Karnaval Ancaman

“KECOA!!!” seorang ibu menjerit dan menumpahkan semangkuk soto yang semula sedang disantap. Sontak, orang-orang di tengah meriah pesta menuju perhatian kepada kejadian itu. Reaksi tiba-tiba bermunculan. Ada pemuda langsung menyemburkan makanan yang sedang dikunyah, ada nona muda yang mendadak mual perut dan memuntahkan. Yang pasti, seketika seisi ruangan nyaris kehilangan nikmat pesta. Detail persiapan penyelenggara acara yang nyaris sempurna, seolah sia-sia.

Begitulah kekuatan informasi bekerja, setitik nila rusak susu sebelangga. Padahal belum karuan, kecoa yang entah bagaimana mulanya bisa berada di dalam mangkuk soto itu. Mungkin hanya jatuh di mangkuk itu saja, atau bahkan si ibu salah sangka dengan benda yang dikiranya kecoa. Tapi kadung opini menghakimi, spontan reaksi masal tak terkendali.

Dua puluh tahun berlalu, belum tuntas pengusutan kasus kerusuhan Mei 1998. Dalang kerusuhan yang menunggang demonstrasi untuk menggulingkan Soeharto sampai saat ini masih menjadi misteri. Momentum lengser yang semestinya menjadi ajang gelar karpet demokrasi justru disusupi agenda-agenda politik yang tersembunyi. Disintegrasi bangsa terjadi. Hingga kini, para politisi terus menari-nari diatas panggung. Tak lagi peduli dengan tragedi Mei, bahkan mungkin sudah melupakan. Ekstase kebebasan pesta pora demokrasi membius bangsa ini supaya luput dari apa yang sebenarnya terjadi dibalik panggung sejarah.

Perjuangan demokrasi yang seharusnya mengedepankan keadilan dan kemerdekaan, malah dijadikan topeng tirani kekuasaan. Seorang diktator yang 32 tahun berkuasa berhasil dilengserkan, tapi digantikan oleh diktator-diktator baru yang bermunculan. Pada saat berjuang, lantang berpihak pada wong cilik. Namun ketika berkuasa semena-mena kepada rakyat. Korupsi, kolusi, dan nepotisme diberantas, tapi akar masalahnya yaitu kerakusan justru dipelihara.

Pendidikan politik kepada masyarakat supaya kedaulatan rakyat terwujud, sejatinya menjadi tanggung jawab partai politik. Yang terjadi sebaliknya, partai politik memanipulasi dan memonopoli aspirasi rakyat. Rakyat didulang suaranya, dijadikan objek penderita. Sudah menjadi rahasia umum, bukan kepentingan rakyat yang sedang diperjuangkan. Tetapi, kepentingan para pemodal yang menginvestasikan dana dengan jumlah tak terkira dan itu bukanlah cuma-cuma. Kepentingan rakyat dijadikan bungkus kepentingan individu dan golongannya dalam usaha politik merebut dan mempertahankan kekuasaan lokal dan nasional. Tidak segan mereka menghina rakyat dengan mempertontonkan kemiskinan sebagian rakyat dengan judul bantuan-bantuan, padahal itu ditujukan untuk make-up wajah yang tidak mampu melaksanakan kewajiban menyejahterakan rakyat.

Sejak runtuhnya rezim orde baru, rutinitas pesta-pesta demokrasi digelar melalui Pemilu, Pilkada, dan Pilpres. Undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengatur jalannya pesta seiring waktu disesuaikan untuk mengikuti perubahan kebutuhan dari berbagai kepentingan. Pihak-pihak yang berkepentingan termasuk politisi dan akademisi bahu-membahu membangun suasana pesta menjadi demokratis seidealis mungkin. Celah cela yang memungkinkan mencederai demokrasi diminimalisir. Berbagai sarana dan perangkat hukum diupayakan supaya pada setiap pesta demokrasi dapat menghasilkan kader-kader politik terbaik duduk di kursi eksekutif maupun legislatif.

Rakyat Indonesia yang disuguhi dengan berbagai pertunjukan politik dalam rangkaian pesta-pesta demokrasi, semakin hari akan semakin paham. Sikap beragam bermunculan sebagai wujud kedaulatan. Ada sebagian yang turut aktif dalam persiapan pesta, ada yang hanya menonton sembari mempertimbangkan pilihan ketika pesta demokrasi diselenggarakan, dan ada sebagian dari mereka yang tidak peduli dengan pertunjukan politik yang ada. Tinggal bagaimana panitia pesta menyuguhkan sebaik mungkin? supaya kepercayaan rakyat terhadap demokrasi tidak sirna. Tunjukan bahwa suksesi demokrasi yang sedang berlangsung adalah demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat bangsa ini.

Upaya-upaya provokasi dan teror intimidasi masih terjadi. Kejutan-kejutan peristiwa meletup menarik perhatian. Padahal menciptakan suasana mencekam di tengah masyarakat bukanlah tindakan yang beradab. Seperti ledakan bom yang terjadi kemarin di beberapa gereja Surabaya. Pelaku bom bunuh diri tentu bukan sedang mempertontonkan pertunjukan hiburan bagi masyarakat. Ada alasan yang begitu kuat sehingga mereka memutuskan untuk melakukan tindakan itu, meskipun itu tidak dapat dibenarkan atas dasar kemanusiaan. Tidak cukup hanya dengan menangisi korban dan mengutuk pelaku, perlu diteliti alasan yang melatarbelakangi peristiwa ini terjadi. Termasuk mengevaluasi kembali pesta-pora yang sedang diselenggarakan, jangan-jangan dipenuhi rakus ketidakadilan.