Generasi ZZZzzz…

DI SUATU SIANG, di sebuah stasiun kereta. Seorang Ibu muda gandeng anak balita-nya yang menangis hebat, “Pou lapar, Pou mau makan.”, lantas si Ibu bersegera menggendong anaknya menuju kursi panjang yang terletak di ujung peron. Bocah yang semula meronta, seketika terdiam setelah duduk di kursi dan diberi handphone. “Aaa….emm” si gadis kecil menyebalkan itu lantas nampak tenang. Ia memberi makan peliharaannya yang berada di layar gadget yang ia genggam. Penampakan makhluk lucu namun janggal kelihatan bahagia sembari terus mengunyah. “Aaa…” si Bocah menyuapi piaraan digitalnya lagi.

Sementara itu, si Ibu muda sudah kembali sibuk dengan gadget-nya yang lain. “Lepas sekarang” ujar suara dibalik handphone. Sesaat kemudian sekumpulan anak SMP di seberang peron yang sedari tadi menatap layar digenggaman tangan mereka kompak setengah berteriak, “Buruan sudah open“. “Yah, cuma 100 tiket” celetuk satu diantara mereka tanpa mengalihkan pandangannya pada layar. Mereka sibuk dengan benda pada genggamannya masing-masing. Jari mereka menari-nari menyentuh layar.

Girls, si Sri WA. Katanya gak jadi ikut. Bokap-nya meninggal” ujar salah satu dari mereka yang nampak lebih santai. “Kasihan dia, padahal konser ini ditunggunya sejak awal tahun” komentar teman lain tanpa ekspresi wajah. “Aduh, sold out lagi. Kira-kira tiket-nya Sri ada yang pakai gak yah?” lanjutnya dengan pertanyaan yang entah ditujukan ke siapa.

Raut mukanya nampak kecewa, namun tanpa jeda ia kembali larut dengan keceriaan teman-temannya. Begitu pun dengan Ibu muda yang masih duduk di samping anaknya, “Habis juga 100 tiket terakhir.” Keseriusan di raut mukanya memudar berganti dengan senyum merekah tampak lega, sembari melirik buah hatinya yang masih asik bermain dengan Pou. Peliharaan maya-nya di handphone.

Sketsa peristiwa yang sudah lazim terjadi di zaman now. Orang-orang sibuk dengan gadget di genggamannya. Seolah mereka bersama, namun masing-masing sibuk dengan aktivitas yang sering tidak sambung. Mereka dapat berkomunikasi cepat dan langsung dengan orang-orang lain yang berjauhan tempat, tetapi dengan orang-orang yang dekat di sekitarnya justru seolah tersekat. Di awal tahun 2000-an situasi ini sudah mulai bermunculan, tetapi belum seramai hari ini, kecanggihan teknologi saat itu adalah barang mewah, tak semua orang bisa menikmatinya. Teknologi Informasi hari ini mampu menghubungkan orang yang berjauhan sekaligus menghalangi orang yang berdekatan.

Dengan teknologi, banjir informasi tidak dapat dihindari. Mau tidak mau, kita mesti berada di tengah masyarakat digital yang bergerak cepat dan seolah tanpa batas dalam mengakses informasi. Sebaliknya, selain kemudahan sebagai konsumen informasi setiap orang juga dimudahkan untuk menyebar dan menghasilkan informasi. Dengan gampang secara perorangan membuat informasi dalam bentuk teks, gambar, atau video hanya dengan gadget yang dimilikinya. Bahkan itu dapat dilakukan dengan hanya hitungan detik dan langsung dapat dinikmati oleh orang lain di belahan dunia yang jauh. Lebih cepat dari proses mengirim Telegram di Kantor Pos.

Di setiap waktu, orang bebas mengakses dan menerima berbagai macam informasi yang banyak dan beragam. Hal ini secara psikologis dapat mempengaruhi pergerakan suasana di benak si penerima. Bagi generasi muda, sifat keingintahuan secara naluri akan terfasilitasi dengan teknologi informasi, bahkan lebih dari cukup.

Tetapi dengan informasi yang bertubi-tubi dan berganti-ganti, dapat berakibat suasana hati dan pikiran tidak dapat tenang. Berubah-ubah akibat dari informasi yang didapat. Perasaan yang bermunculan menjadi acak-acakan, dan akan sering tidak tepat. Karena itu, tuntutan untuk tidak baper sangat diperlukan. Sayangnya karena tidak membawa perasaan, justru menjadi tidak peduli dengan lingkungan. Sensitivitas yang semestinya diasah menjadi semakin tumpul.

Di tengah kondisi masyarakat yang sedemikian leluasa untuk mengakses dan mempublikasikan informasi, ada keresahan yang muncul dari orang-orang yang justru menganggap bahwa masyarakat sekarang terpenjara. Generasi Milenial yaitu yang mengalami revolusi perpindahan dari teknologi analog menjadi digital hanya sebagian kecil yang mampu memproduksi informasi yang baik. Sedangkan sebagian besar justru menyebarkan informasi sampah dan hanya sebagai konsumen instant yang reaktif.

Sementara itu generasi baru yang lahir dan tumbuh di era digital menjadi sangat malas, karena tidak perlu bersusah-payah untuk mendapat informasi yang diminati dan mengabaikan informasi yang tidak disukai. Generasi Z tidak mampu untuk berusaha menggali informasi lebih dalam, berlama-lama membandingkan informasi dengan informasi lainnya, dan mengkonfirmasi apakah sebuah informasi benar atau salah. Parameter dalam memilah informasi bisa sangat dangkal. Hanya sebatas suka atau tidak suka.

Generasi baru dengan segala keunikan karakteristiknya tidak dapat dibiarkan begitu saja tenggelam dalam lautan informasi. Cara berkomunikasi mereka yang singkat perlu diimbangi dengan kemampuan komunikasi generasi pendahulunya secara tepat. Kalau pun yang mereka inginkan hanyalah yang berdasar kesukaan, kasihilah mereka dengan benar dan indah.