BERLADANG MASA DEPAN DI NEGERI MAIYAH

REPORTASE KENDURI CINTA mei 2016

JUMAT KEDUA setiap bulan masehi merupakan “hari raya” bagi Jamaah Maiyah di sekitar ibukota. Di hari itu Kenduri Cinta rutin hadir di pelataran Taman Ismail Marzuki, yang tak terasa dibulan Juni nanti menginjak usia enam belas tahun. Menjadi oase tersendiri bagi warga ibukota Jakarta yang setiap hari harus berkutat dengan kemacetan dan problem sosial masyarakat lainnya yang dihadapi.

Dalam Kenduri Cinta semua hadir sebagai manusia. Semua berusaha menemukan kesejatiannya, dengan keikhlasan belajar bersama, bukan untuk menunjukkan siapa yang paling benar, melainkan untuk berendah hati satu sama lain bahwa mereka hanyalah faqiir ‘indallahi.

Setelah diawali dengan Wirid Wabal dan Doa Tahlukah, Tri Mulyana memoderasi sesi prolog Kenduri Cinta edisi Mei 2016 yang mengangkat tema Berladang Masa Depan Di Negeri Maiyah. Ali Hasbullah, Hendra Kusuma, Luqman Baehaqi, dan Adi Pudjo sudah bersama Tri di depan para jamaah. Ini merupakan kali ketiga dimana Kenduri Cinta mengangkat tema yang berkaitan dengan Maiyah. Sebelumnya, juga pernah diangkat tema Kemerdekaan Maiyah dan Kegembiraan Bersedekah Maiyah Kepada Indonesia.

Luqman mengulang kembali paparan Cak Nun di Mocopat Syafaat bulan Februari 2016 lalu, bahwa saat ini mayoritas dari kita ketika menikmati buah mangga selalu melupakan biji mangganya. Padahal, tanpa adanya biji, tidak akan mungkin lahir daging mangga. Karena dari biji mangga itulah kemudian tumbuh pohon yang melahirkan buah mangga yang baru lagi, dimana di dalamnya juga terdapat biji mangga. Dan, biji mangga tersebut tidak mungkin bertindak sendiri saat menumbuhkan pohon mangga, ia harus dikawinkan dengan tanah yang subur, dirawat dengan baik oleh yang menanam sampai akhirnya tumbuh subur dan berbuah lebat. “Seandainya besok hari kiamat datang dan di genggaman kita terdapat sebuah benih tanaman, maka tugas kita adalah tetap menanam benih tersebut,” lanjut Luqman.

Tentu saja perumpamaan ini bisa berubah menjadi jambu, belimbing, apel, jeruk dan lain sebagainya. Namun, inti dari yang disampaikan adalah bahwa apapun ilmu yang kita terima hari ini jangan pernah kita lupa untuk menyadari bahwa semua itu memiliki sumbernya. Di Maiyah, Cak Nun merupakan salah satu marja’ dari ilmu yang kita nikmati hingga hari ini, dan kita harus menyadari bahwa ilmu yang disampaikan oleh Cak Nun seperti buah mangga. Ia tidak lahir dengan sendirinya, ada bijinya, ada pohonnya, bahkan pohonnya itu sendiri juga sudah berkali-kali diganggu oleh hama, diterpa angin yang kencang, ditempa hujan yang deras dan sebagainya.

Tugas kita hari ini adalah bagaimana mampu meneruskan perjuangan yang sudah dilakukan oleh Cak Nun. Cak Nun sendiri menyatakan bahwa tulisan-tulisan DAUR yang setiap hari terbit merupakan salah satu wujud dari pelok, bukan lagi berupa daging mangga yang sudah diiris dan siap dinikmati. Dan, hal ini merupakan catatan penting bagi Jamaah Maiyah, bahwa tugasnya adalah menanam biji-biji mangga itu di ladang-ladang yang mereka temui di mana saja. Baik itu di lingkungan tempat tinggalnya, di lingkungan pekerjaannya, di lingkungan sekolahnya dan lain sebagainya.

“Di Kenduri Cinta kita diberi benih untuk ditanam di ladang masing-masing. Dan, itulah tantangan kita kedepan, yakni bagaimana kita mampu menanam benih-benih yang kita punya ini sehingga ia bisa tumbuh menjadi sebuah pohon yang subur dan rindang, yang kemudian berbuah dan menjadi manfaat bagi generasi berikutnya.”
Adi Pudjo, Kenduri Cinta (Mei, 2016)

ADI PUDJO MENGGARISBAWAHI tema Kenduri Cinta kali ini, bahwa ada 3 poin yang bisa diurai; Berladang, Masa Depan, dan Maiyah. Adi berpendapat bahwa apa yang kita lakukan di Kenduri Cinta selama 16 tahun ini sebenarnya merupakan salah satu dari sekian proses “Berladang Masa Depan di Negeri Maiyah”. Kita semua hadir disini tanpa ada paksaan, tanpa ada perintah, semuanya atas kemauan dan kerelaan pribadi. Karena keputusan untuk datang di Kenduri Cinta adalah kehendak dari kedaulatan pribadi masing-masing. Kenduri Cinta tidak menawarkan apa-apa, tidak menjanjikan apa-apa, meski demikian jamaah tetap setia hadir.

Seperti yang disampaikan Luqman sebelumnya, di Kenduri Cinta kita diberi benih untuk ditanam di ladang masing-masing. Dan, itulah tantangan kita kedepan, yakni bagaimana kita mampu menanam benih-benih yang kita punya ini sehingga ia bisa tumbuh menjadi sebuah pohon yang subur dan rindang, yang kemudian berbuah dan menjadi manfaat bagi generasi berikutnya. Juga, yang lebih penting lagi menurut Adi Pudjo, adalah kemampuan kita untuk mengklasifikasikan benih mana yang akan ditanam di ladang kita. Adi mengumpamakannya dengan ungkapan bahwa bukan hanya benih baik saja yang berkembang biak, tetapi di situ bakteri jahat pun ikut berkembang biak. Tidak hanya kebaikan saja yang berkembang biak karena kejahatan juga bisa berkembang biak.

Berladang identik dengan menanam, dan menanam identik dengan sesuatu yang ditanam. Apabila kita telah menemukan benih yang tepat untuk ditanam, selanjutnya adalah menentukan ladang mana yang tepat untuk ditanami dengan benih tersebut.

Maiyah secara bahasa bermakna kebersamaan. Tentu saja, kebersamaan yang dimaksud tidak bisa disamakan dengan berkumpulnya beberapa penumpang dalam satu bus. Meski mereka bersama-sama menaiki bus, tetapi mereka memiliki tujuan yang berbeda-beda dan tidak peduli terhadap tujuan sesamanya.

Di Maiyah, apakah kita sudah benar-benar menyadari bahwa kita memiliki tujuan? Sementara itu, salah satu kegelisahan kita saat ini adalah antara satu dengan yang lainnya di antara kita juga belum mengenal betul satu sama lain. Jamaah Maiyah datang ke Kenduri Cinta dengan usaha mandirinya masing-masing, ada yang mengendarai motor, mobil, ada yang naik bus, kereta dan lain sebagainya. Maka, salah satu tugas kita saat ini adalah untuk memastikan bahwa di Maiyah ini kita bersama-sama menghasilkan sesuatu yang baik di masa depan, dan itulah tujuan bersama kita.

Hendra Kusuma yang sehari-hari bekerja di bidang hukum menyoroti kata Negeri yang tercantum dalam tema Kenduri Cinta kali ini. Menurutnya, tema ini tidak lepas dari apa yang disampaikan oleh Cak Nun pada Kenduri Cinta bulan April lalu, yakni ketika dijelaskan dengan detail perbedaan antara Negeri dan Negara. Jika Negara adalah sesuatu yang dibatasi dengan batas teritorial berwujud fisik, tidak demikian dengan Negeri. Tergambar jelas dari penjelasan Cak Nun bulan lalu perbedaan yang mendasar antara Negara dan Negeri.

Dari satu penjelasan tersebut kita telah bisa menyimpulkan bahwa Negeri Maiyah yang kita maksud adalah sebuah wilayah yang tidak terbatas pada area teritorial saja. Hadirnya simpul-simpul Maiyah menandakan bahwa Negeri Maiyah lahir bukan atas dasar kesadaran batas teritorial saja, melainkan kesadaran bersama untuk mencari kebenaran yang sejati.

“Maiyah sendiri adalah laboratorium pembelajaran yang tidak hanya unik, dimana selain menawarkan limpahan ilmu yang begitu banyak, Maiyah pun menyajikan sebuah gelombang energi yang tidak bisa didefinisikan dengan jelas.”
Ali Hasbullah, Kenduri Cinta (Mei, 2016)

SELANJUTNYA, berkaca dari apa yang disampaikan oleh Luqman sebelumnya, Ali Hasbullah menekankan bahwa tugas utama manusia adalah menanam, bukan memanen. Ali berpendapat bahwa menanam adalah sebuah peristiwa kerja produktif guna menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Seperti yang juga disampaikan Luqman sebelumnya, meskipun kita tahu besok adalah hari kiamat dan ditangan kita terdapat benih yang bisa ditanam, maka kita harus tetap menanam benih tersebut. Sehingga dapat dipahami meskipun kita tidak tahu apakah benih tersebut akan kita nikmati hasilnya atau tidak, tugas utama kita adalah tetap menanam. Dan, inilah yang sedang kita lakukan di Maiyah. Maiyah hadir dengan wacana-wacana alternatif bukan dalam rangka menunjukkan bahwa Maiyah adalah yang paling benar, tetapi Maiyah hadir untuk memberikan pilihan lain bagi jamaah dalam menemukan kebenaran yang sejati.

Menurut Ali, Maiyah sendiri adalah laboratorium pembelajaran yang tidak hanya unik, dimana selain menawarkan limpahan ilmu yang begitu banyak Maiyah pun menyajikan sebuah gelombang energi yang tidak bisa didefinisikan dengan jelas. Satu contoh yang paling nyata adalah dari apa yang dialami oleh Ali sendiri, setiap pulang dari Kenduri Cinta, katanya ia tidak merasakan lelah meskipun sebelum datang di Kenduri Cinta energinya sudah terkuras di kantor tempatnya bekerja. Di Kenduri Cinta, ia ikut bergabung dengan Jamaah Maiyah yang lain, duduk menekun berjam-jam menikmati paparan ilmu dari narasumber hingga dini hari berakhirnya acara, dan di pagi harinya ia tidak merasa kelelahan. Justru, ia merasa ada energi tambahan yang masuk ke dalam tubuhnya. Hal inipun sama dirasakan oleh banyak jamaah yang hadir di setiap Maiyahan.

Setelah paparan dari narasumber awal, Tri memberi kesempatan kepada Jamaah untuk urun di sesi prolog. Berangkat dari kata Ladang, bahwa ada yang berbeda di Kenduri Cinta bulan ini, pihak pengelola Taman Ismail Marzuki sejak awal bulan Mei 2016 ini telah menerapkan sistem pengelolaan parkir yang berbeda dari sebelumnya. Secara langsung, hal ini berpengaruh pada uang yang dikeluarkan oleh Jamaah Kenduri Cinta, dimana biaya parkir yang semula bertarif flat, sekarang diberlakukan tarif per-jam. Tri juga memaparkan bahwa Simpul Maiyah lain mengalami “gangguan” serupa, sebut saja di Juguran Syafaat, Purwokerto, hingga hari ini sudah harus berpindah tempat 4 kali untuk melaksanakan Maiyahan rutin mereka, begitu juga dengan BangbangWetan di Surabaya, mengalami hal serupa, sempat berpindah-pindah tempat, di Halaman Gedung Kesenian Cak Durasim dan Halaman TVRI Surabaya, dimana biasanya dilangsungkan di Balai Pemuda Surabaya. Hal ini bukan tidak mungkin, Kenduri Cinta yang sudah berjalan selama 16 tahun juga akan mengalami hal yang sama. Dengan adanya sistem pengelolaan Taman Ismail Marzuki yang baru ini, dengan alasan renovasi ruang publik, bisa saja Kenduri Cinta di kemudian hari terkendala.

Yang menjadi persoalan bukan tempat pelaksanaannya, karena jamaah sudah pasti memiliki beberapa opsi tempat apabila di kemudian hari pengelola Taman Ismail Marzuki mengharuskannya pindah lokasi. Yang menjadi tantangan kita bersama justru, akan kita tanam dimana benih yang sudah kita dapatkan di laboratorium Kenduri Cinta ini, di ladang mana kemudian kita akan menanamnya? Dengan cara apa kita menanamnya? Juga, bagaimana merawat benih yang kita tanam di ladang?

Tri kemudian melemparkan sebuah pertanyaan yang lebih mendasar, apa sesungguhnya perbedaan yang terasa dengan ada atau tidaknya Kenduri Cinta ini? Apakah ada perbedaan signifikan yang dirasakan atau sebenarnya hanya dijalani dengan perasaan yang biasa saja?

Ahmad, jamaah yang mengenal Kenduri Cinta dari sahabatnya di sebuah serikat buruh pada tahun 2015, mengatakan bahwa Kenduri Cinta sudah memberikan efek positif dalam dirinya. Satu hal yang paling mudah digambarkannya adalah di tempatnya bekerja saat ini ia sudah berani menyatakan mana yang haq dan mana yang bathil, mana yang benar dan mana yang salah. Lain lagi dengan Ahru, jamaah dari Bekasi. Ahru pernah bergabung di sebuah forum diskusi di wilayah Utan Kayu, hingga akhirnya merasakan kegelisahan bahwa pemikirannya saat itu terlalu radikal dari yang lainnya. Akhirnya, salah seorang sahabatnya menyarankan untuk menonton video Cak Nun di Youtube dan membaca buku-buku Cak Nun. Di akhir tahun 2015, Ahru mengalami puncak kegelisahan atas dirinya sendiri dan bernazar akan mengikuti Kenduri Cinta selama 2016 ini.

Pada Januari 2016 lalu, Kenduri Cinta mengangkat tema Gerbang Wabal, bagi Ahru tema itu merupakan satu pijakan yang tepat untuk menemukan siapa dirinya yang sebenarnya. Ada satu nilai yang dipegang oleh Ahru, yang beberapa kali disampaikan oleh Cak Nun, yakni perbanyaklah untuk menerima perbedaan. Dengan pijakan nilai ini ia merasa semakin adem saat menyikapi segala perbedaan yang ia temui sehari-hari. Ahru benar-benar memahami makna ummatan wasathon di Kenduri Cinta ini.

“Bahwa 32 bidak catur memiliki probabilitas pergerakan sebanyak 114 juta posisi dalam total 64 area kotak di atas sebuah papan catur, lantas bagaimana dengan 250 juta manusia yang berada dalam sebuah negara Indonesia ini?”
Tri Mulyana, Kenduri Cinta (Mei, 2016)

DI KENDURI CINTA malam itu, seorang bapak bernama Heri urun memberi respon, ia memiliki kesan tersendiri karena sudah mengikuti tulisan-tulisan Cak Nun sejak dari era 80-an. Ia menyatakan tulisan-tulisan era itu ternyata sangat relevan dengan apa yang kita hadapi hari ini. Artinya, persoalan yang kita hadapi hari ini nyatanya merupakan keresahan-keresahan yang dihadapi oleh Cak Nun sejak puluhan tahun yang lalu. Dan, sejalan dengan apa yang disampaikan Heri, Hendra juga memiliki pengalaman yang hampir sama, bahwa alternatif wacana yang sudah mengemuka di Maiyah sejak lama justru diadaptasi oleh sebuah negara berkembang pada medio 2013-2014. Menurut Hendra, pada faktanya wacana yang kita temui di Maiyah bukanlah sebuah alternatif wacana, melainkan bisa menjadi alternatif utama. Sebuah ilmu yang kita dapatkan dalam forum diskusi Maiyahan yang sangat sederhana, yang tidak ada paksaan untuk hadir di dalamnya, justru menghasilkan pendaran ilmu yang luar biasa bermanfaat bagi banyak orang.

Sesi prolog dipungkasi Tri dengan menarik refleksi dari pementasan teater Nabi Darurat-Rasul Ad Hoc, bahwa 32 bidak catur memiliki probabilitas pergerakan sebanyak 114 juta posisi dalam total 64 area kotak di atas sebuah papan catur, lantas bagaimana dengan 250 juta manusia yang berada dalam sebuah negara Indonesia ini? Ada berapa milyar probabilitas kemungkinan konstelasi perubahan posisinya?

Usai memungkasi sesi prolog, B-Flat salah satu kelompok musik didikan Beben Jazz di Komunitas Jazz Kemayoran dipersilahkan membawakan beberapa nomer lagu, diantaranya “All I Have To Do Is Dream” dan sebuah nomor lawas lainnya, yang diakhiri dengan pembacaan musik puisi oleh Silvy. Restu tak ketinggalan turut menyumbangkan satu buah puisi karya Cak Nun berjudul Maiyah Lingkaran. Di tengah-tengah pembacaan puisi, Cak Nun hadir disertai Cak Fuad. Setelah Restu, Kelompok Musik Sinau Rasa turut menampilkan beberapa nomor sholawat, secara spontan melihat beberapa personel Sinau Rasa membawa alat musik Rebana, Cak Nun langsung bergabung ke atas panggung.

“Makna Tadabbur lebih kepada perenungan yang dihubungkan dengan sejauh mana Al Qur’an mengubah hidup seseorang yang bertadabbur.”
Ahmad Fuad Effendy, Kenduri Cinta (Mei, 2016)

BERADU BUKTI CINTA KEPADA RASULULLAH

“AGAMA APAPUN anda, tetapi tidak ada Tuhan selain Allah. Terserah cara anda memahami dan apa yang terlihat di batin anda maupun di mata anda, sesungguhnya itu adalah keterbatasan kita masing-masing. Tetapi, tidak ada sumber yang lain dan tidak ada tujuan yang lain kecuali Allah SWT,” Cak Nun menyapa jamaah Kenduri Cinta dan mengajak semua yang hadir untuk melafalkan surat Al Fatihah yang dilanjutkan dengan surat An Naas, Al Falaq, Al Ikhlas dan dipungkasi dengan bersholawat bersama-sama. Cak Nun juga mengajak semua jamaah untuk bersama-sama melantunkan Sidnan Nabi dan Sholawat Alfa Salam dengan iringan rebana dari Kelompok Sinau Rasa. Lalu sejenak Cak Nun mengajak jamaah melantunkan dzikir; Robbi anzilni munzalan mubaarokan wa anta khoirul munziliin dan Robbi laa tadzarni fardan wa anta khoirul waritsiin.

Cak Nun lalu mempersilahkan Sinau Rasa membawakan dua nomor awal untuk membuka diskusi bersama Cak Fuad dan dimoderasi oleh Fahmi Agustian, Tri Mulyana, serta Ali Hasbullah. Cak Fuad merupakan satu dari sembilan anggota Dewan Pembina di dalam King Abdul Aziz International Center for Arabic Language atau Markaz Al-Malik Abdullah bin Abdul Aziz Ad-Dauli li Khidmati Al-Lughah Al-Arabiyah, meski beliau sendiri tidak pernah mengajukan diri apalagi mengirim curricuum vittae ke lembaga tersebut untuk dijadikan sebagai salah satu anggotanya. Cak Fuad merupakan salah satu marja’ di Maiyah, terutama dalam wilayah kajian Al Qur’an, dimana pada awal PadhangmBulan dirintis materi-materi yang dibahas selalu berkaitan dengan Al Qur’an.

Sejak lulus dari Gontor, Cak Fuad sudah berikrar untuk memperjuangkan tersebarnya bahasa arab di Indonesia. Dan, yang perlu dicatat dari sosok Cak Fuad sendiri, beliau tidak pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi luar negeri apalagi di Timur Tengah, sehingga bisa dikatakan Bahasa Arab yang dikuasainya adalah Bahasa Arab made in Indonesia, otentik.

Cak Fuad sedikit bercerita tentang program-program yang sudah dan akan dilaksanakan oleh King Abdul Aziz International Center for Arabic Language ini, salah satunya adalah menandatangani kerjasama dengan FIFA dalam rangka program pengisi komentator sepakbola dalam Bahasa Arab ketika Piala Dunia berlangsung.

Semasa menjadi santri di Gontor, Cak Fuad adalah qori’ kesayangan Kiai Ahmad Sahal dan Kiai Imam Zarkasyi, bersama Cak Nun keduanya sering didaulat untuk menjadi qori’ apabila Gontor kedatangan tamu-tamu besar, bukan karena bagusnya suara beliau ketika membaca Al Qur’an menggunakan Qiro’ah Sab’ah atau dengan suara yang melengking dan bernada tinggi, namun karena kesederhanaan dalam membaca Al Qur’an yang membuatnya dan Cak Nun menjadi qori’ kesayangan Kiai Gontor.

“Saya ini di Maiyah kebagian tugas untuk memberikan materi-materi yang berkaitan dengan Al Qur’an, meskipun saya sudah menyatakan bahwa saya bukan ahli tafsir. Karena, saya belum pernah kuliah di jurusan tafsir, dan saya juga belum pernah melakukan penelitian secara khusus tentang Kajian Ilmu Tafsir. Cuma, saya cinta kepada Al Qur’an, cinta kepada bahasa Al Qur’an, dan memang saya sejak kecil dididik oleh orang tua saya, juga Cak Nun, untuk belajar Qiro’ah Al Qur’an”. Perlahan kemudian Cak Fuad mulai memaparkan materi yang akan disampaikan.

Makna Tadabbur lebih kepada perenungan yang dihubungkan dengan sejauh mana Al Qur’an mengubah hidup seseorang yang bertadabbur.”
Ahmad Fuad Effendy, Kenduri Cinta (Mei, 2016)

PADHANGMBULAN ITU dulu dimulai dengan pengajian Tafsir. Cak Fuad bertugas memberikan tafsir secara tekstual, sedangkan Cak Nun menjelaskan tafsir secara kontekstual. Di awal kemunculannya Padhangmbulan bahkan pernah merilis beberapa buku-buku tafsir. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, ia menyadari bahwa sebenarnya yang harus dilakukan oleh ummat Islam adalah mentadabburi Al Qur’an. Karena, di Al Qur’an sendiri tidak ada perintah untuk menafsirkan Al Qur’an, sedangkan yang termaktub adalah perintah untuk mentadabburi Al Qur’an. Seperti yang difirmankan oleh Allah dalam surat Muhammad ayat 24; Afalaa yatadabbaruuna-l-qur’aana am ‘alaa quluubin aqfaaluhaa; Maka apakah mereka tidak menghayati Al Qur’an ataukah hati mereka terdapat gembok-gembok yang mengunci hati mereka? Dengan pijakan ayat inilah kemudian Cak Fuad me-restart pakem pengajian di PadhangmBulan dan beberapa pengajian yang diasuhnya dari sebuah pengajian Tafsir Al Qur’an kini berubah menjadi pengajian Tadabbur Al Qur’an.

Cak Fuad menjelaskan bahwa pada tafsir Al Qur’an yang dibahas didalamnya merupakan sebuah kajian yang bersifat akademis dan sangat detail, mulai dari huruf, kata, hingga kalimat yang terkandung dalam sebuah ayat Al Qur’an, bahkan hingga pada taraf kajian makna lahiriah dan makna yang diluar dari makna lahiriah itu sendiri. Kajian Tafsir juga membahas ayat-ayat yang mutasyabihat, yaitu ayat yang pemahaman secara terjemahannya masih abu-abu sehingga perlu pembahasan lebih mendalam untuk memahami maksud dari apa yang disampaikan Allah melalui ayat tersebut. Cak Fuad lalu memberikan contoh salah satu Kitab Tafsir Al Qur’an yang terkenal karena tafsirnya yang sederhana yaitu Kitab Jalalain.

Untuk Al Qur’an selain Kitab Tafsir yang sangat sederhana seperti Tafsir Jalalain, ada Kitab tafsir yang menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an dengan berdasarkan Hadits Nabi dan Atsar para Sahabat seperti Tafsir Ibnu Katsir, dan ada juga Tafsir yang menjelaskan makna sebuah ayat dengan pemaknaan yang sangat luas, tidak hanya dengan menggunakan Hadits, melainkan sebuah ayat bisa dihubungkan dengan ayat yang lainnya, juga sebuah ayat bisa dimaknai dengan peristiwa kontekstual yang terjadi saat ini, seperti Tafsir Al Marohi yang berjumlah 25 Jilid.

Sedangkan, Tadabbur lebih ditujukan kepada perenungan yang tentunya dilakukan sesudah memahami makna ayat Al Qur’an meskipun tidak terlalu luas. Kemudian, dilakukan perenungan dan dihubungkan (direfleksikan) dengan apa yang dialaminya sendiri, dihubungan dengan perilakunya baik secara individu maupun sosial. Cak Fuad lalu mencontohkan bagaimana Ummar Bin Khattab ketika masih musyrik seketika memutuskan untuk bersyahadat setelah mendengarkan 7 ayat dari Surat Thoha, hal ini dikarenakan Ummar Bin Khattab melakukan tadabbur terhadap ayat Al Qur’an yang ia dengarkan saat itu.

Dari proses tadabbur yang dilakukannya sendiri oleh Cak Fuad, ia pun mencari kunci-kunci dalam Al Qur’an yang berupa ayat sederhana dam sangat mudah dipahami tanpa menggunakan tafsir yang panjang lebar. Salah satunya adalah ayat; Innama-l-mu’minuuna ikhwatun, Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara.

Di awal tadi, Fahmi sebagai moderator menanyakan mengenai ayat tahsabuhum Jamii’an wa quluubuhum syattaa. Ia mengambil satu pijakan dari apa yang pernah dituliskan oleh Cak Fuad dalam sebuah buku “Tafsir Tematik; Maiyah Dalam Al Qur’an” yang diterbitkan ketika Haflah Maiyah tahun 2009. Dalam buku tersebut Cak Fuad mengumpulkan sejumlah 161 kata “Ma’a”, yang kemudian diklasifikasikan berdasarkan beberapa analisis secara sistematis.

Dalam buku tersebut Cak Fuad menjelaskan bahwa Maiyah atau kata ma’a dalam Al Qur’an memiliki salah satu pemahaman yaitu kebersamaan dua pihak dalam ruang, waktu, atau dalam keadaan tertentu, dan kebersamaan yang menyiratkan makna penjagaan, perlindungan, pertolongan dan pengawasan.

“Maiyah tidak mengalami apa yang disebut sebagai tahsabuhum jamii’an wa qulubuhum syattaa. Melainkan termasuk dalam klasifikasi attahabbuuna fillahi, saling mencintai karena Allah.”
Ahmad Fuad Effendy, Kenduri Cinta (Mei, 2016)

FAHMI LANJUT menggali Cak Fuad melalui ayat tahsabuhum Jamii’an Wa Qulubuhum Syattaa dengan sebuah pertanyaan, apakah ayat tersebut berlaku dalam keadaan dan kondisi Jamaah Kenduri Cinta yang demikian ini?

“Ayat ini, kalau saya tidak salah memahami berkaitan dengan orang-orang yang memusuhi Islam,” Cak Fuad menjelaskan bahwa ayat yang dimaksud, lebih ditujukan kepada mereka yang memusuhi Islam. Mereka saat ini bergerombol dalam satu barisan untuk bersama-sama menghancurkan Islam, tetapi sebenarnya dalam hati mereka memiliki tujuan masing-masing yang belum tentu memiliki tujuan yang sama untuk kebaikan bersama diantara mereka sendiri. Mereka bersatu karena mempunyai musuh bersama, apabila musuh bersama mereka sudah tidak ada, maka mereka akan menunjukkan jati diri mereka yang sesungguhnya bahwa sebenarnya hati mereka adalah qulubun syattaa, bercerai berai.

Tetapi, Cak Fuad berpendapat bahwa ayat tersebut juga bisa berlaku bagi umat Islam saat ini. Ketika memiliki musuh bersama, umat Islam bersatu dalam satu barisan untuk melawan musuh bersama itu dan ketika musuh tersebut sudah tidak ada mereka justru bertikai satu sama lain, saling bertengkar untuk berebut sesuatu. Apakah ayat tersebut bisa berlaku bagi Jamaah Maiyah? Cak Fuad menjelaskan bisa saja berlaku demikian, karena kita semua tidak tahu niat yang terkandung dalam hati masing-masing ketika datang ke Kenduri Cinta ini. Cak Fuad menekankan, bahwa tercerai-berainya hati mereka itu akan diuji oleh pengalaman, melalui proses perjalanan yang dilalui mereka, dan pada faktanya di Maiyah ini tidak ada sesuatu yang diperebutkan, sehingga bisa diasumsikan jamaah yang datang ke Kenduri Cinta dengan niat yang sama, yaitu mencari ridlo Allah, mencari kebenaran yang sejati. Dan, kebersamaan dalam Maiyah ini memang tidak terikat dalam ruang yang sama, bisa saja karena memiliki keyakinan yang sama dan niat yang sama meskipun tidak berada dalam satu tempat. Jamaah Maiyah tidak mengalami apa yang disebut sebagai tahsabuhum jamii’an wa qulubuhum syattaa. Dan, hal ini yang menurut Cak Fuad termasuk dalam klasifikasi attahabbuuna fillahi, saling mencintai karena Allah, meskipun tidak pernah bertemu tatap muka. Seperti yang disampaikan sebelumnya; Innama-l-mu’minuuna ikhwatun, Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.

“Para pengguna media sosial saat ini begitu mudah terpancing emosinya saat berdebat di internet, sehingga kata-kata yang dituliskan justru menimbulkan sakit hati bagi orang lain.”
Ahmad Fuad Effendy, Kenduri Cinta (Mei, 2016)

DUA KUNCI BEKAL

MELANJUTKAN URAIANNYA, Cak Fuad menjelaskan satu ayat yang termaktub dalam Surat Al Baqoroh ayat 83; Wa quulu li-n-naasi husnaa, ucapkanlah kata-kata yang baik kepada sesama manusia.

Cak Fuad mencontohkan satu kunci hubungan sosial manusia dari Al Qur’an, yaitu mengucapkan ucapan yang baik kepada sesama manusia merupakan satu perintah yang sudah disampaikan oleh Allah di dalam Al Qur’an. Ayat ini, menurut Cak Fuad, sangat bisa dipahami dengan pemahaman kontekstual sekarang, salah satunya adalah fenomena debat kusir yang seringkali terjadi di media sosial. Para pengguna media sosial saat ini begitu mudah terpancing emosinya saat berdebat di internet, sehingga kata-kata yang dituliskan justru menimbulkan sakit hati bagi orang lain.

Manusia adalah makhluk sosial, dia tidak bisa hidup sendiri, dia harus berinteraksi dengan manusia yang lainnya, dan saat ini cara berinteraksinya tidak hanya dengan berhadap-hadapan tatap muka langsung. Kemajuan teknologi telah memungkinkan manusia saling berinteraksi dengan manusia yang lainnya meskipun tidak berada dalam satu ruangan yang sama. Ayat ini kemudian diperkuat dengan Hadits Rasulullah SAW man kaana yu’minu billahi wa-l-yaumi-l-aakhir falyaqul khoiron aw liyasmut, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka ucapkanlah perkataan yang baik atau diam.

Cak Fuad menjelaskan bahwa unsur budaya juga sangat berpengaruh dalam mengungkapkan perkataan yang baik. Di Yogyakarta, misalnya, anak kecil yang seumuran bisa saja menggunakan bahasa Jawa yang halus, kromo. Bahkan, terkadang ada juga yang menggunakan bahasa kromo inggil. Lain lagi di Jawa Timur, jangankan dengan teman sebaya, dengan orang tuanya sendiri pun menggunakan bahasa Jawa ngoko, yang kasar. Tetapi, ini lebih dikarenakan kultur yang mempengaruhi.

Dalam Islam, jenis-jenis perkataan juga memiliki klasifikasinya tersendiri di dalam Al Qur’an, Cak Fuad menjelaskan bahwa dalam Al Qur’an terdapat Qaulan Ma’rufan, Qaulan Hasanan, Qaulan Kariiman, Qaulan Maisuura, Qaulan Tsaqiila.

Di tengah-tengah Cak Fuad menjelaskan pemarapannya, hujan mulai turun, jamaah pun perlahan merapat ke bawah tenda, mengatur ulang posisi duduk mereka, sebagian naik keatas panggung, sebagian yang lainnya tetap pada posisinya tidak berteduh, ada juga yang menggunakan terpal semula digunakan sebagai alas tempat duduk mereka, kemudian beralih fungsi menjadi payung untuk melindungi tubuh dari guyuran air hujan, dan ada yang bergegas mengambil jas hujan serta payung, lalu kembali merapat, seolah tak mau ketinggalan uraian yang disuguhkan di Kenduri Cinta. Cak Fuad menawarkan apakah forum dihentikan atau dilanjutkan, mayoritas menjawab untuk tetap dilanjutkan, dan mereka kembali khusyu’ menyimak uraian demi uraian.

Kajian tetap berjalan. Tidak terlihat raut wajah yang mengisyaratkan agar acara segera diselesaikan. Situasi seperti ini sudah berulang kali dialami Kenduri Cinta. Jamaah sudah terlatih untuk memaknai bahwa hujan yang turun adalah benar-benar rahmat dari Allah, sehingga air hujan bukan sebuah alasan bagi mereka untuk segera menyudahi interaksi penuh ilmu di Kenduri Cinta ini.

Yaa ayyuhalladziina aamaanuu ijtanibuu katsiiron mina-dzh-dzhonni, hai orang-orang yang beriman hindarilah dari dirimu atas persangkaan-persangkaan. Cak Fuad memberi contoh kedua dari kunci-kunci kehidupan yang ada di dalam Al Qur’an. Ayat tersebut memerintahkan manusia agar menghindari persangkaan yang buruk (Suudzon) dan mengedepankan berfikir positif (Khusnudzon), tetapi Cak Fuad juga menjelaskan bahwa kewaspadaan tetap harus diutamakan.

“Kita bermaiyah bukan untuk kepentingan diri kita sendiri. Tetapi untuk kepentingan yang lebih besar
Ahmad Fuad Effendy, Kenduri Cinta (Mei, 2016)

CAK FUAD BERCERITA bagaimana ketika musim Ibadah haji tiba Jamaah Haji Indonesia seringkali mendapat nasihat dari para pembimbing haji mereka untuk menghindari orang kulit hitam saat berada di Tanah Suci, karena seringkali mereka berbuat jahat dan kasar. Tetapi, yang dilakukan oleh Cak Fuad saat beliau berangkat menunaikan ibadah haji tahun 1996, bersama istrinya ia tidak menghiraukan nasihat dari pembimbing haji tersebut. Justru, karena sudah berkhusnudzon, yang ditemui oleh Cak Fuad dan istri adalah orang kulit hitam yang baik hatinya. Pertama yang ditemui ketika Cak Fuad hendak membayar uang potong rambut saat tahalul, saat itu Cak Fuad tidak membawa uang kecil, dan ternyata ada seorang kulit hitam yang langsung membayarkan ongkos potong rambut Cak Fuad. Kemudian, ketika prosesi pelemparan jumroh, ia dan istri justru dikawal oleh seorang kulit hitam sehingga tidak harus berdesak-desakan ketika melempar jumroh.

Dari pemaparan awal Cak Fuad, ada 2 kunci yang disampaikan oleh beliau berasal dari Al Qur’an yang berguna untuk pegangan hidup umat muslim, yakni perintah untuk mengucapkan perkataan yang baik dan perintah agar tidak berprasangka buruk. Dari ayat-ayat pendek seperti yang disampaikan sebelumnya, seharusnya tidak muncul khilaf atau perbedaan pendapat, karena untuk memahami ayat-ayat seperti itu tidak memerlukan kitab tafsir tebal yang membahas hingga detail. Perintah yang disampaikan dari ayat tersebut cukup diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, dan itulah salah satu bentuk tadabbur Al Qur’an yang dimaksudkan oleh Cak Fuad.

Ali Hasbullah kemudian ikut memberi pertanyaan kepada Cak Fuad. Pertanyaan yang juga masih berkaitan dengan Maiyah. Ali ingin mempertegas bahwa Syeikh Nursamad Kamba pernah menjelaskan tentang ayat laa takhof wa lahzan innallaha ma’anaa, sebuah ayat yang turun ketika Rasulullah SAW hijrah dari Mekkah menuju Madinah, berjalan kaki, dan di tengah perjalanan harus bersembunyi di Gua Tsur untuk menghindari kejaran Kaum Quraisy saat itu. Sebuah perjalanan yang cukup jauh, jarak antara Mekkah dan Madinah saja saat ini jika ditempuh dengan menggunakan bus akan memakan waktu hingga 6 jam lamanya.

Dalam peristiwa tersebut Abu Bakar merasakan kekhawatiran yang luar biasa bukan terhadap keselamatan dirinya, melainkan terhadap keberlangsungan risalah yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Melihat kondisi Abu Bakar yang sedemikian khawatir, Rasulullah SAW kemudain menyampaikan firman Allah; laa takhof wa laa tahzan innallaha ma’ana.

Dari pertanyaan tersebut, Cak Fuad menekankan bahwa bukan nyawa Abu Bakar sendiri yang dikhawatirkan oleh dirinya, sejak awal Abu Bakar sudah siap mati untuk membela Islam. Tetapi, yang sangat dikhawatirkan oleh Abu Bakar adalah keberlangsungan dakwah Rasulullah Muhammad SAW, sehingga apabila Rasulullah Muhammad SAW terbunuh saat itu, maka akan terhenti di Gua Tsur itu perjuangan beliau dalam menyampaikan risalah dakwahnya kepada umat manusia. Cak Fuad merefleksikan peristiwa tersebut dalam Maiyah hari ini, bahwa kita bermaiyah bukan atas dasar kepentingan kita sendiri. Tetapi, justru kepentingan misi Islam secara keseluruhan yang menjadi tujuan utama kita bermaiyah. Sehingga refleksi yang dilakukan oleh Syeikh Nursamad Kamba melalui ayat tersebut menurut Cak Fuad sangat tepat untuk menjadi landasan perjuangan Maiyah ini.

Begitu juga ketika Rasulullah dan sebagian pengikut beliau yang hijrah ke Madinah. Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshor. Inti mempersaudarakan kedua golongan tersebut adalah Rasulullah mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri. Nilai inilah yang juga menjadi fondasi Maiyah.

Dari Tri Mulyana kemudian bertanya, kegelisahan masyarakat saat ini adalah maraknya da’i-da’i yang sepertinya menjauh dari metode tafsir yang seharusnya, sehingga yang muncul adalah para da’i yang sebenarnya belum paham tentang Tafsir Al Qur’an tapi justru memaksakan diri untuk menjelaskan tafsir Al Qur’an. Cak Fuad pun merespon, bahwa yang seharusnya dilakukan oleh semua orang, bukan hanya da’i, adalah meningkatkan pengatahuannya masing-masing dengan terus menerus belajar sehingga semakin dia belajar semakain memahami kekurangan dalam dirinya.

Cak Fuad menambahkan, bahwa Rasulullah SAW sendiri mengubah skala prioritas dakwahnya. Pada awalnya dakwah beliau hanya diperuntukan bagi keluarganya sendiri, tetapi selanjutnya meluas kepada orang-orang di sekitar beliau. Kemudian, karena tuntutan lingkungan, dakwah beliau diperluas lagi untuk seluruh penduduk kota Mekkah saat itu. Hingga akhirnya, karena situasi dan kondisi yang terjadi, dakwah beliau juga diperluas lagi hingga Madinah. Disini kita melihat bagaimana Rasulullah menentukan skala prioritas yang tepat dalam menyusun strategi berdakwahnya. Tentu saja, yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah terus berinovasi, sehingga dakwah yang beliau lakukan juga tidak monoton, dan inilah yang seharusnya dilakukan oleh para da’i saat ini, agar metode dakwah yang mereka gunakan tidak usang dimakan waktu. Apalagi, umat yang mereka hadapi saat ini adalah umat yang sudah lebih maju dan lebih modern dengan segala teknologinya.

“Pertahanan kekuatan kesehatanmu adalah sel-selmu sendiri, bukan karena asupan, bukan vitamin, bukan obat. Selmu harus kuat”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2016)

HUJAN TURUN semakin deras. Beberapa jamaah bertahan duduk di atas mobil pemadam kebakaran yang diparkir di pelataran Taman Ismail Marzuki. Mereka menggunakan mantelnya untuk menahan hujan dari tubuhnya. Cak Nun yang sebelumnya menikmati jalannya diskusi antara moderator dengan Cak Fuad untuk bergabung di tengah-tengah jamaah yang sudah merapat di panggung Kenduri Cinta.

“Setiap kali ada apa-apa, kita harus berpikir komperhensif. Ada tantangan, ada keadaan, ada situasi, ada nuansa, itu kita pikirkan bareng-bareng. Ketika kita ngomong ini, ngomong itu, kemudian hujan turun. Hujan ini adalah sebuah bunyi yang lain dan perkataan yang lain yang harus kamu respon juga,” Cak Nun mengawali uraiannya.

Menyikapi situasi hujan yang cukup deras Cak Nun kemudian melakukan workshop sederhana. Menyambung pertanyaan sebelumnya tentang ayat tahsabuhum jamii’an wa qulubuhm syattaa. Cak Nun mencontohkan ketika beberapa orang bergerombol sedang bermain gaple atau kartu remi, secara fisik mereka berkumpul dalam satu ruangan tetapi hatinya tercerai berai karena memiliki kepentingan masing-masing, qulubuhum syattaa. Satu contoh lain, dalam sepakbola, meskipun terdapat dua tim kesebelasan yang sedang saling berhadapan satu sama lain, pada hakikatnya mereka tidak dalam keadaan qulubuhum syattaa, karena mereka semua sepakat untuk menjunjung sportifitas permainan sepakbola dengan segala aturan yang ada. Sehingga, bisa dikatakan bahwa tahsabuhum jamii’an wa qulubuhum syattaa hanya berlaku pada dimensi ruang dan waktu tertentu saja.

Cak Nun kemudian bertanya kepada beberapa jamaah, kenapa meskipun hujan turun deras tetapi memutuskan untuk bertahan di Kenduri Cinta? Salah satu jamaah menjawab karena seandainya pulang pun akan kehujanan di jalan. Cak Nun lalu melempar lagi pertanyaan lanjutan, seandainya hujan ini berhenti anda akan pulang atau tidak? Dan mayoritas menjawab tidak pulang. Sehingga, jawaban dari salah seorang jamaah di awal tadi tidak relevan, karena pada faktanya hujan sudah mampu dikondisikan oleh jamaah Kenduri Cinta dan bukan sebagai halangan untuk tetap bersama-sama bermaiyah di Kenduri Cinta.

“Kekuatan kebersamaan seperti ini dibangun oleh kekuatan yang terbangun dari kekikhlasan dan ketulusan atas sebuah cinta”, salah seorang jamaah kemudian memberikan jawaban yang lain dari pertanyaan awal Cak Nun sebelumnya tentang mengapa meskipun hujan turun jamaah masih bertahan. Lalu jamaah lain dari sayap kiri panggung menjawab dengan jawaban yang lain; “Untuk belajar,” dan Cak Nun mengejar dengan pertanyaan selanjutnya, “Belajar itu sebab atau akibat?”, jamaah tadi menjawab, “Sebab”. Cak Nun pun bertanya kembali, “Mungkin nggak belajar menjadi akibat?”

Cak Nun kemudian mencontohkan dengan sebuah kalimat, karena saya lapar kemudian saya makan. Karena saya makan kemudian saya kenyang. Kata “makan” pada kalimat pertama menjadi akibat, dan pada kalimat kedua menjadi sebab. Demikian Cak Nun menjelaskan bahwa seperti inilah hidup, terus menerus berkembang.

“Sekarang saya gathukkan, apakah cinta dan ketulusan tadi itu menjadi salah satu dasar yang membuat anda mau belajar disini? (jamaah menjawab iya). Jadi, anda dengan teman anda tadi itu kompak ndak? Tahsabuhum jamii’an wa qulubuhum jamii’an, ya atau ndak? Ya, bersama disini, hatinya juga bersama disini, betul apa ndak?”, Cak Nun kembali bertanya dan semua jamaah menjawab “iya”.

Lebih jauh, Cak Nun mengajak jamaah untuk berfikir zig-zag dalam memaknai hujan deras kali ini. Sebelumnya Cak Fuad menjelaskan bahwa dalam Al Qur’an terdapat ayat yang berbunyi innallaha ma’a-sh-shobiriin, Allah bersama orang-orang yang sabar. Dengan kondisi hujan deras yang turun, Cak Nun mengajak jamaah untuk memahami bahwa ternyata hujan telah menyebabkan mereka menjadi orang yang sabar. Sebagian ada yang harus menepi untuk berteduh, sementara yang berada di bawah tenda harus bersabar untuk berdiri agar semua sama-sama ikut berteduh di bawah tenda. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa hujan sudah menyebabkan mereka untuk mendekat kepada Allah karena mereka sudah menjadi orang yang sabar dalam menyikapi hujan yang turun. Bahkan, karena struktur area pelataran Taman Ismail Marzuki yang sudah tidak idel ketika hujan turun, maka air menggenang sehingga kaki-kaki jamaah sendiri tergenang oleh air hujan.

“Sekarang aku tanya, air yang menggenang itu membuat anda masuk angin apa tidak?”, Cak Nun kembali bertanya kepada jamaah dan serentak dijawab; “tidak”. “Kenapa tidak? Karena anda menerimanya dengan ikhlas, betul ndak? Yo rodo mangkel-mangkel thithik. Yang membuat anda tertekan karena anda menolaknya, begitu anda menerimanya (genangan air menggenangi kaki), sel-sel anda menjadi kuat. Saya ingin katakan kepada anda, pertahanan kekuatan kesehatanmu adalah sel-selmu sendiri, bukan karena asupan, bukan vitamin, bukan obat. Selmu harus kuat”.

“Anda harus menang. Anda tidak boleh sakit oleh Republik Indonesia. Anda tidak boleh sakit karena keadaan-keadaan.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2016)

KEKUATAN SEL dalam tubuh adalah kekuatan yang harus terus menerus dilatih sehingga tubuh manusia tidak bergantung pada suplemen yang berasal dari luar tubuh. Cak Nun sendiri sudah membuktikan bahwa dengan melatih sel-sel dalam tubuh, maka akan ditemukan proporsi yang tepat kapan harus istirahat, kapan harus mengambil jeda, bahkan untuk tidur sekalipun tidak bergantung pada apakah ada kasur atau tidak. Karena, apabila tubuh manusia sudah membutuhkan istirahat, maka tidak akan memperdulikan tempat untuk berisitirahat. Di kasur atau di kursi akan terasa sama saja.

Cak Nun berbagi tips bagaimana melatih kekuatan sel dalam tubuh, salah satunya adalah bahwa proporsi tidur beliau di kasur hanya 30% saja, selebihnya beliau melatih tubuh untuk tidur dalam kondisi dan posisi yang tidak seperti yang dianjurkan oleh dunia kedokteran modern, entah di kursi, di lantai, ketika dalam perjalanan di dalam mobil dan sebagainya.

“Kunci kesehatan disitu sebenarnya, di kekuatan sel-selmu. Sel itu sudah tidak ngomong jantung, paru-paru, tulang, syaraf, karena semua itu sel. Kalau selmu kuat, dia punya daya antisipasi dan daya tahan terhadap semua yang akan merusaknya. Jadi, saya doakan anda sehat wal afiat. Semakin lama berdiri, semakin sehat badanmu. Tapi, kalau anda berdiri dan anda merasa tertekan karena anda berdiri, anda akan merasa sakit. Karena kamu kalah sama berdiri itu.”, lanjut Cak Nun disambut tawa jama’ah.

Kamu harus menang. Kamu tidak boleh sakit oleh Republik Indonesia. Kamu tidak boleh sakit karena keadaan-keadaan. Karena Jamaah Maiyah sudah diriset umurnya antara 17-35 tahun. Sehingga anda nanti yang akan diamanati untuk bangkitnya republik kita. Cak Nun membesarkan hati jamaah dan mengajak jamaah untuk memahami bahwa hujan yang turun mampu diolah untuk menjadikan tubuh semakin sehat, menjadikan kita semakin berilmu, dan menjadikan kesabaran kita semakin jembar.

“Tadi Cak Fuad menegaskan di Qur’an tidak ada ayat yang menyuruh tafsir. Selama ini, saya mohon anda Jamaah Maiyah jangan tergantung saya, Cak Fuad dan siapapun. Anda harus bertemu langsung dengan sumber primernya Islam yaitu Al Qur’an. Bahwa Cak Fuad berpendapat, saya berpendapat gunakan itu sebagai wacana dan untuk pertimbangan, tapi kamu sendiri ambil keputusan dengan ketemu kepada pabriknya langsung. Anda selama ini, di seluruh dunia, tidak punya kesempatan yang luas untuk ketemu pabriknya langsung, anda hanya ketemu sama makelar dan broker-brokernya. Nah, saya tidak mau menjadi broker, saya tidak mau menjadi bagian yang menghalangimu dengan Al Qur’an. Qur’an harus ketemu kamu untuk ditadabburi. Jangan tergantung saya, tadabburmu mungkin berbeda dengan tadabburku”. Demikian Cak Nun menegaskan.

Cak Nun kemudian menjelaskan kembali perbedaan antara Tafsir dengan Tadabbur. Tafsir merupakan sebuah metode pendekatan terhadap Al Qur’an yang memiliki persyaratan akademis yang begitu banyak, sehingga tidak semua orang mampu melakukan tafsir terhadap Al Qur’an. Karena, yang dilakukan oleh seorang penafsir Al Qur’an adalah proses ilmiah akademis serta tartil sehingga seluruh unsur yang ada dalam ayat-ayat Al Qur’an diteliti dan dianalisis untuk memiliki pertanggungjawaban secara akademis ketika dipublikasikan kepada masyarakat luas. Berbeda dengan Tadabbur.

Tadabbur tidak ada urusannya dengan persyaratan ilmiah dan akademis seperti Tafsir. Karena ukuran dalam Tadabbur adalah manfaat kebaikan yang ditimbulkan oleh seseorang yang bertadabbur kepada Al Qur’an, dengan bertadabbur kepada Al Qur’an maka seharusnya ia akan semakin cinta kepada sesama manusia, ia semakin mampu memberikan manfaat kebaikan bagi manusia di sekitarnya dan mampu lebih dekat kepada Allah, dan tentunya lebih mengerti untuk mencintai Rasulullah SAW.

Selanjutnya, Cak Nun mempersilahkan kembali kelompok musik Sinau Rasa untuk membawakan beberapa nomor sholawat lagi sebelum membuka sesi penggalian Cak Fuad dalam diskusi. Merupakan sebuah kegembiraan yang tidak ternilai harganya bagi Kenduri Cinta kali ini, karena dihadiri oleh Cak Fuad dan Cak Nun, dua sosok marja’ Maiyah yang hampir selalu tidak cukup waktu untuk menggali ilmu-ilmu yang berpendar dari beliau berdua. Guyuran hujan yang deras bukan halangan yang berarti bagi jamaah Kenduri Cinta untuk terus memetik ilmu dari Cak Fuad dan Cak Nun kali ini.

“Setiap orang Islam diperbolehkan memahami Al Qur’an sesuai dengan pemahaman dan pemikirannya, sepanjang hal itu menambah kuat imannya.”
Ahmad Fuad Effendy, Kenduri Cinta (Mei, 2016)

EPISTIMOLOGI TADABBUR

SETELAH SHOLAWAT Zainal Anbiyaa dan Nurul Musthofa dibawakan oleh Sinau Rasa, Cak Nun membuka diskusi bersama Cak Fuad dengan sebuah pertanyaan epistimologi tadabbur dan hubungannya dengan kata dubur. Secara logika, Cak Nun sebelumnya menganalogikan bahwa dubur itu seperti sebuah knalpot kendaraan, etika mesin dinyalakan kemudian ada air yang menetes dari knalpot maka bisa disimpulkan bahwa mesin kendaraan tersebut dalam keadaan sehat. Secara logika, Cak Nun menjelaskan bahwa apabila yang keluar dari Dubur manusia adalah kotoran yang memang secara ilmu biologi merupakan kotoran yang baik, maka bisa dinyatakan bahwa tubuh manusia tersebut dalam keadaan sehat.

Amin, salah seorang jamaah, bertanya kepada Cak Fuad bagaimana tips-tips agar tidak terjebak pada tafsir-tafsir tekstual yang sempit ketika mentadabburi Al Qur’an maupun Sunnah. Lalu pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang perbedaan Rois, Amir dan Aulia, yang mana tiga kata tersebut dapat diklasifikasikan dalam konteks kepemimpinan. Kemudian jamaah lainnya, Imron Wahyudi, bertanya tentang bagaimana menyikapi keadaan lingkungan di sekitar yang menganggap cara berfikirnya secara Maiyah yang dianggap oleh lingkungan di sekitarnya sebagai cara berfikir yang sesat dan bagaimana menyikapi kondisi dimana mau tidak mau harus tetap memikirkan Indonesia yang semakin tidak karuan seperti hari ini.

Cak Fuad kemudian merespon pertanyaan Amin terlebih dahulu bahwa Tadabbur pada satu kondisi tertentu juga memerlukan Tafsir. Cak Fuad memberi landasan bahwa Tafsir Tekstual dan Kontekstual pada dasarnya sama-sama dibenarkan. Jika Tekstual, itu sudah jelas karena biasanya berlandaskan pada buku-buku yang diterbitkan oleh para penafsir. Sedangkan yang kontekstual outputnya mungkin saja mengandung kebenaran yang relatif karena sudah mengalami proses perenungan sebelumnya oleh yang mentadabburinya. Tetapi, pemaknaan tekstual tetap juga merupakan hal yang penting untuk dilakukan meskipun ada wacana secara kontekstual.

Sebelum merespon pertanyaan kedua, Cak Fuad merespon pertanyaan Cak Nun tentang hubungan Tadabbur dengan Dubur. “Jadi memang secara etimologis. Tadabbur itu ada hubungannya dengan Dubur. Arti Dubur sesungguhnya adalah sesuatu yang ada di belakang”, Cak Fuad menjelaskan bahwa ada istilah idbaaru an nahaar, itu artinya adalah akhir dari waktu siang, yaitu waktu Maghrib. Dan, idbaaru-l-laili adalah waktu sesudah Malam, yaitu Pagi. Cak Fuad juga menjelaskan bahwa apabila Tadabbur itu lebih mementingkan hasil atau output berupa manfaat kebaikan seperti yang disampaikan oleh Cak Nun sebelumnya, Cak Fuad menjelaskan bahwa pemaknaan Tadabbur yang demikian juga tidak disalahkan. Karena setiap orang Islam diperbolehkan memahami Al Qur’an sesuai dengan pemahaman dan pemikirannya, sepanjang hal itu menambah kuat imannya. Jika setelah membaca Al Qur’an dengan kemampuan yang dimiliki dan menimbulkan efek bertambah kuat keimanannya, maka itu adalah hal yang diperbolehkan. Tetapi, apabila kita dihadapkan pada posisi keragu-raguan dalam memahami sebuah ayat Al Qur’an, maka Cak Fuad menyarankan agar kita bertanya kepada orang yang lebih memahami Al Qur’an.

Merespon pertanyaan kedua dari Amin tentang Rois, Amiir dan Aulia, Cak Fuad menjelaskan bahwa 3 istilah tersebut hanyalah merupakan salah satu jenis sebutan saja tentang Pemimpin. Jika di Al Qur’an ada istilah Wali, yang juga merupakan akar kata atau bentuk kata tunggal dari Aulia. Sedangkan istilah Rois adalah istilah yang muncul dalam khasanah keilmuan modern. Sedangkan Amiir sendiri merupakan sebuah istilah kepemimpinan yang muncul pada masa Umar bin Khattab menjadi Khalifah. Secara Etimologis jelas ketiga istilah itu sangat berbeda. Jika Wali atau Aulia di dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa Wali atau Aulia adalah orang yang dekat, yaitu orang yang antara kita dengan orang tersebut sudah tidak ada lagi jarak, itulah yang dinamakan Wali. Pada penafsiran yang lain, Wali juga bisa bermakna sebagai pemimpin. Karena pemimpin adalah orang yang diserahi untuk mengurusi urusan rakyat yang dipimpinnya. Dalam khasanah Islam terdapat Istilah waliyul amri, yaitu orang yang mengurusi suatu perkara yang kemudian juga diartikan sebagai pemimpin.

“Rasulullah SAW memiliki sifat aziizun alaihi maa anittum, yaitu merasa tidak tahan hatinya jika umatnya menderita.”
Ahmad Fuad Effendy, Kenduri Cinta (Mei, 2016)

CAK FUAD MENJELASKAN lebih detail lagi, bahwa Amiir secara Etimologis berasal dari kata amaro-ya’muru, artinya memerintah. Orang yang memerintah adalah Aamir, sedangkan orang yang diperintah adalah ma’muur dan bentuk lain dari kata ma’muur adalah Amiir. Sehingga secara etimologis, Amiirul Mu’miniin artinya adalah orang suruhannya orang-orang mukmin.

Dalam perkembangannya, kata Amiir juga mengalami perubahan, saat ini misalnya di Kerajaan Arab Saudi, kata Amiir dipahami sebagai Pangeran sedangkan Maalik adalah Raja. Secara filosofi, Amiir adalah orang yang diperintah, tetapi pada saat Khalifah Umar Bin Khattab memimpin kemudian beliau mendapat panggilan Amiirul Mu’minin, maka istilah tersebut juga dapat dipahami sebagai pemimpin.

Lain lagi dengan pemahaman kata Rois. Kata Rois sendiri merupakan bentuk lain dari Ro’sun yang berarti Kepala, sehingga ada istilah Ro’isul Jumhuriyah artinya adalah Kepala Negara. Istilah ini tentu agak berbeda dengan Imam yang secara bahasa berasal dari kata Ummun (Ibu). Jika Imam akan dipahami sebagai seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat seperti seorang Ibu, yang antara lain memiliki sifat yang selalu melindungi anaknya (orang yang dipimpinnya). Imam itu akan selalu mengutamakan kepentingan yang dipimpinnya daripada dirinya sendiri, seperti halnya seorang Ibu, ia tidak akan rela anaknya menderita. Sifat ini yang juga dimiliki oleh Rasulullah SAW, yaitu aziizun alaihi maa anittum, merasa tidak tahan hatinya jika umatnya menderita. Sedangkan Rois, karena secara bahasa istilah artinya adalah kepala, maka sangat wajar jika kemudian seorang Rois merasa ingin selalu diatas, selalu ingin dihormati, selalu ingin menonjol.

Merespon kegelisahan Imron Wahyudi yang merasa asing di lingkungannya dengan cara berfikir Maiyah yang sudah ia pilih, bahkan tidak jarang ia dianggap sesat, Cak Fuad menjelaskan bahwa sudah seharusnya Jamaah Maiyah memiliki kesiapan mental untuk menjadi kaum Ghurobaa, kaum yang asing. Tentu saja, yang dimaksud adalah dalam situasi yang buruk, kemudian kita menjadi pihak yang baik. Rasulullah SAW pernah besabda ; Thuuba li-l-ghuroobaa, beruntunglah orang-orang yang asing. Cak Fuad menjelaskan bahwa jika kita menjadi asing ketika di sekitar kita berperilaku buruk dan kita berperilaku baik, maka disitulah letak keberuntungan kita sebagai orang yang asing sesuai dengan hadits Rasulullah tersebut.

Apabila ada orang yang belum bisa menerima cara berfikir kita sebagai Jamaah Maiyah saat ini, sesekali agar diajak ke forum maiyahan atau menggunakan teknik yang pernah dilakukan oleh Cak Fuad, ketika ada orang yang belum bisa menerima cara berfikir Cak Fuad, dimana suatu ketika Cak Fuad mengirimkan sebuah buku bacaan kepada orang tersebut. Ternyata dengan cara tersebut mampu mengubah cara pandangnya.

Merespon pertanyaan terakhir tentang bagaimana menyikapi situasi Indonesia saat ini dimana sangat tidak mungkin bagi Imron untuk tidak memikirkan Indonesia, Cak Fuad menjelaskan bahwa memikirkan Indonesia itu boleh, tetapi kita harus memahami maqom kita ada dimana, sehingga kita mampu menentukan proporsional energi kita untuk memikirkan Indonesia. Jangan sampai sesuatu hal yang lebih primer di sekitar kita justru terlupakan karena kita terlalu serius memikirkan Indonesia yang sebenarnya bukan kewajiban kita untuk memikirkannya, apalagi untuk membereskan persoalan-persoalan Indonesia. Seperti halnya kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, Cak Fuad menjelaskan bahwa kewajiban itu harus disesuaikan dengan otoritas yang kita miliki saat ini.

“Pikirkan Indonesia, maka Allah akan mencintai anda, karena anda mencintai sesuatu apa yang tidak berkewajiban anda pikirkan.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2016)

CAK NUN MELENGKAPI respon dari Cak Fuad. Bahwa sebutan Amiir itu ditujukan kepada seorang pemimpin, tetapi secara filosofi, seorang Amiir adalah orang yang disuruh untuk memimpin. Di Indonesia, misalkan, ada bupati, gubernur hingga presiden, mereka adalah seorang yang diperintah untuk menjadi pemimpin, bahkan sudah dibayar dan diberi fasilitas mobil, rumah dinas dan lain sebagainya hingga uang pensiun. Maka, mereka memiliki kewajiban untuk tidak sekedar memikirkan Indonesia, bahkan wajib untuk mengurusi Indonesia. Cak Nun ikut merespon pernyataan Imron terkait memikirkan Indonesia, “Anda itu tidak wajib tetapi mau mikirin Indonesia. Itu sedekah anda yang luar biasa kepada Indonesia. Anda melakukan Ihsan,” lanjut Cak Nun yang kembali menjelaskan bahwa Ihsan adalah perbuatan baik yang luar biasa yang setingkat lebih tinggi dari hasan.

Jika ada pertanyaan apakah kita tidak cinta kepada Indonesia? Tentu saja jawaban kita adalah bahwa kita sangat cinta kepada Indonesia, tetapi juga jangan sampai berlebihan hingga kita stres, bahkan meninggalkan hal-hal primer yang ada di sekitar kita, ini yang tidak boleh. Kita berada pada posisi tidak memiliki kewajiban untuk memikirkan Indonesia, karena kita bukan pihak yang diberi perintah untuk mengurusi Indonesia seperti halnya seorang presiden, gubernur, anggota DPR, menteri dan sebagainya. Sehingga, kita harus tepat menentukan proporsional energi yang boleh kita habiskan untuk memikirkan Indonesia.

“Saya sangat memikirkan Indonesia, luar biasa saya. Cuma, saya memilih tempat yang paling inti pada Indonesia, yaitu wong cilik, yaitu orang-orang yang ghurobaa seperti ini. Bagi saya anda adalah yang paling sejati dari Indonesia, sehingga saya mau seperti ini menemani anda. Ini (kenduri cinta, -red) sudah berjalan 16 tahun, PadhangmBulan bersama Cak Fuad sudah 23 tahun, dan tidak meminta biaya pemerintah, tidak minta sponsor, tidak ngemis siapa-siapa, kita nggak mau ngganggu Indonesia. Kiai Kanjeng mau ke Spanyol tempo hari mau dibiayai oleh salah satu kementrian, kita ndak mau, bukan apa-apa, dan bukan karena kita sombong. Lho, rakyat masih punya banyak masalah masak uang segitu banyaknya hanya untuk membiayai tiketnya Kiai Kanjeng ke Spanyol?”, tutur Cak Nun melanjutkan.

“Mungkin anda tidak mengatasi masalah, mungkin saya juga tidak mengatasi masalah. Tetapi, paling tidak kita tidak nambahi masalah, tidak nambahi beban rakyat”.

“Jadi, pikirkan Indonesia, maka Allah akan mencintai kamu karena kamu mencintai sesuatu apa yang tidak berkewajiban kamu pikirkan. Kalau kamu presiden, kamu berkewajiban memikirkan Indonesia. Kalau kamu menjadi presiden, sedikit saja kamu tidak memikirkan Indonesia, kok kamu bisa makan enak, rakyatmu disana digusur habis, berpuluh-puluh tahun anak turun mereka tinggal disana, sekarang digusur, sekarang kehilangan tempat, kehilangan pekerjaan, terus kamu bisa makan enak sebagai presiden, kamu akan mendapat wabal dari Allah yang luar biasa besarnya,” tegas Cak Nun. Kemudian menjelaskan bagaimana seorang gubernur bahkan presiden sekalipun belum tentu dia adalah seorang Pemimpin yang sebenarnya. Dalam konstelasi politik yang sedemikian rupa ruwetnya, kita tidak akan mudah menentukan apakah presiden atau gubernur itu adalah seorang pemimpin yang sebenarnya atau bukan? Apakah mereka benar-benar bekerja untuk rakyat, 24 jam memikirkan rakyat, dan berusaha untuk mensejahterakan rakyat atau tidak, kita tidak bisa mengetahuinya secara pasti.

Cak Nun mengibaratkan, bahwa tokoh-tokoh yang akhir-akhir ini yang muncul di permukaan yang menjadi pembicaraan banyak orang di media massa dan juga media sosial, sebenarnya hanyalah sebuah peluru, yang harus kita cari tahu adalah siapa yang memegang senapannya, siapa yang menarik pelatuk senapannya dan siapa yang mendanai pembelian senapannya itu? Ini yang tidak disadari oleh banyak orang saat ini. Cak Nun berharap Jamaah Maiyah memiliki kepekaan yang lebih detail terkait isu-isu yang berkembang di masyarakat saat ini.

Hujan sudah reda. Secara perlahan dan mandiri jamaah merapikan kembali posisi duduknya, meskipun masih ada sebagian yang masih tetap memilih untuk berdiri.

“Jika seseorang berlaku sebagai tamu, maka berlakulah sebagaimana mestinya. Jangan kemudian berlaku melebihi batas bahkan berubah menjadi pemilik rumah.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2016)

TADABBUR IBLIS-DAJJAL-YA’JUJ MA’JUJ

LEPAS PUKUL 02.00 dinihari, Cak Nun mengajak jamaah untuk bertadabbur memahami skema Iblis-Dajjal-Ya’juj dan Ma’juj. Cak Nun menjelaskan bahwa Dajjal sesungguhnya dapat dipahami sebagai suatu cara pandang yang memanipulasi pengetahuan manusia, sehingga Dajjal menipu manusia, yang sesungguhnya neraka digambarkan sebagai surga oleh Dajjal dan juga sebaliknya, dan manusia mempercayai cara pandang Dajjal ini. Allah sendiri mengatakan, “Aku bikin dunia itu tampak indah bagi orang-orang yang kafir.”

Cara pandang Dajjal yang sedemikian rupa ini sudah berlaku sejak 700 tahun yang lalu dan mencapai puncak kesempuranaan pada abad ke-17. Saat ini, sistem cara pandang dan cara berfikir Dajjal sudah menjalar ke semua lini kehidupan manusia. Bahkan, bisa dikatakan saat ini yang berlaku adalah aliran Dajjaliyah.

Iblis adalah makhluk yang lebih senior dari Dajjal dan Ya’juj-Ma’juj, malaikat yang paling senior bergelar Al Khoosyi’, As Saajid, Kanzul Jannah. Dan, sebelum Adam diciptakan, Iblis sudah menguasai Bumi.

Enam tahun lalu Cak Nun sudah mementaskan teater Tikungan Iblis, yang menggambarkan dengan jelas sejarah perjalanan Iblis ini. Salah satu cara berpikir Dajjal yang dicontohkan oleh Cak Nun adalah anggapan bahwa surga adalah sesuatu yang indah yang hanya dibayangkan secara persangkaan materialistik; rumah yang indah, istri yang lebih cantik, harta yang lebih banyak, mobil yang lebih mewah, yang terbayang adalah aspirasi materialisme. Dan, ketakutan terhadap Neraka hanya merupakan bingkai semu yang membingkai kesibukan masing-masing untuk ingin merasakan Surga.

Surga digambarkan oleh Allah salah satunya adalah dengan penggambaran bahwa sesuatu yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Sungai itu bisa dipahami tidak pada airnya, bukan pada bebatuannya, bukan pada rumput-rumputnya. Pada kenyataannya, kita sering mengatakan ketika musim kemarau tiba banyak sungai yang gersang. Sehingga dapat dipahami bahwa sungai itu bukan terletak pada airnya.

Cak Nun menjelaskan bahwa salah satu penyebab kita tidak benar-benar memahami surga-Nya Allah adalah karena kita lebih mengedepankan sangkaan-sangkaan bahwa Surga adalah sesuatu yang membahagiakan bagi diri kita. Padahal, di dunia ini jika ada sesuatu yang membahagiakan, itu adalah Surga, maka belum tentu yang membahagiakan bagi diri kita itu adalah juga merupakan Surga bagi tetangga kita. Ketika kita memiliki motor baru atau mobil baru, itu bisa menjadi Neraka bagi tetangga kita. Sedangkan Surga yang sebenarnya adalah bahwa apapun yang kita inginkan akan terwujud, di dalam Al Qur’an ada ayat yang menggambarkan bahwa di Surga semua orang berebut gelas tanpa harus bertengkar satu sama lain.

UNTUK SEDIKIT menggambarkan konstelasi global yang sedang terjadi saat ini, Cak Nun mengatakan bahwa kondisi ekonomi yang paling kuat saat ini adalah RRC dan Iran. Isu yang dihembuskan oleh Sistem “Ya’juj Ma’juj” saat ini adalah isu Anti Syi’ah sehingga pada tahap selanjutnya nanti semua negara bersama-sama memusuhi Iran, karena Iran adalah pesaing utama dari kekuasaan “Ya’juj dan Ma’juj” saat ini. Kedua negara ini adalah negara yang memiliki garis kekuasaan vertikal yang sangat kuat dari atas hingga ke bawah, sehingga kondisi ekonomi di kedua negara tersebut merupakan kondisi yang paling stabil daripada negara-negara yang lain. Dan, perlu diketahui, bahwa saat ini bukan lagi eranya penguasaan titik-titik modal, yang terjadi saat ini adalah pemusatan kapital. Amerika sendiri setelah membebaskan embargo kepada Kuba, posisinya sangat lemah.

Saat ini, dengan bahtera bernama MEA, pasukan “Ya’juj-Ma’juj” berbondong-bondong menuju Bumi yang dahulu sudah pernah dikuasai oleh Iblis. Dengan bahasa sanepo, Cak Nun kemudian mengingatkan kepada pasukan “Ya’juj-Ma’juj” agar berfikir ulang untuk datang ke Indonesia dan berusaha untuk mengambil alih Indonesia, karena sesungguhnya pulau yang sedang mereka tuju ini adalah pulau yang sudah dikuasai oleh Iblis. Apa yang disampaikan oleh Cak Nun ini hanyalah sebuah perumpamaan yang ditujukan kepada Jamaah Maiyah agar tetap waspada dengan segala kemungkinan yang ada.

Selama ini, Bangsa Indonesia menerima semua bangsa untuk masuk dan ikut tinggal di pulau ini, sehingga sangat tidak rasional jika kemudian isu rasialisme menjadi sorotan utama di Indonesia. Saat ini, salah satu ras yang bukan penduduk asli Indonesia, mencoba untuk menguasai Indonesia, dan kemudian dihembuskan isu anti terhadap ras tertentu. Yang seharusnya menjadi konsentrasi bersama adalah bahwa seharusnya semua bersama-sama membangun untuk masa depan, bukan untuk memuaskan nafsu dan tujuan kepentingan pribadi atau golongan semata. Jika seseorang berlaku sebagai tamu, maka berlakulah sebagaimana mestinya. Jangan kemudian berlaku melebihi batas bahkan berubah menjadi pemilik rumah.

“Jangan merasa kita ini sudah mencapai suatu tingkat keimanan yang tinggi, kita harus tetap tawadhlu’ dan selalu tidak lupa mengucapkan; Ihdina-sh-shiroto-l-mustaqiim, kita semua memerlukan petunjuk dari Allah, kita tidak perlu merasa lebih tinggi dari siapapun.”
Ahmad Fuad Effendy, Kenduri Cinta (Mei, 2016)

DIALEKTIKA IMAN DALAM MANUSIA

“ANDA JANGAN terlalu cemas. Mari kita pahami seluas-luasnya supaya anda tetap bergembira”, Cak Nun melanjutkan dan menjelaskan bagaimana umat Islam menjadi ummatan wasathon. Cak Fuad pernah menjelaskan di Padhangmbulan dan Kenduri Cinta beberapa tahun lalu bahwa hukum yang berlaku di orang yahudi adalah apabila anda dipukul maka anda harus membalas pukulan tersebut, sedangkan di Nasrani yang berlaku adalah apabila anda ditampar di pipi kanan, anda sodorkan pipi kiri, sedangkan di Islam hukum yang berlaku sangat rasional; apabila anda dipukul anda memiliki hak untuk membalas pukulan tersebut, tetapi posisi anda akan menjadi lebih mulia apabila anda memafkan orang yang memukul anda.

“Anda jangan percaya sama saya, anda jangan percaya sama Cak Fuad, percaya kepada Tuhan, kepada Muhammad dan kepada yang benar. Saya tidak ada, tidak masalah. Cak Fuad tidak ada, tidak masalah. Jangan menjadi kultus. Maka Tadabbur di Maiyah ini tidak menjadi Madzhab”, Cak Nun memungkasi dan memberikan kesempatan sekali lagi kepada jamaah untuk melontarkan pertanyaan.

Annisa melontarkan sebuah pertanyaan kepada Cak Fuad dan Cak Nun apakah otoritas keimanan dalam diri manusia itu merupakan otoritas manusia itu sendiri ataukah otoritas Tuhan, atau mungkin merupakan kolaborasi dari keduanya. Pertanyaan kedua, tentang bagaimana kita bisa mencapai standar umum keimanan yang baik dan bagaimana mempertahankan posisi tersebut. Cak Fuad langsung merespon dengan sebuah ayat di surat Al Hujurat; Innama-l-mu’minuuna alladziina aamanu billahi wa rasulihi tsumma lam yartaabuu wa jahaduu bi amwalin wa anfusihim fii sabiilillahi ulaaika hum shoodiquun. Orang yang beriman itu adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian tidak meragukannya dan kemudian dia berjihad dengan hartanya dan dengan dirinya di jalan Allah.

Dari ayat ini Cak Fuad menjelaskan bahwa untuk mengukur keimanan kita adalah dengan standar keteguhan kita dalam mempercayai sepenuhnya Allah dan Rasulullah, atau kita masih meragukannya. Karena, apabila masih terdapat keraguan terhadap hal ini, maka bisa dikatakan belum mencapai standar keimanan yang baik. Cak Fuad juga menekankan bahwa pengertian tidak ragu bukan hanya dalam rangka meragukan ketauhidan Allah, melainkan ketika kita meragukan akan Rahmat Allah, atas ketetapan Allah, atas rizqi Allah, maka itu juga termasuk kedalam wilayah keraguan yang dimaksud oleh ayat tersebut.

Cak Fuad juga menjelaskan bahwa setelah kita tidak memiliki keraguan yang mutlak kepada Allah dan Rasulullah, selanjutnya yang dilakukan adalah berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa raga. Jihad dengan harta cakupannya tentu sangat luas, menafkahi fakir miskin, menyantuni anak yatim piatu juga merupakan salah satu bentuk jihad dengan harta benda. Begitu pula jihad dengan jiwa dan raga cakupannya pun sangat luas, meluangkan fikiran, meluangkan energi untuk kemaslahatan umat, itu juga merupakan salah satu bentuk dari jihad dengan jiwa dan raga kita. Malahan, kalau memang diperlukan, sak nyawane pisan. Nyawa sekalipun, kalau perlu dikorbankan untuk berjihad. Bondo, bahu, pikir, lek perlu sak nyawane pisan; Harta, tenaga, fikiran, kalau perlu nyawa sekalian. Bahkan, menurut Cak Fuad, kita semua datang di Maiyahan ini juga termasuk salah satu bentuk jihad.

“Setiap hari manusia selalu meminta kepada Allah untuk dikabulkan semua permintaannya, tetapi sangat jarang manusia bertanya kepada Allah tentang apa yang paling cocok untuk dirinya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2016)

CAK NUN MEMINTA Cak Fuad untuk menjelaskan lebih detail terkait pertanyaan tentang keimanan ini, bahwa ada ayat lain yang menunjukkan hubungan timbal balik tentang kadar keimanan dengan ujian dari Allah. Apakah engkau sudah benar-benar beriman sedangkan engkau belum mendapatkan ujian dari Allah?

“Jadi, memang Iman itu harus diuji kekuatannya. Rasulullah mengatakan bertambah kuat Iman seseorang, bertambah besar ujian yang dihadapinya”, Cak Fuad merespon pertanyaan dari Cak Nun. Cak Fuad menjelaskan bahwa apabila kita menerima cobaan dari Allah berupa sakit dan lain sebagainya, itu harus disikapi sebagai salah satu cara kita untuk naik kelas dalam keimanan kita.

“Jadi begini, yang dikatakan oleh Cak Fuad sudah merupakan tulang punggung dari pemahamannya. Saya hanya menambahkan cabang dan dahan-dahannya”, Cak Nun urun menjawab pertanyaan dari Annisa.

“Kalau anda tidak punya fikiran dan pertanyaan seperti itu, maka hidup anda belum potensial Imannya. Anda sangat potensial Imannya, karena anda memiliki pertanyaan seperti itu. Tetapi kalau anda berharap akan mendapatkan jawaban yang pasti dan objektif atas pertanyaan itu, maka anda salah. Sampai mati pun anda tidak akan menemukan jawaban yang pasti dan objektif atas pertanyaan itu. Kalau selama kita hidup masih begitu, dan selama kita bertanya seperti itu, itu bagus. Allah memang membiarkan kita dalam dialektika seperti itu”, Cak Nun menjelaskan.

Cak Nun mencontohkan dialektika manusia yang lain dalam hubungan sehari-hari dengan Allah dalam kaitannya berdo’a, setiap hari manusia selalu meminta kepada Allah untuk dikabulkan semua permintaannya, tetapi sangat jarang manusia bertanya kepada Allah tentang apa yang paling cocok untuk dirinya. Bahkan, ada kemungkinan yang lain Allah akan menjawab do’a-do’a kita dengan jawaban bahwa Allah sudah memberikan banyak kepada kita, mengapa kita masih meminta-minta terus menerus kepada Allah. Cak Nun berpesan agar Jamaah Maiyah menikmati dialektika-dialektika kemungkinan yang terjadi seperti ini dalam hubungannya dengan Allah. Dan, pada kondisi yang lain, ketika kita sudah merasa pakewuh untuk minta kepada Allah karena kita merasa Allah sudah memberikan semua yang kita butuhkan, bisa jadi ada kemungkinan lain Allah akan sedikit marah dan bertanya mengapa kita tidak meminta kepada Allah. Inilah dialektika kehidupan yang harus tetap kita nikmati. Dan, kita tidak akan bisa mengukur iman kita sendiri, karena nanti hanya Allah yang akan menjadi Juri tunggal untuk menilai hal ini.

“Allah bercinta dengan kita itu dengan berbagai macam cara. Dan jangan pernah menyangka bahwa engkau memiliki kekuatan apa-apa. Dan jangan bangga dengan dirimu sendiri, banggalah terhadap imanmu kepada Allah SWT.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2016)

SEAKAN MERASA belum puas untuk menggali Cak Fuad,  Cak Nun meminta Cak Fuad untuk menggenapi diskusi di Kenduri Cinta dengan menjelaskan terminologi yang salah kaprah di masyarakat terkait ungkapan harapan ketika pernikahan; semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah.

Cak Fuad pun menjelaskan, bahwa di dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa Allah sebenarnya sudah menganugerahkan mawaddah dan rohmah dalam hati setiap manusia, dan yang harus disemogakan adalah sakinah-nya dengan menggunakan mawaddah dan rohmah yang sudah ada dalam hati masing-masing itu tadi. Dalam Al Qur’an tertulis dengan jelas; Litaskunu ilaihaa wa ja’ala bainakum mawaddatan wa rohmatan (Ar Ruum: 21). Bahwa untuk mencapai ketentraman dalam sebuah keluarga, Allah sudah memberikan bekal mawaddah wa rohmah, dan Cak Fuad menjelaskan berdasarkan penggunaan kata dalam ayat tersebut adalah ilaihaa bukan fiihaa, sehingga yang dimaksudkan adalah proses menuju ketentraman dalam berkeluarga. Sehingga, keluarga yang Sakinah itu bukanlah sebuah keluarga yang seumur hidupnya tidak pernah bertengkar antara suami dan istri, tidak ada konflik satu sama lain, bukan seperti itu pemahamannya. Justru dengan menjalani proses menuju sakinah itulah manusia akan mengalami dinamika-dinamika kehidupan dalam berkeluarga. Cak Fuad menjelaskan bahwa sakinah merupakan sebuah proses yang harus terus menerus diusahakan, dan yang harus dipelihara adalah mawaddah wa rohmah dalam hati setiap manusia itu masing-masing.

Cak Nun kemudian menyimpulkan bahwa kalimat yang harus diucapkan adalah; Semoga dengan mawaddah dan rohmah, keluarga mereka menjadi keluarga yang Sakinah. Bahkan, di dalam dinamika tersebut, kalau anda tidak punya kelakar-kelakar dalam hidupmu, maka itu adalah dua tanda dari: 1. Anda kurang berbakat untuk bahagia, 2. Berarti anda kurang cerdas, karena salah satu output dari kecerdasan adalah kelakar-kelakar itu.

Lewat pukul 03.00 dinihari, Beben Jazz berkolaborasi dengan Chromatic yang juga salah satu grup musik dari Kominitas Jazz Kemayoran untuk membawakan beberapa nomor Jazz yang menyegarkan. Selepas penampilan Chromatic dan Beben Jazz, Cak Nun menjelaskan kembali bahwa ada dua jenis rizqi dari Allah: linier dan siklikal.

Rizqi linier adalah rizqi yang sifatnya transaksional, seperti orang berdagang, pembeli memberikan uang sekian kemudian pedagang memberikan barang sesuai dengan uang yang dibayarkan. Sedangkan rizqi siklikal adalah rizqi yang berputar terus menerus, seperti seorang petani menanam tanaman, maka yang menumbuhkan tanama itu hingga berbuah adalah Allah. Tugas petani itu adalah menanam dan merawat tanaman yang ia tanam. Kepastian panen adalah hak prerogatif Allah SWT.

Cak Nun menekankan bahwa dalam bermaiyah, bertahan duduk menekun, hujan turun tidak dijadikan sebagai halangan, merupakan salah satu bentuk proses menanam yang harus dipahami dengan kerangka tidak hanya berupa rizqi linier, melainkan juga rizqi siklikal. Jika hanya dipahami sebagai rizqi linier, maka efek yang ditimbulkan dan dirasakan adalah bahwa jamaah merasa lebih segar dari sebelumnya, merasa lebih sehat dari sebelumnya dan merasa lebih tercerahkan fikirannya dari sebelumnya. Tetapi, apabila dipahami sebagai rizqi siklikal, apa yang kita tanam di Maiyah ini suatu saat kita akan menemukan buahnya, Allah sudah akan mengatur kapan akan panennya. Yang harus kita lakukan adalah terus menerus menanam kebaikan melalui Maiyahan seperti ini.

Untuk memuncaki Kenduri Cinta, diakhiri dengan do’a bersama yang dipimpin oleh Cak Fuad.