Ibadah “Khusus untuk-Ku”

JABURAN SERI KE-II EDISI KELIMA

KETIKA ALLAH memberi pernyataan bahwa ibadah puasa merupakan suatu jenis pengabdian yang khas dan berbeda dari ibadah-ibadah lainnya, karena oleh-Nya ditentukan “khusus untuk-Ku”, apakah kita menganggap bahwa dengan demikian Allah sangat membutuhkan puasa kita? Dan karena itu pula kita menyangka bahwa yang memperoleh manfaat dari puasa kita bukanlah kita sendiri, melainkan Allah?

Kemudian, dengan demikian, kita juga beranggapan bahwa dengan ibadah ini kita memang bekerja untuk Allah (yang kita sebut lillahi ta’ala)? Di mana manfaat dan hasil kerja kita itu memang dimiliki oleh Allah? Saya ingin mengatakan kepada Anda sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, yakni: tidak. Sungguh-sungguh: tidak.

Allah Maha Agung dan tidak membutuhkan apa-apa dari kekerdilan kita. Allah Maha Besar dan tidak memerlukan manfaat apapun dari kelemahan kita. Allah Maha Tak Terhingga dan sama sekali tidak memiliki ketergantungan apapun kepada ketololan kita.

Manusia hendaknya tahu diri, belajar ber-tawadhlu’, dan mencoba mengenali rahasia-rahasia firman-Nya, atau yang kalau memakai bahasa keduniaan manusia mengenali retorika dan diplomasi-Nya. Jangan sekali-sekali kita terjebak dalam kedunguan dan membayangkan Allah memiliki kepentingan atas kehidupan dan segala pekerjaan kita. Allahu Akbar, Allah Maha Besar, dan oleh karena itu walillahi-l-hamdu, hanya bagi-Nya segala puji.

Dengan kata lain, manusia jangan ge-er. Jangan pernah berpikir bahwa Allah memiliki kelemahan, kehausan, atau kelaparan sehingga meminta manfaat dari hamba-hamba-Nya. Kalau Allah mengatakan bahwa ibadah puasa itu khusus bagi-Nya, kita bisa membaca maksud di balik “retorika pergaulan”-Nya bahwa betapa ibadah puasa itu sangat penting dan memiliki makna khusus bagi manusia. Betapa Allah sangat mencintai hamba-hamba-Nya yang bersedia, terlatih, dan memiliki kesanggupan menahan diri. Bahwa puasa adalah sebuah metode kedisiplinan yang diperlukan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari, baik ketika mengurusi masalah kecil di rumahtangganya maupun masalah-masalah besar dalam masyarakat, Negara dan dunianya.

Bahwa puasa adalah suatu model tarikat (cara hidup) yang sangat menentukan selamat tidaknya manusia di dunia maupun di akhirat. Pandanglah sekelilingmu, lihatlah orang berduyun-duyun di perkotaan, lihatlah bagaimana kemewahan-kemewahan diproduksi, lihatlah bagaimana orang berkuasa dengan segala cara mempertahankan kekuasaannya.

Bacalah Koran, tontonlah televisi, saksikanlah peperangan, perebutan, penggusuran, pembongkaran, dan penindasan, mengobrollah dengan tetanggamu, dengan sahabat-sahabat dan rekan kerjamu, berbicaralah tentang segala keadaan di muka bumi ini—kemudian tidakkah engkau menemukan pertanyaan yang sama: “Kenapa manusia sangat tidak bisa menahan diri?”

Padahal bukankah Allah selalu sedemikian menahan diri?

Dengan dosa-dosa kita yang sedemikian bertumpuk, baik dosa pribadi maupun dosa kolektif, baik dosa personal maupun dosa struktural, tidak pantaskah kalau sudah sejak dulu Allah murka dan melindas kita semua?

Tapi bukankah Ia sangat menahan diri? Tetap memperkenankanmu berbadan sehat, bernapas, dan bergerak? Bukankah Ia sangat menahan diri dengan tetap menerbitkan matahari, mengalirkan air, dan menghembuskan angin—seolah-olah tidak peduli betapa malingnya kita, betapa munafik dan kufurnya kehidupan kita.