Cahaya, Cinta dan Free Will

Bangbang Wetan malam ini diawali dengan launching buku kesaksian seorang jamaah Maiyah berjudul Spiritual Journey: Pemikiran dan Permenungan Emha Ainun Nadjib, yang diterbitkan oleh KOMPAS. Diluar itu, hadir pula Sabrang Mowo Damar Panuluh yang memperkaya malam itu dengan khasanah keilmuwan sains dan pencapaian pencarian ruhani dunia Jawa. Khususnya, Sabrang akan melakukan pembahasan tentang Cahaya, Cinta dan Free Will. Tema ini adalah pendalaman dari materi dua maiyahan terdahulu. Maka, sambil membaca laporan ini, disarankan untuk kembali menyimak laporan dari maiyahan di Gunung Anyar dan Padhang Mbulan bulan Maret lalu.Untuk menyerap kajian Bangbang Wetan kali ini, diperlukan keterbukaan hati dan akal untuk meletakkan dan mengakui bahwa semua sumber informasi itu berada pada posisi sejajar. Baik sumber informasi itu adalah sains, khazanah kekayaan Jawa literer (serat, suluk, babad) maupun khasanah kekayaan Jawa non literer (informasi dari leluhur, cerita rakyat, dsb). Dan semua informasi itu nanti harus dikonfirmasi dengan Al-Quran sebagai panduan utama kehidupan.

Sebelum masuk ke tema utama, Sabrang memberi gambaran tentang kehidupan alam semesta. “Jika kita memandang semua planet adalah makhluk seperti kita, berarti mereka juga mengalami proses-proses seperti kita juga,” begitu Sabrang memulai medhar kasunyatan.”Mereka mengalami masa balita, remaja, dewasa dan tua.”

Ini berkaitan dengan kapan planet-planet tersebut bisa dijadikan tempat hidup dan makhluk dengan level padatan seperti apa yang memungkinkan hidup di situ. Jawabannya, menurut Sabrang adalah pada suatu titik usia. Bisa jadi usia dalam arti waktu, kematangan spiritualnya atau parameter-parameter yang lainnya.

Sabrang mengambil contoh soal global warming, “38.000 ilmuwan telah menolak kesimpulan yang menyatakan bahwa pemanasan global terjadi karena kadar karbondioksida yang jumlahnya sangat ekstrem di udara bumi. Bukan itu sebabnya. Bumi kemropok karena bumi hendak meningkat level kesadaran ruhaninya, sementara manusia masih pekok-pekok, bodoh.”

Nah, untuk membantu proses percepatan itu, maka saat ini, menurut Sabrang, 60 juta makhluk non bumi telah turun ke bumi untuk membantu bumi menuju kedewasaan. Diantara mereka ada pula Gus Ud. Pendek kata, dalam proses pendewasaan itu, makhluk langit akan melakukan panen. Mereka akan memilah-milah mana manusia padi, mana manusia alang-alang. “Manusia padi akan dipindahkan ke planet yang ini. Manusia alang-alang akan dikumpulkan di planet yang itu, dan seterusnya. Kita hanya tahu bahwa si ini, itu dan anu mati. Padahal sebenarnya dia dipindah ke planet-planet yang lain.”

1. CAHAYA

Kemudian, masuklah diskusi pada tema inti: soal Cahaya, Cinta dan Free Will. “Karena cinta-Nya kepada cahaya (Nur Muhammad) maka diciptakanlah oleh-Nya alam semesta ini,” demikian uraian Cak Nun. Sabrang menambahkan bahwa cahaya putih itu sebenarnya bukan hanya putih, tapi merupakan campuran dari spektrum cahaya mulai dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Jika cahaya putih dilambangkan sebagai Allah. Manusia, dilambangkan sebagai merah misalnya. Maka, untuk kembali nyawiji (red: bersatu) dengan Allah, manusia harus mempelajari semua warna. Sebab, jika hanya dirinya sendiri, dia tidak akan pernah berhasil menjadi “putih”.

Itulah kiranya yang disebut dalam tasawuf sebagai: dirimu adalah bagian dari Allah. You are part of Allah. Sebab, dirimu—yang dimaksud bukan wujud hologrammu—merupakan salah satu spektrum yang jika engkau menggabungkan diri dengan warna-warna lain dalam spektrum itu, maka engkau akan menjadi “cahaya putih” itu.

“Cahayalah yang akhirnya melahirkan ruang. Sebab, dengan adanya cahaya maka ada kegelapan. Cahaya adalah tata ruang,” begitu Cak Nun. Cara hidup di dalam ruang adalah cinta (rahmat). Karena adanya ruang, maka lahirlah waktu.

2. CINTA

Sabrang menjelaskan soal “cinta” ini dengan tamsil Pak Camat dan warganya. Camat akan dipromosikan jika dia telah berhasil mengangkat taraf kehidupan rakyatnya menjadi sejahtera—dalam hal ini matang secara spiritual. Tapi, Pak Camat melihat bahwa perkembangan spiritual warganya sangat lambat. Setelah dilakukan investigasi, ternyata penyebab lambatnya perkembangan spiritual penduduk kecamatannya itu karena mereka sudah hidup enak. Semuanya serba nikmat.

Mengetahui seperti itu, Pak Camat kemudian mencari cara untuk mengakselerasi perkembangan spiritual warganya. Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya diputuskanlah sebuah cara untuk mendukung akselerasi itu. Maka, Pak Camat memanggil salah satu pembantu setianya yang paling tangguh, teguh hati dan sakti bernama Azazil untuk melakukan tugas rahasia. Sabrang mengibaratkan adegan tersebut seperti: Azazil dipanggil secara pribadi oleh Pak Camat. Kemudian Pak Camat memberinya mandat khusus yang sangat berat dan tidak akan sanggup dipikul oleh siapapun kecuali Azazil. Bahwa Azazil harus berpura-pura menentang Pak Camat. Bahkan melawan kekuasaannya. Dengan drama rahasia itu, Pak Camat berharap agar warganya memiliki “wilayah berpikir” (baca: akal). Kira-kira, “wilayah berpikir” itulah komponen yang diperlukan untuk mengakselerasi perkembangan spiritual warganya. Sebab, dengan tumbuhnya “wilayah berpikir”, maka warganya memiliki alat untuk membedakan—kecenderungan utamanya—antara positif dan negatif. Sehingga, setelah bisa membedakan, mereka kemudian bisa menentukan pilihan: memilih mendukung Pak Camat atau mendukung Azazil si penentang kekuasaan Pak Camat.

Untuk mendukung tugasnya itu, Azazil kemudian di “dandani” sedemikian rupa. Padatannya di deformasi dari “materi A” menjadi “materi C” agar tubuhnya bisa beradaptasi dengan habitat hidup dan tugasnya. Tentu, tugas sangat berat diemban oleh Azazil. Untuk membuktikan cinta dan kesetiaannya kepada Pak Camat, dia harus siap dicaci, dihujat, dihina bahkan dikutuk oleh warga kecamatan karena berpura-pura tidak mencintai, bahkan menentang kekuasaan Pak Camat. “Untuk membuktikan cintanya, dia harus bertindak yang anti cinta,” begitu Cak Nun, ”Inilah indahnya.”

3. FREE WILL

Free Will (kehendak bebas) adalah komponen sangat penting untuk mempercepat kematangan spiritual manusia,” sambung Sabrang. Dengan kehendak bebas, manusia memiliki potensi memilih. Memilih apakah dia akan menggunakan bis PATAS, bis ekonomi, sepeda pancal atau jalan kaki untuk pulang, menggabungkan diri dengan warna lain, nyawiji dengan Allah. Atau bahkan apakah dia akan memilih berputar-putar dulu karena tidak tahu peta jalan pulang sehingga harus berlama-lama dan bersusah payah sebelum pada akhirnya—entah setelah berapa kali mencoba pulang—dia baru akan sampai di alamat, nyawiji dengan Allah. Dalam pemahaman kita saat ini, proses itu biasa disebut pilihan cara kembali yang positif atau negatif.

Cak Nun kemudian mengambil jarak pandang yang memadai untuk menilai uraian di atas. Cak Nun mengambil kisah Khidlir. Khidlir adalah salah satu tokoh kontroversial dalam sejarah manusia. Oleh para ulama, Khidlir dipercaya sebagai Nabi. Namun, Allah tidak pernah menyebut Khidlir sebagai Nabi. Dalam kisah pertemuan manusia dengan Khidlir, manusia senantiasa menemukan Khidlir sebagai sosok yang dia benci, sehingga manusia itu tidak menyadari bahwa sebenarnya dia sedang berhadap-hadapan dengan Khidlir. Postulatnya: Khildir akan menemuinya dengan penuh cinta kendati hadir dalam wujud yang dia benci.

Demikianlah, menurut Cak Nun, Khidlir adalah sistem kontrol bagi manusia yang masih menyimpan kebencian dalam dirinya. Maka, “Jadikanlah semua kenyataan diluar kita sebagai katalis (komponen dari luar yang mempercepat proses) pendewasaan spiritual kita.” Seperti itu pula lah perumpamaan Azazil dalam kehidupan warga kecamatan tadi. Dia ditugaskan oleh Pak Camat untuk hadir sebagai katalis untuk mempercepat proses pendewasaan spiritual warganya.

[Teks: Prayogi R Saputra]