Benar-Benar Ada Cinta di Kenduri Cinta

KENDURI CINTA tahun ini memasuki usia ke-17 tahun, suatu ukuran angka yang cukup menuju ke kematangan. Bahkan ada anggapan angka tersebut disimbolkan sebagai  angka menuju kedewasaan. Hal ini biasanya ditandai dengan perayaan khusus ulang tahun ke-17.

Para penggiat mungkin datang dan pergi silih berganti. Sudah beberapa kali kepengurusan dan generasi yang membantu secara aktif agar roda Kenduri Cinta tetap berjalan. Dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, mereka bersatu padu mendorong roda Maiyah Kenduri Cinta hingga sampai tahun ini yang ke-17 dan insya Allah tahun-tahun mendatang.

Kenduri Cinta tetap berusaha istiqomah berada di jalurnya.  Jalur yang tidak populer, anti mainstream, dekonstruktif, independen namun tetap menawarkan kesejatian kepada siapa pun saja yang ingin terus mencari kebenaran. Apa yang ditawarkan oleh Kenduri Cinta dari dulu hingga sekarang dan ke depan nanti tetaplah sama, kemandirian dan keseimbangan berpikir, tidak ikut-ikutan, bagaimana memahami suatu permasalahan dengan melihat gambar secara menyeluruh dan tidak sepotong-sepotong. Cara berpikir yang menjadikan tauhid sebagai landasan sehingga tidak mudah terombang-ambing ditengah berseliwerannya inflasi informasi.

Kenduri Cinta sebagai salah satu simpul penyebaran nilai-nilai maiyah telah menjalani rentang waktu yang sangat dinamis. Sebagai salah satu simpul Maiyah asuhan Cak Nun, Kenduri Cinta sebetulnya memiliki posisi yang lebih strategis. Ia ada di jantung ibukota propinsi dan bahkan negara. Apa yang diuraikan dalam Kenduri Cinta akan menjadi santapan para elit Jakarta. Baik mereka menyantapnya untuk pribadi maupun kelompok, baik terang-terangan dan sembunyi-sembunyi.Dan untuk kemudian dikutip sebagai bagian dari kebijakan pribadi maupun kelompoknya.

Sejak era presiden alm Gus dur, Megawati, SBY hingga Jokowi, kenduri cinta tetap berusaha istiqomah menjadi simpul Maiyah seperti yang sekarang ini. Istiqomah ini penting, menimbang godaan yang datang pada Kenduri Cinta sebagai individu penggiat atau sebagai simpul. Sangat memungkinkan membelokkan arah jalan Kenduri Cinta melalui salah satu penggiatnya atau simpul secara keseluruhan.

Keterlibatan langsung saya dengan Kenduri Cinta bermula sekitar akhir 2013. Saat itu di kawasan SCBD bertemu dengan salah seorang penggiat yang juga sekaligus pendamping Cak Nun selama di Jakarta, Gandhie namanya. Setelah obrolan yang singkat maka ada ajakan untuk datang ke majelis reboan dan berlangsung hingga sekarang walaupun masih sangat sering absen. Sebelumnya ikut hadir dalam majelis Musyawarah Lengkap (Musleng) sebagai salah satu forum untuk bermusyawarah memilih penggiat yang ditunjuk sebagai semacam leader bagi Komunitas dan perangkatnya dalam nuansa yang sangat kekeluargaan.

Sebetulnya kata Maiyah belum begitu akrab di telinga saya. Saya baru mengakrabinya sekitar 3 tahun terakhir ini. Pengenalan kata Maiyah sendiri bila ditelusuri secara seksama agak sulit kapan tepatnya. Saya lebih mengenal sosok dibalik mengkristalnya kata Maiyah yaitu Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun. Isi tulisan buku “Indonesia Bagian dari Desa Saya” semasa jenjang pertama sekolah menengah atas telah banyak merubah cara pandang akan banyak hal secara mendasar.

Keterkaitan dengan Cak Nun setelah masa SMA itu agak terputus ketika memasuki tingkat dua hingga semester pertama kuliah. Saat itu Cak Nun mengisi acara di masjid kampus dimana para pendengar dan jamaah sudah berjubel dan akhirnya mendapat tempat yang cukup jauh dari Cak Nun. Hal yang masih teringat adalah pertanyaan seorang jamaah yang sangat menyentak dan sepertinya memang sudah menunggu momen ini. Jamaah menanyakan hal yang sebetulnya bukan sesuatu yang dilakukan oleh Cak Nun dan Cak Nun menjawabnya sebagai jawaban untuk seorang sahabat beliau.

Sebagai informasi pada masa itu pertengahan 90-an dan mungkin sampai sekarang bahwa hampir sebagian besar mushola atau dakwah kampus sedang hangat-hangatnya dikuasai kelompok rohis yang terkenal dengan aliran gerakan tertentu yang dibawa dari Timur Tengah dengan tarbiyah liqonya, jadi sangat wajar bila pertanyaan yang diajukan sangat bersifat syariah atau fiqih. Kenapa salam harus diganti dengan selamat pagi, siang, sore dan malam, hal yang disampaikan oleh alm. Gus Dur. Cukup berdebar juga menanti jawaban Cak Nun dan berharap beliau akan memberikan jawaban yang mengena untuk semua. Cak Nun mengurainya dari sisi budaya dan bermasyarakat di Indonesia yang sangat beragam dimana salam sesama diperlukan sebagai pengantar kebersamaan dan bukannya berniat mengganti salam dalam Islam yang masih tetap dapat disampaikan kepada sesama muslim.


SELEPAS PERTEMUAN yang singkat tersebut penulis benar-benar fokus dengan kehidupan perkuliahan dengan segala dinamikanya. Sekali ketika masa reformasi, penulis sempat ikut dalam demonstrasi dan menginap semalam di gedung DPR MPR sebagai bagian dari usaha meminta Soeharto turun dari kekuasaan yang kemudian menjadi momen Reformasi Mei 1998, bahkan tidak tahu bila Cak Nun menjadi sangat aktif di masa reformasi dan menjadi bagian dari sembilan orang yang dipanggil ke istana.

Selang beberapa tahun kemudian, ketika itu tahun 2009 ada acara Maiyahan bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng di Masjid Ittihaad Tebet. Meski selama ini sangat jarang berinteraksi secara dekat dengan Cak Nun namun dalam hati ada perasaan eman-eman atau menyesali ketika beliau diposisikan sebagai jubir keluarga Bakrie membantu korban Lapindo. Pada kesempatan itu, saya memberanikan diri mengungkapan perasaan saya itu, dan Cak Nun memberikan jawaban yang membongkar ketidaktahuan saya akan apa yang sesungguhnya Beliau lakukan.

Singkatnya dari situlah beliau mengarahkan saya kepada teman-teman yang sudah aktif di Maiyah Jakarta yaitu Kenduri Cinta untuk mengajak penulis datang ke Kenduri Cinta bulanan di Taman Ismail Marzuki. Semakin seringnya datang ke Kenduri Cinta semakin membuka sekat-sekat pikiran yang selama ini tersumbat. Pemikiran kaku dan sulitnya menjelaskan hal yang terkadang rumit menjadi lebih logis dan rasional setelah mendengar pemaparan Cak Nun. Kombinasi antara tulisan-tulisan dan pemaparan langsung yang diperoleh dari Cak Nun semakin meluaskan cara berpikir akan kehidupan dan dalam berislam saya.

Selama ini beberapa teman atau pengamat lain memberikan catatan untuk Cak Nun. Baik itu cara berpikirnya maupun tafsir, banyak hal yang dianggap liar. Tidak demikian halnya bagi penulis, kedalaman makna akan suatu hal yang disampaikan oleh Cak Nun apabila digali lebih dalam akan benar-benar menemukan kesejatian. Islam yang disampaikan oleh beliau secara luwes dan sering mengundang senyum dan tawa, ditangkap sebagai suatu guyonan oleh beberapa orang yang menafsirkannya.

Sebetulnya penyampaian dengan gaya guyon bukan poin utama di setiap pemaparan yang disampaikan oleh Cak Nun, itu hanyalah alat dalam setiap penguraian atau pembahasan. Alat untuk lebih memudahkan penyampaian dan penyerapan yang disesuaikan dengan jamaah yang sangat beragam.

Kembali ke kesejatian yang tadi disampaikan, bahwa meskipun begitu banyak hal yang disampaikan, satu hal yang penulis catat adalah bahwa Cak Nun menyampaikan tauhid dalam berbagai bentuk. Tauhid yang beliau sampaikan berbeda dengan yang selama ini dipahami sebagian besar ummat muslim.

Bilamana pemahaman tauhid dipahami oleh banyak orang sebagai meng-Esakan Tuhan ketika melakukan ritual ibadah, maka Cak Nun mampu menarik lebih jauh ke dalam ranah kehidupan kita yang sangat dekat dengan keseharian. Mulai dari hal-hal yang sifatnya personal; puasa misalnya, dimana Cak Nun memiliki pandangan bahwa puasa pun dapat dimaknai ketika seseorang merasa mampu dan boleh melakukan apa saja namun hal itu tak dilakukannya.

Contoh ketika ada orang berlaku dzalim kepada kita, ketika kita mampu dan memiliki kesempatan untuk membalasnya namun tak dilakukannya, pada hakikatnya kita sedang berpuasa. Puasa ditarik lebih dalam maknanya tak sekedar menahan haus dan lapar serta tidak berkumpul dengan istri atau suami, namun setiap hal dimana kita boleh untuk melakukan dan tidak berdosa kemudian kita memilih untuk tidak melakukannya. Ada perluasan makna disana bahwa setiap orang dapat melakukannya dalam lingkup kehidupannya masing-masing.

Inilah salah satu “ajaran” tauhid dari Cak Nun dalam makna yang lebih luas. Cak Nun banyak memberikan pengajaran akan berislam secara lebih rasional. Tidak jarang beliau sampaikan untuk terus menggunakan akal dan pikiran kita ketika menemui satu permasalahan dalam menjalani hidup.


MAIYAH ADALAH kata kunci yang menjadikan pengikutnya identik dengan mereka yang mengikuti, mengamati, memperhatikan, menghayati hingga menjalani uraian-uraian yang dibawakan oleh Cak Nun. Para pelaku Maiyah mungkin cukup mudah atau sebaliknya, sulit untuk ditemui dalam interaksi keseharian kita. Mereka adalah pejalan yang tidak terlihat seperti kebanyakan pejalan yang lain dalam menjalani kredo hidupnya. Bilamana pejalan lain dan kebanyakan pejalan pada umumnya berjalan untuk menemukan keberadaan diri atau eksistensi dirinya, maka pejalan Maiyah adalah sebaliknya. Pejalan Maiyah berjalan dalam bingkai pencarian kesejatian untuk menihilkan dirinya.

Dalam setiap hal dimana pejalan Maiyah berada, dia ada atau keberadaannya  untuk ketiadaanya. Pejalan Maiyah akan menambal jalan yang berlubang hingga pejalan lain lupa bila jalan yang berlubang sudah ditambal. Pejalan Maiyah akan meleleh laksana lilin hingga mereka yang membutuhkan cahaya lupa akan lelehan lilin. Pejalan Maiyah adanya seperti ketiadaannya, ia hanya berjalan menuju Tuhannya, karena disanalah perjalanan kesejatiannya ditujukan.

Bagi mereka yang baru mengikuti Maiyahan, istilah atau kata kerja dari Maiyah mungkin belum sepenuhnya difahaminya, kadang diperlukan pertemuan lain untuk lebih memahami uraian Cak Nun. Namun hal ini dapat juga ditunjang pemaknaan dari buku-bukunya atau tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai media sejak tahun 70-an.

Sebetulnya apa yang ingin disampaikan oleh Cak Nun tentang Maiyah ini, kenapa dan hal-hal lain yang melingkupinya? Pertanyaan awam tersebut akan mudah muncul bagi mereka yang betul-betul awam dan baru pertama kali bermaiyah. Dan satu hal kenapa penulis menjadikan Cak Nun sebagai salah satu referensi hidup adalah selain keluasan ilmu, wawasan akan banyak hal juga adanya satu kesamaan antara kata dan perbuatan. Bila ditelusuri lebih lanjut, Cak Nun hampir ada di setiap peristiwa besar yang terjadi pada bangsa ini dimana beliau berpartisipasi aktif menyumbang hal yang konstruktif tanpa diminta dan tanpa meminta.

Cinta kita akan apa yang disampaikan oleh Cak Nun secara tidak sadar tentu membawa kita juga cinta pada pribadi yang membawakannya, katakanlah sekarang Cak Nun dan dalam kesempatan lain sosok itu bisa saja tokoh yang lain. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi dalam cara kita berpikir, berkata dan bertindak. Segala hal yang patut kita jadikan landasan dalam berinteraksi dimana saja kita berada, akan kita letakkan ia sebagai dasar sehingga kita lebih yakin dalam melangkah. Interaksi yang sangat luas dapat dirinci untuk masing-masing pejalan Maiyah, contohnya yang bekerja kantoran. Dalam dunia perkantoran dan karir dimana prestige ditandai dengan tingginya jabatan dan banyaknya anak buah atau besarnya otoritas yang dimiliki, kadang orang lupa bahwa itu semua adalah jalan, alat, dan bukan tujuan.

Mereka yang sudah diatas lupa bahwa bawahan mereka yang juga bekerja tak kenal lelah kadang jarang diperhatikan atau bahkan dilupakan. Kontribusi mereka yang dibawah dianggap minim karena sebanding dengan level yang masih dibawah. Jabatan, otoritas dan banyaknya anak buah adalah jalan atau alat untuk membuktikan ketauhidannya bahwa itu semua adalah mutlak titipan Tuhannya yang sewaktu-waktu dapat diambil. Semua alat yang seharusnya digunakan sebagai jalan tauhid dengan lebih memperhatikan anak buah, team atau bahkan perusahaan secara keseluruhan, digunakan untuk keuntungan individual.

Bukan suatu hal yang salah memang bila tidak ada yang dirugikan, namun kembali ke konsep lebih luas dari makna puasa, bahwa ketika mampu dan boleh namun memilih tidak melakukan atau sebaliknya ketika mampu dan boleh melakukan namun tidak dilakukan maka pemaknaan akan puasa masih pada sebatas pada konsep makan dan minum. Hal ini dapat kita temukan dalam berbagai lini kehidupan, berdagang, bernegara, dan bahkan juga berdakwah.

Pemaknaan akan banyak hal yang disampaikan oleh Cak Nun dalam berbagai forum dan kesempatan mungkin boleh jadi berbeda dengan yang lain. Hal ini mungkin dapat bergantung dari pengalaman hidup masing-masing individu. Dimana hal ini dapat mempengaruhi cara pandang seseorang. Idenya adalah bagaimana pemikiran maiyah ini dapat disebarkan ke sebanyak mungkin orang untuk menjadi gaya hidup yang baru yang tidak sejalan dengan sebagian besar orang namun penuh dengan makna kesejatian.

Gaya hidup yang tentu saja dijalankan dengan inti nilai maiyah, ia tidak perlu memaksakan, tak perlu menonjolkan diri, tak perlu rame, gaduh, tak berharap apapun, terus saja berjalan dengan keyakinan bahwa Tuhan bersamanya. Sejauh dan sedalam apa pemaknaan nilai ini oleh mereka para pejalan maiyah baik yang masih hangat atau yang sudah sepuh. Parameter ini memang bukan sesuatu yang mudah untuk dilihat. Ada banyak hal yang sangat mungkin ia mengandung Maiyah namun dapat saja si pelaku tak menyadarinya dan bahkan bisa jadi ia telah menjalaninya sebelum bersentuhan dengan nilai Maiyah atau Cak Nun sendiri. Dalam beberapa hal parameter yang bersifat fisik atau material mungkin tidak dapat dijadikan ukuran karena ia bersifat kulit, intinya ada di balik kulit tersebut. Kadang mungkin kita baru dapat merasakan kehangatan gaya hidup Maiyah setelah kita berinteraksi sedikit lebih intens. Caranya bertutur, bersikap terhadap sesama pejalan atau bukan pejalan Maiyah dan bagaimana merespon berbagai permasalahan disekitarnya.


PERTANYAAN YANG dapat ditujukan kembali kepada kita adalah, sebelum para pejalan Maiyah menyebarkan gaya hidup bermaiyah, apakah kita sudah benar-benar dan sungguh-sungguh dalam bermaiyah? Hal ini tentu menjadi proses yang tak berakhir, sesama pejalan maiyah dapat saling mengingatkan bahwa apa yang dijalaninya masih dalam rel Maiyah atau setidaknya konvergen menuju Maiyah.

Para pejalan Maiyah hanya meyakini apa yang harus diyakini, menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan, menjalani apa yang harus dijalani, melakukan apa yang seharusnya dilakukan, ketika sebagian besar kita terlena, terhanyut, larut, menguap lupa akan semua hal itu. Pejalan Maiyah berikhtiar, berdaya upaya, mengusahakan semua itu dengan secara sadar bersandar dan menyerahkan semuanya kembali kepada kuasa Allah.

Kenduri Cinta sebagai simpul Maiyah di Jakarta secara tidak sadar memiliki peran sentral dalam menjaga ritme ini. Simpul yang berada di pusat kekuasaan Negara dan memiliki akses untuk mendistribusikan nilai-nilai Tauhid Islam dan Maiyah secara lebih masif dan cair.

Angka 17 ini setidaknya lebih mendewasakan, mematangkan para penggiatnya dalam melakukan interaksi yang bersifat internal dan eksternal. Secara internal  kohesivitas antar penggiat, senior- junior, yang aktif dan pernah aktif, yang lama dan yang baru, pendatang dan penghuni lama lebih terjaga. Kohesivifas yang diperlukan tidak hanya konsumsi internal, juga lebih karena interaksi dengan pihak eksternal akan lebih kondusif dan berkembang. Ketika secara internal dengan beragam latar belakang penggiat namun mampu kompak menyikapi keadaan diluar maka hal ini menjadi nilai lebih mereka yang melihat dari luar.

Harapannya adalah ketika secara internal sudah bersifat kohesif maka setidaknya akan mampu menghasilkan karya-karya Maiyah secara bersama-sama sesuai dengan kata Maiyah itu sendiri. Dan secara eksternal Kenduri Cinta tetap mampu menjaga hubungan dengan semua pihak. Baik mereka yang telah berkontribusi secara aktif untuk Kenduri Cinta ataupun mereka yang saat ini aktif dalam berbagai bidang dan pernah merasakan sentilan-sentilan dan dinamika serta sentuhan nuansa dan suasana Kenduri Cinta.

Selamat ulang tahun untuk Cak Nun yang ke-64, terima kasih telah begitu setia dan penuh cinta menemani kami, kami berhutang banyak kepadamu.

Selamat ulang tahun ke-17 untuk Kenduri Cinta, cintamu akan terus ada buat mereka yang tak pernah lelah berhenti mencari.