Gembira Dalam Cinta

KETIKA KITA sangat ingin dan berharap benar terhadap sesuatu, itulah rindu. Bentuknya beragam dan pasti berbeda pada setiap orang. Rindu kepada orang tua, teman, sahabat atau bahkan kepada hewan peliharaan. Juga kepada sesuatu hal yang sering kita lakukan. Rasa rindu akan muncul bila sudah lama tidak bertemu, dan rasa itu akan semakin kuat bila tak segera menjumpainya. Kemudian akan menjadi kegelisahan yang sulit dihilangkan.

Begitulah sedikit gambaran akan kerinduan saya kepada Kenduri Cinta, khususnya dengan Mbah Nun. Sebuah forum sinau bareng dan sebagai laboratium ilmu yang rutin diselenggarakan setiap bulannya, dan sudah berlangsung selama 19 tahun. Tempat berkumpul dari semua kalangan tanpa mengkotakkan golongan tertentu. Memang bukan sebuah keharusan Mbah Nun hadir di acara ini, tapi karena rasa cinta dan rindu itu pula yang membuat beliau sering menyempatkan hadir untuk menyapa dan berbagi kawruh dengan kita.

Di usia beliau saat ini yang sudah kepala enam, ketekunan dan istiqomahnya tidak pernah berubah. Tetap konsisten menemani dan ngemong cucu-cucunya hampir setiap malam hingga menjelang subuh, di berbagai tempat. Sering saya berdialog dengan pikiran saya sendiri. Rasanya malu di usia saya saat ini yang masih sangat produktif, tapi kenapa justru sering sekali mengeluh? Sedangkan Mbah Nun sedikit pun tak pernah merasa lelah, padahal beliau hampir setiap malam nge-ronda ke berbagai daerah. Menggembirakan semua yang hadir saat itu, tak jarang sampai larut dalam tawa juga tetesan air mata.

Karena domisili saya di Jakarta, maka forum Kenduri Cinta menjadi satu-satunya tempat saya ngangsu kawruh akan Maiyah. Untuk mengenal dan mengerti lebih jauh akan makna yang terkandung di dalamnya. Jujur sampai detik ini saya masih belum bisa memahami unsur ghoib di Maiyah. Setiap apa yang menjadi “angen-angen” saya yang berputar dalam pikiran dan batin, entah kenapa ketika Maiyahan berlangsung itu semua dijawab kontan. Apalagi saat Mbah Nun sudah hadir dan memulai sinau. Adanya kesamaan frekwensi yang saya yakini itu semakin kuat di alam bawah sadar saya. Bagaimana bisa, setiap saya ingin bertanya namun hanya berselang sekian menit tiba-tiba Mbah Nun membahas hal tersebut? Seperti gelombang frekwensi antar hati dan pikiran yang secara tidak kasat mata terkoneksi.

Pada edisi ke-201 bulan Mei lalu Mbah Nun hadir lebih awal dari biasanya. Membuat area pelataran Plaza Taman Ismail Marzuki semakin padat dihadiri jamaah yang sudah memilih posisi duduknya masing-masing. Cuaca sedari sore memang sudah mendung dan biasanya akan turun hujan. Semakin malam semakin sulit menemukan celah kosong untuk duduk, kalaupun ada akan jauh dari area berlangsungnya acara. Allah memang Sang Maha Asik. Begitu lantunan sholawat mulai dikumandangkan oleh Mbah Nun lalu bersama-sama semua jamaah, langsung dibayar kontan dengan guyuran berkah berupa air hujan.

Aneh…

Karena kebiasaan kita bila hujan pasti akan ngiyup, tapi entah mengapa justru para jamaah semakin merekatkan diri dan tak mau sedikitpun beranjak dr posisinya. Serentak mereka langsung berdiri, saling mengamankan. Wanita dan anak-anak diprioritaskan untuk naik ke panggung, sementara yang lain kompak bersama-sama mengubah fungsi karpet yang sebelumnya menjadi alas kemudian dijadikan sebagi atap darurat.

Guyuran hujan yang semakin deras justru membuat kami semakin hangat dan gembira, mungkin bisa saya tegaskan, “sangat gembira”. Kerinduan saya terobati melebihi apa yang saya harapkan, walaupun mungkin deretan pertanyaan di pikiran saya masih setia mengantri untuk mendapatkan jawaban. Akhirnya saya betul-betul bisa menikmati, bahwa saya memang tidak diharuskan untuk tau semua hal. Karena bila kita tau sedikit saja, maka sisanya adalah bentuk takwa kita kepada Allah. Seperti dhawuh Mbah Nun, “Bijaksana terhadap apa yang kita tahu, rendah hati terhadap apa yang kita tidak tahu”.

Karena buat saya pribadi, cukup dengan dasar cinta saya bisa sangat gembira mengikuti setiap tahapan selama selinau bareng berlangsung. Dan saya pun meyakini, kami semua bergembira bersama, layaknya Islam yang merupakan kabar gembira untuk semua manusia di muka bumi ini. Diantara kerumunan orang batin saya bergeming;

Duh Gusti…

Matur sembah nuwun berkah lan katresnan panjenengan dumateng kita sami.

Senadyan mung saget memuji panjenengan srono Maiyahan.

Mugi-mugi sedanten ingkang sampun kelampahan ing dalu meniko, tansah damel sangu ing benjang sowan dumateng panjenengan lan Kanjeng Nabi.

Matur nuwun Maiyah, matur nuwun Kenduri Cinta, matur nuwun Mbah Nun.