Jihad dan Maiyyah

Agama diturunkan atau diadakan untuk menjemput dan atau membimbing manusia menuju Tuhan. Tujannya adalah untuk menjadikan manusia sebagai khalifah, sebagai refleksi sifat-sifat Tuhan yang menjadi sumber kebaikan. Agama bukan tujuan melainkan alat atau jalan menuju Tuhan. “Ketahuilah, bahwa agama hanya untuk Allah semata.” (QS. Az Zumar: 3) Tujuannya adalah Tuhan semata, yang karena refleksi sifat-sifat keagungan-Nya pada diri manusia maka tersebarlah kebaikan di muka bumi, dan ini berarti merealisasikan janji Allah kepada para malaikat dan iblis bahwa sang manusia akan melakukan tugas kekhalifahannya dengan baik.

Namun, kenyataannya agama tidak jarang, bahkan sering kali menjadi faktor utama bagi terjadinya kerusakan di bumi atau pertumpahan darah. Para pemimpin dan pembela agama menekankan bahwa agama mengajarkan kemuliaan yang bersumber dari Tuhan. Tetapi pertanyaan belum terjawab mengapa justeru seringkali terjadi bahwa justeru orang mengikuti ajaran-ajaran yang mulia itu kemudian terjerumus kedalam perbuatan yang merusak dan menumpahkan darah? Boleh jadi bukan karena agama dan ajaran-ajarannya melainkan cara orang memahami dan menerapkan ajaran-ajaran tersebut. Di antara ajaran agama Islam yang sering dipahami keliru, dan kemudian menimbulkan kerusakan dan pertumpahan darah di bumi adalah ajaran jihad.

Menurut KBBI ji·had memiliki tiga makna:

“usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan; usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga;
perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam;

Karena itu ada Jihad akbar: perang besar; perang melawan hawa nafsu (yg jahat); ada Jihad fi sabilillah jihad pada jalan Allah, (untuk kemajuan agama Islam atau untuk mempertahankan kebenaran); dan ber·ji·had (kata kerja) berperang (di jalan Allah); berjuang.”

Uraian dalam KBBI tersebut tidak berbeda jauh dengan pemaknaan aslinya dalam bahasa Arab. Suku kata jihad berasal dari dua bentuk kata: pertama, ja ha dayajhadujahdan; kedua, jaahadayujaahidumujaahadatanjihaadun. Bagi yang berlatar belakang pesantren dapat memahami bahwa antara kedua bentuk kata tersebut, dalam implikasinya memiliki makna terapan (aplikatif) yang berbeda. Pertama berbentuk tsulaatsi (terdiri atas 3 huruf); dan yang kedua berbentuk rubaa’i (terdiri atas empat huruf). Yang pertama bisa menerima tashrif menjadi rubaa’i (mis. Jaa hada atau ajhada), dan khumaasi (terdiri atas lima huruf, mis. Ijtahada); sedangkan yang kedua tidak menerima tashrif seperti itu.

Dari sini, kemudian kata jihad diposisikan, dalam pemaknaannya pada dua perspektif: perspektif sebagai hasil tashrif dari tsulaatsi (ja ha da – yajhadu) menjadi ruba’i (jaa ha da – yujaahidu); dan perspektif aslinya sebagai ruba’i. Dalam perspektif pertama jihad bermakna usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan; adapun dalam perspektif kedua, jihad bermakna: perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam.

Ketika diaplikasikan kedalam ajaran agama, istilah jihad tetap mempertahankan dua makna dengan dua perspektif tersebut. Oleh karena itu dalam berbagai referensi; baik tafsir, ilmu-ilmu ushul, maupun hadis-hadis para ulama dan ahli tetap mempertimbangkan bahwa hal ihwal pemaknaannya antara perspektif pertama dan perspektif kedua, tergantung kepada faktor-faktor kondisional. Q.S. al Hajj: 78 misalnya, baik makna maupun konteksnya tidak ada isyarat sedikit pun untuk memaknai perintah jihad sebagai perintah untuk perang. Demikian pula QS. al Ankabut: 6, 8, 69, pernyataan tentang jihad sama sekali tidak berkonotasi perang. Termasuk QS. al Imran: 142; at Taubah: 16, 88; al Nahl: 110. Sedangkan perintah Allah yang berkonotasi perang adalah QS. al Taubah: 73, dan al Tahrim: 9. Dalam ushul fiqh pernyataan Alquran ini bisa dimaknai sebagai perintah khusus kepada Rasulullah SAW. Dengan kata lain jihad yang bermakna perang hanya boleh dilakukan oleh Rasulullah SAW. Adapun umatnya, jika harus berperang maka menggunakan mekanisme selain dari pada jihad, yakni dalam bahasa Alquran qital atau harb.

Mengapa jihad dimaknai perang hanya jika melibatkan Rasululah SAW, karena jihad dhi perang untuk memperjuangkan kebaikan dan kebenaran harus terlepas dan terbebas dari pengaruh hawa nafsu. Hanya Nabi, para sahabat dan para awliya yang mampu merealisasikan persyaratan itu. Jihad dalam arti perang adalah miniatur perang besar atau jihad akbar yakni perang melawan hawa nafsu. Seseorang atau kelompok muslim yang belum melakukan tazkiyatunnafs (pembersihan jiwa dari hawa nafsu) tidak boleh melakukan jihad yang berarti perang. Apalagi kalau jihad hanya didasarkan pada kemarahan, dengki, hasad, cemburu, atau kepentingan-kepentingan duniawi misalnya untuk mendapatkan kepentingan ekonomi dan politik.

Semenjak ajaran-ajaran agama menjadi alat legitimasi kekuasaan pasca Khulafaurrasyidin, maka ajaran jihad ikut mengalami degradasi dan eksploitasi untuk menutupi kekurangan para penguasa dan pemimpin muslim hingga kini. Seorang penguasa atau pemimpin muslim yang tidak percaya diri atas kemampuan dan skill kepemimpinannya, barangkali karena ia menjadi pemimpin melalui mekanisme ‘karbitan’ kemudian menggunakan isu jihad sebagai ‘alat’ memperkuat kekuasaan dengan memerangi atas nama jihad seluruh lawan-lawan politiknya. Atau seorang pemimpin gara-gara tidak mampu mengatasi berbagai masalah sosial, politik, dan ekonomi dalam negeri muslim kemudian menutupi kekurangan-kekurangannya tersebut dengan mengumandangkan perang jihad melawan negara-negara kafir. Kecenderungan eksploitatif dan manipulatif ini juga pada akhirnya merebak dalam kehidupan sosial antar komunitas-komunitas muslim sehingga perbedaan paham, pemikiran dan tradisi dapat dijadikan alasan untuk mengeksploitasi ajaran jihad untuk memerangi yang lain. Pada akhirnya, menjadi stigma bahwa ajaran jihad adalah ‘momok’ yang mengancam peradaban manusia.

Paradoksnya adalah bahwa ajaran jihad untuk mengembalikan manusia kepada kesejatiannya sebagai manusia, khalifah Allah dengan melakukan pembersihan jiwa malah dijadikan sebagai ajang penyuburan nafsu kehewanan untuk menyerang dan menghancurkan, menumpahkan darah serta membuat kerusakan di bumi. Hal mana, telah diprediksi para malaikat ketika pertama kali Allah proklamirkan akan menciptakan manusia. QS. Al Hijr: 32-46 memberikan gambaran mengenai perjalanan manusia yang berakhir pada dua cabang: (1) pengikut iblis yang membuat kerusakan dan pertumpahan darah di bumi, dan (2) hamba-hamba kekasih Allah yang menjadi khalifah Allah sebagai sumber tersebarnya kebaikan di bumi.

Dengan demikian, ajaran jihad pada esensinya adalah perjuangan manusia kembali kepada kesejatiannya bersama Allah (maiyyatulloh). Maiyah atau maallah (bersama Allah) yakni kesadaran yang tidak pernah terputus akan kebersamaan dengan Allah. Sebagai kesadaran akan kebersamaan Allah dalam setiap ruang dan waktu, konsep maallah mengajarkan bahwa apapun objek kesadaran apakah pengalaman intelektual, emosional, psikis (jiwa), maupun spiritual adalah jejak dan tanda kebesaran, dan keagaungan Allah, serta manifestasi-Nya. Wajar kiranya jika gugur dalam perjuangan itu kemudian mendapatkan martabat syahid. Yaitu hamba yang memperoleh hak-hak istimewa di hadapan Allah kelak. Bahkan di dunia pun sesungguhnya terlihat betapa hamba-hamba kekasih Allah tersebut memancarkan cahaya keilahian yang selalu menuntun kepada kebaikan. Berbeda dengan wajah-wajah sangar para pengikut iblis yang batin dan jiwanya dipenuhi nafsu amarah dan hasrat duniawi yang tak terbendung.

Bagaimanapun, hadis nabi yang menyatakan dimana saat sekembalinya dari perang uhud Rasulullah SAW bersabda: “Kita kembali dari miniatur jihad menuju jihad yang agung, yakni jihad melawan hawa nafsu.” Mengapa perang uhud adalah miniatur jihad melawan nafsu karena dalam perang yang menang adalah yang memegang kontrol dan kendali. Manusia yang berhasil memegang kontrol dan kendali dirinya akan menemukan kesejatian dirinya, dan dengan begitu ia menjadi khalifah, asisten Allah untuk menyebarkan kebaikan di antara segenap umat manusia. Karena itu pada akhirnya jihadunnafs membuat manusia merefleksikan sifat-sifat Allah asmaul husna, dan memiliki karakter ketuhanan yang jika memberi misalnya tanpa pamrih, jika menerima pemberian tidak minder; manusia yang jika gagal tidak putus asa dan jika berhasil tidak sombong. Dst..

Adapun pemaknaan jihad yang tercermin dalam perilaku sebagian orang-orang beragama sebagai kesukaan menyerang sesama manusia, kesukaan membuat kerusakan dan pertumpahan darah hanya karena beda pandangan dan pemikiran maka pemaknaan tersebut jauh dari esensi jihad. Selanjutnya orang yang beranggapan syahid dengan melakukan hal-hal seperti itu boleh jadi yang dimaksudkan QS. al Kahf: 104, yaitu orang-orang perbuatannya sia-sia tidak bernilai dan tidak berkualitas tetapi mereka tetap beranggapan sedang berbuat baik. Mungkin pemaknaan seperti itulah yang dimaksudkan antara lain ‘Ateisme Agama’.