Jaburan Tinggal Kenangan

JABURAN. Atau kalau lidah wong jowo bagian tengah (solo dan sekitarnya) lebih kulino menyebutnya Jéburan. Pengucapan Jéburan sama seperti ketika kita mengucapkan kata Jélungan (petak umpet).

Akhir-akhir ini saya atau mungkin anda rasa-rasanya sudah jarang sekali mendengar kata Jéburan. Dan memasuki sepekan bulan Ramadhan 1438 H ini, teman-teman kita penggiat Kenduri Cinta Jakarta merilis rubrik baru di website Kenduri Cinta dengan judul : JABURAN. Rubrik JABURAN ini berisi tulisan-tulisan Mbah Nun yang cenderung mengangkat seputar nilai-nilai dan hikmah puasa.

Entah ada angin apa, kata JABURAN seketika melempar pikiran saya jauh mundur ke belakang. Flashback ke masa silam. Kembali mengenang masa kecil saya dulu dikampung halaman.

Masa kecil saya dulu, dihabiskan disebuah dusun kecil yang cukup jauh dari perkotaan. Dusun yang terletak di ujung barat laut kabupaten Sragen. Bernama  Selogono, desa Girimargo, kecamatan Miri, kabupaten Sragen. Bersama bapak, ibu dan dua saudara laki-laki saya, kami sekeluarga menjalani hidup dalam kesederhanaan.

Masa anak-anak adalah masa paling bahagia. Ndak punya beban, apalagi utang. Seorang anak tidak perlu mikir apa-apa, sebab memang belum punya kemampuan untuk berfikir apa-apa. Usia anak-anak adalah usia untuk bermain, bermain dan bermain. Agenda rutin harian mereka adalah pagi sekolah, siang dolan, sorenya mandi lalu ngaji dan diakhiri tidur pada malam hari. Begitulah standar aktivitas anak-anak ketika itu pada umumnya, tak terkecuali saya.

Ada momen yang kehadirannya sangat ditunggu-tunggu oleh anak-anak di zaman kecil saya dulu. Momen dimana kita para bocah bisa berkumpul, bergaul dan bersenang-senang bersama. Momen tersebut adalah bulan puasa. Ya, bulan puasa selalu menawarkan suasana, nuansa dan aroma yang ceria. Kaitannya yang ketiga (aroma) ini tentu tak lain mengenai makanan. Bisa dipastikan bulan puasa selalu menyuguhkan banyak makanan dimana-mana. Dirumah, masjid, musholla dan lapak-lapak pinggir jalan yang menjajakan berbagai menu panganan dan kudapan berbuka. Dan ini menjadi berkah tersendiri bagi kami (anak-anak). Namanya wong ndeso, udik, kéré, ketika bisa melihat dan mendapatkan makanan banyak itu sangatlah menyenangkan. Baik yang dibeli sendiri maupun gratis karena diberi.

Ada tradisi kecil dan rutin yang diselenggarakan di Musholla kampung saya ketika Ramadhan tiba. Jika sholat isya’ diluar Ramadhan hanya berisikan tujuh hingga sepuluh jamaah, maka saat bulan Ramadhan datang jamaah mendadak mbludak, tumpah ruah, bisa bertambah lima kali lipat dari biasanya. Sampai-sampai Surau mini dikampung saya itu kewalahan untuk menampung para jamaah. Pemandangan yang langka. Dan terjadi setahun sekali. Ironi.

Tradisi kecil dan rutin tersebut dilaksanakan ketika sholat tarawih telah usai. Yaitu bagi-bagi makanan kepada seluruh jamaah sholat tarawih khususnya anak-anak. Warga digilir untuk men-sodaqoh-kan sebagian rizqi-nya berupa panganan-panganan ringan untuk dibagikan. Panganan ringan tersebut antara lain; lempeng, rambak, karak, jipang, roti bolu, roti pisang dll. Meskipun makanan ndeso dan murah, tapi bagi anak-anak rasanya itu sungguh enak, nyampleng, nikmat, lezat tak terkira. Anak-anak rela antri berjejer rapi demi mendapat secuil karak atau  sepotong roti. Hanya mendapat secuil makanan saja senengnya bukan kepalang. Bagai mendapat sebongkah berlian. Bagi-bagi makanan menjadi momen spesial, sakral dan maha penting untuk selalu di tunggu-tunggu. Tidak ada raut ngantuk ataupun lelah pada mimik polos mereka. Yang nampak hanyalah wajah-wajah sumeh, gembira karena akan mendapat makanan secara cuma-cuma. Bahkan parahnya, sholat tarawih dan ndarus Qur’an mungkin bukanlah tujuan utama mereka (anak-anak) datang ke Musholla. Mencari makanan jauh lebih primer dan seolah hukumnya wajib ‘ain. Tak apa, maafkan dan maklumilah mereka. Namanya juga anak-anak. Tradisi kecil bagi-bagi makanan itulah yang disebut Jéburan atau JABURAN.


SELEKSI ALAM berjalan. Roda waktu berputar. Para sesepuh, orang tua, pengasuh Musholla terdahulu satu persatu dipanggil Yang Maha Kuasa. Kepengurusan diambil alih oleh generasi berikutnya yang lebih fresh dan muda-muda. Dengan pengurus/ takmir yang baru, muncullah kebijakan baru, aturan baru, pemahaman baru, semua serba baru. Banyak warisan dan adat kebiasaan yang  diajarkan oleh guru dan sesepuh dulu seperti di hapus, dihilangkan, dipenggal putus hangus. Sebagai contoh ; tidak diperkenankan-nya puji-pujian selepas kumandang adzan. Ndarus Qur’an tidak usah pakai pengeras suara. Hingga tradisi Jéburan pelan-pelan dihilangkan dengan dalih itu tidak ada tuntunan. Tidak dimuat didalam kitab Qur’an. Alangkah pendek sumbu kita. Betapa dangkal pemikiran kita. Kalau apa-apa yang tidak ada di Qur’an, tidak Kanjeng Nabi ajarkan maka hal itu mesti dibuang dan dilenyapkan. Sungguh memprihatinkan manusia sekarang. Hal demikian baru saya rasakan dua tahun terakhir ini sejak saya kembali tinggal dikampung halaman.

Pengurus Musholla mengganti tradisi Jéburan dengan takjil untuk berbuka puasa. Dan saya di amanahi oleh takmir Musholla untuk membuat jadwal takjil warga, jadwal kultum tarawih hingga jadwal pendamping ngaji TPA. Warga dijadwal untuk bersedekah makanan sebagai menu berbuka anak-anak yang mengaji TPA di Musholla. Satu hari tiga orang yang memberi takjil. Sekitar 50 sampai 60 anak diharapkan kebagian menu takjil semua. Alhamdulillah bahagia rasanya ketika saya bisa mendampingi anak-anak mengaji. Dan tambah bahagia hati ini ketika bisa turut nimbrung berbuka puasa bareng mereka.

Saya pribadi bukan-nya tidak setuju jikalau tradisi Jéburan diganti dengan memberi takjil berbuka. Memberi takjil itu baik dan mulia. Saya sangat setuju dan meng-apresiasi setingg-tingginya. Hanya saja sangat di sayangkan apabila tradisi warisan leluhur ini tidak di indahkan terlebih lagi dimusnahkan. Saya kok takut berdosa, takut kualat jika para sesepuh yang sudah tenang disisi-Nya itu tahu dan melihat anak cucunya sekarang berlagak sok pinter, sok bener, yang dengan mudahnya men-delete apa saja yang sekiranya tidak matug, tidak cocok dengan keyakinan-nya. Sedih saya melihatnya.

Dan kesedihan saya ini membawa diri saya untuk ingin tahu lebih dalam dan detail apa sebenarnya makna Jéburan itu. Kemarin malam (Sabtu, 3 Juni 2017) usai sholat tarawih, saya sowan berkunjung ke rumah salah satu paklik saya. Orang yang saya anggap paham akan hal itu. Saya hendak bertanya dan mencari pencerahan ;

“Jan-jané Jéburan kuwi opo tho.., maksudé piye lan tujuané nopo…”

Paklik saya hanya menjawab sebatas yang beliau tahu ;

“Jéburan kuwi dundum panganan, dibagikan ke warga pas bulan puasa. Yo intine berbagi rizki, berbagi kesenangan lewat makanan kepada liyan.”

Belum puas dengan jawaban sang paklik, saya bergegas sowan ke rumah salah satu warga yang cukup diajeni di kampung. Namanya pakde Dibyo. Beliau cukup rinci menjelaskan asal muasal kata Jéburan plus makna yang terkandung didalamnya. Jéburan itu kata dasarnya adalah “NJEBUR”, yang berarti masuk, mlebu, slulup, kungkum. Kenapa Jéburan hanya dilakukan saat bulan puasa Ramadhan? Kenapa tidak setiap hari, setiap saat, wis kapan wae oleh, kenapa?

Karena bulan Ramadhan bulan yang penuh keberkahan. Bulan yang full dengan pahala-ampunan. Dimana waktu pagi-siang-sore-malam semua bagus dan mustajab untuk berdoa. Segala yang dilakukan di bulan ini bernilai ibadah. Bahkan molor sekalipun dibeji sebagai ibadah. Penak tho.., penak nganggo banget. Maka dari itu kita di ular-ulari, dikandani, dielingke oleh simbah sesepuh kita dulu untuk “NJEBUR”, masuk total, slulup dan hanyut dalam kebarokahan bulan Ramadhan. Berlomba-lomba untuk nandur-nabung kebaikan dan kasih sayang. Hal ini selaras dan banyak ditekankan oleh guru kita Mbah Nun di berbagai acara Maiyahan belakangan ini, sebagai bentuk respon atas kegaduhan yang terjadi di NKRI. Kebenaran kita ‘puasa’kan, hanya kebaikan dan kasih-sayang yang kita umbar-umbar.

Karena saya bukan siapa-siapa, dan tidak punya apa-apa. Maka saya memilih minggir dan kembali ke desa. Sitik-sitik ingin urun ilmu dan tenaga untuk Bismillah mbangun desa.

Mungkin besok, lusa, atau minggu depan saya kepengin beli sekresek lempeng, rambak atau mungkin jipang. Usai tarawih akan saya bagikan kepada anak-anak sebagai bentuk Jéburan (Njebur dalam keberkahan). Sekedar nostalgia dan syukur-syukur bisa sedikit membuka mata-hati kita semua bahwa berbagi itu mulia. Entah apapun namanya.

Muhammadona Setiawan

Sragen, 04 Juni 2017