantaran pulang mendapat berkat.

Berkat? Apa itu berkat? Berkat adalah sebongkah nasi dan lauk, ditambah penganan kecil yang dibungkus pakai daun jati. Oleh orang kampung desa kami, itu disebut Berkat. Jaman kecil saya dulu, mendapat Berkat itu sesuatu yang langka. Mewah, dan istimewa. Pasalnya tidak setiap saat dapat Berkat. Juga tidak semua orang mampu mengadakan kendurenan. Sebab butuh biaya yang tidak sedikit. Yah, namanya juga wong ndeso, udik, kere, hidupnya serba pas-pasan. Bahkan banyak yang jelata. Yang kuat dan mampu menyelenggarakan kenduren/ kondangan biasanya para tokoh, pejabat desa atau kaum berada.

Bagi rakyat akar rumput seperti kami, mendapat berkat itu seperti halnya momen hari raya. Saatnya untuk berpesta. Kami sekeluarga dapat menikmati sepenak nasi, sesuir daging ayam, krupuk merah, peyek ikan asin, kedelai hitam dan beberapa jenis penganan secara gratis. Alias cuma-cuma. Dan itu enaknya luar biasa. Gurihnya tak terkira. Seraya mengucapkan syukur sebanyak-banyaknya.


WAKTU BERGULIR. Tak ada yang menyangka, jika tempat yang lokasinya jauh dari pedesaan. Terbentang jarak dan bertolak adat kebiasaan. Ditengah hiruk-pikuknya metropolitan. Dikepung arus modernitas dan sekulernya manusia-manusia kota, serta kejamnya kehidupan di Jakarta, nyatanya masih ada setitik ‘Berkat’ disana. Tepat di jantung Ibukota diselenggarakan kendurenan. Sekali dalam sebulan. Tempat dimana kita bisa berbagi cinta dan mendapatkan cinta.

Kendurenan yang diadakan di Plaza Taman Ismail Marzuki, Cikini, menjelma oase di padang kerontang kota besar. Laksana pohon rindang, tempat berteduh bagi siapa saja. Wadah silaturahmi yang tak kenal gender, ras, suku dan agama. Madrasah untuk menimba ilmu. Universitas untuk kuliah kehidupan. Wahana berkumpul, duduk melingkar tanpa sekat perbedaan. Semua sama. Sama-sama manusia yang terus menerus belajar memanusiakan manusia, menyayangi sesama, dan mencintai Allah-Rasulullah beserta seluruh makhluk.

Atas kasih sayang Allah, ibukota kita Jakarta diberkati sebuah anugerah yang bernama Kenduri Cinta. Forum silaturahmi dan diskusi yang dirintis oleh pria Jombang kelahiran 27 Mei 1953, 65 tahun silam. Pasca reformasi 1998 (katanya) dengan ditandai lengsernya Soeharto dari kursi presiden, Cak Nun memilih ‘sunyi’ dari euforia Reformasi. Kenapa? Sebab Reformasi tak ubahnya topeng belaka. Palsu. Bohong. Serigala berbulu domba. Domba berbulu serigala. Penuh tipudaya. Tak lebih dari transaksi kongkalikong antar elit politik guna menjatuhkan Soeharto, untuk kemudian semua berlomba ingin menjadi ‘Soeharto’ versi baru.

Muak dengan segala kemunafikan Reformasi, Cak Nun pun meninggalkan istana, ‘menghilang’ dari pemberitaan pers Nasional. Beliau memilih membentuk HAMAS (Himpunan Masyarakat Shalawat). Memasyarakatkan shalawat, dan mengajak masyarakat untuk bershalawat. Sebab rakyat kala itu tidak bisa berharap banyak pada kinerja pejabat pemerintah. Para elit justru sibuk sendiri mencari kursi, dan mengamankan posisi. Maka satu-satunya jalan keluar adalah wa ilaa robbika farghob, berharap hanya kepada Allah. Memperbanyak sholawat, agar kehidupan kita senantiasa dalam perlindungan dan pertolongan Allah Swt.

Cak Nun bersama KiaiKanjeng mulai bergerilya. Keliling desa, susuri dusun, sisiri gang-gang kampung.  Sambangi kota, kecamatan, kabupaten, provinsi di berbagai penjuru negeri. Shalawat dan cinta digemakan Cak Nun di hampir kawasan bumi Nusantara hingga tembus belahan dunia.

Alhamdulillah, tujuh tahun sudah saya bersentuhan dengan Maiyah. Dan persentuhan itu terjadi pertama kalinya melalui forum Kenduri Cinta. Tak sengaja, saya lewat di depan Plaza Taman Ismail Marzuki, pada jumat malam pekan kedua. Melihat sekerumunan orang berkumpul disana, mendorong saya untuk mendekat. Merapat. Ikut membaur diantara orang-orang yang sama sekali tidak saya kenal. Timbul kemudian suasana akrab, hangat, cair dan mesra. Pikiran dan hati serasa merdeka. Sejak itulah saya langsung jatuh cinta pada Kenduri Cinta. Hah! Sesimpel itu? Iya. Secepat itu? He’em. Jangan tanya apa alasannya? Kalau mau tahu, silakan datang langsung kesana. Gratis. Tak dipungut biaya. Temukan dan rasakan cinta disana.

Teman-teman sekalian, sesuatu yang pertama selalu miliki kesan mendalam. Begitu pula yang saya rasakan. Kali pertama bermuwajahah dengan Cak Nun yakni di Kenduri Cinta. Mengenal pertama istilah Maiyah di Kenduri Cinta. Berani baca puisi pertama di Jakarta di acara Kenduri Cinta. Pertama kali terinspirasi untuk menulis, gara-gara mendengar wejangan Cak Nun di Kenduri Cinta.

Pesan sederhana. Bagi teman-teman, khususon yang tinggal di seputaran Jakarta Raya, bersyukurlah. Kalau anda ingin berbagi cinta, ingin mendapatkan berkat cinta, ingin tahu nikmatnya bersyukur, asyiknya belajar agama dan sinau kehidupan, ingin tahu kemesraan berteman, bersaudara, dan berkeluarga secara tulus tanpa melihat status, silakan datang ke Kenduri Cinta.

2018, Kenduri Cinta genap 18 tahun. Menginjak remaja, beranjak dewasa. Semoga tetap setia mem-Berkat-i Ibukota, serta mampu mengasuh “adik-adiknya”.