KASUSUBAN

reportase kenduri cinta oktober 2013

Orang Betawi mengenalnya sebagai kasusuban, orang Jawa menyebutnya tlusupen, sementara orang Sunda mengistilahkannya sebagai kasura. Sebuah duri kecil menusuk dan menyelusup ke balik kulit yang menimbulkan rasa perih. Kesusuban merupakan hal lumrah, tapi menjadi persoalan ketika kita terus-menerus mengalaminya, baik itu dalam bidang politik, pemerintahan, organisasi, maupun keluarga dan kita tidak lagi punya kemampuan untuk merasakannya sehingga tak mengambil langkah-langkah apapun untuk mencabut duri itu. Terjadi penumpukan duri-duri, pembusukan, dan lalu seluruh kaki harus dipotong. 

Fenomena inilah yang diangkat menjadi tema Kenduri Cintaedisi Oktober 2013. Sebelum masuk ke prolog acara dan diskusi, surat Yaasin dan tahlil dibacakan khusus untuk Arif, seorang penggiat Mocopat Syafaat dan Gambang Syafaat yang beberapa hari sebelumnya meninggal dunia di Jogja.

TIRTA YANTRA

Selepas penampilan dari kelompok Faried, hadir di panggung para pembicara diskusi sesi pertama. Ramdansyah Bakir, mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta yang juga Sekjen Asosiasi Hortikultura Nasional (AHN) memulai acara dengan membacakan puisi, lalu disambung dengan membahas beberapa hal mengenai ketahanan pangan dan persoalan di kementerian pertanian. Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang mulai diberlakukan sejak Desember 2012 adalah mengatur kuota impor. Akan tetapi Permendag No. 46/2013 justru mengatur importasi daging sapi tanpa kuota sehingga kementerian pertanian tidak lagi punya kewenangan untuk melakukan rekomendasi.

Andre, salah satu penggiat Maiyah, menyambung dengan mengaitkan fenomena kasusuban yang terjadi di Indonesia dengan hilangnya nilai eling lan waspada pada generasi hari ini. Dalam konteks infrastruktur negara, yakni wilayah, berapa persen yang kasusuban? Dalam konteks struktur trias politica, berapa orang yang kasusuban? Dalam tataran suprastruktur, berapa pasal perundang-undangan yang kasusuban? Untuk mengatasi hal ini, yang kita perlukan adalah perjalanan tirta yantra, rekonsiliasi terhadap keberadaan trah.

Pembicara berikutnya, Mono, menyoroti ilmu struktur dalam kejawen. Bahwa sebuah struktur harus memuat ning, neng, nung, nang. Ning atau keheningan dalam ketahanan pangan kita pernah terusik oleh harga cabe yang naik tajam pada tahun 2004. Ketika itu keheningan sistem yang diciptakan orde baru mengalami guncangan. Neng jumeneng atau kemandirian. Tahun 1998 kemandirian sistem ekonomi orde baru hancur lewat aksi spekulan uang George Soros yang dengan bekal 1,5 juta dollar mampu menimbulkan efek domino berupa krisis moneter di Asia Tenggara. Nung kasinungan, artinya kita mesti mampu mewarisi sejarah. Kita harus belajar dari Raja-raja Majapahit, Mataram, Tarumanegara, dan sebagainya. Nang adalah kawenangan, maksudnya kita harus selalu mampu memberikan kontribusi-kontribusi positif untuk peradaban.

Forum kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab, pertanyaan pertama adalah tentang nasib anak-anak sebagai generasi penerus. Sudah ada Undang Undang Perlindungan Anak yang ke-31 pasalnya mengatur kewajiban kita terhadap anak, tapi pada praktiknya masih saja terabaikan. Yang kedua menanyakan bagaimana jika seluruh bagian tubuh dalam pemerintahan sudah kasusuban sehingga tidak bisa lagi bergerak; bagaimana supaya bisa berjalan lagi dan memberikan yang terbaik untuk rakyat?

Menanggapi pertanyaan-pertanyaan itu, Andre mengingatkan kembali bahwa dalam Islam ada tiga faktor yang masih bertahan walaupun seseorang telah meninggal. Salah satunya adalah anak yang saleh. Ini menunjukkan betapa pentingnya merawat generasi penerus karena mereka lah yang akan memimpin. Menanggapi pertanyaan kedua, Andre menyatakan bahwa kondisi kemunafikan menunjukkan kita tidak berada dalam realita sunatullah tapi membuat bayang-bayang yang tidak nyambung berupa dunia yang terpisah dari dunia. Maka metodenya adalah tirta yantra, yakni penguatan geo-sosio kultural, geo-sosio politik, dan geo-sosio ekonomi dan ekologi.

Sebelum masuk ke sesi diskusi yang berikutnya, tampil kelompok akustik, Plompong dan Beben and Friends yang membawakan Georgia on My Mind dan Summertime versi funk.

“Temukanlah bunyi sejati, rasa sejati, kesadaran sejati, sebab kita hidup di tengah gelimang kepalsuan yang luar biasa menenggelamkan kita. Milikilah sidik paningal, milikilah pengetahuan yang sejati.”

Emha Ainun Nadjib

OOST INDIA DAN INDONESIA

Dari sudut pandang dunia musik, Beben menjelaskan bahwa industri musik juga sedang mengalami kasusuban, mulai dari pembajakan sampai ilmu musik yang masih belum benar-benar dikuasai. “Tapi saya memilih untuk tidak menyalahkan siapa-siapa. Saya mendirikan Komunitas Jazz Kemayoran, mempelajari dulu ilmu-ilmu dasar. Kemudian setelah itu, penonton juga harus belajar. Cara mengajari penonton adalah dengan menyisipkan sedikit informasi tentang lagu-lagu yang dibawakan.”

Pembicara kedua, Dini, yang sudah lama tinggal di Amsterdam bersama keluarganya dan tidak pernah bisa kembali hidup di negaranya sendiri sejak peristiwa G 30 S. Ia sampaikan, “Belanda adalah kerajaan dengan wilayah kecil tanpa kekayaan yang mengenyam kemakmuran dari kesengsaraaan negeri-negeri seperti kita ini. Kalau bukan karena Oost India, Belanda tidak akan pernah menjadi sebesar ini.

“Cerita mengenai Oost India, sistem perkebunan yang waktu itu diterapkan, tidak pernah dibahas di sekolah-sekolah di Belanda. Pembelokan sejarah bukan hanya lewat pembohongan sejarah tapi juga lewat tidak diungkapkannya fakta-fakta sejarah. Belanda sangat tergantung pada Oost India, tapi karena tidak bisa lagi diterapkan pada masa sekarang, mereka ganti muka dengan demokrasi. Padahal sekarang negara-negara Barat pun mengalami krisis ekonomi. Mereka memang serba teratur infrastrukturnya, kesehatannya, pendidikannya, budayanya, tapi keteraturan itu berasal dari pajak yang ditarik dari rakyat dan digunakan untuk membiayai keberlangsungan sistem. Selama fungsi dari pemerintah yang mengatur infrastruktur itu baik-baik saja, orang tidak berpikir untuk mengubah sistem. Konflik yang tidak terasa mampu memanipulasi manusia untuk tidak mau berubah. Misalnya, buruh-buruh di sana mampu berlibur ke Brasil atau Turki, mampu membeli barang-barang bermerek.

“Infrastruktur yang rapi ini sekarang sudah mengalami guncangan. Disana mulai bisa kita temui pengemis, orang yang kehilangan rumahnya, terjerat lilitan kredit. Philips pun sudah bukan murni milik Belanda, dia sudah berpelukan dengan perusahaan Prancis karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan yang lebih besar. Globalisasi adalah keluar dari proteksi ekonomi dalam negeri.

“Sekarang yang terjadi adalah tenaga buruh Barat terlalu mahal karena ada unsur asuransi kesehatan, jaminan pensiun, dan lain-lain. Sebelum globalisasi langkah yang diambil adalah rasionalisasi (pemanfaatan robot dan mesin), tapi semenjak globalisasi yang dilakukan adalah mencari buruh yang tidak punya hak protes, maka mereka berpindah ke negara-negara yang harga buruhnya murah. Efek untuk para buruh di Belanda adalah munculnya pengangguran sehingga melahirkan nasionalisme ekstrim dengan membenci orang asing. Kini di Eropa makin banyak terjadi gerakan neo-nazi.”

“Kesukaran hidup itu seperti asahan. Semakin diasah, kita harus semakin tajam dan mengkilat. Hidup adalah tentang menjalani proses ini, bukan sebuah target.”

Dini

JANGAN MUDAH KAGUM

Dini lalu menceritakan sedikit kisah hidupnya. Ayahnya bekerja di laboratorium pabrik minyak di Surabaya yang kemudian dikirim ke Tiongkok untuk mengikuti Konferensi Serikat Buruh pertama. Di sanalah Ayah dan Ibunya yang sesama delegasi bertemu, saling jatuh cinta, dan menikah.

Sejak sebelum kemerdekaan sudah ada tulisan-tulisan tidak resmi dari Rusia tentang sosialisme. Baru setelah ada perjanjian hubungan budaya antara Indonesia dengan Uni Soviet, orang tua Dini diundang menjadi penyiar radio antara Moskow dan Jakarta. Mereka sekeluarga pindah ke sana hingga tahun 1964. Ketika itu Dini berusia 12 tahun.

Tahun 1965 siapa pun yang punya hubungan dengan “partai yang tidak direstui” langsung dicap, ditangkap, bahkan dibunuh di tempat. Ribuan orang menjadi korban. Tapi sampai saat meninggalnya, orang tua Dini tak pernah merasa menjadi korban karena itu sudah merupakan konsekuensi dari pilihan mereka. Karena peristiwa itu, Dini kemudian hidup bersama sang nenek yang masih keturunan Madura. Di situlah ia digembleng untuk lebih njawani.

Saya ingin kita belajar,” Cak Nun menimpali cerita Mbak Dini. “Kita buta huruf tentang sejarah kita sendiri, termasuk G 30 S ini. Tolong pelan-pelan pelajari dan ajarkan sejarah dunia dan Indonesia kepada anak-anak kita. Untuk lari ke depan, kita harus ambil langkah ke belakang. Dulu Gus Dur sudah mencoba melakukan perlawanan-perlawanan wacana tentang PKI ketika beliau menjadi presiden, tapi belum berhasil.

“Ingatan saya tentang itu adalah bagaimana beratus-ratus orang PKI tubuhnya tanpa kepala atau kepalanya tanpa tubuh, tiap hari mengambang dan mengalir di sungai samping desa saya. Dulu PKI di Indonesia dianggap sama dengan ateis. Dan lahirnya G 30 S dengan naiknya Soeharto itu harus anda pelajari, semua sebenarnya skenario.

“Tahun 2014 nanti urusannya adalah tidak mungkin negara yang sekarang sedang mengalami kebangkrutan yang luar biasa tidak menjarah kita, karena satu-satunya negara timur yang masih layak dan memiliki kekayaan untuk dijarah ya Indonesia. Kalau anda mau jadi presiden, anda harus meloloskan penjarahan ini. Tingkat masalah di Indonesia sudah tingkat Imam Mahdi. Siapa di antara calon Presiden Indonesia yang bisa menyelesaikan masalah? Di antara mereka, siapa yang secara intelektual, secara ksatria, secara apapun, punya kesanggupan untuk memperbaiki Indonesia?

“Anda jangan terlalu kagum terhadap siapa pun agar tak terlalu kaget sebentar lagi. Di Indonesia ini yang rusak akhlak dan akalnya. Orang Indonesia sangat canggih pikirannya sepanjang digunakan untuk melampiaskan keinginan dan kepentingan pribadinya, tapi dia menjadi sangat tumpul untuk mengurusi kebersamaan, mengurusi hal-hal yang baik. Di wilayah tertentu akal kita sangat cerdas, di wilayah lain kita tidak punya akal. Orang harus mempertahankan apa itu martabat. Nggak dosa, nggak melanggar hukum, tapi ada yang namanya pantes, ada yang namanya estetika.”

“Untuk lari ke depan, kita harus ambil langkah ke belakang.”

Emha Ainun Nadjib

DSC_5342

SIDIK PANINGAL

Mengakhiri acara, Dini membacakan sebuah puisi yang ditulisnya sendiri. Cak Nun kemudian mengajak jamaah untuk belajar mengenali bahasa sejati. Dalam bahasa Arab, barang yang tidak berakal disebut ma. Sementara makhluk-makhluk berakal, yang ditandai dengan adanya hardware berupa otak dan ditiup oleh Allah sehingga bisa booting, disebut man. Ketika jasad Adam sudah jadi, Allah meniupkan ruh-Nya sehingga terjadilah tiga peristiwa bersin yang pertama. Mula-mula kepalanya yang hidup, lalu hatinya, disusul dengan syahwatnya.

Seluruh kehidupan di dunia ini merupakan dialektika; kalau benar manajemen ketiga elemen ini, selamatlah kita. Tapi sekarang yang banyak terjadi adalah dari syahwat langsung naik ke otak tanpa melalui pertimbangan hati. Yang dimaksud syahwat adalah apapun yang sifatnya ambisius, egosentris, rakus, keinginan menumpuk-numpuk, memonopoli.

Bahasa Inggris menyebut manusia sebagai man atau human. Bahasa Jawa menyebutnya manungso. Kesamaan ini menunjukkan kepada kita urgensi untuk mencari sesuatu yang sejati – bunyi yang sejati, rasa yang sejati. Ketika Allah mengajarkan nama benda-benda kepada Adam, bahasa apa yang digunakan ketika itu? Orang Islam sekarang dengan tenang menganggapnya bahasa Arab, padahal ketika itu belum ada bahasa apapun karena bahasa merupakan kesepakatan sosial.

“Temukanlah bunyi sejati, rasa sejati, kesadaran sejati, sebab kita hidup di tengah gelimang kepalsuan yang luar biasa menenggelamkan kita. Milikilah sidik paningal, milikilah pengetahuan yang sejati.”

Lewat beberapa menit dari pukul 03.00 dini hari, Cak Nun meminta Inna Kamarie untuk berdoa bagi kebaikan bersama dilanjutkan dengan Al-Fatihah. [FA]