Demokrasi Gagal Di Rumah Sendiri

TAK SEDIKITPUN nampak kekesalan yang terpendam di lubuknya pada wajah Bu Anne, justru yang nampak adalah kegembiraan. Diiringi alunan musik Jazz yang dimainkan oleh Beben Jazz dan teman-teman dari Komunitas Jazz Kemayoran membawakan lagu Route 66. Lewat tengah malam 20 Januari 2017, pada waktu yang sama di negerinya  sedang berlangsung Pelantikan Presiden yang baru. Saat itu Bu Anne merasa beruntung tidak turut menyaksikan adegan pelantikan yang sebenarnya sangat tidak diinginkan itu. Meskipun total jumlah suara Hillary Clinton mengungguli Donald Trump pada pemilu ini, namun sistem electoral threshold menguntungkan kubu Donald Trump. Ya, malam itu Bu Anne merasa ter-selamatkan dari situasi yang tidak mengenakkan dengan turut hadir dan mendapat kesempatan bernyanyi di hadapan Jamaah Maiyah Kenduri Cinta.

Gelombang unjuk rasa yang menolak pelantikan presiden Amerika Serikat yang baru memberikan gambaran situasi politik yang sedang dihadapi masyarakat dunia, khususnya warga negara Amerika Serikat saat ini. Hasil Pemilu Presiden sebagai produk sistem demokrasi yang diagung-agungkan warga negara Amerika Serikat, kali ini memberikan kekecewaan lebih banyak pihak. Namun dengan kejadian ini, menjadi pelajaran bagi masyarakat dunia mengenai situasi yang sedang terjadi dan kondisi hubungan Internasional yang akan terjadi. Ruang kelas besar bagi bangsa Amerika baru saja dimulai, namun bagi kehidupan di dunia, ini hanyalah cerita yang berulang-ulang. Keinginan, keyakinan, perencanaan, usaha, kenyataan, kekecewaan atau-pun kegembiraan terhadap pencapaian, hanya berkutat antara unjuk rasa yang mengekspresikan optimis dan pesimis.

Dan mungkin jika Hillary Clinton yang menjadi pemenang pemilu ceritanya akan berbeda, masyarakat dunia akan semakin hanyut dalam mimpi semu peradaban dunia yang sedang disusun oleh mereka sendiri. Dengan hasil sebaliknya, mata-mata dunia terbuka, terbangun dari tidur yang lelap. Orang-orang kembali pada kehidupan nyatanya, tersadar untuk segera berusaha berenang dengan kaki-tangan dan kemampuannya sendiri ditengah arus Global-Konsumerisme. Pada palung zaman ini, kapal-kapal kelembagaan apapun bentuk wujud dan besar kecilnya akan hancur jika tidak mampu memperkuat integritasnya. Organisasi perusahaan akan hancur jika individu-individunya mementingkan kepentingan dirinya sendiri diatas kepentingan usaha bersama,  begitu pun negara akan hancur jika nasionalisme bangsanya justru tergadai oleh urusan sektoral-golongan. Mungkin ini yang dapat jadi bahan renungan untuk memahami hasil kemenangan Trump atas Hillary.

Tidak dapat dipungkiri, Demokrasi pada kondisi idealnya sekalipun tidak akan mampu menghasilkan hasil yang dapat memenangkan semua pihak. Akan ada pihak pemenang dan pihak yang kalah. Padahal persoalannya bukan hanya pada menang kalahnya. Persoalannya bagaimana supaya aspirasi rakyat atau warga negara dan distribusi sumberdaya dapat tersalurkan dengan baik. Lagi-lagi urusan klasik yang mengganggu hubungan sosial yang jadi masalah, ego kepemilikan. Jika ego kepemilikan itu yang dikedepankan, sistem atau-pun tatanan sosial hanya akan dijadikan oleh mereka sebagai alat kepenguasaan untuk menumpuk kepemilikan.

Sejak zaman anak-anak Adam AS hingga sekarang, ego kepemilikan selalu saja menjadi permasalahan yang memecah kebersamaan. Tatanan sosial berupa organisasi komunal primitif hingga tatanan negara modern sekalipun hanya akan dimanfaatkan oleh para perakus untuk kepentingan dirinya sendiri.

Sisi baiknya, kesadaran kita muncul bahwa ada yang tidak beres dengan apa yang sedang terjadi dengan Demokrasi yang saat ini menjadi kiblat sistem politik di dunia. Namun,untuk menggantikan sistem demokrasi dengan sistem baru yang masih belum teruji hanya akan menambah buruk keadaan. Tindakan ceroboh untuk membuat revolusi atau sekedar menggulingkan rezim suatu pemerintahan bisa jadi sia-sia jika kemudian hanya dijadikan sebagai alat kekuasaan baru untuk menggantikan kekuatan yang lama.

Belajar dari sejarah panjang kehidupan manusia, dari zaman berburu, berladang, hingga menjadi bersuku-suku bangsa, terbentuknya kerajaan-kerajaan hingga menjadi negara-negara yang kini eksistensinya sudah mulai tenggelam oleh Pasar Globalisasi, belajar dari itu semua dapat ditarik benang penghubungnya adalah mengenai faktor ekonomi, yaitu pemenuhan dan kepemilikan komoditas-komoditas untuk memenuhi kebutuhan. Kompleksitas kebutuhan menjadikan evolusi organisasi masyarakat menjadi semakin kompleks, manusia berusaha mengembangkan usahanya bersama dengan berbagai macam kesepakatan aturan yang mengikat hubungan diantara mereka. Jika itu terbentuk atas keinginan untuk saling berbagi dan bersedia bekerjasama untuk kehidupan bersama tidak menjadi masalah, namun jika yang terjadi adalah ketidak percayaan diantara mereka, organisasi hanya akan dijadikan alat untuk menguasai anggota organisasi tersebut.

Beruntunglah kita oleh Cak Nun dibukakan pintu gerbang untuk memasuki Maiyah. Didalamnya kita dapat benar-benar menjalani kehidupan ini sebagai suatu bulatan utuh yang berada dalam segitiga cinta; Allah SWT, Rasulullah SAW dan kita sebagai hambanya. Kesadaran bahwa Pemilik Tunggal saham kehidupan hanyalah Allah SWT menjadikan ego kepemilikan kita menjadi mentah. Kekayaan dan berbagai pencapaian usaha dalam urusan dunia sekedar proses distribusi dimana kita diperankan sebagai titik distribusi dalam rangkaian panjang Rahmat Allah Swt kepada setiap makhluk. Di Maiyah, keberadaan organisasi masyarakat baik itu berupa perusahaan yang menyangkut urusan ekonomi ataupun organisasi berupa negara yang mengelola urusan bangsa, pada dasarnya organisasi-organisasi itu sebatas bertujuan untuk menjadi alat distribusi Rahmat dari Allah Swt. Yang dapat kita lakukan sebagai organisme yang diaktorkan dalam prosesi distribusi itu ialah meniru prilaku Rasulullah SAW dalam mendistribusikan Rahmat Allah dalam bentuk apapun yang melalui kita supaya menjadi berkah bagi semesta alam yang berada disekeliling kita.