Kebaikan Menanam Kebaikan

Reportase Maneges Qudroh Edisi Februari 2015

Hujan deras yang mengguyur kota Muntilan sejak sore hari 7 Februari 2015 masih menyisakan gerimis dan udara dingin yang menusuk tulang. Namun demi mencari dan menggali ilmu, dulur-dulur Maiyah Maneges Qudroh tetap bersemangat mempersiapkan acara sarasehan yang telah direncanakan malam itu. Bertempat di Pendopo Kecamatan Muntilan, pukul 20.30 WIB acara dimulai dengan nderes Quran oleh Mas Adi. Jamaah pun mulai berdatangan. Karena suasana sudah cukup menghangat, Eko Mulyono segera membuka acara dengan mengajak hadirin bersholawat.

Selanjutnya sebagai moderator, Pak Dadik membuka forum dengan menghantarkan cerita tentang pohon yang menjadi teman intim seorang anak kecil saat bermain hingga si anak kecil menjadi dewasa, sang pohon tetap memberi manfaatnya berupa buah, batang kayu hingga akarnya kepada anak di kelak kemudian harinya, meskipun pohon tersebut sudah semakin diabaikan seiring dewasanya si anak. Pohon tidak egois. Demikian pengantar Pak Dadik yang kemudian langsung melemparkan tema kepada narasumber dari dinas pertanian, Bapak Eko Widhi.

Bapak Eko mengawali dengan sudut pandang beliau sebagai praktisi tanam-menanam dengan mengambil contoh pohon bambu. Tanaman bambu yang banyak di sekitar kita adalah cara alam memberi pembelajaran kepada manusia. Tak dapat dipungkiri bahwa tanaman bambu sudah lazim digunakan untuk berbagai macam bahan baku kerajinan tangan, seperti mebel, keranjang, bahkan berbagai macam alat musik. Hal itu merupakan bukti bahwa bambu sangat lekat dengan kehidupan masyarakat nusantara. Namun sayangnya hari ini tidak banyak dari kita yang berinisiatif menanamnya.

Beliau juga menyuplik cerita tentang pohon mahoni di sebuah desa yang nampak gagah menjulang, sementara tak jauh dari sana tumbuh serumpun kecil pohon bambu. Keduanya saling berbincang setiap hari. Pohon mahoni selalu menyombongkan dirinya yang besar dan gagah. Akan tetapi pohon bambu hanya selalu memberi pujian setulus hati.

Hingga suatu malam hujan deras disertai angin kencang membuat pohon mahoni bertahan sekuat tenaga namun akhirnya tumbang. Berbeda dengan bambu yang mengikuti arah tiupan angin hingga hujan reda. Si bambu tetap berdiri di atas tanah.

Artinya, dalam pencapaian sukses, manusia selalu dihadapakan oleh realitas masalah yang selalu datang silih berganti. Untuk itu kita harus menghadapinya dengan fleksibel sebagaimana bambu. Sebab jika kita bersikap kaku, merasa diri paling hebat dan kuat, niscaya kita akan tumbang seperti mahoni.

Menambahi yang disampaikan Pak Eko, Mas Anang mengutip pepetah-pepatah orang dulu.

Jika ingin hidup 1 tahun tanamlah buah-buahan.
Jika ingin hidup 10 tahun tanamlah pepohonan
Jika ingin hidup selamanya tanamlah kebaikan

Sebagaimana Rasulullah dulu hanya berbuat kebaikan saja secara terus menerus, maka kita saksikan sekarang beliau tetap ‘hidup’. Namanya abadi. Maka di Maiyah, kita seyogyanya berbuat baiklah saja terus menerus.

Mas Joko dari Pekalongan ikut merespon. Sekarang ini untuk melakukan kebaikan saja kita sudah tidak punya parameter yang jelas. Contohnya saja di daerah asal Mas Joko, ada sekelompok Gento yang membuat gebrakan berupa kebaikan sering masih dianggap sebelah mata oleh orang-orang sesepuh atau tokoh agama di sekitarnya. Misalnya saja, pameo ‘bocah wingi sore’ kadang masih disematkan pada sekelompok orang yang dianggap kurang pas terhadap apa yang dilakukannya.

Esensinya, bahwa ketika kita berbuat kebajikan itu adalah investasi nilai. Tidak usah berpikir memetik hasilnya. Kalau Maneges Qudroh terus membuat kebaikan demi kebaikan pasti tidak akan sia-sia. Kita ini dilatih berpuasa. Hasilnya biar anak cucu kita yang menikmati.

Malam itu diskusi cukup hangat. Dan apa yang didiskusikan semakin mengerucut. Setelah sedikit session tanya jawab, Pak Ida yang datang membawa gitar, melakukan perform secara spontan membawakan lagu tentang alam.

Setidaknya malam itu membuahkan catatan penting, bahwa berbuat kebaikan (tentu indah dan juga benar -red) cukuplah dilakukan dengan terus menerus dengan penuh keteguhan hati tapi tidak kaku sebagaimana pohon bambu. Niscaya semua itu tidak sia-sia.

Acara ditutup dengan pemotongan tumpeng ulang tahun MQ ke-4 oleh Mas Anang. Semoga MQ ke depan tetap istiqamah meski segala kekurangan senantiasa menyertai.

Senada dengan kata-kata Simbah, “Temukan kebahagiaan menanam sebagaimana kebahagiaan saat memetik”.

[Teks: Wahyu Esbe]