INDOAUTONESIA

Reportase Kenduri Cinta edisi SEPTEMBER 2018

“Ketika teknologi dikuasai oleh seseorang yang tidak mampu menggunakannya, maka manfaat teknologi tersebut tidak akan terasa maksimal,” ucap Amien Subhan, penggiat komunitas Kenduri Cinta, mengawali diskusi pada sesi prolog, setelah sebelumnya membacakan wirid Tahlukah.

Amien menyoroti penggunaan smartphone oleh banyak orang yang tidak memaksimalkan kecanggihan teknologi yang terdapat didalamnya, namun untuk sekadar memotret, saling berkirim pesan, mengakses media sosial, menonton video atau hanya sekadar untuk bermain game saja. Kecanggihan teknologi tidak serta-merta mengantarkan para penggunanya untuk juga menjadi lebih canggih.

Tema Indoautonesia lahir di forum diskusi Reboan. Rangkuman diskusi itu lantas disampaikan ke Cak Nun. Beberapa opsi tema juga diberikan pada Cak Nun untuk dipilih. Beberapa tahun belakangan, Cak Nun selalu dilibatkan oleh teman-teman penggiat dalam menentukan tema acara bulanan. Tema kali ini berangkat dari seri Tetes “Tapi Aku Mencintaimu” yang dalam sebulan terakhir dirilis oleh Cak Nun melalui website caknun.com. Bait-bait puisi itu menjadi bahan diskusi di forum Reboan.

Senada, Kenduri Cinta juga pernah mengangkat tema menggunakan kata “indonesia”, seperti Decoding Indonesia Raya, Mendirikan Indonesia, Indonesia Pulanglah, Indonesia, Maafkan Aku, Kamu Dimana? hingga Kegembiraan Maiyah; Bersedekah Kepada Indonesia. Tema-tema itu secara eksplisit menggunakan kata Indonesia.

Merunut tulisan Cak Nun berjudul Indonesia Bagian Dari Desa Saya, kita menemukan suatu pemahaman bahwa Indonesia adalah bagian dari diri kita bukan sebaliknya, diri kita yang menjadi bagian dari Indonesia. Indonesia Bagian Dari Desa Saya merupakan konsep manusia yang hidup di Indonesia, tentang bagaimana memberi kepada Indonesia, bukan malah menuntut dan meminta-minta.

Adalah keniscayaan bagi masyarakat Maiyah membicarakan Indonesia, tidak mungkin tidak. Indonesia adalah bagian dari Maiyah. “Jangan-jangan kita ini yang tidak mengenal Indonesia? Kayanya kita yang ke-geer-an, merasa sangat mengenal Indonesia,” Adi Pudjo melempar pertanyaan. Adi berpendapat, bisa jadi kita salah sangka pada Indonesia, maka karenanya kita kecewa. Indonesia yang ada dalam benak kita jangan-jangan hanya imajinasi semata. Indonesia yang adil dan makmur, terwujudnya kesejahteraan, tidak adanya kesenjangan sosial, jangan-jangan itu semua hanya khayalan kita saja.

“Kata “auto” tidak selalu digunakan dalam bidang teknologi saja. Perilaku atau kebiasaan manusia sehari-hari juga bisa auto,” Pramono menyambung. Baginya, teknologi tak hanya identik dengan mesin, kreativitas juga bagian dari teknologi. Ia pun lantas menjabarkannya.

Dicky Wisnu ikut menambahkan, “Saya lebih merefleksikan tema ini kepada pemerintahan Indonesia. Adanya pemerintah seakan-akan kok justru semakin membuktikan bahwa negara ini seperti pesawat yang dikendalikan dalam mode auto-pilot.” Ia pun membahas dismanajemen sistem yang terjadi dalam pengelolaan negara. Banyak keputusan-keputusan pemerintah, hingga respon-respon pemerintah terhadap persoalan kebangsaan yang belum menjadi solusi, beberapa justru menambah persoalan baru.

Kenduri Cinta malam itu sangat ramai. Sejak pukul sembilan malam, area plasa Taman Ismail Marzuki sudah dipadati pengunjung. Beberapa tampak rutin datang setiap bulannya, sebagian datang sesekali, ada juga yang baru pertama kali.

Seperti Ludi, jamaah asal Bandung, malam itu untuk pertama kalinya ia merasakan atmosfer forum maiyahan. Begitu juga dengan Awal, jamaah asal Bintara, Bekasi, yang juga baru pertama kali datang di Kenduri Cinta, sebelumnya ia menyimak maiyahan melalui video-video yang tersebar di Youtube.

Maiyahan memang telah menjangkau kalangan luas. Kemajuan teknologi internet memiliki peran besar dalam mengantarkan Maiyah hingga dikenal luas oleh masyarakat. Konten-konten Maiyah, baik itu foto dan video, banyak tersebar luas di internet. Sebagian memutuskan untuk mengenal Maiyah lebih dalam, dengan hadir langsung ke forum-forum maiyahan seperti Kenduri Cinta.

“Kita sinau bareng karena kita ingin meraih kecerdasan bersama, tidak mungkin kita sinau sendiri-sendiri.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (September, 2018)

WASPADA TERHADAP CAK NUN

Forum maiyahan tak hanya Kenduri Cinta. Tahun ini, forum Padhangmbulan di Jombang memasuki usia 25 tahun, ada juga Mocopat Syafaat di Yogyakarta dan Gambang Syafaat di Semarang yang sudah menjejaki tahun ke-19. Menuju ke timur, ada Bangbang Wetan yang pada bulan September ini akan merayakan 12 tahun keberlangsungannya. Belum lagi forum-forum organik maiyahan di kota-kota lainnya yang terus tumbuh. Kenduri Cinta sendiri, telah 18 tahun menemani masyarakat ibukota.

Kesetiaan forum-forum maiyahan dalam menemani masyarakat di berbagai daerah bukanlah proses yang instan. Apalagi forum-forum ini tidak dibentuk dengan cara struktural, top-down. Penciptaan suasana egaliter nan sederhana, keterbukaan dan partisipatoris, mampu membuat masyarakat merasa betah serta enggan beranjak pergi meski forum berlangsung hingga larut malam. Pengelolaan keseimbangan ruang tentu diperlukan.

Salah satu bentuk pengelolaan keseimbangan dalam majelis ilmu maiyahan adalah adanya jeda dalam menyegarkan suasana. Diskusi-diskusi intelektual tentu diperlukan, namun pendekatan spiritual dan kultural juga musti disesuaikan. Jamaah tak melulu diajak berdiskusi, menyimak paparan para narasumber. Musik-musik yang jujur juga ditampilkan.

Seperti malam itu, Ruang Musik dan Krits Solo Accoustic Guitar tampil beberapa lagu. Tidak hanya musik, ada juga penampilan teater, lenong, pembacaan puisi, pantomim dan bentuk-bentuk kesenian lainnya juga sering ditampilkan di Kenduri Cinta.

“Kebanyakan pilot sekarang hanya menggunakan mode manual ketika take-off dan landing saja. Ketika sudah stabil, maka mode auto-pilot akan diaktifkan,” tambah Ali Hasbullah mengawali sesi diskusi selanjutnya. Teknologi autodriving sudah mulai diaplikasikan pada kendaraan roda empat. Sistem otomatisasi sudah diterapkan, user tinggal menentukan titik akhir tujuan pada mesin GPS yang sudah terpasang, kendaraan pun melaju ke titik tujuan. Selama perjalanan, kendaraan mengenali rambu-rambu lalu lintas yang diberlakukan.

Ali menyoroti rakyat Indonesia yang mandiri, tidak bergantung pada pemerintah dan negara. Ali juga membahas tentang kesalahan pemahaman antara negara dan pemerintah, dimana wilayah yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara justru dikuasai oleh pemerintah. Pemerintah berkuasa selama (maksimal) 10 tahun. Sementara negara berlangsung terus menerus, tidak ada perjanjian negara ini akan berhenti pada tahun kesekian. Tidak. Maka, kedudukan negara lebih tinggi dari pemerintah. Kesalahan selanjutnya adalah pegawai negara justru lebih patuh kepada pemerintah yang hanya menjadi pegawai outsourcing selama 5-10 tahun. Seharusnya, pegawai negara taat kepada undang-undang negara, bukan kepada pemerintah.

“Yang ada di pikiran penguasa hari ini adalah cara agar dapat berkuasa kembali sampai 2024,” Ali melanjutkan. Tidak ada rencana untuk Indonesia 50 tahun yang akan datang. Kalaupun pemerintah hari ini mencanangkan program untuk 50 tahun ke depan, belum tentu juga akan digunakan oleh pemerintah berikutnya. Jika pun presiden sekarang tidak terpilih lagi di Pilpres 2019, dipastikan program-programnya tidak dilanjutkan oleh presiden baru. Menurut Ali, konsep GBHN yang dicanangkan Orde Baru sebenarnya baik, namun karena kita sudah kepalang benci maka semua yang berbau Orde Baru kita nilai buruk.

Ali juga menyoroti perkembangan teknologi artificial intelligence yang kini marak diaplikasikan di berbagai bidang. Pada ranah penanganan hukum, kini pun sudah ditemukan kecerdasan buatannya. Ali mengkhawatirkannya, sebab hal itu akan menjadi ancaman bagi eksistensi manusia. Menurutnya, semakin banyak hal yang bisa dilakukan oleh mesin atau komputasi, maka kreativitas manusia menjadi makin tidak terasah.

Fauzan dan Kyai Syauqi juga memberi respon. Bagi Fauzan, bukan otomatisasi yang terjadi, melainkan pola yang terstruktur. Kyai Syauqi lebih membahas hati manusia yang tidak mungkin berlaku otomatis. Beliau juga mengingatkan, jika manusia gagal mengkondisikan dan mengelola hati, maka kehancuran peradaban akan nyata.

“Anda harus hati-hati pada saya. Anda tidak boleh menelan begitu saja omongan saya. Jangan sembrono mendengarkan saya.Kalau harus dikunyah, kunyahlah.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (September, 2018)

Cak Nun sudah berada di forum sejak diskusi sesi awal. Sembari menyimak paparan narasumber, Cak Nun tampak menikmati kopi yang disuguhkan penggiat sembari menghisap rokok kreteknya. Cak Nun turut menikmati asyiknya menjadi jamaah, duduk di samping panggung, menyimak narasumber, mendengar dengan seksama, menikmati penampilan musik. Suasana egaliter semakin terasa.

Setelah kelompok musik Project Cinta dan Golek Suwong menampilkan nomor-nomor akustiknya, Cak Nun lantas bergabung di forum, menyapa, “Kita akan sinau bareng, karena kita ingin meraih kecerdasan bersama, maka dari itu tidak mungkin kita sinau sendiri-sendiri,” Cak Nun mengawali dengan beberapa pointerpointer yang tampaknya dipersiapkan untuk tema malam itu.

Mengawali, Cak Nun menegaskan prinsip-prinsip dasar sinau bareng di Maiyah, “Hendaklah anda waspada kepada saya. Anda harus hati-hati kepada saya. Anda harus tidak boleh menelan begitu saja omongan saya. Anda harus punya kecurigaan yang positif, anda jangan sembrono mendengarkan saya, karena saya bukan Allah, saya bukan Rasulullah, dan saya bukan informasi Alquran.

Kalau anda orang Islam, yang qoth’i dan pasti benar dan pasti hidayah adalah Allah sendiri, Rasulullah Saw dan Alquran. Kalau sama Allah, sama Rasulullah Saw, sama Alquran itu laa roiba fiihi hudan lil muttaqiin. Pokoknya kalau sama Alquran, membabi buta saja, cintai, lakukan. Tetapi kalau saya yang ngomong, jangan. Anda harus waspada. Jadi, prinsip dasar di Maiyah adalah jangan percaya kepada Cak Nun, jangan percaya kepada Mbah Nun.”

Kultus individu tidak diinginkan oleh Cak Nun, “Barangsiapa tidak menjaga Allah dalam dirinya dan perilakunya, maka Allah juga tidak memilki alasan atau kewajiban untuk menjaganya. Jangan sampai ada satu detik saja dalam hidup kita yang tidak ingat kepada Allah.”

“Jadi sekali lagi, waspada terhadap omongan saya, jangan langsung ditelan. Kalau harus dikunyah, kunyahlah. Anda harus punya ilmu apakah harus ditelan seperti jamu, atau dikunyah sekian kali, atau harus anda godhog dulu, atau bahkan juga harus diramu dengan ramuan yang lain,” Cak Nun melanjutkan, “Kalau Sayyidina Ali mengatakan, undhur maa qoola wa laa tandhur man qoola. Dengarkan atau lihatlah apa yang dikatakan, jangan melihat apa yang dikatakan.” Pesan Sayyidina Ali ini bisa berlaku untuk satu kasus. Ada klausul lain yang juga berlaku: lihatlah, perhatikan siapa yang mengatakan, jangan melihat apa yang dikatakan. Ada pula kemungkinan: lihatlah dan perhatikan siapa yang menyampaikan dan apa konteks yang disampaikan. Namun, ada juga kemungkinan fenomena yang sudah jelas, sehingga yang berlaku adalah jangan melihat siapa yang mengatakan dan jangan pula memperhatikan apa yang disampaikan.

Semakin kita mampu melatih 4 klausul diatas, semakin peka kita terhadap situasi. Semakin terlatih, maka semakin kita tidak ruwet. Misal, saat orangtua meminta untuk bikin sambal, maka otomatis proses pembuatan sambal kita jalankan, tak perlu menunggu instruksi-instruksi. Manusia rendah adalah manusia yang selalu menunggu instruksi untuk melakukan sesuatu. Setelah melakukan satu tahapan, ia menunggu instruksi untuk melaksanakan tahapan selanjutnya. Manusia dengan strata tinggi adalah manusia yang secara otomatis mengerti dan memahami langkah apa yang harus diambil ketika sebuah perintah disampaikan. Ketika diperintah untuk membuat sambal, maka otomatis segala proses dari mulai membeli bahan-bahan sambal, hingga mengolah bahan-bahan menjadi sambal dilakukan secara langsung tanpa menunggu instruksi tahap demi tahap.

Maka yang kita alami bersama di maiyahan selama ini, tidak terkecuali juga di Kenduri Cinta, adalah keindahan demi keindahan sedemikian itu. Nomor satu urusannya bukanlah biola atau pemain biola yang baik, bukan aransemen musikal yang baik, namun bahwa kita memiliki software yang bernama cinta dan keikhlasan. Sehingga ketulusan hati manusia maiyah menjadi bekal, dengan cinta dan keikhlasan itu kita mampu mengapresiasi semua jenis musik yang diperdengarkan di Maiyah.

“Anda harus waspada. Prinsip dasar di Maiyah adalah jangan percaya kepada Cak Nun, jangan percaya kepada Mbah Nun.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2018)

RUANG, BANGUN, BIDANG

Melanjutkan, “Dulu, kita pernah mempelajari 3C (cekak, ciut, cethek),” Cak Nun ingatkan lagi penyakit 3C yang diakibatkan dari sempitnya cara pikir manusia, “Orang yang hanya tahu bahwa manis itu hanya mangga, maka ia tidak akan bisa menerima bahwa ada sawo yang juga manis,” lanjut Cak Nun. Melompat lagi, Cak Nun mengurai singkat tentang finite game dan infinite game. Pekerjaan dengan garis akhirnya, dan yang tidak memiliki garis akhir.

Khasanah cara pandang, sudut pandang, sisi pandang, jarak pandang, dielaborasi Cak Nun malam itu. Belajar dari kekalahan McGregor melawan Mayweather, Cak Nun mengambil pelajaran tentang batas pandang. Jika saja Mayweather menggunakan kesadaran petinju saat duel dengan juara MMA McGregor, maka Mayweather akan kalah, karena kesadaran petinju adalah mengambil dan menjaga jarak dari jangkauan tangan musuh. Karena ia menyadari McGregor bukan petinju, maka ia memangkas jarak, ia selalu mendekat ke tubuh McGregor, yang terjadi jangkauan tangan McGregor tidak bisa masuk ke area pertahanan Mayweather, hal itu memudahkan Mayweather untuk terus menekan McGregor dan akhirnya ia memenangkan pertarungan itu.

Tema Kenduri Cinta bukan untuk menyindir Indonesia yang berjalan secara auto-pilot. Lebih dari itu, ada yang lebih auto-pilot dari sekadar pemerintahan. Tema juga bukan dalam rangka membahas teknologi dan revolusi industri 4.0 yang sedang digaungkan akhir-akhir ini. Tema hendak menjelaskan bahwa yang menjadi sutradara kehidupan, termasuk di Indonesia, tidak hanya pemerintah saja.

“Ada malaikat, ada qadla dan qodar, ada min haitsu laa yahtasib, ada yaj’al lahu makhrojaa, ada innallaha baalighu amri, ada qod ja’alallahu likulli syaiin qodrohu, ada banyak sekali klausul-klausul auto-pilot. Kalau angin berhembus menuju ruang kosong, kita menganggapnya auto-pilot karena bukan manusia yang mengerjakannya, tetapi Allah. Maka di Indonesia ini, ada krisis ekonomi makro kaya apapun, rakyat memiliki daya survive yang luar biasa, di luar piloting-nya pemerintah,” Cak Nun menjelaskan.

Cak Nun ingatkan untuk tidak terfokus pada hal-hal kasat mata saja. Ada banyak hal yang tak terlihat secara kasat mata yang justru akan menentukan masa depan Indonesia. Sementara pencapaian-pencapaian kita sifatnya masih bersifat materiil. Program pemerintah yang selalu dibanggakan hanyalah pembangunan infrastruktur fisik, sementara infrastruktur non-fisik hampir tak tersentuh. Kesuksesan sebuah pemerintahan hari ini hanya dihitung berdasar seberapa banyak bangunan fisik yang berhasil dibangun. Sementara untuk mencapai kesejahteraan sosial masyarakat tidak hanya membutuhkan infrastruktur fisik, melainkan juga infrastruktur non-fisik berupa sikap mental, moral, akhlak dan sebagainya. Secanggih apapun sistem pemerintahan, jika software yang terkandung dalam dirinya belum baik dan benar, maka ang dicita-citakan oleh pendiri bangsa ini tidak akan tercapai.

“Anda bisa merumuskan ilmu, tetapi anda tidak bisa merumuskan ruang,” Cak Nun lantas mengelaborasi lebih dalam tema ruang, bangun, bidang, dan garis. Jika sebelumnya Cak Nun mengangkat konsep manusia perabot dan manusia ruang, kali ini ia mengajak jamaah untuk memahami lebih dalam tentang konsep ruang.

“Islam ini ruang, bidang, atau garis?” pertanyaan Cak Nun serempak dijawab, “Ruang!” Jika Islam adalah ruang, maka Indonesia adalah bangunan yang ada di dalam ruang yang bernama Islam. Lebih mengerucut lagi, maka Pilpres adalah garis yang berada di dalam bangunan besar Indonesia. Hari ini kita dipersempit hanya untuk hidup di dalam garis kecil bernama Pilpres, sementara bangunan Indonesia itu sendiri begitu besarnya, bahkan ruang bernama Islam memiliki wilayah yang lebih luas lagi.

Maiyah adalah ruang bagi semuanya. Maiyah memposisikan diri untuk menampung siapa saja. Meski demikian, Maiyah tak mampu menghindar, apabila ada pernyataan-pernyataan Cak Nun yang dianggap menguntungkan salah satu kubu, lalu dimanfaatkan demi kepentingan politik praktis. Itulah risiko yang harus dihadapi oleh Maiyah.

“Anda bisa merumuskan ilmu, tetapi anda tidak bisa merumuskan ruang.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (September, 2018)

Menjelang tengah malam, Kyai Muzammil turut bergabung di forum. Cak Nun lantas mengajak dialog, “Islam Nusantara itu garis, bidang, atau ruang?” Kyai Muzammil menjawab, “Islam Nusantara adalah garis. Sementara mazhab-mazhab yang ada adalah bangunan yang ada di dalam ruangan Islam yang tak terbatas luasnya.”

Dialog perumpamaan itu dibangun keduanya untuk memberikan sebuah persepsi, agar jamaah mudah menentukan proporsi, apa saja dalam hidup ini yang harus diproporsikan sebagai ruang, bangun, bidang, dan garis. Khasanah bahwa segala sesuatu harus dipastikan posisi primer dan sekundernya. Suatu hal yang bersifat garis tak bisa dipaksakan menjadi ruang, sehingga lantas dibela mati-matian sebagai sesuatu yang bersifat ruang.

Satu-satunya alasan Allah menciptakan manusia adalah menjadikan manusia khalifah di muka bumi. Manajemen itu bernama khilafah. Maka seharusnya tak perlu ada kalimat “anti-khilafah”. Yang kita tidak setuju dengan tafsir khilafah versi HTI. Kalau kita berani mengucapkan “anti-khilafah” maka yang kita hadapi adalah Allah Swt yang menciptakan khilafah. Khilafah adalah benih.

Jika menggunakan terminologi sebelumnya, khilafah adalah ruang. Tumbuhnya benih khilafah bisa saja berbentuk komunitas, klub, organisasi, negara, kerajaan atau apapun saja. Persoalan memang menjadi lebih pelik karena masyarakat sudah terlanjur under estimate kepada hal-hal yang berbau Islam.

Menjadi manusia ruang memungkinkan kita mampu menampung semua hal. Kenduri Cinta adalah laboratorium yang paling nyata untuk melatih kita menjadi manusia ruang. Sekian jam lamanya kita bertahan duduk menekun, menyimak siapa saja yang berbicara, menikmati sajian musik dan kesenian dengan berbagai macam jenisnya, dan kita menerima itu semua sebagai bentuk keindahan. Itu terjadi, karena kita mengaplikasikan diri sebagai manusia ruang. Seandainya kita manusia garis, maka tidak akan betah berlama-lama di maiyahan.

Berangkat dari laboratorium Kenduri Cinta, maka kita akan mampu menemukan bahwa diri kita ini juga merupakan manusia ruang bagi Indonesia. Inilah yang dimaksudkan Cak Nun bahwa manusia Indonesia memiliki sistem auto-pilot. Tidak bergantung siapa presidennya, tetapi bergantung pada kemandirian dan ketangguhan sikap mental pada dirinya.

Cak Nun kembali mengajak berdialog, “Indonesia ini bagian dari diri anda atau anda bagian dari Indonesia? Maka, jangan minta bagian kepada Indonesia, karena dia jusrtu menjadi bagian dari cintamu, maka kerjaanmu adalah ingin mbantuin Indonesia terus menerus. Indonesia sudah menjadi bagian dari hatiku, dia berputar-putar dan bergetar-getar di dalam cintaku. Maka dia berada di dalam diriku, dia menjadi bagian dari hidupku. Maka aku tidak pernah minta bagian kepada Indonesia.”

Cak Nun menekankan bahwa hal-hal kecil yang kita hadapi sehari-hari dalam hidup ini adalah garis-garis, seperti halnya Pilpres, menurut Cak Nun itu hanyalah urusan garis, sementara kita sudah mencapai posisi sebagai manusia ruang. Hal ini terus ditekankan oleh Cak Nun, sebab hampir setiap Pilpres berlangsung, selalu saja ada pihak-pihak yang menuntut Maiyah untuk memberikan fatwa politik.

Jika Maiyah merespon ini, maka akan semakin hilang esensi dari asas demokrasi yang bernama rahasia. Justru pilihan terhadap siapa yang akan dipilih dalam Pilpres harus rahasia, bukan disepakati di ruang publik. Maka yang dilakukan oleh Maiyah adalah sinau bareng. Terhadap siapa yang dipilih, maka itu menjadi kedaulatan masing-masing saat memasuki bilik TPS di hari pemilihan nanti.

Manusia Indonesia sangat memiliki kemampuan menjadi manusia ruang, penyebabnya adalah ketika Walisongo tidak menggunakan pedang saat mendakwahkan Islam di Indonesia. Jalan dakwah yang diambil Walisongo tidak seperti yang digunakan oleh para panglima perang dan para khalifah-khalifah saat menaklukan bangsa-bangsa Eropa. Pendekatan persuasif adalah pendekatan yang dipilih oleh para Walisongo, sehingga masyarakat Islam di Indonesia memiliki corak dan nuansa yang berbeda dibandingkan Islam di negara lain.

“Ada malaikat, ada qadla dan qodar, ada min haitsu laa yahtasib, ada yaj’al lahu makhrojaa, ada innallaha baalighu amri, ada qod ja’alallahu likulli syaiin qodrohu, banyak sekali klausul-klausul auto-pilot.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (September, 2018)

REVOLUSI KONSTITUSI

Pada kesempatan selanjutnya, Cak Nun menjelaskan filosofi Sunan Kalijogo: bunga Mawar, bunga Kenanga, dan bunga Kantil. Bunga Mawar adalah bunga yang paling indah dari bermacam-macam bunga, lambang dari syu’uuban wa qobaaila, bhinneka tunggal ika. Sementara bunga Kenanga adalah simbol dari kemungkinan, keno ngono, keno ngene. Boleh seperti itu, boleh seperti ini. Semua kemungkinan akan diakomodir oleh Allah dengan hitungan risikonya masing-masing. Anda boleh Muhammadiyah, boleh NU, boleh HTI, boleh FPI, boleh LDII bahkan menjadi kafir sekalipun tidak masalah, karena ada risikonya masing-masing. Bagaimana jika saling berbenturan? Maka dari itu ada simbol bunga Kantil yang melambangkan simbol persatuan. Dalam bahasa Jawa ada istilah kemantil, artinya adalah nempel. Menempel satu dengan yang lainnya, bahkan juga dalam kaitannya hubungan vertikal dengan Allah.

Keberagaman manusia adalah sebuah keniscayaan, maka bhinneka itu tidak masalah asalkan bhinneka tunggal ika. Tunggal ika itu maksudnya adalah menyatu dalam wihdatul wujud-nya Allah, menempel terus dengan Allah. Ekspresinya bermacam-macam. Hidup itu harus selalu nempel kepada Allah. Sesama manusia harus kemantil, sesama golongan harus kemantil. Maka teorinya: walaa takuunu kalladziina nasuullaha fa ansaahum anfusahum, ulaaika humul faasiquun.

Cak Nun mengingatkan, “Jangan sampai kamu kehilangan Allah. Kalau kamu kehilangan Allah, maka kamu tidak ingat kepada Allah, kamu tidak bersyukur, kamu tidak waspada. Maka apa saja jangan sampai kehilangan Allah. Kalau kamu kehilangan Allah, maka kamu kehilangan dirimu sendiri, itu definisi orang fasiq.”

“Kalau anda berpikirnya hanya garis, maka anda tidak akan menemukan Maiyah. Karena Maiyah tidak mau jadi garis, tidak mau menjadi bidang, tidak mau menjadi bangunan. Tidak mau jadi mazhab, tidak mau jadi Ormas,” Cak Nun menjelaskan sembari membuka kemungkinan bahwa meskipun menjadi manusia ruang, setiap kita boleh membuat bangun, bidang, dan garis. Cak Nun bahkan menyarankan agar para jamaah maiyah mulai serius mempelajari hal-hal yang bersifat garis, bidang, dan bangun.

Cak Nun kembali mengingatkan jamaah agar tidak terkurung dalam kesempitan yang bernama Pilpres 2019 yang akhir-akhir ini banyak memicu perpecahan. Hanya karena perbedaan pandangan politik, lalu semakin menjalar ke berbagai bidang, sehingga terjadi benturan-benturan, ketidakseimbangan dan perpecahan.

Cak Nun mengingatkan, kerahasiaan dalam memilih kandidat calon presiden dan wakil presiden adalah aurat milik warga negara yang memiliki hak untuk memberikan suara. Kenikmatan menjaga rahasia itu justru ada di dalam bilik suara ketika hari pemilihan dilangsungkan. Sekarang, kenikmatan itu sudah tidak ada, karena sudah tidak ada rahasia lagi tentang siapa yang akan dipilih, hampir semua orang sudah menyatakan pilihannya dan mengumbar-umbar aurat rahasia itu di ruang publik, di warung kopi dan ruang publik lainnya.

Kepada jamaah maiyah yang mayoritas adalah anak-anak muda, Cak Nun berpesan, untuk memperbaiki Indonesia, ada dua hal yang harus dilakukan di masa datang: revolusi konstitusi dan re-nasionalisasi kekayaan negara. Revolusi konstitusi diperlukan karena adanya kesalahan tata negara. Untuk itu, yang dipersiapkan bukan hanya pemahaman wacana saja tetapi juga infrastruktur literasi pengetahuannya. Salah satunya adalah pemahaman yang utuh tentang perbedaan antara negara dan pemerintah. Sebuah wacana ketatanegaraan yang terus menerus didiskusikan di Maiyah, dimana pemerintah dan negara merupakah dua entitas berbeda. Wacana ini telah lama diperbincangkan di forum-forum maiyahan.

Suasana diskusi semakin hangat, Cak Nun mengelaborasi berbagai khasanah keilmuan dengan selipan humor-humor kelakar yang mengundang tawa jamaah. Setelah cukup berdiskusi, kelompok musik Golek Suwong lantas tampil ke atas panggung untuk memainkan nomor-nomor lagunya.

“Apa saja jangan sampai kehilangan Allah. Kalau kamu kehilangan Allah, maka kamu kehilangan dirimu sendiri, itu definisi orang fasiq.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (September, 2018)

Menjelang dini hari, Cak Nun kembali memberi bekal pada jamaah. “Kalau anda hidup di garis, bidang, dan bangunan, dan kalau anda manusia ruang dan bertahan secara ruang, anda akan kalah,” Cak Nun mengingatkan untuk waspada. Ia mengibaratkan, kita saat ini hidup di dalam bangunan yang dipenuhi oleh bidang dan garis yang begitu kejam. Jika kita tak ikut berlaku kejam, licik, picik, curang dan sebagainya, maka kita akan kalah. Kalau kita tidak sikut-sikutan, maka kita tidak akan menjadi apa-apa. Kalau urusan yang dicari adalah soal menang atau kalah, maka mau tidak mau kita harus mengikuti arus yang ada. Apalagi jika parameter yang digunakan adalah bukan parameter Allah, maka pilihan kita juga berlaku seperti orang kebanyakan. Tapi, jika kita menggunakan parameter Allah, maka ingatlah sebuah ayat dalam surat Al Hasyr: Laa yastawii ashaabu-n-naari wa ashaabu-l-jannah, ashabu-l-jannati humu-l-faaizuun.

Ibaratnya, ketika kita memasuki bangunan bernama Indonesia, kita tidak bisa menggunakan ilmu ruang, karena pasti kita akan kalah. Kita hanya bisa bertahan jika kita menggunakan ilmu bangun, ilmu bidang, ilmu garis. Jika yang berlaku adalah saling jegal, maka kita juga harus menjegal. Jika yang berlaku adalah sikut-sikutan, maka kita juga harus sikut-sikutan. Jika yang berlaku adalah kecurangan, kita juga harus ikut-ikutan curang. Mau tidak mau, tiga syarat kemunafikan —jika berbicara berbohong, jika berjanji mengingkari, jika diamanahi akan berkhianat— harus dilakukan jika ingin merasakan kejayaan. Jika ingin merasakan kemenangan secara keduniaan, kita harus melakukan itu semua. Jika tidak, maka kita akan digilas.

“Maka anda harus punya kekuatan ruang. Anda tidak hanya laa haula walaa quwwata illa billah, tetapi juga walaa sulthoona illa billah,” tutur Cak Nun. Sulthon adalah kekuatan ekstra yang merupakan anugerah dari Allah yang ditawarkan kepada jin dan manusia. Ia disebut dalam surat Ar Rahman dalam Alquran. Dengan energi sulthon inilah, manusia memiliki kemampuan untuk menembus batas yang tidak konvensional. Laa tanfudhuuna illa bi sulthoon.

Maiyah adalah contoh bagaimana energi sulthon itu berfungsi. Tidak ada satu manusia pun yang mampu merencanakan Maiyah. Bagaimana orang berdatangan, duduk, bahkan ada yang berdiri. Menyimak paparan yang disampaikan, dan semua merasakan keindahan bersama. Bagi Cak Nun, inilah bukti bahwa energi sulthon itu ada. “Maka dengan Maiyah ini anda sebenarnya ditawari oleh Allah sulthon. Maka tidak mungkin Indonesia dengan tata nilainya membikin Maiyah, tidak mungkin. Maiyah ini adalah bukan anak dari Indonesia, ini adalah anak dari kehendak Allah Swt, dan inilah yang dinamakan laa tanfudhuuna illa bi sulthoon. Kamu tidak bisa menembus sesuatu di luar kebiasaan kecuali dengan sulthon,” lanjut Cak Nun.

“Maka saya tidak pesimis kepada Indonesia, asal anda setia dan sungguh-sungguh. Anda jangan menjadi orang yang lupa kepada dirimu, sehingga lupa kepada Allah. Atau lupa kepada Allah sehingga anda lupa kepada dirimu, karena anda akan mendapat kemenangan dari Allah, dan kemenangan itu adalah ashabul jannati humul faaizuun,” Cak Nun menyampaikan.

Jamaah diajak berpikir untuk Indonesia yang akan datang. Sebuah revolusi konstitusi. Begitu besar potensi anak-anak muda di Maiyah, maka yang harus dilakukan adalah bersatu, mempelajari kesalahan-kesalahan generasi sebelumnya, menyusun fault tree dari Indonesia, mengidentifikasi kesalahan-kesalahan itu kemudian diperbaiki strukturnya.

“Mari kita berbahagia terhadap ayat Allah: waltandhur nafsun maa qoddamat li ghodd,” Cak Nun mentadabburi ayat dalam Surat Al Hasyr. Dalam ayat tersebut Allah berpesan kepada orang-orang yang beriman untuk bertakwa kepada Allah sebagai bekal melihat, memandang, dan mempelajari masa lampau untuk menjalani perjalanan menuju masa depan.

Cak Nun lantas memberi ruang bagi narasumber lainnya untuk berbagi khasanah, salah satunya adalah Andre Dwi Wiyono. Andre Dwi malam itu memaparkan tafsirnya tentang simbol segitiga cinta Maiyah. Andre juga kisahkan perjalanan Cak Nun saat mengunjungi petilasan kesultanan dan kerajaan-kerajaan, di Jawa dan di Bali.

“Fungsi Kenduri Cinta adalah ruang belajar untuk menjadi manusia bersama-sama dengan cara selalu memanusiakan satu sama lain.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (September, 2018)

SENGKUNI 2019

Cak Nun mengapresiasi apa yang dipaparkan Andre Dwi. Cak Nun meminta Andre Dwi menuliskan apa yang dipaparkan agar dapat menjadi bahan kajian focus group discussion bagi anak-anak muda Maiyah. Cak Nun mengilustrasikan bahwa yang dihadapi di Maiyah ini ada tiga pihak: ahli pertanian, petani dan buruh tani. Sementara khasanah ilmu yang disampaikan Andre Dwi adalah khasanah ilmu dengan wawasan ahli pertanian. Sementara Cak Nun melakukan hal yang lebih luas, menjelaskan banyak hal dengan istilah-istilah dan pemahaman yang mampu dijangkau oleh ketiganya.

Malam itu, Cak Nun juga menyampaikan rencana dipentaskannya sebuah naskah drama berjudul Sengkuni yang rencananya akan dipentaskan di Jogja pada Januari 2019. Pada drama Sengkuni 2019 nanti akan diceritakan sejarah tentang Sengkuni yang tak banyak diketahui orang.

Merespon diskusi, Kyai Muzammil sampaikan, “Kesalahan utamanya karena manusia sudah tidak mau menjadi manusia.” Menurut Kyai Muzammil, saat manusia sudah tidak mau menjadi manusia, maka manusia tidak akan mampu memahami mana yang disebut ruang, mana yang disebut bidang, mana yang bangun, dan mana yang garis. Semua dianggap sama, tidak heran jika manusia seringkali berbenturan hanya karena urusan-urusan sepele.

“Salah satu ciri manusia adalah berpikir, karena dengan berpikir manusia akan mampu menemukan mana yang salah dan mana yang benar, mana yang mulia, mana yang buruk, mana perbuatan yang baik mana perbuatan yang hina,” lanjut Kyai Muzammil.

Kenyataannya, menurut Kyai Muzammil, banyak yang menggunakan logika menang dan kalah, bukan benar atau salah, bukan baik atau buruk. Yang penting menang, apapun caranya. Meski kaki menjadi kepala, kepala menjadi kaki. Atau brahmana menjadi sudra, dan sudra menjadi brahmana kini itu semua tidak penting, yang penting adalah menang.

Seperti sebelumnya dijelaskan Cak Nun, Islam adalah ruang. Bagi Kyai Muzammil, Islam juga merupakan titik temu, tetapi sekarang Islam justru dijadikan alat untuk bertengkar. Islam ditarik kesana-kemari hanya untuk dijadikan label bahwa kelompoknya lah yang paling Islam.

Jeda beberapa lama, Cak Nun membuka jendela-jendela khasanah lainnya. Menadaburi gerakan salat sebagai teori untuk belajar menjadi manusia. Salat disebutkan ada 4 unsur: angadek (takbiratul ihram lalu berdiri), aruku’ (ruku’), alungguh atau alenggah (duduk iftirasy), dan asujud (sujud). Pada saat berdiri, ingatlah bahwa kita sedang bertasbih kepada Allah sebagai pohon-pohonan.

Ketika sedang ruku’, sadarilah bahwa sebenarnya sedang mengalami peningkatan dalam Islam. Peningkatan dalam Islam bukan berarti kita naik posisinya menjadi lebih tinggi, justru sesungguhnya adalah kemampuan untuk merunduk. Bertasbihlah ketika ruku’ dengan kesadaran binatang, karena tidak ada perilaku yang buruk dari binatang. Buas adalah konsep yang diciptakan oleh manusia, binatang tidak akan memangsa binatang lain ketika kebutuhannya sudah terpenuhi, tidak ada binatang yang rakus.

Saat duduk salat, filosofinya adalah simbol transisi dari kesadaran binatang menuju kesadaran manusia. Ketika sujud, manusia meletakkan wajah berada di bawah ketinggian pantat. “Tingginya derajat manusia kalau dia mampu menundukkan wajah lebih rendah dari pantat,” ungkap Cak Nun.

Lebih dari itu, salat sejatinya meninggalkan identitas kita di dunia. Tidak ada presiden salat, tidak ada gubernur salat, tidak ada direktur salat, yang ada manusia yang salat. Salat seharusnya mengantarkan manusia menjadi manusia, fungsinya adalah tanha ‘anil fakhsyaai wal munkar.

“Rasulullah itu tidak pernah nyuruh anda masuk Islam, karena ayatnya adalah innaka la tahdii man ahbabta walakinnallaha yahdii man yasyaa’. Tidak ada manusia yang memberi petunjuk kepada manusia untuk masuk Islam atau tidak, untuk beriman atau tidak. Allah yang memberinya petunjuk, Allah yang menyeret dia menuju iman,” Cak Nun menuturkan.

“Maiyah ini adalah bukan anak dari Indonesia, ini adalah anak dari kehendak Allah Swt, dan inilah yang dinamakan laa tanfudhuuna illa bi sulthoon.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (September, 2018)

Telah ditegaskan bahwa Rasulullah Saw diutus ke dunia adalah dalam rangka innama bu’istu liutammima makarima-l-akhlak. Bahwa urusan utamanya adalah persoalan perbaikan moral manusia. Hal itu seharusnya menjadi penegas bahwa sesama manusia urusannya bukan persoalan iman, melainkan persoalan akhlak. Maka sebaiknya tidak ada kewajiban bagi manusia untuk mengurusi keimanan manusia lainnya. Allah sendiri membuka peluang di dalam Alquran: Faman syaa’a fal yu’min, faman syaa’a falyakfur. Barangsiapa beriman, berimanlah dan barangsiapa ingkar, ingkarlah.

Ditekankan oleh Cak Nun bahwa yang hilang dari Indonesia hari ini adalah martabat. Sementara dalam Islam martabat adalah yang paling penting, martabat seharusnya menjadi hal primer jika dibandingkan dengan harta dan nyawa. Ketika manusia mati, martabat manusia masih melekat dalam dirinya, dan manusia yang lainnya akan mengenang martabat itu, tetapi tidak dengan harta dan nyawa. “Jadi anak-anakku semua, kamu adalah manusia ruang, tapi mulai hari ini pelajarilah garis, pelajarilah bidang, pelajarilah bangunan, karena kamu akan menjadi pemimpin yang dahsyat 5-10 tahun lagi,” Cak Nun memungkasi.

“Rasulullah Saw melihat manusia tidak pada sukunya, bahkan tidak melihat agamanya. Tapi manusianya yang dilihat, selama itu manusia maka Rasulullah akan memanusiakannya,” Kyai Muzammil melengkapi. Fenomena dimana sesama muslim saling berbenturan dikarenakan semangat yang dibangun adalah semangat mengalahkan orang lain, bukan semangat mencari kebaikan bersama. Menurut Kyai Muzammil, semangat menjadi manusia ruang yang digelorakan Cak Nun di berbagai forum maiyahan adalah solusi, karena memang dengan manusia ruang kita akan mampu mengakomodir semuanya. Bagi Kyai Muzammil, Cak Nun sudah mengimplementasikan dirinya sebagai manusia ruang, itulah yang menjadikannya sosok penting di Indonesia saat ini.

Cak Nun lantas memuncaki Kenduri Cinta malam itu dengan sebuah kisah ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkuasa, ada sahabat yang mengeluh mengapa situasi masyarakat saling berbenturan satu dengan yang lainnya, berbeda dengan ketika Sayyidina Utsman bin Affan berkuasa. Sayyiddina Ali bin Abi Thalib menjawab, “Karena pada saat Sayyidina Utsman bin Affan menjadi khalifah, rakyatnya seperti aku. Sementara ketika aku menjadi Khalifah, rakyatnya seperti kalian.”

Cak Nun kemudian mengajak jamaah Kenduri Cinta untuk berdiri, kemudian Kyai Muzammil memimpin doa bersama. Kenduri Cinta edisi September 2018 dipungkasi, para jamaah bergiliran, bersalam-salaman dengan Cak Nun.