Dagangan Tuhan

Kita mulai dari permulaannya permulaan. Apa yang terjadi di awal penciptaan di dunia ini? Tuhan sebagai awal dari segalanya, menciptakan nur Muhammad sebagai ciptaan Tuhan yang pertama. Dalam ilmu Maiyah, nur Muhammad tercipta sekitar 16 milyar tahun yang lalu. Kalau saya agak liar sedikit, kira-kira apa tujuan Tuhan menciptakan sesuatu? Apakah Tuhan membutuhkan pekerja? Apakah Tuhan membutuhkan teman? Apakah Tuhan membutuhkan “sesuatu” untuk permainan saja? Tentu jawabannya tidak ada yang tau, walau dalam Alquran Tuhan berkata bahwa tidak aku ciptakan jin dan manusia, kecuali hanya untuk menyembahku. Tetapi jangan dikira, Tuhan butuh, kita. Tidak. Keinginan sejati Tuhan, hanya Tuhan lah yang tau. Yang harus kita tanam hanyalah, bahwa Tuhan menciptakan ini semua tidak sia-sia.

Saya lanjutkan pembahasan ke ilmu kebutuhan, berbasis dari permulaan di atas. Apa sebenarnya yang kita butuhkan? Apa yang bisa kita “ciptakan” agar kebutuhan kita itu dapat terpenuhi? Dalam ilmu ekonomi dan sosiologi, kita butuh sandang, pangan dan papan, serta kebutuhan jasmani dan rohani, plus kebutuhan interaksi sesama manusia. Sebegitu banyaknya kebutuhan utama kita. Dari kebutuhan primer tersebut, apa yang akan kita lakukan? Salah satu cara dan menurut saya cara ini merupakan salah satu cara yag agak utama, adalah kebutuhan jual dan beli, bahasa lainnya dagang, bahasa lainnya pertukaran sesuatu dengan nilai yang sama, dengan harapan pertukaran tersebut mengakibatkan kebutuhan kedua belah pihak saling terpenuhi. Saya runtutkan dari awal. Manusia hidup berinteraksi, menghasilkan yang namanya komunikasi, menghasilkan saling percaya atau kedekatan emosi, dan pada akhirnya terjadilah proses tukar menukar, dalam hal ini berdagang.

Sejatinya, Tuhan juga telah melakukan perdagangan dengan kita. Tuhan menciptakan bumi serta isinya untuk kita gunakan sebaik-baiknya, imbalan dari kita adalah bertuhan. Defenisi “bertuhan” disini adalah kita melakukan segala ritual kita untuk membalas kebaikan Tuhan. Jika dikerucutkan dalam Islam, Tuhan menyuruh kita untuk salat, puasa dan lain sebagainya, sebagai imbalan kita telah mendapatkan kebaikan Tuhan di bumi ini. Itu adalah interaksi emosional yang luar biasa yang terjadi antara Tuhan dengan kita manusia.

Tetapi, apakah Tuhan pernah meminta sesuatu yang lebih dari kita selain itu? Tidak. Justru Tuhan selalu mengalah dengan hambanya. Kita tidak akan pernah bisa membalas nikmat Tuhan yang kita dapatkan. Jangankan membalas, mencatat apa saja yang telah Tuhan berikan, niscaya kita tidak akan pernah mampu. Segitu baiknya Tuhan sama kita. Bisakah ilmu itu kita terapkan kepada interaksi kita sesama manusia? Harusnya bisa dan sangat memungkinkan. Bagian yang harus kita evaluasi adalah keinginan kita untuk meminta sebanyak-banyaknya, mendapatkan sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya. Kita rela obral, menghabiskan waktu, tenaga kita untuk dagang habis-habisan, sampai sold out. Iya sold out. Lebih peliknya lagi, ketika barang kita sudah benar-benar sold out, kita masih niat mencari barang-barang lainnya, yang mungkin bukan milik kita seutuhnya untuk dijual dan terus dijual.

Dari cerita diatas, apa sebenarnya yang kita cari? Apa sebenarnya yang kita butuhkan? Jika dalam ilmu Maiyah kita pernah mendapatkan ilmu tentang kemerdekaan, bahwa merdeka adalah saat dimana kita mampu mengetahui batasan kita, berarti apakah kita belum merdeka?

Saya punya ilmu sederhana yang saya dapatkan secara pribadi saya setelah melakukan penghidupan selama 27 tahun. Sebenarnya dagang itu sangat sederhana. Dagang dalam defenisi pribadi saya adalah proses terkecil dari interaksi kebutuhan antara saya dengan orang lain. Ayah saya membutuhkan saya untuk selalu berbakti kepadanya, belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus dalam sekolah, dan akhirnya ayah saya memberikan modal, dana, untuk saya dalam mencapai itu. Modal dari ayah itulah dagangan saya.

Contoh lain, saya mencari kerja, dengan maksud, syukur-syukur keahlian saya dapat membantu perusahaan untuk menyelesaikan masalahnya. Saya diterima bekerja, yang saya lakukan hanya bekerja dengan baik, benar, cerdas. Di ujung bulan, saya dapatkan gaji. Hanya 1 hari dalam 30 hari dalam proses interaksi saya dengan perusahaan saya berdagang. Contoh lain, perusahaan yang menjual komputer. Perusahaan melakukan proses produksi, penjualan sampai pembayaran. Mungkin proses dari produksi sampai penjualan memakan waktu berbulan-bulan, tetapi hanya butuh waktu tidak sampai 1 menit pembeli menransfer uangnya ke penjual. Hanya sekecil itu proses dagang. Intinya yang mau saya bagikan adalah, jika kita fokus bekerja, berkarya untuk membantu orang lain dalam memenuhi kebutuhannya, dagang bukan proses yang susah. Pokoknya “jalan” saja dengan benar, dagangan kita pasti laris.

Ya memang ilmu saya ini perlu riset dan evaluasi lebih lanjut. Mungkin kerancuannya terletak pada posisi ‘uang itu penting’. Jadi yang selama ini kita kejar adalah uang. Dari iming-iming uang yang banyak, baru kita melakukan pekerjaan. Sebaiknya kita mengedepankan ‘apa yang dibutuhkan masyarakat’, syukur-syukur uang yang kita dapatkan banyak. Jangan terbalik.

Terakhir, jangan lupa. Pernahkah kita semua berpikir, sebenarnya berapa banyak nikmat Tuhan yang diberikan ke kita? Berapa banyak nikmat Tuhan yang diberikan untuk Indonesia yang bisa kita dagangkan? Kalau saya sih tak terhingga. Kondisi kebanyakan orang sekarang merasa miris, tambang, hasil alam, Indonesia diekspoitasi secara masal oleh pihak asing. Mereka takut hasil alam itu akan habis. Kalau saya terbalik. Menurut saya, berhati-hatilah dengan nikmat Tuhan. Nikmat tersebut sangat lah banyak dan mungkin tanpa hingga. Indonesia dieksploitasi, Indonesia tidak akan pernah hancur. Justru mereka yang mengeksploitasi lah yang akan hancur jika mereka tidak mampu “berpuasa” Mereka mengeksploitasi seolah-olah kebutuhan mereka masih kurang dan kurang.

Bahkan secara radikal saya bisa berkata, Tuhan tidak pernah menurunkan penghancuran. Yang Tuhan selalu turunkan kepada kita adalah nikmat, nikmat dan nikmat. Perkara kita yang tidak bisa merdeka mengolah, menggunakan dan mnsyukurinya, disitulah letak penghancurannya. Bukan Tuhan yang menghancurkan, tetapi kita menghancurkan diri kita sendiri dengan kerakusan akan nikmat Tuhan.