Hilangnya Kebijaksanaan

SEBELUM kita berdiskusi lebih serius tentang mana kata yang pantas untuk diucapkan dan mana yang tidak pantas, entah itu diucapkan oleh seorang Presiden, seorang Calon Presiden atau bahkan hanya diucapkan oleh seorang tukang becak, ada baiknya kita mundur selangkah untuk membaca kembali DAUR: “Perang Terhadap Kata” yang ditulis oleh Cak Nun pada awal tahun 2016 lalu.

Persoalan kita ini ternyata bukan sekadar kata. Kata-kata seperti; “sontoloyo”, “tampang Boyoali”, “genderuwo”, “hijrah” dan seabrek kata lainnya yang akhir-akhir ini begitu fenomenal dibicarakan oleh banyak orang. Sebagian yang lain merasa bahwa kata-kata itu pantas diucapkan, sebagian yang lain berpendapat bahwa kata-kata itu tidak pantas diucapkan oleh mereka yang mengucapkan akhir-akhir ini.

Tuhan menyampaikan kepada manusia, bahwa untuk mengajak orang lain untuk menuju kebenaran caranya adalah dengan kebijaksanaan, ud’u ilaa sabiili robbika bi-l-hikmah. Masyarakat Jawa mengenal falsafah empan papan, orang Arab memiliki pijakan likulli maqoomin maqoolun, walikulli maqoolin maqoomun. Tetapi, dasar dari itu semua tetaplah sama; kebijaksanaan.

Karena kita sudah kehilangan kebijaksanaan, maka yang sering terjadi adalah begitu frontalnya kita pada saat menyikapi hal-hal yang kita lihat, kita dengar, meskipun haya kita ketahui melalui gadget yang kita gunakan sehari-hari. Lebih dari itu, kepekaan kita untuk melakukan cross check saja sangat menurun drastis. Kita lebih senang untuk menggelorakan adu argumen, berdebat, kemudian merasa bahwa pendapat kita adalah yang paling benar diantara semua pendapat yang ada. Karena kita sudah kehilangan kebijaksanaan.

Dalam pergaulan saja, ketika kita baru mengenal seseorang, tidak serta merta kita berlaku semau kita. Pasti ada sopan santun, ada unggah-ungguh, ada tahapan demi tahapan yang kita harus melewatinya, baru kemudian pada momen yang tepat kita akan merasa akrab dengan orang lain. Tidak mungkin dengan orang yang baru pertama kali bertemu kemudian kita akan menyapa dengan sapaan yang akrab, misalnya di Jogja jika kita sudah akrab dengan teman kita, kita akan menyapa; “Piye kabare, Dab?”, di Surabaya kita tidak asing dengan sapaan; “Piye Rek, wis mangan urung?”, dan juga di daerah-daerah lain, selalu ada kata yang pas dan tepat, yang diucapkan pada momentum yang tepat juga. Bahkan, sapaan seperti; “Su!”, “Cuk!”, adalah sapaan yang terdengar biasa saja apabila kita ucapkan kepada orang yang sudah akrab dengan kita.

Hilangnya kepekaan kita terhadap rasa kebijaksanaan itu pada akhirnya melahirkan blunder-blunder fatal. Kepada orang yang sebelumnya tidak terlalu akrab dengan kita, seenaknya saja kita mengucapkan kata-kata yang sebenarnya tidak pantas kita ucapkan. Jangankan belajar soal denotasi dan konotasi, bahkan untuk sekadar meletakkan kata agar diucapkan pada momentum yang tepat saja kita masih sering keliru-keliru.

Sebuah kebenaran, jika disampaikan dalam bingkai kebaikan, maka akan melahirkan nuansa keindahan. Pesan yang benar, jika disampaikan dengan baik, akan menjadi indah. Namun hari-hari ini, kita sangat jarang mempertimbangkan aspek kebaikan, apalagi keindahan. Yang kita utamakan adalah bagaimana caranya agar kebenaran dapat tersampaikan. Informasi sebenar apapun, jika tidak disampaikan dengan cara yang baik, maka tidak akan berakhi dengan indah. Ketiga hal ini; benar, baik dan indah tidak bisa dipisahkan, jika estetika ini dipisahkan, selalu menghasilkan keburukan.

Belum lagi kecanggihan teknologi hari ini yang ternyata sama sekali tidak ada hubungannya dengan berkembangnya kualitas manusia sebagai sosok khalifatullah fi-l-ardhli. Secanggih apapun teknologi yang digenggam oleh manusia hari ini, tidak berbanding lurus dengan semakin baiknya kualitas manusia itu sendiri. Berapa banyak dari manusia hari ini yang semakin menikmati dunia maya, sebuah hutan rimba belantara yang dapat dimasuki oleh siapapun saja dengantopeng apapun saja, dengan menyamar menjadi siapapun saja, bahan dengan identitas yang palsu sekalipun. Dengan mudah orang melempar batu, bukan hanya melempar batu sembunyi tangan, bahkan melempar batu dari kejauhan, yang bahkan tangan yang melempar sama sekali tidak tampak.

Kebudayaan kita untuk bertatap muka, berjumpa, bermuwajjahah dengan orang lain berkurang, bahkan lebih 80% dari sebelum kita mengalami canggihnya teknologi internet hari ini. Budaya obrolan warung kopi dan gardu pos kamling hampir punah. Hari ini, begitu banyak orang duduk-duduk di sebuah café, tetapi lebih banyak mereka tidak ngobrol satu sama lain, semuanya sibuk dengan gadget canggih yang ada di genggaman mereka masing-masing.

Sekali lagi, persoalan kita bukan tentang “sontoloyo”, “genderuwo”, “tampang boyolali”, bahkan mungkin “asu”, “jancuk”, “dobol”. Bukan itu masalahnya. Persoalan kita yang lebih substansial adalah hilangnya kebijaksanaan dalam diri kita, sehingga kita sering keliru meletakkan sebuah kata pada momentum yang tepat untuk diucapkan.