GURU-GURU PERADABAN

REPORTASE KENDURI CINTA NOVEMBER 2017

Menjelang pukul delapan malam, forum maiyahan Kenduri Cinta edisi November 2017 dimulai. Guru-guru Peradaban adalah tema forum malam itu. Selepas pembacaan wirid Tahlukah, Donny dan Sigit sebagai perwakilan penggiat komunitas Kenduri Cinta, tampil ke panggung memoderasi forum. Hadir juga Aminullah, penggiat maiyahan asal Surabaya (Bangbang Wetan) dan Cak Bhagong dari Obor Ilahi, sebuah komunitas Maiyah di Malang yang telah mengumpulkan lebih dari 400 kelompok shalawat di kota Malang dan sekitarnya.

“Kami dari Bangbang Wetan datang ke Kenduri Cinta ini dalam rangka meguru kepada teman-teman Kenduri Cinta,” Aminullah menyampaikan tujuannya hadir malam itu. Ia katakan, persaudaraan Maiyah tak akan lekang oleh zaman, menembus ruang dan waktu. Ia mengalami, ketika ia berjumpa jamaah Maiyah di penjuru kota manapun, seakan ada password “Orang Maiyah ya, Mas?” dan seketika cair lah komunikasi.

Cak Bhagong lantas menceritakan dinamika kegiatan komunitas Maiyah di kotanya, Malang. Bersama teman-teman lain, ia masih mengelola forum-forum lingkaran yang lebih kecil seperti Maiyah Relegi, forum diskusi yang dilaksanakan setiap hari Rabu Legi, dan beberapa kali bertempat di kediaman Cak Fuad. Aktivitas lain yang dilakukan berupa kegiatan sosial yang mereka namakan Uang Syukur, dimana para penggiat menyisihkan uang yang lantas disalurkan dalam kegiatan-kegiatan sosial, membantu pihak yang membutuhkan. Pada awalnya, kegiatan Uang Syukur dilaksanakan sebulan sekali, kini seminggu sekali. Cak Bhagong dan teman-teman merangkul anak-anak Punk, pengamen jalanan, para preman pasar, tukang parkir untuk berkontribusi dalam Uang Syukur.

“Bukankah salah satu tujuan kita bermaiyah adalah berbuat baik?” Donny lantas merespon. Menurutnya, menjalankan nilai-nilai Maiyah tidak perlu njlimet atau sukar. Sebisa mungkin, sekecil apapun, lakukan lah untuk orang lain di sekitar kita. Aktivitas Cak Bhagong dan teman-teman, bagi Donny, telah selaras dengan nilai-nilai Maiyah, yaitu: sedekah, nandur (menanam), poso (berpuasa).

Dialog antar komunitas Maiyah seringkali dilakukan oleh para penggiat, baik secara formal sebagai narasumber acara atau informal dalam diskusi-diskusi internalan. Lingkaran penggiat Maiyah kini banyak tersebar di berbagai kota. Mereka secara organik membentuk forum-forum diskusi kecil, mengadopsi nilai-nilai Maiyah pada forum diskusinya. Fenomena ini menarik. Tiga atau empat tahun lalu, forum maiyahan hanya ada di kota-kota besar, PadhangmBulan di Jombang sebagai embrionya, Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Gambang Syafaat di Semarang, Bangbang Wetan di Surabaya dan Jakarta dengan Kenduri Cinta. Kini, diskusi forum dalam format maiyahan, makin banyak menjamur. Penggiatnya anak-anak muda, kalangan milenial.

Fas’aluu ahla dzikri in kuntum laa ta’lamuun. Guru bukan ahli ilmu tapi ahli dzikir, guru memberi teladan bukan hanya memberi pengetahuan.”
Husain Ja’far, Kenduri Cinta (November, 2017)

Peradaban Guru-Guru

Pada sesi selanjutnya, Tri Mulyana menyoroti rentannya generasi muda terhadap pengaruh kapitalisasi. Ia menggambarkan kekhawatiranya dengan menggambarkan jika anak-anak dulu ditanya tentang cita-citanya maka kebanyakan akan menjawab “dokter, polisi, guru, tentara”, berbeda dengan anak sekarang yang menjawab “ingin menjadi artis, Youtuber”. Tri juga menyoroti kuatnya kapitalisasi di dunia pendidikan. Menurutnya pendidikan semestinya tidak boleh dikapitalisasi. Ia lantas mencontohkan bagaimana sistem pendidikan di Finlandia yang terus berinovasi, mengembangkan kurikulumnya, membangun iklim berpikir anak-anak disana untuk hidup bahagia.

Dony merespon. Dalam pandangannya, perkembangan teknologi sangat berperan dalam membentuk generasi sekarang, ia menyebutnya Generasi Z. Hal itu memanjakan. Tidak bisa dipungkiri, penggunaan teknologi dalam pergaulan kini telah menjalar tak hanya di perkotaan namun juga di ujung pedesaaan. Inflitrasi kebudayaan yang deras melalui media-media digital tidak bisa dihindari itu menjadi faktor utama yang membentuk kultur sebuah generasi.

Adi Pudjo ikut menambahkan. Menurutnya, mau tak mau, kita semua mesti menerima dengan perkembangan dan arus perubahan, termasuk dalam hal teknologi dan komunikasi. Justru tantangannya adalah bagaimana dengan keadaan demikian kita mampu menjadi guru peradaban bagi generasi masa depan. Aminullah memperkuat, menurutnya Maiyah melatih diri kita untuk membuka diri, memperluas hati, memperluas wawasan untuk menjadi manusia pembelajar.

Setelah penampilan kesenian dari Anjar Duta dan Bobby N’ Friends, Sigit bersama Donny memandu diskusi sesi selanjutnya, hadir juga Ust. Noorshofa Thohir dan Husein Ja’far.

Husain Ja’far mengawali, menurutnya guru-guru peradaban akan lahir dari peradaban guru-guru. Akan lahir guru-guru yang penuh adab bila kita berkegiatan kultural dan spiritual. Dalam Al-Qur`an disebut bahwa guru adalah ahli dzikir. Bila kita ingin ilmu pengetahuan maka bertanyalah pada ahli dzikir, yaitu seseorang yang memiliki sikap spiritual. Fas’aluu ahla dzikri in kuntum laa ta’lamuun. Guru bukan ahli ilmu tapi ahli dzikir, guru memberi teladan bukan hanya memberi pengetahuan. Sebab pengetahuan belum tentu memberi efek positif, bisa sebaliknnya, itu apabila guru hanya memberi ilmu tanpa teladan. Ketika seorang guru menjadi teladan ia tak hanya mentransfer ilmu tapi juga menuntun murid kepada tujuan dari ilmu itu sendiri.

Murid pun sebaiknya tak hanya memahami ilmu gurunya, tapi juga keteladanan sifatnya. Relasi guru dan murid seharusnya menjadi relasi subjek ke subjek, relasi kesetaraan. Bukan berarti tidak ada rasa sungkan. Sedang Nabi juga demikian, beliau mendidik para sahabatnya sebagai subjek. Terdapat ruang diskusi, dalam beberapa hal Nabi mengambil pendapat dari sahabat-sahabatnya. Banyak riwayat-riwayat mengatakan Nabi belajar dari murid-murid atau sahabatnya. Guru tidak selamanya menjadi guru, dalam suatu kondisi dia juga bisa menjadi murid. Tidak ada guru dan murid yang abadi.

Peradaban bukan hanya soal kemajuan dalam produk, tetapi juga kemajuan dalam kebudayaan, kemajuan pengetahuan, kemajuan kesadaran diri seluruhnya.”
Syeikh Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (November, 2017)

“TUGAS RASULULLAH SAW itu sebenarnya adalah tugas yang sifatnya persuasif,” Syeikh Nursamad Kamba merespon pertanyaan kedua. Idealnya kehidupan beragama adalah saat masa Rasulullah SAW. Saat itu tidak ada institusi, tidak ada Ormas, tidak ada gerakan-gerakan dan sebagainya. Seluruh umat muslim memahami Islam berdasarkan kemampuan pemahamannya masing-masing, tanpa ada paksaan. Begitulah dakwah seharusnya, bersifat persuasif. Kehidupan beragama yang kini terasa lebih institusional, dimulai pada saat Khalifah Bani Umayyah berkuasa.

Pada saat itu, ahli-ahli agama masuk ke dalam sistem pemerintahan, mereka dibayar oleh kerajaan, sehingga banyak fatwa-fatwa, kebijakan-kebijakan ulama ketika itu yang menguntungkan penguasa. Fatwa digunakan sebagai legitimasi keberlangsungan kekuasaan. Agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik terjadi sejak lama dan terekam dengan baik dalam sejarah Islam.

Membahas tema tentang guru, Syeikh Nursamad mengatakan, “Guru tidak memiliki hak mutlak akan ilmu, karena yang memiliki hak mutlak atas ilmu adalah Allah. Guru hanya mengantar murid untuk menemukan cahaya ilmu Allah. Seperti sebuah tanaman yang membutuhkan sinar matahari setiap harinya, seorang guru adalah ia yang mengantarkan langsung tumbuhan agar terkena sinar matahari langsung dari Allah, tidak terhalang oleh pohon-pohon yang besar.”

Islam adalah rahmatan lil’alamiin. Kini yang terjadi, Islam tak menjadi rahmat bahkan bagi pengikutnya sendiri, karena terlalu banyak gesekan, tabrakan, sikut-sikutan di kalangan internal umat islam sendiri. Semua merasa paling benar sendiri, sehingga kebaikan dan kebenaran dari Allah tidak benar-benar dirasakan dampaknya.

Salah satu penyebab mengapa banyak orang-orang yang saat ini merasa paling agamis, menurut Syeikh Nursamad Kamba adalah akibat dari personalisasi sosok Tuhan. Padahal seharusnya, Tuhan itu impersonal, tidak bisa dikonseptualkan apalagi dipersonalkan. Salah satu akibat dari dijadikannya agama menjadi institusi, maka akan ada banyak orang-orang yang merasa paling memahami agama, merasa paling benar, merasa paling Islam.

“Seorang ilmuwan pasti mengenal Tuhan. Bahwa kemudian ia mengingkari keberadaan Tuhan, itu persoalan lain,” lanjut Syeikh Nursamad Kamba. Sejatinya, ilmuwan pasti menyadari keberadaan Tuhan, hanya saja ia terkadang tidak benar-benar mengakuinya. “Boleh jadi, para ilmuwan itu dianggap tidak mengenal Tuhan karena tak sesuai dengan konsep teologi yang sama dengan kita,” tambahnya. Tetapi pada dasarnya, penemuan-penemuan keilmuan yang mereka dapatkan adalah bukti nyata betapa mereka mengenal Tuhan. “Karena penemuan-penemuan mereka merupakan bukti nyata wahyu Tuhan,” papar Syeikh Kamba.

Syeikh Nursamad Kamba memungkasi paparan dengan pengalaman pribadinya, saat Rasulullah SAW hadir dalam mimpinya. Rasulullah berpesan bahwa perjuangan Cak Nun saat ini lebih berat daripada perjuangan terdahulu, karena yang dihadapi saat ini tidak hanya seorang Abu Jahal, tetapi ada banyak “Abu Jahal”.

Setiap mengambil keputusan, simulasikan hingga akhirat. Karena kita wajib hidup abadi. KIta tidak bisa lari, mau tidak mau.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (November, 2017)

Wajib Abadi

Malam makin larut, jamaah tampak masih tekun menyimak forum. Cak Nun kemudian menyambung paparan Syeikh Nursamad Kamba dengan mengajak jamaah untuk mundur satu langkah dari apa yang telah disampaikan. “Judul Kenduri Cinta malam ini tidak akan lahir jika kita mengalami peradaban yang membahagiakan dan penuh berkah. Judul ini lahir karena kita sedang mengalami peradaban yang sementara ini adalah yang terburuk di muka bumi. Saya menyebutnya ini peradaban ultra jahiliyah,” kata Cak Nun.

Saat Menteri Agama berkunjung ke Rumah Maiyah beberapa waktu lalu, Cak Nun menyampaikan agar mengembalikan fungsi MUI seperti awal mula Pak Harto dahulu mengonsepnya. Saat itu MUI merupakan semacam lembaga yang bersifat seperti orang tua bagi seluruh aliran-aliran Islam yang ada di Indonesia. Sehingga, yang kita nantikan dari MUI bukanlah fatwa-fatwa, melainkan kebijaksanaan-kebijaksanaan atas pandangan-pandangan para ulama yang terdiri dari berbagai aliran di Indonesia. Karena jika kita berbicara fatwa, Cak Nun menjelaskan sudah ada perannya masing-masing di setiap Ormas. Seperti halnya lembaga Bahtsul Masa’il di NU dan Majelis Tarjih di Muhammadiyah. Maka akan lebih bijak jika MUI juga tidak berperan untuk mengeluarkan fatwa, karena akan membuat situasi semakin tidak kondusif.

Malam itu Cak Nun mengelaborasi beberapa terminolgi, seperti sabiil, syari’, thoriq dan shirot. Ud’u ilaa sabiili robbika bil hikmati wa jaadilhum billatii hiya ahsan. Dalam Al-Qur`an telah dijelaskan bahwa dakwah yang kita lakukan adalah dakwah menuju sabiili robbika. Cak Nun memberi ilustrasi, jika kita hendak menuju ke Bandung, maka katakanlah robbika-nya itu Bandung, kita bisa melalui jalan tol, ada yang melalui rel kereta, ada yang melalui jalur udara, itu merupakan syari’at-nya. Cara menempuhnya apakah menggunakan mobil, kereta api, atau pesawat adalah thoriqot-nya. Ketika sampai di Bandung, belum tentu kita menemukan shirotol mustaqiim yang diharapkan, tetapi kita sudah memiliki kecenderungan fii sabiilillah, sehingga salah satu ayat yang selalu kita baca pada setiap salat adalah ihdinasshiroto-l-mustaqiim.

Pemilihan kata robbika pada ayat tersebut ditadabburi Cak Nun bahwa Allah menunggu kehadiran manusia di pangkuan-Nya dengan tampilan kasih sayang, robbun. Allah tidak menunggu kedatangan kita dengan tampilan ilaahun apalagi maalikun. Allah menunggu kehadiran kita dengan pancaran cinta-Nya.

Menurut Cak Nun, wilayah NU, Muhammadiyah, MTA, LDII dan sebagainya adalah wilayah ud’u ilaa sabiili robbika. Sementara wilayah yang harus dijamah oleh MUI adalah bil hikmah. Karena MUI adalah yang memegang kebijaksanaan diantara fatwa-fatwa yang lahir dari berbagai Ormas yang ada. MUI tidak perlu repot-repot berfatwa, tetapi menghimpun semua fatwa agar supaya terbangun konsep wal mauidhzotil hasanah. Supaya ketika diaplikasikan dan disosialisasikan kepada masyarakat sudah clear, sudah hasan bagi masyarakat. Yang terjadi saat ini, belum terbangun konsep bil hikmah, hal yang seharusnya dilakukan oleh MUI, tetapi fatwa-fatwa Ormas sudah dilemparkan kepada masyarakat, sehingga tidak mengherankan jika kemudian banyak orang beragama dengan cara yang skeptis.

Bahwa kemudian akan terjadi benturan-benturan antar Ormas, akan muncul gesekan-gesekan antar Ormas, itu sudah merupakan sunatullah. Dan Allah juga sudah menyiapkan solusinya: wa jaadilhum billati hiya ahsan. “Setiap anda mengambil keputusan, simulasikan hingga akhirat. Karena anda itu wajib hidup abadi. Anda tidak bisa lari, mau tidak mau anda akan hidup di surga atau neraka,” tutur Cak Nun.

Guru Peradaban kita adalah Allah dan Rasulullah SAW, karena hidup kita tidak mungkin bisa dilepaskan dari peran Allah.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (November, 2017)

KETELADANAN SEJATI

Judul Guru-Guru Peradaban dipilih agar jamaah Maiyah memiliki kemandirian dan kedaulatan, sehingga mampu menjawab persoalan hidup dan pertanyaan zaman yang kini tengah dihadapi. Secara substansi, pendidikan itu keadaan diaman murid belajar bukan guru mengajari. Tugas guru adalah membimbing murid untuk menemukan ilmu yang dipendarkan oleh Allah. Yang terjadi justru banyak guru yang merasa mengajari murid, seakan-akan tidak memberi celah sedikitpun bagi murid untuk menemukan sendiri pengetahuannya. Murid akhirnya tidak mandiri dan tidak memiliki kedaulatan untuk menemukan ilmu.

Jika berbicara tingkat peradaban, peradaban kita telah lengkap komponennya. Misalnya pada kelapa, ada sabut, ada bathok, ada krambil (daging), dan sebagainya. Bahkan di luar kelapa, masih ada manggar, lidi, janur dan lain sebagainya yang masih tergabung dalam sebuah pohon kelapa. Begitulah lahirnya sebuah peradaban, semua kelengkapannya saling melengkapi satu sama lain, memberi manfaat bagi orang lain tanpa terkecuali. Masing-masing komponen memiliki fungsinya sendiri, tetapi sifatnya komprehensif. Tidak hanya potensial, tetapi juga aktual.

Kecenderungan orang sekarang memisahkan masing-masing komponen tadi. Orang hanya ingin dan mau mempelajari apa itu bathok, apa itu krambil, apa itu sabut, apa itu air kelapa. Sangat jarang orang mau mempelajari asal muasal masing-masing itu semua, yang sebenarnya adalah gumpalan dan partikel yang satu. Kita musti mempelajari sangkanparan-nya, asal-usulnya, asbabul wurud-nya segala sesuatu, begitulah seharusnya peradaban berlangsung.

Jika kita menggunakan term Maiyah, pemberadaban itu adalah ta’dib, yang sebelumnya diawali dengan tadris, kemudian dilanjutkan dengan ta’lim, lalu tafhim, kemudian ta’rif (mengarifi sesuatu) baru kemudian dipuncaki dengan tadib. Karena tradisi kita selama ini dalam mentransfer pengetahuan itu bila ‘ilmin, tanpa ilmu. Maka diperlukan konsep pemberadaban yang tepat agar kita tidak semakin terperosok ke dalam jurang.

Jika kita berbicara term pemimpin nasional, maka harus diperjelas dimana skala kepemimpinannya; apakah ia memimpin masyarakat, memimpin rakyat, atau memimpin umat. Karena secara epistimologi, antara rakyat, masyarakat dan umat itu berbeda artinya. Kegagalan kita mentransformasi deso mowo coro, negoro mowo toto karena kita tidak mau belajar kepada peradaban desa. Pada pedesaan, kita mengenal sedekah bumi, merti deso, tirakat, dan sebagainya. Seharusnya negara juga ada konsep sedekah negara, merti negara dan sebagainya seperti di desa. Negara merasa lebih besar daripada desa, negara merasa lebih tua dari desa, maka negara tidak menghormati desa, negara selalu merendah-rendahkan desa, sehingga pasti negara akan kehilangan pathok-nya.

Subhanalladzi asro bi ‘abdihi lailan. Bekal kita dalam hidup adalah iman dan keikhlasan.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (November, 2017)

Memuncaki maiyahan malam itu, Cak Nun menjelaskan mengenai empat jenis manusia, yaitu: manusia yang disesatkan, manusia yang dibiarkan, manusia diizinkan, dan manusia yang diperintah oleh Allah. Dari keempatnya, yang paling pantas untuk kita jadikan Guru Peradaban adalah manusia yang diperintah oleh Allah. Diantara mereka yang diperintah oleh Allah adalah Nabi dan Rasul. Pembelajaran paling memungkinkan untuk dijadikan Guru Peradaban adalah 25 Nabi dan Rasul. Seandainya tidak memungkinkan mempelajari siroh nabawiyah dari 25 Nabi dan Rasul yang ada, Allah telah memudahkan, dengan menyatukan kesemuanya dalam wujud Rasululah SAW.

Belajar kepada Nabi Ayyub, saat di malam hari masih memiliki simpanan makanan, ia didatangi Jibril dan diperingatkan agar tidak menyimpan makanan, karena ada tetangganya yang belum makan. Nabi Ayyub hanya makan berdasarkan kebutuhannya sehari-hari, itulah pembelajaran peradaban yang luar biasa dari Nabi Ayyub. Dan itulah peradaban. Sementara manusia hari ini, ada satu orang yang memiliki kekayaan setara dengan kekayaan 100 juta orang.

Menjelang pukul dua dinihari, Beben Jazz bersama anggota Komunitas Jazz Kemayoran dan Inna Kamarie tampil membawakan beberapa nomor akustik. Ditengah alunan musik, hujan perlahan turun membasahi Taman Ismail Marzuki. Jamaah pun merapat ke dekat panggung, sementara yang lain pun mencari tempat berteduh sementara.

Subhanalladzi asro bi ‘abdihi lailan. Hidup itu sejatinya malam hari, kita dalam kondisi gelap. Penampilan Jazz yang ditampilkan oleh Beben dan teman-teman memberi hikmah kepada kita bahwa dalam hidup kita memerlukan improvisasi dalam kehidupan kita. Dalam improvisasi itulah kita dibimbing oleh Allah. Suara saxophone yang ditiup tidak serta-merta ia berbunyi sendiri, ada bimbingan Allah.

“Bekal kita dalam hidup adalah iman dan keikhlasan,” lanjut Cak Nun. Bahkan presiden saat ini tidak bisa memastikan apakah di tahun 2019 nanti akan terpilih kembali menjadi atau tidak, sejatinya kepastian kemenangannya adalah kegelapan, ghaib. Karena masih ada Allah yang memiliki hak prerogatif atas segala kemungkinan yang ada.

Begitu juga seorang pedagang yang menjajakan dagangannya, ia berhadapan dengan keghaiban atas laku atau tidaknya barang dagangannya. Meskipun ia berdagang berjejeran dengan pedagang yang lain yang menjual barang dagangan yang sama, modalnya adalah iman. Ia yakin bahwa rezeki dari Allah tidak akan tertukar. Demikian juga dengan tukang ojek, supir taksi, ia berhadapan dengan keghaiban berapa jumlah penumpang yang akan ia antar hari ini. Bekalnya hanyalah iman kepada Allah.

Maiyah adalah ciptaan Allah, segala sesuatunya bukan bergantung pada sosok maupun tokoh. Maiyahan yang berlangsung di berbagai kota hingga hari ini adalah bukti bahwa Maiyah tidak bergantung pada sosok maupun tokoh. Kelak, kita semua akan membuktikan bahwa di Maiyah kita tidak bergantung terhadap sosok, karena kita memiliki kemandirian, memiliki kedaulatan untuk kreatif.

Cak Nun lantas menjelaskan mengenai keberkahan, bahwa berkah itu letaknya tidak di luar diri manusia. Berkah itu letaknya ada dalam diri manusia, sejauh mana diri manusia mampu mengelola keberkahan dalam dirinya, disitulah letak keberkahan. Kebanyakan manusia saat ini beranggapan bahwa keberkahan itu letaknya di tempat-tempat tertentu, padahal tidak.

Memungkasi Kenduri Cinta, Cak Nun kembali menegaskan bahwa Maiyah tidak memiliki kemampuan apapun untuk menolong Indonesia, Maiyah tidak bisa memperbaiki Indonesia. Yang bisa memperbaiki adalah apabila Allah memberikan hidayah Maiyah kepada Indonesia. Sehingga yang bisa kita lakukan adalah menyayangi Indonesia.

Cak Nun kemudian meminta salah seorang jamaah Kenduri Cinta untuk memimpin doa bersama. Jamaah pun satu persatu bersalaman dengan Cak Nun di akhir acara.