Ikhlas

“Semua manusia akan hancur kecuali mereka yang berilmu, orang yang berilmu akan hancur kecuali orang yang beramal, orang yang beramal akan hancur kecuali orang yang ikhlas.” (Al-Ghazali)

 

Ada banyak idiom dalam Islam yang umum kita dengar kalimatnya yang dipakai dalam percakapan sehari hari. Idiom tersebut merupakan istilah yang sering dipakai dalam Alquran. Dalam bahasa Arab, terdapat banyak sekali ubahan kata dasar menjadi kata yang berkembang dengan makna yang banyak pula. Namun, salah satu metode menafsirkan kata yang sudah diubah sesuai dengan kaidah itu dengan kembali menemukan kata dasar tersebut.

Dalam beberapa kitab tentang metodologi tafsir Alquran yang populer, para ulama menyepakati beberapa aturan baku bahwa orang itu boleh menafsir dengan syarat yang cukup panjang, seperti seorang mufasir haruslah paham bahasa Arab lengkap dengan nahwu, sharaf dan balahgah, paham dengan istilah bahasa yang dipakai zaman itu untuk percakapan sehari hari, asbabunuzul-nya suatu surat, paham hadist lengkap dengan metodologi takhrijul hadist dan seluruh klasifikasi hadist dengan ilmu mustholahul hadist. Belum lagi dia juga harus mengerti fiqih, ushul fiqh, nashikh mansukh dan ulumuddin lainnya. Dengan kata lain, untuk sekedar menyentuh isi Alquran maka semua orang harus masuk pesantren bertahun tahun untuk mempelajari itu semua.

Bukankah dalam Alquran sendiri menganjurkan untuk: iqra maa tayassarru minal qur’an; bacalah apa yang kamu (pahami) dari Qur’an secara mudah. Atau Allah sendiri mengatakan: la yamasuhu illal mutohharun. Alquran tidak boleh disentuh oleh orang orang yang bersih. Bersih yang dimaksud ulama kebanyakan adalah bahwa orang harus berwudhu terlebih dahulu sebelum memegang Alquran. Apakah kemudian salah jika kita mengartikan bahwa sebenarnya nilai nilai Alquran tidak akan turun kecuali kepada orang yang bersih hatinya?

Tafsir bukanlah Alquran itu sendiri. Tafsir hanyalah produk manusia atas interpretasi manusia terhadap Alquran. Jadi kebenaran tafsir Alquran itu relatif, kebenaran yang dipandang dari sudut pandang yang berbeda, penafsiran tentu saja sangat erat dengan data pengetahuan si ahli tafsir. Bukan berarti beda tafsir pasti salah. Selama yang ia tafsirkan adalah Alquran, sebenarnya kita mesti mafhum bahwa ketika orang ber-ijtihad mempelajari Alquran dengan cara yang ia temukan sendiri pada dasarnya orang tersebut sedang dalam proses belajar dan menemukan kebenaran. Dalam sebuah forum Maiyah Kenduri Cinta, Cak Nun mengatakan bahwa: sah sah saja orang menafsirkan Alquran, selama pencariannya itu dapat mendekatkan dirinya kepada Allah.

Banyak istilah dalam Alquran yang kita temui kemudian kita pakai dalam percakapan sehari hari, dalam satu kata saja kita akan jumpai beberapa makna yang berlainan yang diungkapkan para ulama, sebagai contoh saya menafsirkan kata ikhlas dengan berangkat dari perbedaan istilah satu dengan yang lainnya seperti ini: kalau anda menerima segala ketentuan, hukum, kewajiban dan segala peraturan yang di gariskan Allah kepada anda maka anda disebut orang yang rida. Kalau ada orang yang melakukan sesuatu tapi masih ingin dilihat orang atau besar harapan orang itu akan pujian orang lain maka dia disebut riya. Kalau kita melakukan suatu usaha dengan benar kemudian kita berkeyakinan bahwa penentu semua hasil usaha itu adalah Allah, maka saat itu kita sedang melakukan apa yang disebut dengan tawakal.

Sedangkan orang yang ikhlas itu ialah orang yang melakukan sesuatu dengan persyaratan berikut:  Pertama, pekerjaan apapun yang ia lakukan harus dilandasi oleh ilmu pengetahuan yang cukup. Tahu betul secara garis besar esensi, syarat, rukun kewajiban dan hukum boleh atau tidak bolehnya suatu pekerjaan. Kedua, dalam menjalani pekerjaan itu ia benar benar memenuhi ‘standar operasional prosedur’ yang sudah ditentukan yang hasilnya adalah kesempurnaan sebuah pekerjaan.  Maka, selesainya suatu pekerjaan yang ia lakukan dengan dipersayarati dua hal diatas sehingga tidak ada celah sedikitpun untuk jangankan setan bahkan manusia pun tidak mampu menghujat dan menggodanya lantaran cukup pengetahuannya, lurus niatnya, teguh hatinya, istiqamah pekerjaannya.

Sebenarnya ada istilah lain sebelum orang itu pas untuk kemudian disebut mukhlisin — orang orang yang ikhlas. Adalah orang yang selalu melakukan perbaikan perbaikan apa saja dalam rangka menutupi kekurangan yang ada dalam proses suatu pekerjaan. orang yang selalu melakukan check dan recheck, menghitung hitung kekurangan kemudian ia menutup kekurangannya dengan sesuatu yang lebih baik, orang yang cepat kembali jika ditemukan sesuatu yang keluar dari yang digariskan, maka kita menyebutnya ia adalah orang yang muhsin.

Maka, keikhlasan merupakan akhir dari sebuah proses yang panjang. Selesainya suatu tindakan yang lengkap dan sempurna setelah melewati banyak hal. Namun, jika suatu pekerjaan yang tidak lengkap syarat dan rukunnya atau bertolak belakang dengan suatu kebenaran maka ia disebut bathil atau orang yang batal karena tidak sesuai kelengkapannya.  Dan jika ia melakukan sesuatu pekerjaan kemudian ia diam atas kekurangan kekurangan pekerjaannya atau tidak melakukan perbaikan setelah mengetahui adanya kekurangan maka ia kemudian kita sebut fasik. Bahkan, Al Imam Al-Ghazali menyebut kedua hal diatas dengan kata halka. Kehancuran manusia. Anda boleh menerimanya sebagai kebenaran atau silahkan berbeda dengan contoh tafsir kata tersebut selama Anda dapat menemukan jalan untuk lebih dekat lagi dengan Allah. Wallahu A’lam.