DEFORMASI INFORMASI

Reportase Kenduri Cinta Juni 2016 

BULAN JUNI 2016, Kenduri Cinta genap enam belas tahun. Sebuah perjalanan yang tidak sebentar, dan perlu disyukuri atas keistiqomahan yang sudah dijalani selama ini. Ungkapan syukur perjalanan Kenduri Cinta tahun ini terasa spesial karena bertepatan dengan bulan ramadan. Berbagai ucapan atas enam belas tahun Kenduri Cinta mengalir deras dari para nitizen di dunia maya. Bulan ini, Kenduri Cinta mengangkat tema Deformasi Informasi, sejalan dengan pattern yang sudah terbangun sejak lama bahwa Maiyah bukanlah ajang unjuk kebenaran tentang sebuah pengetahuan, melainkan sebagai wadah untuk bersama-sama mencari kebenaran.

Tepat pukul sembilan malam, setelah diawali dengan Doa Tahlukah dan Wirid Wabal, penggiat Kenduri Cinta mengajak seluruh jamaah untuk membaca doa bersama-sama untuk kesembuhan Syeikh Nursamad Kamba, salah satu Dzat Maiyah yang saat ini sedang dalam tahap penyembuhan pasca dirawat di rumah sakit beberapa waktu lalu.

Tri Mulyana dan Fahmi Agustian mengawal diskusi sesi prolog bersama Adi Pudjo, Ali Hasbullah, dan Hendra Kusuma.

Dalam mengantarkan sesi prolog, Tri Mulyana flashback perjalanan enam belas tahun Kenduri Cinta, mulai dari kiprah perjalanan Cak Nun di Jakarta, terbentuknya HAMAS (Himpunan Masyarakat Shalawat), juga mengenai sebuah program disalah satu televisi swasta yang bertajuk “Gardu”, Cak Nun membuat program tersebut dengan format talkshow yang santai, layaknya obrolan di sebuah gardu, pada saat itu program talkshow belum booming dan diminati oleh televisi seperti sekarang ini. Bisa disebut, program “Gardu” merupakan pionir acara talkshow di televisi Indonesia. Beberapa member aktif di milis Padhangmbulan Net selalu hadir dalam proses tapping acara tersebut. Dari obrolan-obrolan ringan bersama Cak Nun saat itu, mereka menginisiasi lahirnya sebuah forum seperti pengajian Padhangmbulan di Menturo, Sumobito, Jombang. Idenya saat itu sangat sederhana, menghadirkan PadhangmBulan di Jakarta. Hingga akhirnya Cak Nun sendiri yang memberikan nama Kenduri Cinta. Setelah beberapa proses, dipilihlah Taman Ismail Marzuki sebagai tempat dilaksanakannya Kenduri Cinta.

Menambahkan apa yang disampaikan oleh Tri, Fahmi menjelaskan bahwa Kenduri Cinta yang berjalan selama enam belas tahun ini merupakan sebuah komunitas non profit dan setiap bulannya melaksanakan agenda rutin forum yang sangat cair, egaliter, dan menerima semua lapisan masyarakat tanpa ada kepentingan tertentu. Dengan konsep seperti ini, Kenduri Cinta membuktikan bahwa tanpa memiliki kepentingan yang sifatnya material, Kenduri Cinta ternyata mampu bertahan dengan setia hingga hari ini. Dari segi kuantitas yang hadir, pada jumat kedua setiap bulannya, pelataran Taman Ismail Marzuki selalu dipenuhi oleh mereka yang sudah menemukan kerinduan di Kenduri Cinta, yakni orang-orang yang merasa eman apabila tidak hadir.

Semua yang hadir sangat berdaulat dan merdeka untuk memetik ilmu yang mana saja yang muncul di Kenduri Cinta. Semua informasi yang ada di Kenduri Cinta tidak terbatas pada satu ruang yang tersekat, tetapi justru membuka cakrawala yang lebih besar dimana di dalamnya terdapat banyak sekali pintu-pintu ilmu. Jamaah yang hadir pun tidak diikat melalui suatu registrasi dalam bentuk apapun. Tidak ada paksaan bagi jamaah untuk hadir di Kenduri Cinta, tidak ada pendaftaran, tidak ada uang pangkal atau iuran, tidak ada kartu anggota, bahkan Kenduri Cinta juga tidak menawarkan visi-misi apapun kepada jamaah yang hadir –apalagi kepada yang tidak hadir.

“Kenduri Cinta diharapkan menjadi satu media yang kelak melahirkan generasi-generasi pemimpin yang baru, yang benar-benar mampu menyelamatkan dan mengamankan rakyatnya.”
Adi Pudjo, Kenduri Cinta (Juni, 2016)

MENSYUKURI ENAM BELAS TAHUN

ADI PUDJO merupakan salah satu inisiator Kenduri Cinta bersama beberapa member aktif milis Padhangmbulan Net yang muncul pasca Reformasi, Mei 1998. Satu hal yang patut diteladani dari dirinya adalah kesetiaan dan istiqomah mengawal Kenduri Cinta sejak awal hingga saat ini, ia bahkan aktif di forum Reboan Kenduri Cinta yang setiap rabu malam dilaksanakan di Teras Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuk. Bahkan, ketika lokasi Reboan harus dipindah karena beberapa hal teknis, ia tetap hadir. Menyambung apa yang disampaikan oleh Tri sebelumnya, Adi Pudjo membenarkan bahwa alasan utama Kenduri Cinta lahir karena di saat itu teman-teman merasa membutuhkan sebuah wadah untuk bersilaturahmi satu sama lain.

Dengan bersilaturahmi, salam yang kita ucapkan di setiap pertemuan, tidak lain dan tidak bukan memiliki maksud untuk saling menyelamatkan dan mengamankan satu sama lain. Cak Nun beberapa kali menjelaskan bahwa dalam Islam setidaknya ada 3 hal yang menjadi concern utama untuk saling diamankan, yaitu harta, nyawa, dan martabat. Adi sendiri mengatakan bahwa dirinya tidak begitu yakin bahwa negara dan pemerintah saat ini mampu menyelamatkan dan mengamankan rakyatnya, termasuk kita. Sehingga, Kenduri Cinta diharapkan menjadi satu media yang kelak melahirkan generasi-generasi pemimpin yang baru, yang benar-benar mampu melakukan hal itu terhadap rakyatnya.

Menambahkan Adi Pujo, Ali Hasbullah menganggap bahwa Kenduri Cinta merupakan sebuah oase ditengah gersangnya ibukota yang penuh kapitalisme, dalam artian dimana hampir seluruh kehidupan di Jakarta saat ini berorientasi pada materialisme dunia. Dengan adanya Kenduri Cinta di Jakarta merupakan satu bentuk mata air yang menyejukkan bagi siapa saja yang hadir. Sebuah forum yang bagi Ali merupakan pengingat terhadap hal-hal sangat mendasar dalam kehidupan kita sehari-hari.

Ali Hasbullah, yang sudah sekitar 7 tahun lebih bergabung di Kenduri Cinta, kemudian mengenang satu momen ketika usai mengikuti Kenduri Cinta ia pulang ke rumah bersama Adi Pudjo. Dalam perjalanan itu Ali bertanya kepada Adi, “Apa sebenarnya manfaat kita ber-Maiyah di Kenduri Cinta?”, Adi Pudjo saat itu menjawab, “Paling tidak saya ini mendukung nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Cak Nun”. Itu adalah satu jawaban singkat yang hingga hari ini sangat menancap di dalam ingatan Ali. Jawaban singkat itu adalah jawaban yang begitu sederhana dari sebuah pertanyaan yang juga sebenarnya sederhana, tetapi orang lain seringkali memaknainya sebagai sebuah pertanyaan yang memerlukan jawaban sangat serius. Seperti juga pertanyaan yang sering dilontarkan kepada Cak Nun tentang tujuan Cak Nun ber-Maiyah dimana-mana, yang dihadiri oleh ribuan orang, dan seringkali dianggap sedang membangun kekuatan politik untuk tujuan politis tertentu. Dengan sangat mudah Cak Nun menjawab pertanyaan itu secara singkat, “Tujuannya ya Maiyahan seperti ini”. Jawaban itu tentu kerap tidak memuaskan orang-orang yang bertanya.

Di Maiyah, salah satu hal utama yang menjadi topik pembahasan adalah mengembalikan pemahaman masyarakat kebanyakan terhadap sesuatu hal yang seharusnya disikapi dengan sederhana namun saat ini telah begitu rumit ditanggapi. Di Maiyah Cak Nun begitu sederhana dalam menjelaskan banyak hal. Dalam bidang agama misalnya, Cak Nun dengan sangat sederhana menjelaskan apa itu Iman, Islam, Ihsan, Muslim, Mu’min, Muhsin. Juga, persoalan-persoalan yang menyebabkan pertikaian sesama muslim seperti bid’ah, syirik, kafir, halal, haram dan lain sebagainya. Semua itu dengan sangat sederhana bisa dijelaskan oleh Cak Nun. Demikian pula tentang politik, di Maiyah sendiri Cak Nun menjelaskan perbedaan antara Negara dan Pemerintah, bahkan tentang perbedaan antara Negara dengan Negeri melalui penjelasan yang sangat sederhana.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Yang dilakukan Maiyah adalah menanam dan terus menanam. Kita tidak perlu menagih kepada Allah kapan tanaman Maiyah ini akan panen, karena bisa jadi ini merupakan investasi kita bagi generasi yang akan datang.”
Ali Hasbullah, Kenduri Cinta (Juni, 2016)

ALI HASBULLAH kemudian mengingat kembali satu eksperimen di Jepang yang pernah diceritakan oleh Sabrang. Dalam eksperimen yang dilakukan bertahun-tahun itu, monyet salju yang menjadi objek eksperimen mampu menciptakan satu kesadaran kolektif dari satu percobaan yang bertujuan untuk merubah kebiasaan monyet salju. Percobaan yang dilakukan adalah dengan cara melemparkan kentang manis, tetapi kentang tersebut dilemparkan ke pasir sehingga kotor.

Pada awalnya tidak ada satupun monyet yang memiliki ide untuk membersihkan kentang tersebut, sehingga ketika mereka memakannya terasa tidak enak. Namun, satu ketika ada satu monyet yang menemukan ide untuk membersihkan dulu kentang yang penuh dengan pasir itu, yaitu dengan mencucinya di laut. Cara itu kemudian ia tularkan kepada induknya dan monyet-monyet di sekitarnya. Selanjutnya, Critical Mass­ dari eksperimen itu, bahwa sekumpulan monyet yang berada di pulau lain yang tidak menjadi objek eksperimen tersebut pada saat diberi kentang yang dilemparkan di atas pasir ternyata memiliki pula cara yang sama dengan apa yang dilakukan oleh monyet yang menjadi bahan eksperimen, yaitu dengan mencucinya di laut. Dan, inilah wujud dari kesadaran kolektif.

Dari eksperimen ini, Ali menjelaskan bahwa yang kita lakukan bersama-sama di Maiyah bukan dalam rangka menjadi padatan-padatan berupa lembaga atau partai politik, melainkan berusaha untuk menjadi pihak yang melahirkan kesadaran-kesadaran baru dalam berbangsa dan bernegara. Kita semua memiliki harapan yang sama agar generasi mendatang tidak mengalami kerusakan-kerusakan yang kita alami hari ini. Tidak masuknya kita di dalam wilayah pemerintahan bukan menjadi penghalang untuk menciptakan perubahan. Kita sangat mampu menciptakan perubahan, setidaknya dalam skala yang paling kecil yakni diri dan keluarga kita sendiri, sehingga secara perlahan akan terwujud kesadaran kolektif seperti yang dialami oleh monyet tadi.

Cak Nun sering menyampaikan bahwa tugas utama seorang petani adalah menanam dan terus menanam. Bahwa, apa yang ia tanam nanti akan menghasilkan panen atau tidak, itu merupakan hak prerogatif Allah. Pun demikian di Maiyah, dengan bermaiyah setiap bulan, dimana kini sudah terdapat 31 simpul yang mewarnai Maiyah saat ini, yang dilakukan adalah menanam dan terus menanam. Kita tidak perlu menagih kepada Allah kapan tanaman Maiyah ini akan panen, karena bisa jadi ini merupakan investasi kita bagi generasi yang akan datang.

Hendra Kusuma, yang sudah memasuki tahun keenam bergabung di Kenduri Cinta, pada awalnya tidak mengetahui apa itu Maiyah. Yang ada dalam pikirannya adalah datang ke Kenduri Cinta dan ia ingin bertemu dengan Cak Nun, yang dirasa pemikirannya bertentangan dengan apa yang selama ini ia pelajari. Hendra yang saat itu belum terbiasa untuk Maiyahan hingga dinihari, ketika pertama datang di Kenduri Cinta tidak sempat menyimak pemaparan Cak Nun karena saat itu staminanya belum terbiasa. Ia pun memutuskan untuk pulang terlebih dahulu menjelang pukul 12 malam. Kemudian, bulan selanjutnya, baru ia merasakan asyiknya ber-Maiyah, sehingga mulai menemukan kenikmatan bertahan hingga akhir acara.

Satu hal yang diingat oleh Hendra saat itu, menyambung tema Kenduri Cinta kali ini, adalah kata-kata Cak Nun yang menuturkan meski kita saat ini mendapatkan asupan informasi sedemikian banyak, baik dari media massa cetak maupun elektronik, bukan berarti kita menguasai informasi dan justru sebenarnya kita dalam posisi dikuasai oleh informasi. Paparan Cak Nun saat itu semakin membuat Hendra gelisah dan merasa bahwa apa yang selama ini ia pelajari di bangku kuliah menjadi batal.

“Di Maiyah sangat mungkin kita mengambil satu kunci atau satu ilmu, kemudian kita implementasikan dalam hal sekecil apapun yang kita mampu; kesetiaan serta konsisten.”
Hendra W Kusuma, Kenduri Cinta (Juni, 2016)

BERBICARA TENTANG kesetiaan, Hendra menceritakan tentang beberapa orang dari Jamaah Maiyah yang tidak hanya konsisten hadir di setiap Maiyahan, tetapi juga sangat konsisten dalam hal-hal yang sangat detail. Mereka konsisten hadir di awal, konsisten menempati tempat duduk di tempat yang sama, konsisten dengan peran yang sudah ia pilih. Di Kenduri Cinta ada seorang ibu yang sudah berusia senja yang selalu hadir sejak awal bahkan sebelum acara dimulai, selalu menempati di pojok yang biasa ia tempati. Seperti ibu itu, Hendra juga memiliki konsistensi yang sama dalam soal tempat duduk. Selanjutnya, setelah ia menemukan kegembiraan dalam ber-Maiyah, beberapa kali ia turut hadir di forum-forum Maiyahan di kota lain seperti; Mocopat Syafaat di Yogyakarta dan PadhangmBulan di Jombang, Hendra pun mengungkapkan bahwa di forum yang lain ada saja orang-orang yang sangat konsisten selalu hadir, dan memiliki keunikannya tersendiri, misalnya seakan mereka memiliki tempat duduknya sendiri untuk menikmati Maiyahan, bahkan ada yang menyiapkan “ritual” khusus sebelum hadir di Maiyahan, semua itu sebagai bentuk pencarian dan penemuan setiap individunya masing-masing yang tidak dapat kita larang.

Sepintas, konsistensi seperti itu merupakan hal yang sangat remeh, tetapi di Maiyah justru konsistensi seseorang merupakan satu hal yang layak dan sangat patut untuk diapresiasi. Sangat mungkin mereka-mereka ini mengambil satu kunci atau satu ilmu dari Cak Nun dan mereka implementasikan dalam hal sekecil apapun yang mereka mampu; kesetiaan, konsistensi.

Satu kegembiraan yang Hendra sendiri rasakan di Kenduri Cinta adalah bahwa semua yang hadir dibebaskan untuk mengambil ilmu yang mana saja yang tersaji. Ia begitu meresapi bahwa Kenduri Cinta memiliki sebuah tagline, Menegakkan Cinta menuju Indonesia Mulia. Tagline tersebut bukan dimaknai oleh Hendra sebagai sebuah semboyan atau motto dari Kenduri Cinta, yang kemudian menjadi satu tujuan akhir yang harus dicapai, tetapi Hendra sendiri memahami bahwa tagline tersebut bebas dimaknai apa saja oleh semua jamaah yang hadir, termasuk oleh ia sendiri.

“Disini tempat mencari ilmu, bukan tempat mengadu ilmu,” Hendra melanjutkan apa yang disampaikan oleh Ali, tetapi yang dilakukan adalah bersama-sama mencari ilmu dan mencari kebenaran.

Tri mempersilahkan dua orang dari jamaah untuk memberikan respon terkait pemaparan awal yang disampaikan pada sesi prolog. Abadi Basyir, salah seorang dari Depok yang sudah mengikuti Kenduri Cinta sejak tahun 2000, bahkan ia juga mengikuti agenda Cak Nun di Jakarta saat itu. Abadi Basyir mengakui bahwa Kenduri Cinta dan Maiyah memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam kehidupan pribadinya. Setelah sedikit bercerita tentang pengalamannya menghadiri Ihtifal Maiyah bulan lalu di Menturo, Abadi Basyir melontarkan satu pertanyaan tentang bagaimana agar teman-teman yang sudah sering menghadiri Kenduri Cinta dan forum Maiyahan saat ini mampu ikut berpartisipasi menyebarkan nilai-nilai Maiyah. Satu hal yang diungkapkan oleh Abadi misalnya apabila ingin membuat sebuah forum seperti Kenduri Cinta ini, apakah ada aturan main yang sudah ditetapkan oleh Kenduri Cinta atau oleh Rumah Maiyah di Kadipiro, misalnya?.

Abadi Basyir melihat kondisi Cak Nun yang saat ini berusia 63 tahun tentu sudah saatnya bagi jamaah Maiyah untuk ikut memikirkan bagaimana agar metode dakwah Maiyah yang digunakan oleh Cak Nun bisa terus berlangsung, dan siapa lagi jika bukan jamaah Maiyah sendiri yang menjaganya tetap ada.

Cahyo, salah seorang jamaah asal Semarang yang hampir selalu hadir di Kenduri Cinta setiap bulannya mengungkapkan betapa bahagianya merasakan suasana sebuah forum yang sama sekali tidak ada kepentingan apapun didalamnya. Di Kenduri Cinta ia merasakan satu atmosfer kebersamaan untuk belajar bersama dan menemukan alternatif wacana dalam berpikir yang sangat jauh berbeda dari pemikiran orang-orang kebanyakan saat ini. Satu hal yang sangat dicatat oleh Cahyo adalah bahwa di Kenduri Cinta ia menemukan satu metode untuk berani dan mampu menomorduakan materi. Bagi Cahyo sendiri, materi duniawi hanyalah satu puzzle dari sekian kepingan puzzle yang harus dilengkapi satu sama lain, dan di Kenduri Cinta inilah ia menemukan bagaimana menggabungkan puzzle-puzzle itu. Dengan berpikir secara siklikal seperti yang diperkenalkan oleh Cak Nun di Kenduri Cinta, Cahyo merasakannya sebagai salah satu ilmu yang hingga saat ini ia pegang teguh. Dengan cara berpikir seperti itu, membuatnya mampu melihat persoalan dari berbagai sudut, bukan hanya dari satu sudut saja.

Merespon pertanyaan dari Abadi Basyir, Fahmi menjelaskan bahwa hingga saat ini jumlah Simpul Maiyah yang tercatat resmi di Rumah Maiyah Kadipiro dan berada dibawah koordinasi ISIM Maiyah berjumlah 31 Simpul. Sebelumnya, dalam pertemuan Silaturahmi Nasional Penggiat Simpul Maiyah di Magelang akhir tahun 2015 lalu tercatat ada 19 Simpul Maiyah. Artinya, ada peningkatan jumlah yang cukup signifikan hanya dalam rentang waktu 6 bulan saja. Fahmi menekankan bahwa bukan kuantitas jumlah simpul yang semakin banyak yang harus dicapai sehingga orang beramai-ramai menginisiasi lahirnya satu forum baru Maiyah. Tetapi, yang harus kita lakukan adalah bagaimana istiqomah menjaga sebuah forum yang ada ini untuk terus menebarkan nilai-nilai Maiyah, untuk itulah kita mesti ijtihad bersama-sama. Jika memang suatu saat nanti, atas berbagai pertimbangan dan perhitungan yang menyeluruh bahwa harus lahir sebuah forum yang baru, itu harus disikapi sebagai bentuk ijtihad yang lain. Dan, yang ditawarkan oleh Kenduri Cinta salah satunya adalah ijtihad bersama di forum Reboan.

Dengan banyaknya forum Maiyahan saat ini, semangat yang harus ditumbuhkan adalah menjalin silaturahmi satu sama lain. Jika berada di Jakarta, maka kita nyambung dengan Kenduri Cinta, jika di Surabaya kita menyambung ke BangbangWetan, jika di Semarang kita srawung dengan Gambang Syafaat, jika ke Yogyakarta kita akrab dengan Mocopat Syafaat, dan sudah pasti mercusuar Maiyah dan juga ibu Maiyah yang berada di Jombang, yakni PadhangmBulan. Dengan begitu, bersama-sama kita menghidupkan silaturahmi satu sama lain dengan simpul-simpul Maiyah yang ada saat ini terlebih dahulu, bukan justru berlomba-lomba untuk melahirkan simpul-simpul yang baru.

“Untuk menyebarkan nilai-nilai Maiyah tidak harus dengan menyelenggarakan sebuah forum diskusi yang dihadiri oleh banyak orang. Menyebarkan nilai-nilai Maiyah bisa dilakukan dengan hal yang sangat sederhana; ketika ngobrol di warung kopi, melalui tulisan-tulisan ringan di media sosial atau blog pribadi, dan lain sebagainya.”
Fahmi Agustian, Kenduri Cinta (Juni, 2016)

DALAM MOCOPAT SYAFAAT beberapa bulan yang lalu Cak Nun memberikan beberapa pointer yang sangat penting terkait Maiyah. Pertama, mentadabburi ayat Al Qur’an Surat Ibrahim ayat 24; Alam taro kaifa dhoroballahu matsalan kalimatan thoyyibatan kasajarotin thoyyibatin ashluhaa tsabituu wa far’uhaa fi-s-samaa’i. Tidaklah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan bahwa kalimat yang baik itu seperti pohon yang baik, akarnya kuat (menghujam di bumi) dan cabangnya menjulang ke langit. Kedua, frame yang harus dibangun lebih dahulu bahwa tidak ada Maiyah pun kita tidak masalah, maka ketika Maiyah harus ada dan kemudian Maiyah itu ada maka harus kita pelajari benar-benar apa itu Maiyah, dimana akarnya dan dimana cabangnya seperti yang diumpamakan oleh Allah dalam surat Ibrahim tadi. Sehingga kitapun dapat berhitung benar tentang Maiyah. Yang juga paling penting disampaikan oleh Cak Nun saat itu adalah tentang bagaimana jamaah Maiyah mampu mengolah Maiyah menjadi manfaat untuk kebaikan bersama, sehingga yang dituntut di Maiyah adalah ijtihad yang selalu bertambah.

Jamaah Maiyah sudah terlatih bahwa duduk menekun dalam satu forum Maiyahan selama 7-8 jam bukan sesuatu yang berat, hal itu merupakan satu bentuk mujahadah. Ketika hal itu sudah semakin terbiasa, maka yang harus dilakukan adalah ijtihad. Cak Nun saat itu menekankan bahwa jika suatu saat nanti Allah memang memerintahkan Maiyah menjadi satu organisasi yang padat, maka itu akan kita lakukan. Tetapi, selama perintah itu belum ada, maka kita harus berhitung benar sehingga apa yang kita lakukan di Maiyah sanggup memberikan manfaat bagi orang banyak di sekitar kita. Cak Nun saat itu menekankan bahwa beliau tidak ingin Maiyah mengalami kebuntuan-kebuntuan seperti apa yang dialami oleh masyarakat saat ini. Satu contoh yang sangat jelas kita melihat bagaimana Islam dikotak-kotakkan oleh berbagai pihak; Islam Sunni, Islam Syi’ah, Islam Nusantara dan berbagai macam versi Islam yang lainnya yang salah satu efeknya justru membuat ummat Islam bertikai satu sama lain.

Saat itu, Cak Nun bahkan dengan tegas menyampaikan kepada Ibrahim yang hadir di Mocopat Syafaat bahwa yang dibutuhkan dari Kenduri Cinta dan simpul-simpul lainnya bukanlah petaninya melainkan bagaimana kebunnya itu bermanfaat bagi orang yang datang ke Kenduri Cinta. Seperti kita ketahui, bahwa Kenduri Cinta dihadiri oleh hampir semua segmen lapisan masyarakat dari berbagai latar belakang pendidikan, pekerjaan, agama, suku, organisasi bahkan aktifis parpol dan LSM pun turut hadir di Kenduri Cinta. Lantas, bagaimana cara menjaga Kenduri Cinta agar istiqomah dan setia menampung semuanya, itulah yang harus diijtihadi oleh penggiatnya, bahkan bergantinya penggiat bukan menjadi satu persoalan besar karena forum akan berjalan secara otomatis.

Fahmi menambahkan bahwa untuk menyebarkan nilai-nilai Maiyah tidak harus dengan menyelenggarakan sebuah forum diskusi yang dihadiri oleh banyak orang. Menyebarkan nilai-nilai Maiyah bisa dilakukan dengan hal yang sangat sederhana; ketika ngobrol di warung kopi, melalui tulisan-tulisan ringan di media sosial atau blog pribadi, dan lain sebagainya.

Menambah penjelasan Fahmi, Adi menjelaskan bahwa jika semangat yang dibangun adalah semangat menyampaikan nilai, maka yang lebih dulu dipertanyakan kepada kita apakah nilai yang disampaikan oleh Cak Nun sudah sampai kepada kita atau belum. Adi kembali menekankan bahwa Cak Nun saat ini tidak lagi dalam rangka menyediakan mangga yang sudah dikupas dan diiris yang tinggal kita makan, melainkan berupa pelok alias biji mangga. Maka yang menjadi tantangan bagi Jamaah maiyah untuk berijtihad adalah bagaimana mengolah biji mangga itu untuk kemudian ditanam di ladang kita masing-masing, yang belum tentu kita akan merasakan panennya dalam waktu dekat.

“Ada nggak yang mau menanam pelok ini? Atau kita memang hanya mau jadi pihak yang konsumtif saja, memakan buah mangganya? Sebenarnya disitu kuncinya,” lanjut Adi. “Di Kenduri Cinta inilah kita mesti terus mengolah rasa dan mengolah pikir sehingga apa yang ada disini, nilai-nilai Maiyah yang ada disini, bisa sampai ke semua yang hadir disini”.

Apa saja yang kita dapat di Kenduri Cinta kita tulis, kemudian kita publikasikan di media yang mampu kita jangkau dan mampu kita manfaatkan. Semangat menanam dan terus menanam ini yang harus kita perjuangkan dan harus istiqomah. Dengan menulis, mungkin hari ini belum kita rasakan manfaatnya, tetapi kelak itu akan menjadi satu warisan yang berharga bagi generasi setelah kita, dan tentu saja tidak hanya menjadi amal jariyah bagi kita, apa yang kita tuliskan tentang Maiyah tentu juga akan menjadi amal jariyah bagi Cak Nun, guru kita di Maiyah ini.

Sejenak memberikan jeda sebelum memasuki diskusi sesi pertama, teman-teman dari Deavies Sanggar Matahari turut bergabung. Deavies Sanggar Matahari adalah salah satu komunitas Musikalisasi Puisi yang di awal kemunculan Kenduri Cinta turut menemani perjalanan Kenduri Cinta, pada bulan Februari tahun 2005, mereka terlibat dalam program rehabilitasi Bencana Tsunami Aceh, dan dalam satu episode bahkan Deavies Sanggar Matahari disupport oleh Cak Nun dalam program tersebut. Bisa dikatakan, Deavies Sanggar Matahari bukanlah kerabat baru bagi Kenduri Cinta, dan momentum 16 tahun Kenduri Cinta kali ini adalah momentum dimana Deavies Sanggar Matahari kembali pulang ke rumahnya sendiri, Kenduri Cinta.

Deavies Sanggar Matahari merupakan Komunitas Musikalisasi Puisi yang terdiri dari 5 bersaudara kakak-beradik; Dedie, Ane, Devi, Denie, Herie dan Irma. Deavies Sanggar Matahari setelah sekian lama mengabdikan diri mereka dalam dunia sastra di Indonesia melalui Musikalisasi Puisi di “Jalan Sunyi”, jauh dari hiruk pikuk pemberitaan media massa. Penampilan Deavies Sanggar Matahari di 16 Tahun Kenduri Cinta diawali dengan satu puisi karya Emha Ainun Nadjib yang berjudul Akan Kemanakah Angin.

Dengan petikan gitar, pukulan ketipung, tiupan suling hingga gesekan biola hasil aransemen yang khas mereka kemudian membawakan nomor-nomor musikalisasi puisi selanjutnya secara berurutan, mulai dari Do’a karya Taufiq Ismail, Sebelum Maut Itu Datang Ya Allah karya Hamid Jabbar, Inilah Cinta karya Jalaludin Rumi, Padamu Jua karya Amir Hamzah dan Musik Alam Tentang Kedamaian karya ayah mereka sendiri, Fredi Arsi.

“Kenduri Cinta dari jamaah yang luar biasa, terbina, terjaga, ini bukan sekedar forum, ini tentang bagaimana membangun peradaban, bagaimana menjaga nilai-nilai, menjaga kejujuran, menjaga kesetiaan. Itu yang saya lihat dari Kenduri Cinta,” demikian Irma Komala menyampaikan kesannya terhadap Kenduri Cinta. Deavies Sanggar Matahari sendiri diakui oleh 6 bersaudara ini sudah memantapkan hati untuk mengambil jalan sunyi yang jauh dari hirup pikuk industri dan popularitas. Dengan setia mereka mencoba membangun persaudaraan dan nilai-nilai melalui puisi, bahkan sejak tahun 1990 mereka sudah melakukan tour ke berbagai kota di Indonesia.

“Ketika kesadaran kemerdekaan dalam satu komunitas atau satu community lahir, maka mereka akan melakukan perlawanan terhadap satu bentuk penjajahan, sehingga lahirlah sebuah Revolusi menuju kemerdekaan.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Juni, 2016)

DEFORMASI INFORMASI

SETELAH PENAMPILAN Deavies Sanggar Matahari, Tri mempersilahkan Ust Noorshofa dan Sabrang bergabung di panggung bersama Ali. Tri bersama Fahmi lalu kembali memoderasi diskusi.

Sebagai salah seorang praktisi di bidang TI (Teknologi Informasi), Ali diminta oleh Tri untuk sedikit menjelaskan kondisi inovasi teknologi informasi saat ini.

Sebelum Ali menjelaskan lebih jauh bagaimana Artificial Intelligence atau yang biasa disebut sebagai kecerdasan buatan, ia mengawali dengan memberi paparan tentang Revolusi Industri yang saat ini sudah menapaki Revolusi Industri Tahap 4, yang sebelumnya sudah dibahas pada Mukadimah Kenduri Cinta bulan ini. Berbicara tentang Revolusi Industri Tahap 4, tidak mungkin dilepaskan dari inovasi Teknologi Informasi, dimana salah satunya adalah kecerdasan buatan. Artificial Intelligence yang diciptakan oleh Google terakhir kali bahkan mampu mengalahkan salah seorang pemain handal di China dalam permainan GO. GO Merupakan salah satu permainan asah otak yang penentuan langkanya lebih rumit dari catur. Sebelumnya, juara dunia catur sudah pernah dikalahkan oleh komputer pada tahun 1997. Ketika kecerdasan buatan yang diciptakan oleh Google sanggup mengalahkan seorang top player permainan GO di China, ini dianggap sebagai tonggak perubahan terbaru di dunia Teknologi Informasi saat ini.

Hampir semua aktifitas manusia saat ini sudah mulai diadaptasi dalam teknologi yang sifatnya berupa otomasi sistem. Tentu saja inovasi kecerdasan buatan ini akan mengancam manusia, karena dengan semakin banyak inovasi di bidang ini, maka tenaga manusia pada saatnya nanti akan tersingkirkan oleh teknologi. Di lain pihak, kecepatan internet saat ini sudah mencapai level 4G atau seringkali disebut dengan istilah LTE. Di beberapa kota-kota besar di Indonesia saat ini sudah dapat menikmati layanan jaringan 4G, bahkan tahun 2020 sudah direncanakan jaringan 5G akan dirilis dengan kecepatan yang jauh di atas 4G saat ini. Namun, satu hal yang sangat disayangkan dari kemajuan kecepatan internet saat ini adalah, dominasi konten yang paling dicari tetaplah konten porno.

Menyambung penjelasan Ali, Sabrang memberikan satu landasan bahwa apa yang terjadi dan dialami oleh manusia sekarang hubungannya tidak akan lepas dari 3 hal, yaitu Komoditi, Komunikasi dan Komunitas/Koloni. Jika satu dari 3 hal tersebut berubah atau mengalami perubahan, maka akan merubah tatanan ketiga-tiganya secara otomatis, dan disitulah terjadi Revolusi. Misalnya, dalam hal komoditi, ditemukannya mesin uap, saat itu langsung merubah tatanan komoditas, jika sebelumnya hasil produksi masih sedikit, dengan ditemukannya mesin uap maka hasil produksi sebuah barang dapat ditingkatkan, dengan demikian pola komunikasinya pun berubah. Ketika kesadaran kemerdekaan dalam satu Komunitas atau satu community lahir, maka mereka akan melakukan perlawanan terhadap satu bentuk penjajahan, sehingga lahirlah sebuah Revolusi menuju kemerdekaan.

Berbicara soal internet, Sabrang sendiri memiliki pendapat bahwa revolusi yang seharusnya terjadi dengan ditemukannya internet belum terlihat begitu besar. Perubahan yang terjadi saat ini dalam era digital masih sangat kecil jika dibandingkan dengan potensi perubahan yang dibawa oleh internet. Saat ini, proses transaksi perdagangan tidak hanya sebatas B to B atau B to P, tetapi sudah mencapai tahap P to P, People to People. Untuk mencari satu titik lokasi, kita dengan mudah mengandalkan GPS yang tertanam dalam gadget yang kita punya. Di sisi lain, kemajuan teknologi ini juga mengikis tradisi budaya tatap muka antara orang dengan orang yang lainnya. Jika dulu orang belum familiar dengan GPS, mereka akan bertanya kepada orang lain tentang lokasi suatu alamat. Tentu hal ini memiliki dampak psikologis yang berbeda jauh dengan apa yang terjadi ketika hampir semua orang mengandalkan GPS.

“Informasi awalnya adalah berupa data, kemudian berubah menjadi Informasi (Information), menjadi Pengetahuan (Knowledge), lalu menjadi Wawasan (Insight), dan puncaknya adalah Kebijaksanaan (Wisdom).”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Juni, 2016)

EMPAT TAHAP MENYIKAPI INFORMASI

“INFORMASI TIDAK akan bisa kita cegah, sekali terjadi revolusi, sekali bendungannya pecah, ia akan melebar kemana-mana,” Sabrang melanjutkan sembari menawarkan satu cara berpikir yang merupakan pengembangan dari apa yang sudah pernah disampaikan olehnya di Kenduri Cinta dan forum-forum Maiyah yang lain. Sebelumnya, Sabrang pernah menjelaskan tentang Sudut Pandang, Jarak Pandang, Cara Pandang dan Resolusi Pandang.

“Kemampuan melihat sudut pandang terhadap informasi membuat kamu menjadi lebih taktis dan tepat untuk mengambil keputusan menghadapi informasi tersebut,” lanjut Sabrang. Dari 4 klasifikasi tersebut, Sabrang menjelaskan lebih detail tentang Cara Pandang. Kali ini, Sabrang menyampaikan untuk yang pertama kalinya tentang Cara Pandang sebagai salah satu wacana melihat informasi dan diskusi menjadi lebih efektif.

Berdasarkan pemahaman Sabrang sendiri tentang Al Qur’an ia menjelaskan bahwa Informasi awalnya adalah berupa data, kemudian berubah menjadi Informasi (Information), kemudian menjadi Pengetahuan (Knowledge), lalu menjadi Wawasan (Insight), dan puncaknya adalah Kebijaksanaan (Wisdom).

Data adalah apapun yang keluar tanpa konteks. Seperti angka 300, karena belum ada klasifikasi apakah 300 KM, 300 rupiah, 300 buah dan lain sebagainya. Namun, setelah dilengkapi konteksnya, maka ia akan menjadi informasi, seperti 300 KM misalnya, maka ia akan dipahami bahwa 300 adalah jarak dalam jangka kilometer. Pada satu langkah berikutnya lagi ia akan menjadi pengetahuan setelah memiliki konteks dengan diri kita. Misalnya, jarak dari kota A menuju kota B adalah 300 KM, maka itu menjadi sebuah pengetahuan baru dalam diri kita, bukan hanya berupa data dan informasi.

Di atas Knowledge adalah Insight. Insight adalah informasi-informasi yang penting dari lautan informasi. Misalnya, dalam 300 KM jarak antara kota A dan kota B itu terdapat 3 Pom Bensin, ada 5 Rumah Makan, ada 2 Masjid, ada 4 Bengkel Mobil dan lain sebagainya yang merupakan informasi-informasi yang paling penting dari jarak 300 KM antara kota A dan kota B, itulah yang disebut Insight. Puncaknya adalah Wisdom yang merupakan hasil olahan dari persambungan antara data, informasi, pengetahuan dan insight.

Dari hasil pemahaman Sabrang dalam Islam, ada 4 tahapan seseorang saat menyikapi sebuah informasi. “Dalam Al Qur’an ada 4, setahu saya. Di Islam ada Ulil Abshar di lapisan paling bawah, kemudian di atasnya ada Ulin-Nuhaa, diatasnya ada Ulil Albaab dan diatas Ulil Albaab adalah Ulil Ilmi,” lanjut Sabrang. Orang yang berhenti pada tahap Ulil Abshar adalah orang yang mengobservasi sebuah informasi, ia mengetahui banyak informasi tetapi hanya sekedar melihat saja. Ulin Nuhaa tidak hanya mengumpulkan informasi, tetapi dia mengetahui sebab-akibat dari informasi yang ia terima. Sehingga dia mampu mengolah informasi menjadi sebuah pengetahuan baru yang memiliki sebab-akibat yang relevan dalam dirinya. Ulil Albaab adalah orang-orang yang tidak hanya mengetahui informasi dan tahu sebab-akibatnya, tetapi tahu hakikat kenapa sebab-akibat itu terjadi. Sedangkan Ulil Ilmi adalah orang yang mengumpulkan semua hakikat dan tahu sebab-akibat dari semua hakikat, sehingga ia mengerti dan memahami semua “jogetan” alam semesta dan mengetahui cara untuk menyentuh Tuhan dengan tidak lagi memerlukan Iman. Sebab, dia sudah memahami bahwa hakikat dari persaksiannya melalui syahadat telah mencapai satu pemahaman dan pemaknaan bahwa dari hakikat yang ia pahami tidak ada kesimpulan lain selain, tidak ada Tuhan selain Allah.

“Ikhlas adalah satu kondisi dimana kita melihat semua kejadian di alam semesta hanyalah jogetan-jogetan dari tajalli-tajalli Tuhan, dan apapun yang terjadi adalah Tuhan yang menyapamu dan bercinta denganmu. Itulah Ulil Ilmi.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Juni, 2016)

DARI SUDUT pandang yang lain, Sabrang membuat penyederhanaan dengan istilah lain bahwa salah satu perilaku yang paling mudah dari Ulil Abshar itu adalah bersabar. Ulin-Nuhaa, salah satu outputnya adalah berprasangka baik, sedangkan Ulil Albaab salah satu efeknya adalah bersyukur, dan puncaknya adalah Ulil Ilmi yang mampu mengolah kesemuanya menjadi ikhlas. Menurut Sabrang, 4 Struktur ini juga bisa dipahami dengan urutan Syari’at, Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat.

“Ikhlas adalah satu kondisi dimana kamu melihat semua kejadian di alam semesta hanyalah jogetan-jogetan dari tajalli-tajalli Tuhan, dan apapun yang terjadi adalah Tuhan yang menyapamu dan bercinta denganmu. Itulah Ulil Ilmi,” lanjut Sabrang.

Menutup pemaparannya di sesi awal, Sabrang menjelaskan bahwa semakin banyaknya informasi yang akan membanjiri kita saat ini, maka kita sendiri pula yang akan menentukan dimana posisi kita; Ulil Abshar, Ulin Nuhaa. Ulil Albaab atau Ulil Ilmi.

Selanjutnya Fahmi mempersilahkan Ust. Noorshofa untuk menyampaikan materinya. Dalam mengawali paparannya Ust. Noorshofa mengajak semua yang hadir untuk bersholawat bersama-sama, untuk mengungkapkan rasa syukur atas anugerah Allah yang mengutus Rasulullah Muhammad SAW memperkenalkan semua informasi tentang Islam kepada kita.

Kemudian, Ust. Nooshofa menggarisbawahi bahwa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan ulama-ulama terdahulu adalah kemampuan mereka dalam menghargai waktu, sehingga waktu yang mereka habiskan untuk mengkaji ilmu pengetahuan bukanlah hal yang sia-sia. Informasi yang disampaikan oleh Rasulullah SAW saat itu sangat relevan dengan apa yang kita alami hari ini. Bahkan, didalam Al Qur’an, Allah sendiri seringkali menggunakan kata-kata yang berkaitan dengan waktu; Wa-l-‘ashri, Wa-d-dhluha, Wa-l-laili dan lain sebagainya untuk menunjukkan betapa waktu adalah sesuatu hal yang sangat berharga. Salah satu fungsi dimana Allah menggunakan kata-kata tersebut di dalam Al Qur’an adalah sebagai peringatan, agar kita jangan sampai gagal dalam menggunakan waktu, karena apabila kita tidak benar-benar menggunakan waktu yang kita miliki sebaik-baiknya maka yang kita dapatkan adalah penyesalan. Apa yang kita lakukan hari ini akan menjadi buah yang akan kita petik di kemudian hari. Seorang ayah yang hari ini tidak ditaati oleh anaknya sendiri, mungkin saja itu merupakan buah yang ia tanam dari waktu sebelumnya dari apa yang ia perbuat.

Satu hal yang juga pantas menjadi satu pelajaran berharga dari Al Qur’an untuk kehidupan kita, bahwa pada saat ruh manusia akan diambil oleh Izrail, maka salah satu ayat di dalam Al Qur’an menggambarkan; Faqola robbii laulaa akkhortanii ila ajalin qoriib, fa ashoddaq. Dari ayat ini satu pelajaran berharga yang dapat diambil adalah bahwa penyesalan ruh manusia ketika ia hendak diambil oleh Izrail adalah karena ia masih ingin berbuat baik di dunia, yaitu bersedekah. Dalam islam, konteks sedekah yang seharusnya dipahami adalah memberi, memberi, dan memberi. Terus menerus memberi, bukan give and take, bukan memberi kemudian meminta (balasan) kembali atas apa yang sudah diberikan. Give, give and give. Sedekah merupakan salah satu amal perbuatan baik yang luar biasa karena mampu menutup kekurangan-kekurangan dari perbuatan baik kita.

Merefleksikan 16 tahun Kenduri Cinta, Ust. Noorshofa mengajak jamaah yang hadir untuk mengingat dan meresonansi ke dalam diri masing-masing, memasuki 16 tahun perjalanan Kenduri Cinta, kita bersama-sama duduk menekun berjam-jam, dari ba’da isya’ hingga menjelang subuh, sekali dalam sebulan. Hadir bersama di forum penuh ilmu ini, jika kita tidak mampu mengolahnya menjadi sebuah kegembiraan tersendiri, maka tentu saja sangat disayangkan.

Bismillahi maasya Allah la yasuuku-l-khaira illallah, bahwa kebaikan apapun yang dilakukan oleh manusia merupakan sesuatu yang datangnya dari Allah, bukan dari manusia.”
Noorshofa, Kenduri Cinta (Juni, 2016)

BERTAUBAT DARI KEBAIKAN

KEBANYAKAN ORANG saat ini melakukan taubat atas perbuatan buruk yang ia lakukan di masa yang lampau, sehingga ia merasa perlu untuk meminta ampunan kepada Allah atas perbuatan buruk itu. Satu ilmu baru yang bisa menjadi pijakan dari apa yang disampaikan oleh Ust. Noorshofa adalah bagaimana kita juga harus bertaubat dari kebaikan. Yang dimaksud dari istilah taubat dari kebaikan adalah ketika seseorang menganggap perbuatan baik yang ia lakukan adalah hasil dari jerih payahnya sendiri, atas hasil usahanya sendiri. Ust. Noorshofa mengucapkan salah satu do’a yang pernah diucapkan oleh Nabi Khidir AS; Bismillahi maasya Allah la yasuuku-l-khaira illallah, bahwa kebaikan apapun yang dilakukan oleh manusia merupakan sesuatu yang datangnya dari Allah, bukan dari manusia. Apa yang kita lakukan dalam kehidupan kita tidak akan lepas dari pertolongan Allah. Seperti halnya Kenduri Cinta, yang sudah berlangsung selama 16 tahun ini, ungkapan syukur kita adalah mensyukuri bahwa Allah telah menganugerahkan Maiyah kepada kita, sehingga salah satu cipratan syukur itu adalah istiqomahnya Kenduri Cinta selama 16 tahun. Jika bukan karena pertolongan dan anugerah Allah, tentu tidak mungkin Kenduri Cinta mampu bertahan hingga hari ini.

Nabi Muhammad SAW saat masih hidup mengucapkan kalimat istighfar bukan dalam rangka meminta ampunan atas perbuatan buruk yang beliau lakukan, melainkan meminta ampunan karena beliau lupa tidak mengucapkan kalimat istighfar. Secara logika pun kita sudah memahami bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang sangat ma’shum, sempurna, bersih dari dosa, sehingga tidak mungkin ia melakukan perbuatan maksiat. Maka istighfar yang diucapkan oleh beliau adalah dalam rangka kealpaan beliau mengucapkan istighfar saat itu. Hal lain adalah ketika Nabi Muhammad SAW menangis, Cak Nun seringkali menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW ketika meneteskan air mata adalah dalam rangka menangisi umatnya, bukan menangis untuk dirinya sendiri, bahkan ketika ajal tiba, kata yang keluar dari mulut Rasulullah SAW adalah; Ummatii, Ummatii, Ummatii.

“Kenduri Cinta ulang tahun yang ke-16. Tidak setiap ulang tahun pantas dirayakan, tetapi setiap ulang tahun harus diingat, dikembalikan, mengingat apakah kita pantas untuk lahir, apakah kita pantas untuk bersama, apakah kita pantas untuk menjadi.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Juni, 2016)

PRASMANAN ILMU BERSAMA LETTO

MENJELANG TENGAH malam, salah satu penggiat Kenduri Cinta, Wahyu menampilkan satu narasi panjang sebagai satu persembahan untuk 16 Tahun Kenduri Cinta, sekaligus menjadi pintu masuk bagi Letto yang langsung membawakan 4 nomor pertamanya, Lethologica, Menyambut Janji, Lubang di Hati, dan Layang-layang dibawakan.

“Kenduri Cinta ulang tahun yang ke-16. Tidak setiap ulang tahun pantas dirayakan, tetapi setiap ulang tahun harus diingat, dikembalikan, mengingat apakah kita pantas untuk lahir, apakah kita pantas untuk bersama, apakah kita pantas untuk menjadi. Tetapi semoga dalam ulang tahun ke-16 dalam kebahagiaan dan kegembiraan dengan cinta, dengan kenduri akan menyatukan kita bersama untuk menjadi cahaya Indonesia kedepan,” Sabrang mengantarkan kata-kata sebelum lagu Lubang di Hati.

Setelah memainkan “layang-layang”, Fahmi dan Tri mengajak personel Letto: Patub (Gitar), Ari (Bass), Cornell (Gitar), Widi (Keyboard), Dedhot (Drum) dan Sabrang tentunya sebagai frontman Letto untuk berdiskusi bersama. Berbicara Maiyah tidak bisa lepas dari Letto yang bisa dikatakan sebagai salah satu anak dari Maiyah. Di awal sebelumnya, Sabrang mengajak Kenduri Cinta untuk prasmanan ilmu bersama Letto. Fahmi, Tri dan Ali secara bergantian menggali beberapa informasi dari Letto yang sudah lama tidak merilis album baru, dan beberapa bulan yang lalu baru merilis satu single. Ali pun melemparkan satu pertanyaan awal terkait lagu Sebelum Cahaya, apakah lagu tersebut merupakan sebuah refleksi perjalanan sang ayahanda atau bukan?

Sebelum menjawab pertanyaan, Sabrang menarik kembali ke dasar pemahaman tentang konsep Ulil Abshar, Ulin-Nuhaa, Ulil Albaab dan Ulil Ilmi. Hakikat, atau yang disebut sebagai Ulil Ilmi, dalam satu informasi itu jumlahnya sangat sedikit, bahkan bisa jadi hanya satu. Dari Ulil Ilmi itu kemudian dipecah menjadi Ulil Albaab yang jumlahnya menjadi lebih banyak, dan jika dipecah lagi menjadi Ulin Nuhaa akan bertambah lagi jumlahnya, apalagi ketika dipecah lagi menjadi Ulil Abshar jumlahnya bisa berlipat dari Ulin Nuhaa.

Sabrang menjelaskan jika lagu Sebelum Cahaya dianggap sebagai satu refleksi perjalanan ayahanda, Muhammad Ainun Nadjib, maka itu adalah hal yang benar. Karena menurut Sabrang, penafsiran tersebut merupakan satu manifestasi dari cara pandang Ulil Abshar seseorang dalam melihat dan merasakan lagu tersebut. Bahkan, pernah ada yang menganggap lagu tersebut adalah sebuah lagu yang menceritakan satu episode perjalanan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Dalam satu riwayat dikisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mengalami keraguan apakah dirinya benar-benar seorang nabi utusan Allah atau bukan, karena sempat ada jeda selama 3 bulan beliau tidak menerima wahyu Allah.

Sabrang sendiri mengakui bahwa sebenarnya proses penciptaan lagu Sebelum Cahaya ini bukan merefleksikan perjalanan ayahnya, apalagi tentang satu episode perjalanan Nabi Muhammad SAW. Yang dilakukannya bersama Cornell saat menciptakan lagu tersebut adalah dengan cara mengambil inti rasa dari lirik yang mereka susun, yang kemudian dikomposisikan dengan instrumen musik. Sekian tahun kemudian Sabrang baru diinformasikan bahwa lagu Sebelum Cahaya itu hampir sama dengan apa yang dialami oleh ayahnya, menempuh Perjalanan Sunyi. Bahkan, informasi tentang jeda 3 bulan dan keraguan yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW itu didapatkan oleh Sabrang ketika suatu hari ia menghadiri Gambang Syafaat, dan merasakan wisdom yang sama dari lagu Sebelum Cahaya. Sabrang menekankan bahwa setiap orang boleh menafsirkan apa saja dari lagu-lagu Letto, bahwa kemudian lagu tersebut dimaknai sebagai apapun saja, Letto tidak merasa terbebani harus mengiyakan atau meniadakan penafsiran itu.

“Ketika saya menulis lagu (Sebelum Cahaya) itu, hakikat yang ingin saya sampaikan adalah bahwa setiap manusia itu sendiri dengan dirinya sendiri dan tidak ada yang bersamaan, dan perjalanan yang dia lakukan sebenarnya adalah sunyi. Yang bisa ia sambungkan dari hal tersebut adalah pengetahuan tentang dirinya, asumsinya terhadap Tuhannya dan Tuhan yang menyentuhnya, apakah dia sadar dengan sentuhan Tuhannya atau tidak”, jelas Sabrang.

Sabrang lanjut menjelaskan bahwa subjek yang berbicara pada lagu tersebut dicoba untuk dibayangkan bahwa itu adalah Tuhan yang menyampaikan. Bahwa, manusia terlahir penuh mimpi dan penuh cita-cita. Sabrang, dari lagu ini, ingin menyampaikan bahwa perjalanan yang dilakukan oleh manusia itu pada hakikatnya adalah sendiri, bahwa kemudian manusia bersambungan dengan orang lain sebenarnya hanyalah satu media yang digunakan oleh manusia untuk merasakan sentuhan Tuhan, entah itu berupa “embun pagi yang bersahaja” atau berupa “angin yang berhembus mesra”. Pesan utama dari lagu ini adalah bagaimana Tuhan ingin memastikan bahwa Dia setiap saat bersama dengan kita, makhluk-Nya, di setiap saat. Jika kita merasakan bahwa Tuhan meninggalkan kita itu karena kita tidak mau membuka mata kita, tidak mau membuka telinga dan hati kita. “Jadi, (lagu) Sebelum Cahaya adalah manusia yang hidup ditengah cahaya tapi belum membuka mata hatinya untuk bisa melihat Cahaya yang selalu memendari dirinya,” pungkas Sabrang.

“Perjalanan Letto sejak awal sudah bersentuhan dengan Cak Nun, mau tidak mau juga mewarnai bagaimana posisi Letto yang tidak mungkin tercabut dari akarnya, Maiyah.”
Patub, Kenduri Cinta (Juni, 2016)

MERESPON PERTANYAAN dari Tri terkait posisi Letto di Maiyah sendiri, Sabrang merespon dengan penjelasan dari pertanyaan yang diajukan oleh Fahmi sebelumnya, dimana kemunculan Letto pada awalnya tidak diketahui oleh publik, dimana Letto adalah bagian dari Cak Nun. Sabrang menceritakan bahwa memang demikianlah awalnya, ketika Letto memutuskan untuk deal dengan label sekalipun sangat menjaga jarak dengan Cak Nun. Dan, Cak Nun sendiri pun mengambil jarak yang sama dengan Letto, bahkan sampai pada tingkat dimana Cak Nun tidak mengetahui perkembangan Letto kecuali diinformasikan oleh Sabrang atau Patub sendiri. Nama “Noe” sendiri sejarahnya bermula ketika Sabrang kuliah di Kanada, ia mengalami kesulitan memperkenalkan nama Sabrang kepada teman-temannya disana, sehingga akhirnya dipilihlah nama Noe. Nama itulah yang kemudian digunakan ketika Letto muncul. Sabrang sendiri mengakui, seandainya sejak awal munculnya Letto ia menggunakan nama Sabrang (bukan Noe), orang sudah akan mampu mengenali bahwa ia adalah anaknya Cak Nun.

Sabrang menceritakan bahwa dari awal Cak Nun memang menjaga diri untuk tidak bersentuhan dengan Letto, karena yang paling berharga adalah perjalanan Letto sendiri, bukan karyanya. Cak Nun bahkan sampai memutuskan untuk membeli sendiri Album Letto demi menikmati hasil karya Letto, sehingga posisi yang diambil oleh Cak Nun sangat objektif ketika menilai karya Letto. Sekilas, memang terlihat sangat absurd, karena pilihan ini belum tentu dipilih oleh orang kebanyakan. Ketika ada anaknya yang tampil di dunia industri musik mainstream, dukungan yang diberikan oleh orangtuanya sangat maksimal. Tetapi, tidak dengan Cak Nun, yang sepakat dengan Letto untuk sama-sama mengambil jarak. Sabrang mengakui bahwa keputusan Letto untuk terjun ke dunia industri musik memiliki resiko didalamnya dan akan mengalami satu dilema.

Ketika karya Letto bagus, masyarakat tidak akan merasa kagum karena Sabrang sendiri adalah anak dari seorang Emha Ainun Nadjib, tetapi jika karya Letto itu jelek, maka nama besar Emha Ainun Nadjib pun akan dibawa-bawa. Sehingga keputusan untuk mengambil jarak antara Cak Nun dengan Letto diawal kemunculannya itu sangat dimafhumi. Perjalanan Sabrang, Patub dan personel Letto yang lainnya tentu tidak sama dengan jamaah Maiyah saat ini. Sehingga posisi yang mereka ambil sejak awal adalah bagaimana ikut berperan dalam menyangga Cak Nun dan Maiyah. Perjalanan Sabrang dari kecil sendiri yang sudah pasti bersentuhan dengan Cak Nun, mau tidak mau juga mewarnai bagaimana posisi Letto yang tidak mungkin tercabut dari akarnya, Maiyah.

Sabrang kemudian menjelaskan bagaimana proses Letto memutuskan untuk keluar dari label yang dulu menaungi Letto sebelumnya. Yang ditempuh oleh Letto bukanlah posisi bercerai dari Musica yang notabene adalah ibunya Letto di belantika musik Indonesia. Sabrang menjelaskan bahwa proses lepasnya Letto dari label adalah dalam proses mandirinya seorang anak dari ibunya, ingin merasakan pengalaman hidup sendiri dari dekapan sang ibu, hal itu bagi Sabrang merupakan sebuah proses yang wajar layaknya seorang anak muda yang mencoba untuk hidup mandiri jauh dari orang tuanya. Sabrang sendiri menegaskan bahwa tidak menutup kemungkinan Letto di kemudian hari akan memiliki ikatan kerjasama kembali dengan Musica. Dasar inilah yang kemudian membuat Letto tidak seperti grup musik kebanyakan, yang memutuskan keluar dari label yang menaungi sebelumnya. Sehingga, tidak ada konflik yang terjadi ketika Letto memutuskan untuk “rehat” dari Musica.

Patub merespon pertanyaan dari Fahmi terkait asumsi masyarakat yang masih banyak memiliki parameter bahwa ketika tidak tampil di televisi, maka sebuah grup band dianggap vakum. Patub menjelaskan bahwa asumsi itu sendiri sebenarnya hanya sebuah ukuran yang bisa jadi ukuran antara satu dengan orang yang lain berbeda. Bagi Patub sendiri, seseorang itu dikatakan eksis selama dia masih hidup, minimal dia akan eksis bagi anak dan istrinya. Yang dilakukan Letto selama ini adalah tetap berkarya, karena bagi Patub karya itulah yang membuat Letto ada.

“Letto menganggap KiaiKanjeng sebagai Guru, karena Letto hidup di sekitar perjalanan KiaiKanjeng. Letto belajar kepada KiaiKanjeng yang begitu percaya diri dengan tidak bergantung pada pihak lain. KiaiKanjeng membuktikan bahwa mereka mampu bertahan meskipun tidak bernaung dalam satu label hingga hari ini, dan tidak hidup di dunia industri musik mainstream.”
Patub, Kenduri Cinta (Juni, 2016)

SELAIN ITU personel-personel Letto melakukan riset-riset kecil tentang sound dan mixing, sehingga warna-warna baru juga ditampilkan oleh Letto dalam setiap pementasan off air. Patub bercerita bahwa Letto memang tidak memilih untuk menetap di Jakarta, yang sebenarnya memiliki keuntungan sangat banyak jika dilihat dari profesi mereka sebagai musisi. Sehingga, bisa dikatakan, mungkin inilah salah satu penyebab bahwa Letto diasumsikan vakum dan menghilang dari dunia musik Indonesia. Jika parameternya adalah tampil di televisi atau tidak, maka memang Letto dalam beberapa tahun terakhir tidak begitu intens tampil di televisi. Tetapi bukan berarti kemudian Letto tidak memiliki karya sama sekali. Nyatanya, mereka mampu merilis satu single beberapa bulan yang lalu.

Fahmi melemparkan pertanyaan kepada Patub, mengenai episode sebelum munculnya Letto. Patub dan Ari, bersama Sabrang tentunya, ketika masa SMA tinggal di rumah Cak Nun yang saat itu masih berada di Kasihan, dimana ketika Sabrang kuliah di Kanada selama 5 tahun, Cak Nun pun bertempat tinggal di Kadipiro yang saat ini menjadi Rumah Maiyah, maka Patub dan Ari pun juga ikut tinggal disana. Di Kadipiro inilah bisa dikatakan cikal bakal Letto.

Ketika Sabrang berada di Kanada, ia mendapat tugas untuk mencari informasi bagaimana membangun sebuah studio rekaman yang kelak menjadi sebuah studio rekaman bagi KiaiKanjeng. Patub sendiri, yang berada di Indonesia, menerima data-data yang dikirim oleh Sabrang dari Kanada dan dipelajari terkait teknik studio rekaman. Dengan keterbatasan teknologi internet saat itu, mereka kemudian bersama-sama dengan Progress membangun Geese Studio di Rumah Maiyah Kadipiro, yang awalnya akan digunakan untuk KiaiKanjeng. Patub mengakui bahwa lagu-lagu awal Letto sendiri merupakan hasil riset yang berkaitan dengan audio, mixing, mastering, yang semuanya digunakan untuk membangun Geese Studio, di situ terdapat lagu-lagu yang kemudian diolah di studio tersebut, sehingga lahirlah Letto. Dan, Letto benar-benar menjalani proses dari nol, bahkan Patub sendiri mengakui belajar menyalakan komputer di studio ini.

Satu pertanyaan dari Fahmi berkaitan dengan KiaiKanjeng, dalam satu momen Sabrang pernah menyatakan bahwa KiaiKanjeng adalah Gurunya Letto. Fahmi melempar pertanyaan bagaimana Letto memandang musiknya KiaiKanjeng?. Patub merespon bahwa sudah pasti KiaiKanjeng adalah Gurunya Letto, karena Letto hidup di sekitar perjalanan KiaiKanjeng. Bahkan, bagi Patub sendiri, musik KiaiKanjeng sesungguhnya hanyalah nomor dua dari apa yang ia pelajari dari KiaiKanjeng.

Perjalanan KiaiKanjeng sendiri, mulai dari awal prosesnya hingga metamorfosisnya, Patub ikut belajar dari itu semua. Bagi Patub, bagaimana KiaiKanjeng menyikapi dan menghadapi dunia mainstream adalah ilmu yang sangat berharga. KiaiKanjeng begitu percaya diri dengan tidak bergantung pada pihak lain. Jika memang KiaiKanjeng dimasukkan dalam klasifikasi grup musik, KiaiKanjeng membuktikan bahwa mereka mampu bertahan meskipun tidak bernaung dalam satu label hingga hari ini. Keisitiqomahan KiaiKanjeng yang bahkan jauh sebelum Maiyah lahir hingga hari ini juga satu ilmu tersendiri yang masih terus dipelajari oleh Patub.

Ari merespon pertanyaan itu bahwa menurutnya musik KiaiKanjeng adalah musik yang sangat cair, bisa masuk ke semua aliran musik. Ari sendiri pernah bergabung kedalam satu komunitas Jazz di Yogya, baginya Jazz sekalipun tidak bisa mencapai apa yang sudah dicapai oleh KiaiKanjeng. Cornell, yang memang memiliki latar belakang pendidikan Musik, juga ikut menyimpulkan bahwa KiaiKanjeng memiliki aliran World Music, karena menurutnya semua aliran dan unsur musik yang ada di dunia ini ada di KiaiKanjeng.

Sabrang menggarisbawahi apa yang disampaikan oleh Patub sebelumnya, bahwa baginya kepercayaan diri KiaiKanjeng adalah satu nilai yang sangat berharga. Ketika kita mendengarkan KiaiKanjeng bermusik, kita sudah tidak memikirkan lagi apakah itu Jazz, Pop, Rock, Keroncong, Dangdut atau jenis musik apa. Yang terlihat dari KiaiKanjeng adalah sosok manusianya dari karya yang mereka keluarkan. Sabrang menyimpulkan bahwa musik KiaiKanjeng adalah musik komunikasi yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata. Letto kemudian memainkan satu nomor persembahan aransemen medley instrumental hasil olahan lebih dari 15 nomor milik KiaiKanjeng yang digabungkan dalam satu aransemen oleh Letto. Setelah nomor itu, Cornell secara spesial membawakan nomor lagu Novia Kolopaking, “Tuhan Aku Berguru” dengan aransemen Letto.

Dilanjutkan memainkan nomor lagu Gundul Pacul dalam berbagai aransemen genre musik, mulai dari yang original, rock, dangdut, reggae, pop dan keroncong. Satu pesan yang ingin disampaikan oleh Letto melalui nomor Gundul Pacul bahwa sebuah pohon yang menjulang tinggi keatas pasti akarnya menghujam sangat dalam di tanah. Amsal ini menurut Sabrang mampu menjadi satu pijakan bahwa jika kita memiliki akar yang sangat kuat, meskipun angin berhembus begitu kencang maka kita tidak akan mudah masuk angin, bahkan tidak mudah roboh. Jika akar keimanan kita kuat, maka kita tidak akan mudah goyah ketika kita bergaul atau bersambungan dengan orang lain yang memiliki keyakinan berbeda dengan kita.

“Dasar kehidupan ini adalah positif dan negatif. Manusia terkadang bisa menjadi sangat dekat dengan Tuhan tapi ada kalanya juga dia akan mengambil jarak dari Tuhan. Sebab, begitulah sunnatullah yang berlaku.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Juni, 2016)

KENDURI CINTA kali ini benar-benar sangat meriah namun tidak dalam rangka merayakan 16 tahun Kenduri Cinta, sebab pada kenyataannya tidak terlihat atribut-atribut yang menggambarkan bahwa Kenduri Cinta sedang merayakan hari jadinya yang ke 16. Akan tetapi, hentakan dan alunan musik dari Letto sungguh memberikan warna tersendiri, suguhan penampilan dari Letto begitu semarak, tidak serta-merta mengurangi kekayaan khasanah keilmuan khas Maiyah.

“Kau datang dan pergi, begitu saja. Semua kuterima apa adanya. Mata terpejam dan hati menggumam. Di ruang rindu, kita bertemu. Karena yang berbicara hanyalah hati dan kalbumu. Di Ruang Rindu kita bertemu. Tidak ada tempat selain ruang kerinduan itu sendiri, karena cinta hanyalah manifestasi dari kerinduan yang Maha Cinta,” Sabrang bercerita mengenai lagu Ruang rindu yang baru dibawakannya, yang merupakan lagu ketiga yang diciptakannya bersama Patub, bahkan sebelum Letto sendiri lahir.

Bagi Sabrang, jika menggunakan parameter 4 skala pemahaman yang sudah dijelaskan diawal tadi, lirik-lirik yang tersaji di Ruang Rindu adalah Ulil Ilmi, karena semua itu adalah inti dari apa yang ingin disampaikan. Seperti Ali yang sempat bertanya tentang lirik Sebelum Cahaya, lirik Ruang Rindu pun mengecoh penikmat musik sehingga dikira bahwa lagu tersebut merupakan lagu yang menggambarkan romantisme hubungan kasih dua sejoli.

Sabrang menjelaskan dalam lirik Ruang Rindu sebenarnya menggambarkan betapa dinamisnya kehidupan manusia. Dan, dasar kehidupan ini adalah positif dan negatif. Manusia terkadang bisa menjadi sangat dekat dengan Tuhan tapi ada kalanya juga dia akan mengambil jarak dari Tuhan. Sebab, begitulah sunnatullah yang berlaku, manusia hidup dalam keadaan dimana dia akan dirundung kebosanan jika berada dalam satu kondisi yang stagnan secara terus menerus. Oleh karenanya, ia membutuhkan dinamisnya kehidupan untuk mewarnai perjalanan hidupnya.

Dalam diri manusia, seperti halnya iman, ada saatnya ia bertambah ada saatnya ia berkurang. Ada saatnya naik, ada saatnya turun. Nikmatnya makan karena kita lapar, nikmatnya tidur karena kita mengantuk, nikmatnya ibadah justru seringkali kita rasakan ketika kita menderita. Kepada Tuhan kita terkadang mesra, terkadang tidak. Bukan karena kita memang tidak membutuhkan Tuhan, tetapi memang naik turunnya kemesraan kita terhadap Tuhan merupakan salah satu dinamika kehidupan.

Satu kunci yang diberikan oleh Sabrang yaitu jika saatnya naik maka ia harus lebih tinggi dari kenaikan sebelumnya, dan pada saatnya turun ia tidak turun lebih rendah dari turunan sebelumnya. Kedekatan dalam menyentuh dan memandang Tuhan, seingin apapun, kadang-kadang kita tidak mampu mengontrolnya.

“Kekayaan tidak bisa menjawab kerinduanmu. Kepandaian tidak bisa menjawab kerinduanmu kepada Yang Maha. Karena Yang Maha harus kau temukan didalam dirimu, bukan diluar dirimu.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Juni, 2016)

KARIM, JAMAAH Depok bertanya kepada Sabrang dengan mengambil benang merah pada Sunan Kalijogo, kemudian Cak Nun bersama KiaiKanjeng, dan saat ini Letto, apakah musik merupakan metode yang benar-benar dipilih oleh Letto untuk menyebarkan nilai-nilai?

Sabrang merespon, bahwa sebenarnya ia dan teman-temannya tidak memilih musik, tetapi pada saat itu pintu untuk memasuki dunia industri musik terbuka bagi mereka, sehingga kemudian mereka bersepakat untuk serius menekuni bidang ini. Bahkan diawal prosesnya, Sabrang sangat gagap dengan lika-liku industri musik, ketika mereka masuk ke label pun mereka tidak sempat mengirimkan demo musik layaknya sebuah grup band kebanyakan. Nama Letto sendiri pun bukan sebuah nama yang memiliki filosofi yang mendalam seperti grup musik yang lain. Bagi Sabrang, musik adalah sebuah media yang mampu merubah kondisi hati seseorang tanpa dia memberi kognisi.

Musik sendiri merupakan satu media komunikasi, tetapi mengapa masih banyak orang yang mengharamkannya?

Sabrang pun merespon, bahwa sebenarnya ia mampu memahami mengapa sebagain orang masih mengharamkan musik, dari pendapat pribadinya Sabrang menjelaskan bahwa yang seharusnya dilakukan adalah berupa peringatan, karena musik mampu menghanyutkan, mampu membuat manusia menjadi lupa. Bahkan musik bisa sangat memabukkan tanpa seseorang meminum minuman keras. Menurut Sabrang, musik sebagai alat komunikasi itu resiko bahayanya masih sangat rendah jika dibandingkan musik sebagai industri, karena semua karya seni yang akan dipopulerkan ia harus menghancurkan tradisi sebelumnya.

Seni, secara luas, jika ingin menjadi populer ia harus menabrak hal yang tabu. Dan, peristiwa menabrak tabu dalam satu kondisi pun akan sangat berbahaya, karena jika kemudian banyak orang yang menabrak tabu itu, maka hal yang tabu itu menjadi hal yang tidak tabu lagi bagi banyak orang. Dalam dunia industri, sesuatu yang menabrak tabu adalah hal yang kadang-kadang berbahaya karena bisa mempengaruhi masyarakat yang sebenarnya tidak ada dalam diri mereka, dimana pada akhirnya standar tabu mereka berubah dengan sendirinya.

Kemudian untuk merespon pertanyaan Adit yang bertanya tentang proporsional Gamelan yang dibawakan oleh Letto, Sabrang menjelaskan bahwa Letto sudah memiliki konsep sebagai sebuah grup band yang tersendiri, sehingga tidak semua orang yang mengundang Letto siap dengan konsep melibatkan Gamelan dalam penampilan Letto. Jadi, proporsi Gamelan yang ditampilkan oleh Letto dalam sebuah pementasan adalah berdasarkan kebutuhan yang muncul, dan bukan sesuatu yang harus ditampilkan secara terus menerus.

Berikutnya, merespon pertanyaan Roy tentang interpretasi lirik-lirik lagu milik Letto, apakah semua lirik memiliki persambungan dengan Tuhan, Sabrang merespon bahwa diinterpretasikan seperti apapun oleh orang itu adalah hak setiap orang. Jika pertanyaannya adalah apakah tidak ada persambungan dengan Tuhan, Sabrang menjelaskan bahwa semua hal yang kita alami dalam kehidupan ini sangat bisa untuk selalu dihubungkan dengan Tuhan. Jika pada saatnya kita belum bisa menyambungkan dengan Tuhan, itu bukan menjadi persoalan, mungkin karena kita memang harus mengalaminya terlebih dahulu. Maka, nikmatilah semuanya sebagai perjalanan hidup.

Sabrang kemudian menjabarkan bahwa lirik-lirik lagu Letto memiliki proporsi masing masing untuk diklasifikasikan dalam ruangan Ulil Abshar, Ulin Nuhaa, Ulil Albaab dan Ulil Ilmi. Semua lirik bisa diproyeksikan dalam 4 tahapan pemahaman terhadap informasi itu. Karena, bagi Letto, semua manusia memiliki caranya sendiri untuk mengenal Tuhan, apapun yang dilakukannya, asalkan dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka ia akan bertemu dengan Tuhan.

Lalu, berkenaan dengan apakah semua lirik Letto mengagungkan Tuhan, Sabrang menjawabnya dengan tegas, “Ya!”.

Tetapi, tidak selalu sama dengan asumsi dan konsep orang kebanyakan dalam mengangungkan Tuhan, karena untuk mengangungkan kita semua memiliki caranya masing-masing. Pada intinya, Letto tidak keberatan lirik-lirik lagunya diterjemahkan dengan penafsiran apa saja, ada yang menerjemahkan sebagai kisah percintaan antara dua sejoli, ada yang menerjemahkan sebagai sebuah hubungan kemesraan dengan Tuhan, semua itu merupakan kebebasan dari setiap orang yang menikmati lagu-lagu Letto.

“Cak Nun tidak akan pernah hilang, semua wisdom yang ada di Maiyah tidak akan pernah hilang. Semua ilmu-ilmu disini tidak akan pernah hilang. Karena kita semua memegang hakikatnya, memegang laku dan pemahamannya.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Juni, 2016)

SABRANG JUGA mengakui bahwa lirik-lirik Letto sangat mungkin dipahami multi interpretatif, seperti halnya ketika ia membaca Al Qur’an, apa yang ia baca hari ini akan berbeda pemahamannya dengan apa yang ia baca seminggu kemudian, meskipun yang dibaca adalah ayat dan surat yang sama, karena semua bergantung pada titik koordinat pemahamannya ketika ia membaca Al Qur’an. Bagi Sabrang, Al Qur’an adalah samudera ilmu tempat ia hanya mampu menyiduk sedikit demi sedikit ilmunya.

Sabrang sendiri menceritakan bahwa sejak awal keputusan Letto terjun ke dunia industri musik mereka bersepakat bahwa setiap lirik harus menyampaikan pesan yang harus tersampaikan, sehingga bagi Sabrang bersama personel Letto yang lain mereka memiliki satu aturan main bahwa setiap lirik lagu yang mereka susun harus terdapat unsur “Ulil Ilmi”-nya.

Lagu Bunga di Malam Itu adalah sebuah lagu yang menggambarkan sebuah pertemuan yang agung, dimana dalam pertemuan yang agung itu tidak ada amsal yang lebih indah dari bunga dan harumnya bunga itu, dan dalam pertemuan itu kita merasa tidak pantas sebenarnya untuk merasakan pertemuan itu, karena kita bukan siapa-siapa. Lagu Lubang di Hati, Sabrang menjelaskan bahwa ada 3 kata kunci di dalam lagu itu; Cita, Cinta dan Cipta. Lagu itu menceritakan seseorang manusia yang membuka mata dan membuka dunia, seperti orang yang baru saja dilahirkan. Lubang di dalam hati diterjemahkan oleh Letto sebagai satu kerinduan yang ada didalam hati yang harus diisi dengan Cita, Cinta dan Cipta. Cinta adalah bagaimana kita memanifestasikan rasa, Cita adalah api di dalam kepala dimana kita mampu menyerap ilmu dan menumbuhkan kenikmatan pengetahuan bukan dari kenikmatan wadag.

Cinta itu apinya dibawah, Cita itu apinya di kepala dan Cipta itu apinya ada diseluruh tubuh. Bagaimana kita menjadi bagian dari jogetan alam semesta dan mengetahui betul tajallinya Tuhan dan tajalli lainnya yang bersambungan dengan diri kita. Ada api yang berada di dalam syahwat, ada api yang ada didalam kepala dan ada api yang di dalam tubuh. Api mana yang akan kita hidupkan untuk bersentuhan dengan alam dan Tuhan.

Sebenarnya Cinta, sebuah lagu yang menggambarkan betapa dunia adalah sesuatu yang fatamorgana, bahwa dunia ini sebenarnya adalah mimpi manusia ketika ia berada di alam tidurnya. Sedangkan bangun yang sebenarnya adalah kelak ketika manusia itu sudah mati. Lagu ini bermaksud memberikan pemahaman bahwa semua yang ada didunia ini tidak ada yang benar-benar real, semua ini hanya fatamorgana. Sebenarnya Cinta adalah ketika Cinta di dirimu yang sejati. Lagu Layang-layang, adalah sebuah lagu yang hendak menyampaikan pesan bahwa setiap manusia lahir bukan dalam rangka untuk mengungguli manusia yang lainnya. Karena, yang seharusnya dilakukan oleh manusia adalah menjadi dirinya sendiri seutuhnya sesuai dengan full potensialnya. Potensi setiap manusia itu tidak bisa diukur dengan parameter-parameter yang distandarkan, karena setiap manusia memiliki potensi yang berbeda-beda. Full Potensial setiap manusia adalah merealisasi dirinya pada fungsinya di gelaran jagat yang ada.

Ali lalu mengutarakan satu pertanyaan terakhir berkait dengan masa depan Maiyah. Melihat Cak Nun dan KiaiKanjeng yang tentu saja sangat manusiawi jika pada saatnya nanti tugas mereka sudah harus digantikan oleh orang lain. Apakah Sabrang bersama Letto sudah bersiap untuk meneruskan tongkat estafet dari Cak Nun dan KiaiKanjeng jika saatnya nanti tiba?

“Kalau Uli Abshar anda masih membutuhkan itu (sosok di Maiyah), maka saya tidak bisa lari”, Sabrang merespon yang kemudian bercerita bahwa sebenarnya ia sudah jauh-jauh hari memutuskan untuk tidak ingin terlibat lebih jauh di Maiyah. Tetapi saat itu Cak Nun sendiri yang mengatakan kepada Sabrang, bahwa sejauh apapun ia berlari, ia tidak akan bisa lepas dari Maiyah. Dan itu terbukti hingga hari ini.

“Jika anda melihat Maiyah hanya dengan Ulil Abshar maka anda hanya melihat kumpulan manusianya. Jika anda melihat Maiyah dengan Ulin-Nuhaa maka anda akan memahami sebab mengapa Maiyah ini ada. Jika anda melihat Maiyah ini dengan Ulil Albaab, melihat kebersamaan hakikat cinta di dalamnya, anda tidak akan butuh tokoh siapapun. Karena tokoh yang ada adalah hasil dari kebersamaan yang dijaga oleh keberadaan Tuhan, dan keberadaan Tuhan sendiri tidak akan pernah hilang. Cak Nun tidak akan pernah hilang, semua wisdom yang ada disini tidak akan pernah hilang. Semua ilmu-ilmu disini tidak akan pernah hilang. Karena kita semua memegang hakikatnya, memegang laku dan pemahamannya. Jadi saya harap, kita semua menghidupkan manusia bukan karena orang atau tokoh, bukan karena mimpi, tetapi memang karena pemahaman hakikat dan cita-cita bersama untuk menjadi full potensi bagi diri sendiri dan bisa berperan untuk Indonesia bersama-sama”, Sabrang memungkasi.

Dipuncak Kenduri Cinta edisi Juni 2016, tepat pukul 03:16 WIB, Letto secara berturut-turut membawakan lagu Kasih Tak Memilih, Sandaran Hati, Sampai Nanti Sampai Mati, Senyumanmu dan Sebelum Cahaya. Diakhiri dengan do’a bersama oleh Ust. Noorshofa.