Kecèlè Memblè

BALA BANTUAN dan kerja sama yang diharapkan Ki Lurah Prabu Petruk Gadungan atas kunjungan Raja Salya ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi. Peti-peti hadiah dari Raja Salya hanya berisi surat-surat kontrak kerjasama yang realisasinya penuh tanda tanya. Investasi yang katanya ratusan triliun, ternyata tak seperti yang digembar-gemborkan sebelumnya. Sementara Raja yang katanya bijaksana dan mengedepankan kepentingan rakyat ternyata nyata kapitalis-nya. Kedatangan Raja Salya ke Astina lebih nampak sebagai tamasya, ketimbang kunjungan kerja. Bahkan tamasya ke Pulau Dewata durasinya ditambah. Keindahan Negeri Astina ini memang sangat memikat Raja Salya. Ki Lurah Prabu Petruk kecèlè ternyata dengan kedatangan Raja Salya.

Uring-uringan Ki Lurah Prabu di beranda Istana Astina didampingi Duryudana yang juga tidak nampak ceria. Duryudana nampak sangat muram raut mukanya. Keningnya mengkerut sedang memikirkan berbagai kasus korupsi di era pemerintahannya yang sedang dikorek-korek oleh Komisi Pendisiplinan Kurawa. Di kejauhan nampak Basukarno sedang disuapi oleh Ibu Gandari setelah pemanasan Karno Tanding. Raja Salya yang dimintai untuk menjadi kusir keretanya tak kunjung memberikan jawaban, bahkan sampai dengan akhir kunjungannya di Astina. Sementara Burisrawa yang memerankan Arjuna masih berada di atas kereta yang baru dikusiri oleh Haryo Taru Sudigya. Kemeriahan dan keramaian menyambut Baratayuda palsu itu justru semakin menambah keruwetan suasana perbincangan antara Duryudana dan Ki Lurah Prabu Petruk Palsu. Isu etnis pun sudah tidak relevan dijadikan bumbu dalam Karno Tanding. Kecèlè lagi rakyat Astina. Kecèlè berkali-kali.

“Duh Mas Prabu Petruk, ini kenapa berbagai kasus pada masa pemerintahan saya seolah-olah sedang diobok-obok lagi? Kalau mau buka kasus lama mbok ya yang adil. Sekalian coba berani gak Mas Prabu mendorong komisi pendisiplinan Kurawa untuk membuka kasus Belibis?” Duryudana dengan nada sedikit mengancam, mengajukan pertanyaan ke Ki Lurah Prabu Petruk.

“Welah kalau semua orang tanya ke saya, terus saya mesti tanya ke siapa? Di jaman pemerintahan anda itu dulu, dengan dana 6 triliun untuk membuat satu kartu penanda penduduk Astina saja nggak beres-beres. Lihat di jaman saya ini, berbagai macam kartu sudah saya keluarkan. Berbagai program dari kartu pandai, kartu seger dan banyak kartu-kartu lainnya bisa jalan. Sudah tenang saja. Kalau panjenangan tidak ndak ikut ngenthit semestinya anda aman, meskipun itu terjadi di era anda.” Ki Lurah Prabu mencoba menenangkan Duryudana. Namun dibalik itu, keruwetan masih nampak. “Kalau soal Belibis dan berbagai kasus pada era yang sama, saya tidak berhak mengintervensi Komisi Pendisiplinan Kurawa.” diplomatif sekenanya untuk meyakinkan Duryudana.

Kasus korupsi pengadaan kartu penanda penduduk Astina ini memang merepotkan Ki Lurah Prabu Petruk. Bagaimana tidak, justru yang muncul nama-nama yang terlibat dalam skandal kenthit kali ini adalah orang-orang yang ada di lingkaran kekuasaannya saat ini. Sementara orang-orang lain, yang dulunya adalah kaki tangan Duryudana, kini mereka sudah tidak ada afiliasi apapun dengan Duryudana dan faksi Mercy Biru yang ia dirikan. Meskipun dulu Si Anak Emas Kurang Minum adalah salah satu kader Faksi Mercy Biru, toh saat ini ia berada di balik jeruji besi dan sudah bukan bagian dari faksi Mercy Biru. Apalagi si Juki yang jelas sudah tidak ada dalam daftar anggota Faksi Mercy Biru. Jadi sangat tidak relevan juga sebenarnya menggeret Si Anak Emas dalam skandal ini jika targetnya adalah memojokkan Duryudana. Sementara si Babe Minta Saham yang saat ini ada di gerbongnya Ki Lurah Prabu Petruk juga disebut-sebut namanya ikut ngenthit. Bahkan salah satu Adipati kesayangan Ibu Gandari di tengah pulau Astina juga ditengarai ikut terlibat. Jadi sebenarnya justru Ki Lurah Prabu Petruk yang pusing sendiri ketika Komisi Pendisiplinan Kurawa membuka skandal kenthit ini.

“Hehe, bilang saja sungkan.” Duryudana sedikit meledek. “Tapi di era Mas Prabu Petruk, support investor dari dalam maupun luar-kan berlimpah. Kehadiran Raja Salya tentunya meberi angin segar bagi pemerintahan anda?”

“Raja Salya, Bapak mertua anda itu diminta tolong jadi kusir keretanya Basukarno saja tidak bersedia. Dibilang support melimpah dari mana? kalau support melimpah, ngapain saya bikin rekayasa pengampunan pajak segala. Saya pikir Raja Salya dapat diandalkan untuk membantu pemerintahan Astina. Tapi ya ekspektasi saya ternyata terlalu tinggi atas kunjungannya itu. Setidaknya dari kunjungannya itu ada adegan salaman antara Basukarno dan Raja Salya, sehingga publik melihat Raja Salya tidak marah dengan kelakuan menantunya itu. Dan respon publik sangat positif untuk Karno Tanding yang akan digelar nanti.” Ki Lurah berusaha menerangkan, menutupi raut muka karena kecèlè lagi.

“Wah, pada era demokrasi bebas seperti sekarang ini, sepertinya prediksi atas reaksi positif masyarakat akan sulit untuk ditebak. Ketika masyarakat bebas melewati batasannya, kerangka penilaian untuk mengukur pergerakan masyarakat hanya berlaku di atas kertas. Apalagi urusan perut yang lapar, himpitan ekonomi, sandingan ketidak adilan dan kesenjangan sosial semakin membentang dipamerkan. Isu-isu sensitif dapat memicu reaksi publik yang berlebihan. Tokoh-tokoh politik carangan, wayang-wayang politik rekayasa pesanan para pemodal bermunculan dan bertindak arogan, ditambah dengan semakin banyak aktor-aktor politik yang keluar dari pakemnya. Kondisi carut marut semacam ini menumpuk bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak.” Duryudana menyandarkan badannya ke sandaran kursi yang tak juga mengurangi beban dalam benaknya. “Masyarakat kini mulai sadar bahwa isu-isu yang berkembang memunculkan perpecahan di tengah mereka sebenarnya dapat di create oleh para pemodal untuk melanggengkan misi kepentingan ekonomi mereka. Isu-isu agama, isu-isu rasis, teroris dan fenomenalnya artis-artis pada gilirannya akan tidak begitu berpengaruh terhadap reaksi masyarakat.” tambah Duryudana.

“Demokrasi terlalu kebablasan, tokoh-tokoh carangan semakin nranyak. Mereka semakin tidak tahu diri. Sudah kita biarkan mereka tinggal dan mencari makan di tempat kita, kini mereka menginginkan kepala kita dikuasai olehnya.” Ki Lurah Prabu nampak geram. Saking geramnya seolah-olah tidak menyadari bahwa ia juga terlahir dijadikan Lurah dari sistem Demokrasi yang dianggapnya sudah kebablasan ini.

“Hehehe jangan lupa, Mas Prabu Petruk ini juga tokoh carangan. Mana ada Mahabarata bercerita Petruk jadi Raja kalau ini bukan cerita rekayasa. Mana ada wayang namanya Haryo Taru Sudigya mengkusiri keretanya Arjuna kalau ini bukan cerita rekayasa. Kalau bukan karena Demokrasi yang kebablasan, cerita wayang carangan semacam ini pasti akan ditentang oleh masyarakat. Namun sepertinya masyarakat di era Globalisasi seperti sekarang ini semakin terbiasa dengan tokoh-tokoh wayang pesanan yang berkepentingan menjadi tontonan.” tutup Duryudana.