Hanya Ada Satu Pak Ismarwanto di Dunia

KABAR MENINGGALNYA Pak Ismarwanto pada pagi hari Minggu kemarin (25/2) menjadi kabar yang mengagetkan bagi kita semua. Masyarakat Maiyah, juga tentu saja Keluarga Besar KiaiKanjeng berduka. Setelah kurang lebih satu bulan lamanya terbaring sakit, Pak Ismarwanto akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya sekitar pukul 05.30 WIB.  Pak Ismarwanto yang biasa disapa dengan sapaan Pak Is adalah peniup seruling di KiaiKanjeng. Alunan serulingnya menjadi salah satu yang selalu dinanti-nanti oleh Jamaah Maiyah pada setiap Maiyahan bersama KiaiKanjeng.

Beberapa momen dan kesan yang masih membekas bagi Jamaah Kenduri Cinta dalam 4 tahun terakhir terhadap Pak Ismarwanto adalah; Jazz 7 Langit pada Kenduri Cinta edisi April 2013, kemudian pada bulan Desember 2013 pada edisi “Allah Audienku”. Di Tahun 2014, ketika Kenduri Cinta berulang tahun ke-14; “Bayang-Bayang Para Ksatria”, juga pada rangkaian Sinau Kedaulatan yang digelar pada bulan Mei 2015; “KiaiKanjeng of The Unhidden Hand” yang saat itu membahas sejarah perjalanan KiaiKanjeng. Pada Kenduri Cinta edisi Januari 2016; “Gerbang Wabal”, dimana lagu “One More Night” aransemen KiaiKanjeng mulai dikenal luas oleh masyarakat. Dan juga tentunya pada saat perayaan 17 tahun Kenduri Cinta di bulan Juni 2017 lalu, juga merupakan salah satu kenangan Pak Ismarwanto di Kenduri Cinta. Kenduri Cinta edisi Januari 2018 lalu adalah kali terakhir Pak Ismarwanto hadir menemani kita di Taman Ismail Marzuki. Bersama KiaiKanjeng, Kenduri Kebudayaan di Politeknik Negeri Malang sekitar satu minggu setelah Kenduri Cinta edisi Januari 2018 adalah kali terakhir Pak Ismarwanto pentas bersama KiaiKanjeng.

Di Maiyah, kita selalu diajarkan oleh Cak Nun untuk mencari kebaikan pada setiap orang. Seburuk apapun manusia, akan selalu ada sisi baiknya. Begitu juga sebaliknya, sebaik apapun manusia ada saja sisi buruknya. Tetapi, alangkah lebih baik kita tidak sibuk mencari keburukan seseorang, melainkan betapa lebih baik jika kita mencari kebaikan dari setiap orang yang kita jumpai. Karena mungkin bagi kita buruk, tetapi bagi Allah belum tentu buruk. Dan sesuatu yang menurut kita baik, belum tentu bagi Allah adalah baik. Kita hidup di dunia sejatinya adalah hidup dalam wilayah persangkaan demi persangkaan. Kita menyangka sesuatu hal itu baik atau buruk hanya berdasarkan persangkaan kita sendiri.

Kabar meninggalnya Pak Ismarwanto seketika menyebar ke seluruh jaringan Jamaah Maiyah di berbagai daerah. Kabar yang sangat mengejutkan, mengingat tidak semua Jamaah Maiyah mengetahui kondisi terakhir Pak Ismarwanto. Ungkapan belasungkawa datang dari berbagai pihak, bukan hanya dari internal Jamaah Maiyah sendiri yang selalu ditemani oleh Pak Ismarwanto. Bahkan, tidak sedikit pula yang mengungkapkan kesan mendalam terhadap Pak Ismarwanto, karena memang bagi Jamaah Maiyah, Pak Ismarwanto bukan sekadar seorang peniup seruling di KiaiKanjeng. Pak Ismarwanto adalah salah satu Guru kehidupan bagi Jamaah Maiyah.

Pak Ismarwanto adalah Pak Ismarwanto. Ia tidak mencitrakan dirinya sebagai orang lain. Pak Ismarwanto yang kita kenal selama ini adalah Pak Ismarwanto yang 20 tahun yang lalu ditemui oleh Pak Toto Rahardjo di beberapa panggung kesenian di Yogyakarta. Kepiawaiannya meniup seruling berhasil membuat Pak Toto kepincut dan berusaha agar Pak Ismarwanto bersedia bergabung dengan KiaiKanjeng. Alhamdulillah, Pak Ismarwanto berjodoh dengan KiaiKanjeng. 20 tahun lebih perjalanan Pak Ismarwanto bersama KiaiKanjeng merupakan sebuah perjalanan yang tidak sebentar dan penuh dengan hikmah.

Pak Ismarwanto adalah salah satu contoh betapa otentiknya manusia hari ini. Kita disuguhi hampir di semua lini kehidupan saat ini adalah manusia-manusia yang penuh pencitraan. Dari Pak Ismarwanto, kita belajar bahwa menjadi manusia biasa itu tidaklah sulit. Menjalani kehidupan tanpa harus merasa terpaksa untuk dilihat oleh orang lain. Pak Ismarwanto adalah manusia yang mampu menjadi dirinya sendiri dan sama sekali tidak terbebani dengan penilaian orang lain.

Jangan tanya apakah Pak Ismarwanto memiliki latar belakang pendidikan musik atau tidak. Tetapi Pak Ismarwanto membuktikan kepada kita bahwa keistiqomahannya dalam mencintai Seruling menghasilkan alunan suara seruling yang sangat merdu yang bahkan Pak Ismarwanto bukan hanya mengenali Serulingnya, tetapi Pak Ismarwanto sangat mengenali Bambu Wuluh yang ia jadikan bahan pembuatan seruling dengan tangannya sendiri. Jangan pula tanyakan apakah Pak Ismarwanto memiliki pengalaman kehidupan santri atau tidak. Tetapi Pak Ismarwanto telah membuktikan, bersama KiaiKanjeng ia berjuang untuk mentradisikan sholawatan di Indonesia. Dan jangan pernah sekali-sekali menanyakan apa yang telah Pak Ismarwanto lakukan untuk Indonesia, karena kita sebenarnya justru telah melewatkan momentum untuk belajar kepada Pak Ismarwanto, bagaimana seharusnya kita berbuat untuk Negara. Kita sudah terlambat untuk belajar kepada Pak Ismarwanto, dan kita semua kini menyesalinya.

Berpulangnya Pak Ismarwanto merupakan sebuah kesedihan yang mendalam bagi kita semua sebagai Jamaah Maiyah. Karena setelah ini, kita bukan hanya tidak akan mendengarkan lagi alunan seruling khas tiupan Pak Ismarwanto di KiaiKanjeng dalam setiap pementasannya. Tidak akan kita dengar lagi alunan Seruling Pak Ismarwanto ditengah-tengah lagu “One More Night”. Tidak akan kita dengarkan lagi aluna Seruling Pak Ismarwanto ketika Mas Imam Fatawi membawakan sebuah nomor dangdut bersama KiaiKanjeng. Akan ada banyak momen dimana kita akan sangat merindukan Pak Ismarwanto. Tetapi, lebih dari itu. Kita sekarang kembali telah kehilangan sosok Guru yang mengajarkan kita tentang kesetiaan, keteguhan, kesucian dan kemurnian.

Dengan serulingnya, Pak Ismarwanto menemukan Sabil-nya yang tepat sesuai dengan kapasitas dirinya. Melalui alunan tiupan serulingnya, Pak Ismarwanto juga menentukan sendiri Thoriqot hidupnya. Dengan seruling buatannya sendiri, Pak Ismarwanto telah menyusun Syari’at hidupnya. Kini, Pak Ismarwanto sedang memastikan Shirothnya, menuju keharibaan Allah Swt.

Pak Ismarwanto, kami semua mencintaimu. Sudah pasti, kami semua akan merindukanmu. Sekarang, kami sudah tidak akan lagi mendengarkan alunan tiupan serulingmu, Pak. Tetapi kami yakin, Pakde Nuri, Pak Ndut, Wiwid, Andi Priok, tentu juga Mas Zainul dan beberapa sahabat  di Maiyah yang telah mendahului kami sedang menyambut Pak Ismarwanto dengan perasaan bahagia. Kami semua mencintaimu Pak Is. Tetapi Allah Swt dan Kanjeng Nabi Muhammad saw sepertinya sudah tidak mampu menahan kerinduan untuk bertemu dengan Pak Ismarwanto.

Yaa ayyatuha-n-nafsu-l-muthmainnah, irji’ii ilaa robbikii rodhliyatan mardhliyyah. Fadkhulii fii ‘ibaadii, wadkhulii jannatii.