FASTABIQUL HAIBAT

Reportase Kenduri Cinta edisi JUNI 2018

Juni menjadi bulan istimewa bagi komunitas sebab bertepatan dengan bulan lahirnya Kenduri Cinta. Maka, pada setiap edisi penyelenggaraan Kenduri Cinta di bulan Juni, forum dikonsep sedemikian rupa dalam rangka menyemarakkan ulang tahun. Berbeda dengan syukuran tahun sebelumnya, yang terasa meriah dengan hadirnya KiaiKanjeng, pada kali ini, konsep acara mensyukuri 18 tahun Kenduri Cinta dibuat dalam format sederhana.

Plasa Taman Ismail Marzuki sejak siang telah dipenuhi para penggiat. Panggung mulai disusun. Kru sound system juga telah di lokasi, peralatan musik disusun dan proses pengaturan suara dilakukan. Persiapan teknis selesai tepat menjelang Magrib. Sejenak, azan Magrib terdengar, penggiat lantas berkumpul menikmati takjil. Sederhana, namun nikmat. Tak perlu hidangan mewah, toh sekadar berbuka puasa.

Lampu tenda menyala, karpet tergelar, jamaah pun mulai berdatangan. Selepas Magrib, kelompok musik El Bams melakukan sound check dengan memainkan beberapa lagu. Kenduri Cinta kali ini dilaksanakan seminggu sebelum Lebaran, namun animo jamaah tetap saja tinggi. Tampaknya mereka memiih memundurkan jadwal mudik setelah bermaiyahan di Kenduri Cinta. Sepertinya, atmosfer Kenduri Cinta sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Selepas Tarawih, penggiat membuka forum dengan memandu jamaah melantunkan wirid Tahlukah. Mereka khusyuk membaca ruus Tahlukah. Yaa dzal wabal, Yaa Dzal ‘Adli, Yaa Dzal Qisthi, Yaa Syadiidal Iqob. Suasana di awal forum semakin sayhdu, ketika kelompok Hadrah Darul Islah dari Balaraja menampilkan nomor sholawat. Anak-anak yang masih berusia belasan tahun itu, dengan apik dan harmonis menampilkan kepiawaian mereka bersholawat diiringi terbangan dari rebana yang mereka mainkan.

Setelahnya, Luqman Baehaqi tampil memoderasi forum. Kali ini, para penggiat dihadirkan di forum untuk berbagi cerita, pengalaman bagaimana mengelola acara. Merekalah orang-orang yang berada di belakang layar, yang setiap bulan mempersiapkan kebutuhan teknis maupun nonteknis. Penggiat adalah relawan-relawan yang sehari-hari bekerja layaknya masyarakat ibukota umumnya. Mereka bersama-sama menumbuhkan silaturahmi persambungan persaudaraan di Kenduri Cinta.
Pada setiap Rabu malam, mereka berkumpul dalam forum Reboan. Bertempat di Teras Galeri Cipta II TIM, membicarakan persiapan forum Kenduri Cinta, juga hal-hal lainnya. Kusumaningrum, atau biasa disapa Nink Nonk, adalah salah satunya. Penggiat perempuan yang bertugas mengelola keuangan itu bergabung di Kenduri Cinta sejak tahun 2006. Impresi pertamanya dengan Kenduri Cinta melalui tulisan-tulisan yang termuat di situs kenduricinta.com. Sehari-hari, ia berprofesi sebagai guru di sekolah dasar swasta di bilangan Jakarta Selatan. Nink Nonk aktif di Reboan pada tahun 2009, sejak itu ia mulai berproses menjadi penggiat komunitas.

Tri Mulyana, penggiat lainnya yang pertama kali mengikuti forum pada tahun 2007. Pasca Haflah Maiyah tahun 2009 di Jombang, Tri lantas meluruskan niat untuk bergabung menjadi penggiat dan mulai aktif mengikuti Reboan. Tugas pertama Tri Mulyana adalah informan, mengingatkan penggiat lainnya perihal jadwal-jadwal kegiatan komunitas melalui teks pesan dan media lainnya. Ia lantas diserahi tugas mengelola terpal alas duduk jamaah. Setiap selesai acara ia membawa melipat dan membawa karpet-kerpet itu ke rumahnya, dibersihkan pada esok harinya untuk kemudian disimpan kembali untuk acara bulan berikutnya.

“Kalau pas musim kemarau, karpet itu nggak begitu mengganggu. Tapi ketika musim hujan, sudah basah masih ditambah dengan tumpahan kopi dan sisa-sisa makanan yang menempel dan berair,” Tri melanjutkan, “Saya merasa karpet itu menjadi berkah di rumah saya.”

“Penggiat yang diberi tanggung jawab untuk melaksanakan tugas tertentu itu dilaksanakan dengan penuh komitmen.
Sigit, Kenduri Cinta (Juni, 2018)

Semangat Merawat

Penggiat lainnya adalah Hendra Kusuma. Ia menceritakan kisahnya yang mengenal Cak Nun pertama kali melalui buku Slilit Sang Kiai. Buku itu mengganggu pikirannya, meruntuhkan ilmu-ilmu yang selama ini ia pelajari. “Bahwa ada hal-hal yang kecil dan remeh ternyata justru sangat besar dampaknya, sementara hal-hal besar yang sering memusingkan kepala ternyata justru remeh,” tuturnya.

Ridwan, atau yang sering dipanggil Iwan, adalah seorang penggiat yang dikenal selalu datang lebih awal dari penggiat lainnya. Bersama Wawan, ia bertugas memasang baliho di pelataran TIM. Biasanya, Iwan datang selepas Ashar. Ia bersama Wawan menata panggung dan tenda, lantas memasang backdrop di bagian belakang tenda, sembari menemani kru tata suara menata alat-alat mereka. Iwan mengenal Kenduri Cinta di April 2016. Sejak itu, ia memberanikan diri bergabung ke Reboan. Baginya, ada sesuatu yang hilang jika ia tak datang ke Reboan. “Yang unik di Kenduri Cinta, meskipun baru pertama kali kenal tetapi bisa langsung akrab,” ungkapnya.

Pengggiat lainnya yang berbagi malam itu adalah Ibrahim. Ia mengenal Kenduri Cinta pada tahun 2006. Sebelumnya ia telah mengenal sosok Cak Nun melalui buku Slilit Sang Kiai dan Anggukan Ritmis Kaki Sang Kiai. Ia juga pernah menghadiri pementasan KiaiKanjeng. Ibrahim aktif di media sosial Twitter, dan dari media sosial itulah ia mengenal banyak jamaah Maiyah yang kemudian mengajaknya bergabung di KendurI Cinta. Menurutnya, penggiat Kenduri Cinta tidak eksklusif, turn over pengurus yang tinggi memerlukan struktur kepengurusan yang baku, agar kepemimpinan tetap terjaga.

Panggung Kenduri Cinta bagi Ibrahim begitu sakral dan tak mudah ditaklukan. Ibrahim menceritakan awalnya tidak mudah baginya untuk berbicara di panggung, apalagi di hadapan audien yang banyak. Diperlukan mental yang kuat, juga cara bertutur yang baik, agar pesan yang disampaikan bisa sampai. Tanggung jawab harus diemban para penggiat manakala narasumber yang dijadwalkan hadir ternyata belum hadir. Maka, mau tidak mau penggiat harus mengambil alih forum, agar forum tidak vakum. Terkadang jamaah merasa bahwa apa yang disampaikan oleh narasumber “darurat” itu muter-muter, njlimet, tidak teratur, tidak jelas dan sebagainya, tetapi memang harus seperti itu adanya. Semua keputusan harus segera diambil agar forum tidak vakum.

Dan selalu, sepanjang Kenduri Cinta berlangsung, para penggiat tidak bisa fokus menyimak diskusi dan kajian-kajian sebab mereka musti siaga dengan ponsel masing-masing, memastikan rentetan acara yang sudah disusun dapat terlaksana baik.

Sigit Hariyanto pun merasakan hal sama, tak mudah baginya menaklukan panggung Kenduri Cinta. “Jika disuruh memilih, lebih baik duduk di belakang, menyimak saja,” ujarnya. Para penggiat pun mesti menyiapkan berbagai skenario ketika jumlah narasumber yang datang justru lebih banyak dari yang direncanakan. Pengaturan ulang susunan acara harus dilakukan segera agar setiap narasumber memiliki ruang bicara yang setara.

Sigit pun tidak langsung diberi tanggung jawab menjadi moderator forum. Ia pernah bertugas membeli kue dan jajanan di Pasar Senen, pernah juga ia bertugas mengantarkan kopi, juga pernah menjadi stage manager yang mengatur lalu lintas acara. “Di Kenduri Cinta, penggiat yang diberi tanggung jawab untuk melaksanakan tugas tertentu itu dilaksanakan dengan penuh komitmen,” Sigit menambahkan.

Begitulah dinamika Komunitas Kenduri Cinta berlangsung. Sebuah forum yang berlangsung secara mandiri, swadaya tanpa dukungan sponsor, namun tetap dikelola dengan baik. Suasana organisasi tetap egaliter namun penuh rasa tanggung jawab.

“Yang unik di Kenduri Cinta, meskipun baru pertama kali kenal tetapi bisa langsung akrab
Ridwan, Kenduri Cinta (Juni, 2018)

Heri Prasetyo, penggiat yang bertanggung jawab mengkoordinir pendanaan turut berbagi cerita. Ia mengenal Kenduri Cinta pasca Pemilu 2014. Ia penasaran dengan sosok Cak Nun. Ia lantas mencari tahu Cak Nun dan menemukan forum Kenduri Cinta, dan hingga kini aktif menjadi penggiat.

Malam itu, Bedur, vokalis kelompok musik Jazz Pandan Nanas juga turut berbagi kisahnya. Bersama grup Amsarasta, yang merupakan didikan Beben Jazz, ditawari untuk tampil di Kenduri Cinta. Baginya, Kenduri Cinta adalah forum yang unik. Forum pengajian tetapi seperti layaknya perkuliahan. Apa yang didapatnya di Kenduri Cinta lebih banyak dari apa yang ia harapkan. Hal lain yang membuatnya kagum adalah ketika hujan turun, jamaah bukan pulang, tetapi tetap bertahan hingga akhir acara.

Lain lagi dengan Bobby, vokalis Orkes Semberengen yang beberapa kali tampil di Kenduri Cinta. Suatu kali ia diminta datang di Kenduri Cinta, setelah tampil di sesi awal, ia diminta untuk jangan pulang dulu, karena bisa jadi akan mengisi lagi menjelang akhir. Ternyata waktu yang ada tidak memungkinkan, akhirnya ia urung tampil lagi. Namun bukan hal yang baginya mengecewakan, karena ia memahami dinamika forum Kenduri Cinta yang memang sangat cair.

Itulah Kenduri Cinta dengan segala keunikannya, yang dikelola dengan penuh kegembiraan oleh orang-orang yang berdedikasi tinggi. Mereka tak pernah menghitung akan dapat apa dari Kenduri Cinta, tetapi yang selalu mereka pikirkan adalah apa yang harus dilakukan untuk Kenduri Cinta. Setiap penggiat menyadari peran, karena forum tidak mungkin terlaksana atas kinerja 1-2 orang saja, melainkan membutuhkan tim yang solid dan utuh.

Fahmi Agustian, yang saat ini diserahi tanggung jawab menjadi Ketua Komunitas Kenduri Cinta juga turut bercerita. Awalnya ia mengenal Kenduri Cinta melalui media sosial Twitter di tahun 2010. Dari media sosial itulah ia mengenal beberapa penggiat. Baru pada akhir tahun 2013 ia bergabung di Reboan. Ia tertarik Kenduri Cinta sebab melihat literasi yang terbangun baik. Satu-satunya forum maiyahan saat itu lengkap dokumentasinya, mulai dari mukadimah, poster, hingga reportase. Live Tweet yang saat ini sudah mulai marak dulu diinisasi oleh Kenduri Cinta, dengan tagar-tagar unik yang tidak familiar bagi netizen.

“Semangat diawali dengan niatan merawat keberlangsungan forum. Karena merawat memiliki tingkat kesulitan berbeda dari proses melahirkan forum,” Fahmi menambahkan. Ia lantas bercerita tentang Musyawarah Lengkap, sebuah forum dua tahunan untuk menunjuk pemimpin komunitas. Fahmi menceritakan bahwa tidak ada tradisi mencalonkan diri di Kenduri Cinta. Siapa-siapa yang terpilih untuk dipilih menjadi leader muncul alamiah. Dan tidak ada juga tradisi mengundurkan diri dari tanggung jawab di Kenduri Cinta. Mau tidak mau harus diselesaikan hingga akhir periode alias hingga Musyawarah Lengkap selanjutnya.

Kegembiraan merawat Kenduri Cinta memang sejak awal dibagikan pada seluruh jamaah, hal itu agar semua memahami dinamika yang terjadi di Komunitas. Bahwa, yang diurusi oleh penggiat bukan hanya penyelenggaraan forum sebulan sekali saja, ada banyak hal juga yang dikelola dan membutuhkan soliditas tim yang baik.

Sekitar dua jam lebih para penggiat berbagi kisah, saatnya memberi jeda. Kegembiraan 18 tahun Kenduri Cinta kemudian diisi oleh beberapa penampilan. Kelompok Hadrah Darul Islah kembali tampil membawakan nomor sholawat, kemudian dilanjutkan dengan penampilan Mbak Fatin Hamama bersama dua orang sahabatnya membawakan puisi, dilanjutkan dengan penampilan El Bams membawakan nomor karya KiaiKanjeng Ya Thoybah dan Marhaban.

“Semangat diawali dengan niatan merawat. Karena merawat memiliki tingkat kesulitan berbeda dari proses melahirkan.
Fahmi Agustian, Kenduri Cinta (Juni, 2018)

SHOUM SHIYAM

Kebahagiaan mensyukuri 18 tahun Kenduri Cinta semakin lengkap dengan hadirnya Ibu Via yang mendampingi Cak Nun malam itu. Ibu Via selalu menyempatkan diri untuk hadir dalam perayaan ulang tahun Kenduri Cinta. Terkadang, kita sebagai jamaah sering melupakan peran Ibu Via selama ini. Acapkali jamaah sering menanyakan, “Cak Nun hadir nggak di Kenduri Cinta?” tanpa berpikir terlebih dahulu, apakah jadwal maiyahan sebelumnya padat atau tidak? Sudah berapa lama Cak Nun tidak bertemu dengan keluarga di rumah karena sibuk hampir setiap malam berkeliling maiyahan, menyambangi jamaah di berbagai daerah. Seperti akhir-akhir ini, pasca PadhangmBulan 28 Mei 2018, Cak Nun dan KiaiKanjeng telah dijadwalkan berkeliling mulai dari Sidoarjo, Sumenep, Malang, Batam, Serang kemudian Klaten. Dan di tengah jadwal padat itu, Cak Nun bersama Ibu Via menyempatkan diri untuk hadir dalam tasyakuran 18 tahun Kenduri Cinta.

Tentu saja, ungkapan terima kasih kita ucapkan kepada Ibu Via karena begitu besar hatinya merelakan Cak Nun yang sebagian besar waktunya disedekahkan untuk jamaah Maiyah. Hanya doa yang bisa kita ucapkan semoga Cak Nun, Ibu Via dan seluruh keluarga selalu sehat dan diberi keberkahan atas segala pengorbanan yang selama ini.

Luqman kemudian mempersilakan Cak Nun dan Syeikh Nursamad Kamba untuk bergabung di panggung. “Di Maiyah ini orang ndak mencari tempat. Dia menempatkan diri sesuai dengan ketepatan hidupnya serta ketepatan ruang dan waktunya,” Cak Nun mengawali.

“Anda hidup di masa silam, masa kini atau masa depan?” tanya Cak Nun setelah sebelumnya sedikit mengelaborasi tentang ruang dan waktu. Jamaah tampak bingung dengan pertanyaan itu. Cak Nun menggambarkan, ketika kita mengatakan waktu, ketika mulut kita mengucapkan “wak” kemudian “tu”, maka “wak” menjadi masa silam, dan “tu” menjadi masa kini. Maka, manusia tidak selalu hidup dalam pijakan skala waktu, karena hidup sejatinya adalah irama yang mengalir.

“Kalau konteks itu hubungannya dengan nisbah, ketepatan penggunaan ruang dan waktu, maka setiap eksistensi memiliki ruang dan waktunya masing-masing,” Cak Nun melanjutkan. Kemudian, Cak Nun memasuki tema Ramadlan. Melalui surat Al Baqoroh 183, Cak Nun mengajak jamaah untuk memasuki cakrawala ibadah puasa. Dalam Surat Al Baqoroh 183 itu, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berpuasa. Yang diperintahkan oleh Allah bukan orang-orang yang berilmu, berharta banyak. Dalam kehidupan ini ada sesuatu yang memang hanya bisa dicapai dengan iman, bukan dengan ilmu.

“Ada sesuatu yang anda bisa mencapainya hanya dengan iman, karena anda tidak mungkin mencapainya dengan ilmu, anda tidak bisa menghitungnya. Ada sesuatu yang dicapai dengan iman, ada sesuatu yang dicapai dengan ilmu. Kenapa sesuatu itu dicapai dengan iman karena kita tidak bisa mencapainya dengan ilmu. Kenapa kita percaya? Karena kita tidak tahu,” Cak Nun menambahkan.

Cak Nun lantas menceritakan Eko Winardi, sahabatnya di dunia teater. Pada PadhangmBulan edisi Menyorong Rembulan, Eko Winardi turut serta dalam penampilan drama teater Kelahiran. Eko Winardi menemukan ketepatan kata tentang sampah, baginya tidak ada ruang untuk membuang sampah, yang ada adalah menempatkan sampah pada tempat yang tepat, karena sampah dapat digunakan untuk hal-hal bermanfaat setelahnya. Kotoran sapi bisa dimanfaatkan menjadi pupuk jika ditempatkan pada tempatnya dan diolah dengan tepat sesuai ilmu yang tepat. Begitu juga sampah plastik, jika dilakukan proses daur ulang dengan baik, maka plastik itu akan menjadi manfaat baru.

“Temukan shoum-mu, jadilah pendekar kehidupan. Tidak hanya akan memimpin diri, anda akan menjadi memimpin bangsa, masyarakat, orang-orang di sekitar anda.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juni, 2018)

Kembali ke tema puasa. Cak Nun sampaikan bahwa siapapun yang tidak merasa beriman maka ia tidak memiliki kewajiban berpuasa. Iman menjadi syarat utama orang yang diwajibkan berpuasa. Kata “kutiba” dalam Al Baqoroh 183 secara harfiah berarti dituliskan, ditetapkan, diundang-undangkan, kemudian diterjemahkan menjadi diwajibkan. Jika kita menggunakan retorika radikal, “kutiba” bermakna dipaksa.

Kewajiban berpuasa ditetapkan Allah kepada orang-orang yang beriman, karena pada dasarnya manusia tidak menyukai puasa. “Kewajiban itu ditetapkan karena sebenarnya anda ndak suka. Jadi, ketika anda sudah menikmati puasa, anda harus mencari puasa yang lebih tinggi lagi yang anda belum suka. Kalau kelaparan sudah menjadi nikmat bagi anda, maka anda harus mencari puasa yang lain. Maka ada shiyam dan ada shoum,” Cak Nun memasuki dimensi lebih dalam.

Dalam Alquran, kata shoum disebutkan dalam surat Maryam ayat 26. Kata shoum ini merujuk pada perintah Allah kepada Maryam untuk tidak berbicara. Refleksi shoum adalah menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang sebenarnya kita memiliki hak untuk melakukannya. Sementara shiyam, merupakan aturan administratif untuk tidak makan, minum dan tidak melakukan serangkaian perbuatan.

Maka niat berpuasa yang selalu kita lafadzkan adalah nawaitu shouma ghodin bukan nawaitu shiyama-l-ghodi, karena keperluan kita untuk menahan diri tidak makan, tidak minum, secara naluriah dapat dilakukan sehari-hari. Tetapi tidak dengan shoum. Shoum adalah dimensi puasa yang lebih luas dari sekadar shiyam. “Puasa itu harus dikembangkan dari shiyam menjadi shoum,” Cak Nun ajak jamaah menyegarkan pemahaman.

Jika shoum diaplikasikan dalam dunia perdagangan misalkan, seorang pemilik warung akan mengatur jadwal jam berapa ia membuka dan jam berapa ia menutup warung. Menentukan batas yang dijual dalam satu hari. Berhitung berapa jumlah standar yang sebaiknya ia jual, jika sebelum waktunya warung tutup ternyata barang yang ia jual sudah habis, maka ia harus taat untuk tidak menambah stok barang, karena akan mengganggu perputaran uang di hari berikutnya. Itulah contoh aplikasi shoum.

Begitu juga dalam pengelolaan negara. Pemerintah seharusnya memiliki ketepatan pengambilan keputusan dengan menggunakan dimensi shoum. Begitu juga dalam proses Pemilu, seseorang harus mampu menakar dirinya apakah perlu mencalonkan diri atau tidak, harus melalui pertimbangan shoum. “Hidup ini shoum. Seluruh hidup ini harus menggunakan strategi shoum,” Cak Nun menambahkan.

“Niat berpuasa tidak berhenti pada puasa Ramadlan, tetapi mengaplikasi shiyam itu menjadi shoum-shoum di segala perilaku baik dalam konteks individu, keluarga, kemasyarakatan, kebudayaan, pemerintah, negara. Sebab kalau tidak, anda pasti hancur. Kalau Anda tidak melakukan shoum, pasti hancur,” Cak Nun mengingatkan, “Temukan shoum-shoum-mu, maka kamu akan menjadi pendekar kehidupan. Kamu tidak hanya akan memimpin dirimu, kamu akan memimpin bangsamu, masyarakatmu, orang-orang di sekitarmu. Engkau akan memimpin uang, bukan uang yang memimpinmu.”

Kama kutiba ‘alladziina min qoblikum. Ada aturan yang berlaku sebelumnya sehingga kita sebagai orang yang beriman diwajibkan berpuasa. Ibadah puasa telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kita. Mentadabburi kalimat la’allakum tattaquun, Cak Nun menjelaskan bahwa produk maksimal dari berpuasa adalah menjadi golongan orang-orang yang selalu mengusahakan diri untuk menjadi orang yang bertakwa. Ada perbedaan yang sangat jelas antara tattaquun dengan muttaqiin. Maka kita juga harus pandai-pandai memahami kata tattaquun yang disebutkan oleh Allah di Surat Al Baqoroh ayat 183 itu.

“Kebenaran itu datangnya dari Allah, Al Haqqu min rabbika.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juni, 2018)

ALQURAN UKURAN HIDUP

Memasuki tema selanjutnya, qath’iy dan dzhanni. Cak Nun menjelaskan bahwa Alquran itu qath’iy, ia merupakan sebuah ketetapan dari Allah yang sudah tidak bisa diganggu gugat, apalagi diubah redaksinya. Sementara tafsir mengenai Alquran yang dilakukan oleh para pakar tafsir, juga tadabbur yang kita lakukan di maiyahan terhadap Alquran itu merupakan dzhanni. Artinya, apa yang kita pelajari dari Alquran bukan multak kebenaran. Kita pun sudah diingatkan oleh Allah di dalam Alquran bahwa kebenaran itu milik Allah, Al Haqqu min rabbika.

“Jangan segan-segan mengatakan Maiyah itu dzhanni. Maiyah ndak ada, ndak apa-apa. Jangankan Maiyah, saya ndak ada, ndak apa-apa. Karena aslinya memang kita tidak ada. Orang bertengkar sekarang ini karena takut menjadi tidak ada,” Cak Nun menerangkan bahwa ada banyak hal yang sejatinya itu dzhanni kemudian kita yakini menjadi sesuatu yang qath’iy. Sesuatu yang tidak pasti, dipasti-pastikan. Sesuatu yang sebenarnya bukan kebenaran, diyakini sebagai sebuah kebenaran. Pada akhirnya justru melahirkan benturan-benturan pada eskalasi ruang dan waktu yang tidak ada habisnya, memunculkan perpecahan demi perpecahan, melahirkan pertengkaran demi pertengkaran.

Cak Nun menggambarkan, jika menggunakan alphabet, qath’iy itu A dan Z, sementara B-Y itu wilayahnya dzhanni. A dan Z adalah sebuah kepastian dari Allah, sementara B-Y adalah kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya hanya diciptakan oleh manusia. NKRI, NU, Muhammadiyah, MUI, FPI, LDII, MTA dan lain sebagainya wilayahnya ada pada B-Z, lulus atau tidaknya B-Z ini menurut Cak Nun adalah ketika mampu tersambung dengan A dan Z. Lebih mudahnya, A = innalillahi dan Z = ilaihi raaji’uun. Tugas kita adalah mampu menempatkan diri dalam proporsi B-Y, jika kita adalah F maka jangan memaksakan diri untuk menjadi N. Kita harus menyadari posisi kita yang tepat adalah F. Begitu seterusnya.

Membahas tema Kenduri Cinta, Cak Nun menjelaskan bahwa aslinya adalah Fastabiqul Khairat. Dalam Alquran dijelaskan bahwa kita diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Namun, yang terjadi sekarang ini adalah berlomba-lomba dalam kebenaran, sehingga setiap orang berusaha menunjukkan kehebatannya satu sama lain. Di dunia modern, antara kebenaran, kebaikan, dan keindahan masing-masing dibedakan dan berdiri sendiri-sendiri. Seorang Rektor Universitas wilayahnya adalah benar dan salah, tidak bisa menentukan indah atau buruk. Seorang seniman hanya dibatasi wilayahnya pada area estetika keindahan karya seni. Sementara kita di Maiyah mempelajari dan mengaplikasikan bahwa kebenaran, kebaikan, dan keindahan merupakan suatu komposisi yang harmonis satu dengan yang lainnya, tidak bisa dipisahkan untuk berdiri sendiri-sendiri.

“Kebenaran itu datangnya dari Allah, Al Haqqu min rabbika,” Cak Nun melanjutkan. Kebenaran itu mutlak datangnya dari Allah, manusia hanya diberi sedikit pinjaman kebenaran dari Allah dan bukan untuk dipamer-pamerkan. Misalnya, ketika orang salat, bukan salatnya yang kemudian dipamerkan kepada orang lain, karena salat itu kebenaran yang dikaryakan olleh Allah. Manusia hanya meminjam sebentar kebenaran itu. Seharusnya yang kemudian menjadi manfaat adalah output dari kebenaran itu, berupa manfaat dari sholat yang ia lakukan, apakah hidupnya bermanfaat bagi orang lain atau tidak, itulah pencapaian kebaikan dan keindahan dari sebuah kebenaran.

“Anda semua insya Allah khatam Alquran, cuma levelnya berbeda-beda,” Cak Nun menginjak ke tema berikutnya, “Anda hafal Al Fatihah atau seluruh Alquran itu belum menjadi ukuran hidupmu. Karena ukurannya adalah dengan Al Fatihah atau dengan hafal seluruh Alquran, kamu seberapa bermanfaat untuk masyarakatmu, kamu seberapa berjasa untuk kebaikan, kamu seberapa indah untuk menciptakan cahaya bagi negara dan bangsamu,” lanjut Cak Nun.

“Manusia diciptakan oleh Allah dalam mekanisme khilafah untuk menjadi khalifah.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juni, 2018)

“JANGAN membanggakan hafal Alquran. Jangan membanggakan anda seorang doktor. Jangan membanggakan anda memiliki ilmu, karena ilmu pasti dari Allah. Wa maa utiitumu-l-ilma illa qoliilanm,” lanjut Cak Nun. Kita kembali ke ilmu awal di Maiyah, bahwa yang kita cari adalah ridhla Allah. Karena kita kelak akan menghadap kepada Allah bukan dengan bekal keunggulan kita, bukan dengan kebanggaan duniawi kita. Tidak akan laku kepandaian ilmu kita di hadapan Allah. Tidak akan laku kehebatan kita sekarang di hadapan Allah. Kita hanya akan membawa cinta dan kesetiaan kepada Allah kelak.

Kembali Cak Nun mengajak jamaah untuk mentadabburi Surat Ali Imron ayat 31, bahwa fondasi utama kesetiaan kita kepada Allah adalah mengikuti Rasululah Muhammad Saw. Karena manusia hidup dalam konsep khilafah. Manusia diciptakan oleh Allah dalam mekanisme khilafah untuk menjadi khalifah. Cak Nun menjelaskan bahwa khalifah adalah orang yang berjalan di belakang Rasulullah Saw, mengikuti sunnatullah, taat kepada Rasulullah Saw. Karena tidak ada kemungkinan lain kecuali mengikuti aturan Allah.

Cak Nun secara tertib menyampaikan pointerpointer dari khasanah ilmu di maiyahan sebelumnya. Khasanah ilmu yang terpendar begitu luas dan begitu banyak, terkadang kita sendiri yang tak sanggup menampungnya. Betapa bersyukurnya kita mendapat hadiah dari Allah berupa Maiyah, dimana ilmu seluas apapun kita dapatkan, dan kita sepenuhnya merdeka untuk mengambil khasanah ilmu yang mana saja, yang kita butuhkan.

Sejenak kemudian, Cak Nun menjelaskan tadabbur sunnah, bahwa ada 4 jenis sunnah (sunnat); sunatullah didalamnya ada hukum alam, hukum rimba, juga termasuk ilmu fisika, geografi, biologi, manusia tumbuh dan berkembang. Kemudian ada sunnah Rasul, termasuk didalamnya Sirah Nabawi, sejarah perjalanan kehidupan Rasulullah Saw, bukan hanya penjelasan tentang Islam, namun juga perilaku, perkaataan Rasulullah Saw. Yang ketiga adalah sunnah dalam hukum fiqih yang lima, sesuatu ibadah yang wilayahnya sunnah adalah apabila kita melakukannya kita mendapatkan pahala, namun ketika kita tidak melakukannya kita sama sekali tidak berdosa. Yang keempat adalah sunnat khitan bagi laki-laki.

Dalam sunnatullah, manusia tidak ada pilihan lain kecuali taat pada aturan Allah. Seorang arsitek ketika hendak menyusun rancangan bangunan, ia harus taat pada hukum gravitasi, segala kebutuhan ia rancang sesuai dengan perhitungan sunnatullah itu. Berbeda dengan sunnah Rasul, ada sunnah yang memang mampu kita ikuti dan kita laksanakan ada juga yang tidak. Kita harus mampu menakar sendiri proporsinya.

Cak Nun kemudian meminta 9 jamaah untuk maju ke panggung, kemudian dibagi menjadi 3 kelompok. Masing-masing kelompok dibekali Cak Nun dengan pertanyaan yang berbeda. Kemudian 9 orang itu diberi kesempatan untuk berdiskusi menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Cak Nun. Masing-masing 3 kelompok diberi pertanyaan yang berbeda; 1. Sebutkan 3-5 kata yang merupakan problem utama Bangsa Indonesia. 2. Sebutkan 3-5 kata yang merupakan paling dibutuhkan untuk selamatnya Indonesia di masa depan. 3. Sebutkan 3-5 kata yang seharusnya dilakukan Orang Maiyah untuk bersedekah kepada alam semesta, masyarakat dunia dan Indonesia.

Sementara 3 kelompok berunding, Cak Nun mempersilakan Beben Jazz and Friends untuk tampil di panggung. “Kenduri Cinta adalah tempat yang selalu saya rindukan. Kemana pun saya pergi, selalu bertemu dengan anak-anak Maiyah,” Beben menyapa. “Selamat ulang tahun Kenduri Cinta yang ke-18 tahun. Saya bersyukur ditamasyakan Allah untuk bertemu Kenduri Cinta.”

“Kita tidak bisa memberi petunjuk kepada siapa pun meskipun kita mencintainya, Allah lah yang memberi petunjuk kepada siapa pun yang kita kehendaki.
Gatot Nurmantyo, Kenduri Cinta (Juni, 2018)

Rububiyah, Mulukiyah, Ilahiyah

Setelah El, salah satu vokalis anak didik Beben Jazz membawakan Summer Time, Beben meminta Ibu Via membawakan lagu Hujan Gerimis berduet dengan Inna Kamarie, ditutup dengan nomor Esok Kan Masih Ada. Sebelumnya juga ada penampilan Hadroh Sholawat dari Darul Islah dan beberapa nomor awal yang dimainkan oleh El Bams, menjelang puncak, Beben Jazz lalu melengkapi kegembiraan. Sebuah kesyukuran atas niat baik yang kita ucapkan, Allah akan selalu menemani kita, bahkan seringkali memberikan kejutan tak tertkira. Min haitsu laa yahtasib. Hidup adalah aliran yang bergetar dan getaran yang mengalir.

Seusai penampilan Beben Jazz dan Inna Kamarie, Cak Nun kemudian mengundang Pak Gatot Nurmantyo untuk bergabung di panggung. Sejak awal, Pak Gatot bergabung ditengah kerumunan jamaah, Cak Nun yang mengetahui keberadaan Pak Gatot kemudian mengajak Pak Gatot untuk maju ke panggung.

“Kita semua itu orang yang tidak bisa melakukan apapun kecuali berproses. Semua orang masih berproses. Maiyah bukan aturan-aturan, Maiyah adalah ruang dimana semua orang boleh berproses dan ditemani menuju Z yang sejati. Sebelum menit ke-90 dalam sepakbola belum ada skor yang pasti, jadi jangan menghakimi siapa pun, kita semua masih dalam proses. Kuncinya adalah Innaka la tahdi man ahbabta, walakinnallaha yahdii man yasyaa. Kamu tidak bisa memberi petunjuk kepada siapa pun meskipun engkau mencintainya, Aku (Allah) lah yang memberi petunjuk kepada siapa pun yang kita kehendaki. Dan kita hidup dalam getaran yang mengalir ini menuju Ilaihi raaji’uun yang sejati,” Cak Nun menyambut Pak Gatot.

Setelah 3 kelompok tadi masing-masing menyampaikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya diberikan oleh Cak Nun, Pak Gatot dipersilakan oleh Cak Nun untuk merespons apa yang disampaikan oleh perwakilan dari 3 kelompok yang telah berdiskusi. Kelompok pertama menjawab pertanyaan tentang apa problem utama bangsa Indonesia, mereka menyampaikan ada 3 problem utama, yaitu kepercayaan, integritas dan sinergisitas. Kelompok kedua, merespons pertanyaan tentang apa yang dibutuhkan oleh Indonesia untuk selamat, yaitu percaya, sadar, disiplin, harapan dan cinta. Kemudian kelompok ketiga, menjawab pertanyaan yang harus dilakukan oleh orang Maiyah untuk bersedekah kepada alam, dunia dan Indonesia, yaitu shaum, waspada, jujur, sederhana, dan ikhlas.

“Sepanjang hidup saya, para pemuda lah yang meloncat ke depan, apalagi dalam situasi seperti sekarang ini. Yang menang adalah yang punya inovasi ke depan dan cepat merespons,” Pak Gatot menyampaikan apresiasi. “Tolong dikoreksi kalau saya salah, saya santrinya beliau (Cak Nun). Alquran kalau diperas, maka intinya adalah Al Fatihah. Dan Al Fatihah kalau diperas, intinya adalah Rahman dan Rahim. Kemudian, jika Rahman dan Rahim diperas, intinya adalah Cinta,” jelas Pak Gatot.

Cak Nun lantas mengajak Syeikh Nursamad Kamba untuk berdialog bersama Pak Gatot Nurmantyo. “Semalam di maiyahan di Klaten kita menemukan sebuah kesimpulan; Alquran itu kalau diwujudkan manusia itu adalah Muhammad Saw. Sebaliknya, Muhammad Saw jika di-literasikan maka disebut Alquran,” Cak Nun menyambung paparan Pak Gatot.

Jika kita menyebut ikon, maka Al Fatihah adalah ikon dari Alquran. Rahman dan Rahim digambarkan oleh Cak Nun seandainya kita membuka hard disk, maka default drive nya adalah Rahman dan Rahim itu tadi. Sehingga, kehidupan berbangsa dan bernegara, bermasyarakat, beragama, berhubungan sosial dengan makhluk Allah, jika dilandasi dengan Rahman dan Rahim maka akan berlangsung kehidupan yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah.

“Alquran itu kalau diwujudkan manusia itu adalah Muhammad Saw. Sebaliknya, Muhammad Saw jika di-literasikan maka disebut Alquran.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juni, 2018)

Jika menyebut ikon, maka Al Fatihah adalah ikon dari Alquran. Cak Nun menggambarkan, ibarat kita membuka hard disk, maka default drive nya adalah Rahman dan Rahim. Sehingga, kehidupan berbangsa dan bernegara, bermasyarakat, beragama, berhubungan sosial dengan makhluk Allah, jika dilandasi dengan Rahman dan Rahim maka akan berlangsung kehidupan yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah.

Sebuah pertanyaan sempat muncul di Maiyah Klaten malam sebelumnya adalah, bahwa saat ini kita punya tuntunan (Alquran) tetapi kita saat ini sudah tidak memiliki panutan yang relevan dengan Alquran (Muhammad Saw). Hal itu terjadi karena Muhammad Saw tidak diakselerasi keberlanjutannya. Muhamamad Saw hanya dipahami sebatas 63 tahun usianya sebagai manusia, namun tidak dipahami bahwa ia adalah Nur Muhamamd Saw, Kekasih Utama Allah. Justru yang diakselerasi hingga sekarang ini hanyalah sebatas tafsir-tafsir menegnai Alquran yang tafsir itu diperlakukan seolah-olah itu adalah Alquran itu sendiri, padahal ia hanyalah tafsir.

Cak Nun lantas mengelaborasi Surat An Nas. Dalam Surat An Nas disebutkan bahwa Allah menampilkan dirinya dalam 3 dimensi; Rububiyah, Mulukiyah, dan Ilahiyah. Pemerintah Indonesia dapat mengutamakan pendekatan Rububiyah, baik dalam mengelola negara maupun dalam melakukan pendekatan kepada rakyat. Selama ini yang dilakukan oleh Pemerintah justru pendekatan Mulukiyah. Rububiyah berasal dari kata Robbun, asal katanya Robba Yurobbi. Secara harfiah diartikan dengan kata pengayoman, pengasuhan. Sementara Mulukiyah, itu satu akar kata dengan Malikun, artinya kekuasaan.

Syeikh Nursamad Kamba ikut berbagi, ia menjelaskan bahwa apa yang diajarkan Rasulullah Muhammad Saw sudah lebih dahulu muncul di Nusantara. Bangsa Indonesia memiliki benih-benih kasih sayang, maka tidak heran ketika musim haji tiba, jamaah haji asal Indonesia dikenal oleh jamaah haji dari negara lain sebagai jamaah haji yang paling ramah. Karena sejatinya kita sudah memiliki benih-benih kasih sayang itu.

Dijelaskan oleh Syeikh Kamba, Rasulullah Saw telah melaksanakan internalisasi diri tiga konsep agama; Islam, Iman, dan Ihsan. Islam adalah sebuah kebenaran, sementara Iman adalah sebuah kebaikan, dan Ihsan adalah hasil dari aktualisasi diri dari Islam dan Iman dalam diri Rasulullah Saw.

“Orang Nusantara ini, sudah melaksanakan Islam meskipun belum dikasih tahu tentang Islam,” Cak Nun menambahkan. Manusia Nusantra mencari sendiri bagaimana mengolah tanah, bagaimana berhubungan dengan orang lain, bersaudara satu dengan yang lain, bagaimana membangun konsep cinta tanah air dan seterusnya. “Jadi Islam dengan Jawa itu seperti tumbu ketemu tutup,” Cak Nun melanjutkan bahwa sebenarnya orang Jawa sudah mengetahui bahwa Tuhan itu Laisa kamitslihi syaiun. Dalam isitilah Jawa dikenal Gusti iku tan kinoyo opo, tan kinoyo ngopo, tan kinoyo sopo. Kemudian Islam memperkenalkan konsep Wa lam yakun lahu kufuwan ahad. Mudahnya, manusia Nusantara sudah mengenal konsep Islam, hanya kemudian Rasulullah Saw mengajarkan Islam untuk sekadar memberi sertifikat resmi bahwa apa yang diyakini oleh manusia Nusantara ini adalah konsep Islam.

Yang aneh sekarang adalah Islam dipertentangkan dengan Pancasila. Salah satu implikasinya adalah bahwa ada sebagian orang di Indonesia yang meganggap bahwa Indonesia ini tidak plural, sehingga perlu diajari konsep pluralisme, padahal bangsa Indonesia ini adalah ahlinya soal pluralisme.

“Pakaian politik terlalu cekak untuk dikenakan di Maiyah, politisi manapun kita terima di Maiyah dan kita gendong kemana-mana.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juni, 2018)

Pak Gatot lantas merespon, dengan tidak adanya Nabi yang diturunkan di Nusantara, bisa menjadi bukti bahwa bangsa ini dulu memang sudah berkualitas secara moral. Salah satu tanda turunnya Nabi di sebuah daerah adalah untuk memperbaiki akhlak manusia di wilayah itu. Maka bisa diasumsikan bahwa Bangsa Nusantara ini dulu sudah sempurna akhlaknya sehingga Allah tidak menurunkan Nabi di Nusantara.

Salah satu kearifan lokal yang ada di Jawa, dahulu setiap ada anak yang lahir, maka orang tua anak tersebut akan menanam pohon Trembesi di 4 penjuru tanah miliknya yang kelak akan diwariskan kepada anak yang lahir itu. Ketika anak itu berusia 18-20 tahun, dan hendak membangun rumah, maka dari pohon Trembesi itulah kayu yang akan mereka gunakan untuk membangun rumah.

Kearifan lokal yang lain disebutkan oleh Pak Gatot, ada banyak suku di Nusantara ini, tetapi semua memiliki satu ciri khas yang sama, yaitu setiap suku memiliki senjata. Hal ini menandakan bahwa manusia Nusantara adalah manusia yang siap untuk berperang. “Maka setiap orang Indonesia sejatinya mengalir dalam dirinya jiwa patriot dan ksatria,” lanjut Pak Gatot.

Satu hal yang juga membanggakan dari budaya manusia Nusantara adalah budaya gotong royong. Ketika terjadi bencana misalnya, tanpa ada perintah, ada banyak relawan yang hadir untuk melakukan evakuasi dan mendirikan posko-posko. Di kampung-kampung kecil, masih ditemui, ketika ada salah satu warga yang akan melaksanakan hajatan, maka warga kampung itu akan bekerjasama saling membantu untuk mensukseskan hajatan itu.

Cak Nun menambahkan apa yang disampaikan Pak Gatot, di Nusantara ini karena mayoritas adalah orang Islam, maka semua berjalan aman hingga hari ini. Pak Gatot mengamini, kemudian mencontohkan bagaimana Yugoslavia, Sudan, Uni Soviet hancur karena perbedaan-perbedaan mendasar yang tidak mampu mereka atasi sendiri. Sementara di Indonesia, kita punya beragam suku bangsa, namun persatuan dan kesatuan dapat kita jaga bersama, karena keutuhan umat Islam ini menjadi kunci.

Ditanya tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh pemimpin Indonesia, Pak Gatot menjawab bahwa seorang pemimpin itu seharusnya mencintai rakyatnya dengan segenap hati dan pikiran. Artinya, dalam hati seorang Pemimpin yang ada hanyalah rakyat. Ketika ia makan, ia berpikir apakah rakyat juga sudah makan? Ketika ia tidur, ia berpikir apakah rakyat juga merasakan istirahat yang cukup di malam hari?

Cak Nun kemudian bertanya kepada Pak Gatot tentang Sumpah Prajurit yang pertama. Pak Gatot menjawab, bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Melalui jawaban ini Cak Nun menitipkan harapan kepada Pak Gatot agar TNI segera mampu mengambil tindakan untuk mengembalikan NKRI kepada koridor yang semestinya, yaitu yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Cak Nun menginformasikan kepada Pak Gatot bahwa anak-anak Maiyah yang berkumpul ini datang atas inisiatif sendiri, berbekal hidayah Allah, tersebar di berbagai daerah di Indonesia, lahir atas kemandirian dan kesadaran bukan untuk menyaingi siapa-siapa, namun untuk menyemai benih-benih masa depan Indonesia untuk masa depan yang lebih baik. “Pakaian politik terlalu cekak untuk dikenakan di Maiyah, politisi manapun kita terima di Maiyah dan kita gendong kemana-mana,” Cak Nun memungkasi.

Kenduri Cinta dipuncaki dengan doa bersama yang dipimpin oleh Syeikh Nursamad Kamba. Kemudian secara simbolis Fahmi menyerahkan ambengan kepada Cak Nun, Ibu Via, Syeikh Nursamad Kamba dan Pak Gatot Nurmantyo dalam rangka memuncaki kesyukuran 18 tahun Kenduri Cinta.